USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Belum Membai'at Khalifah, Mati Jahiliyyah Kah?

Belum Membai'at Khalifah, Mati Jahiliyyah Kah?

PERTANYAAN

Assalamu'alaykum wr. wb.

Ustadz, saya pernah membaca salah satu hadist yang kurang lebih begini:

Dari Abdullah bin Umar meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah mengatakan,"Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Muslim).

Pertanyaan saya:

1. Apakah benar bila kita belum melakukan bai'at kepada seorang khalifah, kita akan mati jahiliyyah? Bisakah ustadz menjelaskan maksud dari hadist ini?

2. Apakah ibadah kita diterima, karena pada kenyataannya kita belum melakukan bai'at?

3. Apa yang harus kita lakukan ustadz?

Terima kasih.

JAWABAN

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dalam sejarah Nabi SAW memang ada peristiwa bai'at, yaitu Bai'at Aqabah I dan II serta Bai'at Ridhwan. Namun konteksnya bukan untuk mengangkat khalifah seperti yang banyak kita kenal saat ini.

Bai'at dalam pengertian mengangkat khalifah baru terjadi ketika Rasulullah SAW wafat dan digantikan oleh Abu Bakar. Namun perlu diperhatikan bahwa yang membai'at terbatas hanya pada ahul hilli wal-aqdi saja. Meski seluruh umat shahabat mengakui dan menerima kekhalifahan Abu Bakar, namun secara teknis tidak seluruh shahabat membai'at Abu Bakar satu per satu.

Dan tidak mungkin juga secara teknis untuk dilakukan. Sebab jumlah shahabat Nabi SAW saat beliau SAW wafat diperkirakan mencapai 124 ribu orang, mereka tersebar di berbagai penjuru dunia. Terus bagaimana cara mereka berbai'at kepada Abu Bakar? Dan apakah yang tidak sempat membai'at Abu Bakar bisa kita tuduh kafir dan mati jahiliyah? Tentu saja tidak.

Di masa kini, banyak kelompok dan jamaah menjadikan ba'iat sebagai upacara pelantikan anggota. Kelompok sufi dan tarekat banyak melakukan bai'at ini. Tetapi 'illatnya tidak sama dengan Bai'at Aqabah atau Bai'at Ridhwan di masa Nabi, dan juga tidak seperti pengangkatan khalifah di masa para shahabat.

Kelompok dan jamaah itu menjadikan ba'iat sebagai ritual pengangkatan anggota baru. Mirip-mirip dengan sumpah prajurit di kesatuan tentara.

Selain kelompok sufi dan tarekat, gerakan radikal pun ada yang memakai sistem bai'at untuk melantik anggota baru. Dan meski tidak semua, tetapi harus diakui memang ada yang punya pemahaman aqidah absurd, yaitu mengkafirkan seluruh orang, kecuali hanya kelompoknya saja. Dan yang bisa jadi anggotanya hanya yang sudah berba'iat.

Akhirnya karena kasus seperti ini, bai'at terkesan sebagai sebuah tindakan penyimpangan aqidah. Hal itu lantaran anggota suatu kelompok mudah saja menuduh saudaranya yang muslim menjadi kafir, hanya lantaran saudaranya itu tidak atau belum berbai’ah kepada imam dari kelompoknya. Bahkan ada yang sampai menghalalkan darah anggota yang keluar dari kelompoknya. Maka wajar kalau pandangan publik atas bai'at menjadi negatif sekali.

Tetapi mengkafirkan semua orang kecuali yang sudah bai'at pada kelompoknya juga cara pandang yang amat keliru dan wajib diluruskan. Hadits di atas memang paling sering dipakai tetapi ditafsir-tafsirkan seenak udelnya.

Di antara kesalahan-kesalahan paling fatal yang sering terjadi dalam memahami makna bai’at, antara lain sebagai berikut:

A. Kesalahan dalam mengartikan kalimat “Mitatan Jahiliyyatan"

Untuk menjelaskan maksud hadits itu, sebaiknya kita mencari rujukan yang benar-benar muktamad.

Dalam kitab yang menjelaskan shahih Al-Bukhari, yaitu kitab Fathul Baary, tepatnya pada jilid 7 halaman 13, Ibnu Hajar penulisnya, memberikan komentar tentang pengertian yang anda tanyakan.

Di sana beliau menuliskan bahwa yang benar dengan lafadz itu adalah dengan kasrah pada huruf mim. Jadi membacanya bukan maitatan jahiliyatan, melainkan miitatan jahiliyahatan.

Dari segi arti, keduanya jauh berbeda. Kalau disebut dengan maitatan jahiliyatan, memang artinya adalah mati dalam keadaan jahiliyah. Tetapi yang benar membacanya adalah miitatan jahiliyatan, yang artinya adalah keadaan matinya seperti kematian di zaman Jahiliyyah. Maksudnya, dalam keadaan tidak ada imam yang ditaati karena mereka tidak mengetahui hal itu. Dan yang dimaksud itu bukan mati kafir tetapi mati dalam keadaan durhaka.

Selain penjelasan dari Ibnu Hajar Al-Asqalani, kita juga bisa membaca dalam kitab yang menjadi penjelasan kitab Shahih Muslim. Dan kebetulan lafadz yang anda kutipkan menurut riwayat Imam Muslim.

Misalnya kita buka kitab Ikmaalul Mu’allim bi Fawaaidi Muslim (syarah shohih Muslim), tepatnya jilid6 halaman 258. Di sana bisa kita dapat pendapat Al-Imam Al-Qadhy ‘Iyadh yang berkata bahwa yang dimaksud dengan sabda Rasulullah SAW:

“Barang siapa yang keluar dari ketaatan imam dan meninggalkan jama’ah maka ia mati dengan miittan jahiliyyatan.”

Membacanya adalah dengan mengkasrah mim “miitatan” yaitu seperti orang yang mati di zaman Jahiliyyah karena mereka ada dalam kesesatan dan tidak melaksanakan ketaatan kepada seorang imam pun”.

B. Belum Bai'at, Apakah Ibadah Kita Diterima?

Banyak orang yang mencampuradukan pengertian bai’at kepada imam dengan ikrar dua kalimatsyahadat, seolah-olah bai’at itu adalah pintu untuk masuk Islam. Padahal ada sejumlah perbedaan antara keduanya yang sangat esensial. Misalnya antara lain:

  1. Syahadat merupakan salah satu rukun Islam, sedangkan bai’at tidak termasuk rukun Islam
  2. Orang yang mengingkari dua kalimat syahadat hukumnya kafir, sedang orang yang tidak berbai’at terhadap seorang imam, maka dia tidak dianggap kafir. Apalagi jika bai’at itu terhadap seorang imam lokal yang tidak berdasarkan musyawarah umat Islam seluruh dunia. Jamaahnya hanyalah sebuah jamaah di antara sekian banyak jamaah muslimin. Bukan imam dari jamaah muslimin sebagaimana yang dijelaskan sifatnya dalam hadits nabawi.
  3. Syahadat adalah mengucapkan Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah Wasyhadu Anna Muhammadan Rasulullah. Sedangkan materi baiat bermacam-macam tergantung tuntutan kebutuhan dan situasi. Contohnya Bai’at al-'Aqabah Al-Ulaa berbeda isi dengan Bai’at Al-Ridhwan.

Yang menjadi syarat diterimanya amal adalah syahadat, di mana status keIslaman kita ditentukan oleh syahadat. Dan seorang yang sejak lahir sudah dididik menjadi muslim oleh keluarganya atau masyarakatnya, tidak diperlukan untuk berikrar syahadat secara formal di depan umum.

Karena secara otomatis setiap muslim pasti sudah mengucapkan syahadat tiap hari, paling tidak di dalam tiap shalat ada lafadz dua kalimat syahadat yang harus dibaca. Kalau dihitung-hitung, kita semua ini sudah membaca syahadat 9 kali tiap hari, yaitu pada doa tasyahhud dalam shalat wajib 5 waktu. Dua kali pada shalat Dzhuhur, dua kali pada shalat Ashar, dua kali pada shalat Maghrib, dua kali pada shalat Isya' dan satu kali pada shalat Shubuh.

Mengucapkan ikrar syahadat di depan umum hanya dibutuhan bagi orang yang tadinya kafir, lalu masuk Islam. Gunanya, agar khalayak tahu kepindahan agamanya, agar diperlakukan sebagai muslim sejak saat itu.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.