![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Ribut Dengan Ibu Tiri Gara-gara Harta Waris |
PERTANYAAN Assalamu'allaikum wr. wb. Bapak dan ibu menikah punya anak 1 laki-laki dan 1 anak perempuan. Kemudian ibu wafat meninggalkan rumah atas nama bapak dan ibu. Setelah itu Bapak menikah lagi dengan ibu kedua, punya anak 1 perempuan. Harta yang ditinggalkan sekarang adalah berupa rumah atas nama dari bapak + ibu pertama. Dan ada sawah atas nama dari bapak + ibu kedua. Bagaimana pembagiannya pak? Mohon dijelaskan secara rinci dengan bagian hak-haknya. Kemudian selama pernikahan bapak dan ibu kedua, ada tabungan yang kami sebagai anak kandung dari bapak dan ibu pertama belum ketahui, karena ibu kedua ini tidak menjelaskan berapa nilai tabungannya, karena berdasarkan informasi dari ibu kedua, tabungan itu untuk biaya sekolah anak 1 perempuan (anak ibu kedua). Apakah itu juga termasuk harta yang harus dibagi? Terimakasih atas pencerahannya. Wassalammualaikum, wr wb |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pertanyaan tentang hukum waris itu seharusnya dimulai dari fakta adanya orang yang meninggal dunia, dimana dia punya harta. Lalu pertanyaannya adalah harta yang tidak bertuan itu lantas jadi milik siapa? Jawabnya tentu jadi milik ahli waris. Siapa saja ahli warisnya dan berapa bagian masing-masing, itulah tema utama hitungan waris. Nah pertanyaan anda ini bikin saya 100% bingung. Siapakah yang meninggal dunia dan mana hartanya mau dibagi waris? Kalau saya baca pertanyannya, yang meninggal itu adalah ibu pertama, sementara bapak dan ibu kedua tidak disebut-sebut telah meninggal dunia. So, berarti hitungan waris tidak bisa dilaksanakan, kecuali hanya terbatas harta milik ibu pertama. Sayang sekali, ternyata dalam pertanyaan ini tidak ada penjelasan yang cukup tentang harta milik ibu pertama, yang bukan harta bercampur-campur dengan orang lain. Sebab kalau masih bercampur dengan orang lain, maka harus diselesaikan dulu. Misalnya disebutkan bahwa ada rumah atas nama bapak dan ibu pertama, juga tabungan yang konon buat biaya pendidikan anak dari ibu kedua. Status harta-harta ini tidak jelas, milik siapakah sebenarnya? Kalau harta itu milik bapak, tentu tidak bisa dibagi waris, lantaran tidak ada informasi bahwa bapak sudah wafat. Kalau milik ibu pertama, berapa persen nilai kepemilikannya? Tidak Ada Harta Bersama Satu hal penting dan mendasar namun sering dilupakan orang atau malah banyak yang tidak tahu, adalah bahwa sistem pembagian waris dalam syariah tidak mengenal istilah harta bersama dan warisan bersama. Yang dikenal hanya sistem satu orang satu orang dengan harta masing-masing. Maksudnya? Maksudnya adalah bahwa tiap pembagian waris hanya berdasarkan satu orang yang wafat dan bagaimana membagi harta yang 100% miliknya. Dengan demikian, seandainya ada sepasang suami istri yang sudah menikah berpuluh-tahun lantas salah satunya wafat, katakanlah misalnya yang wafat adalah suami, maka segera harta milik suami dibagi waris. Bagaimana dengan harta istri? Tentu saja harta istri tidak perlu dibagi waris, karena istri masih hidup. Yang dibagi waris hanya harta milik orang yang sudah wafat. Demikian juga bila yang wafat adalah istri, maka hanya harta istri saja yang dibagi waris. Harta suami? Tidak perlu dibagi waris, karena hukum waris hanya mengurusi harta orang yang sudah wafat saja. Kerancuan Harta Suami dan Istri Masalah yang anda tanyakan ini sebenarnya masalah kerancuan hak kepemilikan harta antara suami dan kedua istrinya sejak mereka masih hidup. Karena dibiarkan tanpa kejelasan, akhirnya kemudian jadi tambah rancu ketika mereka meninggal. Lalu terjadilah rebutan harta yang merobek persaudaraan, di antara para ahli waris almarhum. Kenapa ributnya baru sekarang dan tidak sejak masih hidup? Karena mungkin masih ada sosok suami yang dihormati, sehingga masing-masing istri dan anak-anaknya masih bersikap manis. Tetapi giliran sosok pemersatunya berpulang ke rahmatullah, barulah keributan terjadi. Seharusnya masalah ini tidak perlu muncul, kalau suami sudah memastika mana harta milik dirinya, mana harta milik istri pertamanya, sejak masih hidup. Sehingga sudah ada data tentang harta masing-masing. Lho kok jahiliyah? Ya, hukum jahiliyah yang dimaksud disini adalah hukum yang secara paksa menjadikan harta salah satu pasangan secara tiba-tiba menjadi milik berdua. Contohnya begini, seorang suami kalau membeli tanah, menurut hukum jahiliyah, dia juga ini harus mencantumkan nama istrinya sebagai pemilik tanah juga. Sehingga tanah itu jadi milik berdua, walaupun uangnya 100% milik suami. Begitu juga dengan aset-aset yang lain seperti rumah dan sebagainya. Pendeknya semua harta yang didapat oleh suami setelah dia menikah, maka harta itu secara otomatis jadi harta milik berdua. Bukankah hukum seperti ini adil dan menjamin hak-hak para istri? Barangkali maunya memang demikian, tetapi tidak semua yang kita pikir baik itu pasti baik juga. Dalam Islam, seorang suami yang bekerja mencari nafkah, memang nafkah itu diperuntukkan buat anak istri. Tetapi sifatnya tidak mutlak dan tidak otomatis. Tidak mentang-mentang suami punya harta, lantas secara otomatis 50% dari harta itu jadi milik istrinya. Ini namanya kezaliman yang dipaksakan. Yang benar dalam syariat Islam adalah bila suami punya harta, lalu dia memberikan harta itu kepada istrinya, barulah harta itu menjadi milik istinya. Lalu apa bedanya? Bedanya besar sekali, yaitu masalah akad serah terima harta. Meski suami wajib memberi harta kepada istri, baik berupa mahar, nafkah, tanggungan dan seterusnya, namun bukan berarti semua harta suami langsung berubah status menjadi milik istri. Harus ada akad penyerahannya, meskipun keduanya suami istri. Memang buat sebagian masyarakat, hal-hal seperti ini dianggap terlalu mengada-ada, bahkan sebagian bilang matre sekali. Masak antara suami dan istri sendiri harus hitung-hitungan sih? Penjelasannya begini, kalau kita kedatangan tamu di rumah lalu kita menyuguhkan minum dan makanan ringan, memang kita tidak perlu hitung-hitungan dengan tamu. Apalagi pada tiap kue yang kita hidangkan, masih ada stiker banderol hargnya. Tentu rasanya sangat tidak elok, bukan? Tetapi bayangkan kalau tamu itu datang tiap hari, bahkan sehari tiga kali, pagi, siang dan sore. Tentu urusan suguhannya jadi lain lagi perhitungannya. Kenapa demikian? Karena kalau yang disuguhkan itu nilainya rendah, kita bisa santai tidak pakai hitung-hitungan. Tetapi kalau nilainya sudah tinggi, karena tamu datang tiap waktu, maka mau tidak mau kita harus bikin hitung-hitungan dari awal. Nah, demikian juga hubungan antara suami dan istri. Kita memang tidak menerapkan hitung-hitungan harta antara suami dan istri, ketika nilainya tidak seberapa. Tetapi kalau sudah menyangkut aset harta yang nilainya jutaan, puluhan juta bahkan ratusan juta, urusannya lain lagi. Kita tidak bisa main campur aduk harta yang nilainya besar. Maka disinilah letak titik perbedaan yang dimaksud. Dalam hukum Islam, istri tidak berhak menerima harta suami, kecuali bila suami memang memberikannya. Sedangkan dalam hukum jahiliyah, apapun pendapat suami, maka secara otomatis separuhnya jadi milik istri. Konyolnya, hal ini pun berlaku sebaliknya. Maksudnya, berapa pun harta yang didapat oleh seorang istri, maka secara otomatis suami ikut menjadi pemiliknya. Suami Menikah Lagi : Makin Rancu Kalau mana harta suami dan mana harta istri sudah tidak jelas pembagiannya, maka akan jadi musibah kalau salah satunya wafat. Misalnya dalam kasus anda, istri atau ibu pertama wafat. Dan tidak jelas harta milik ibu pertama ini yang mana. Kemudian akan jadi musibah besar ketika suami menikah lagi. Karena harta suami otomatis jadi harta istri, maka sangat boleh jadi si istri kedua (ibu kedua) ujug-ujug menangkangi harta yang dianggapnya milik suaminya, tanpa berpikir jangan-jangan di dalam harta itu masih ada hak milik almarhumah istri pertama. Maka kerancuan demi kerancuan ini memang butuh diurai, meski bukan masalah mudah. Mengurainya harus dari awal sumbernya. Dan tidak bisa diselesaikan hanya berdasarkan satu pihak. Dalam hal ini kalau bapak masih hidup, beliau adalah saksi sekaligus pelakunya. Barat Meninggalkan Hukum Ini Hukum ini sangat mengakar di barat dan sulit dilawan, meski pun dirasa sangat tidak adil. Akhirnya, orang-orang di Barat itu melawan hukum ini dengan cara yang sangat destruktif, yaitu mereka malah menghindari pernikahan dan perkawinan. Dan lebih memilih berzina serta kumpul kebo saja. Sebab zina dan kumpul kebo di Barat memang tidak dianggap melanggar hukum, sebaliknya justru merupakan hak asasi. Bodohnya kita, ternyata hukum jahiliyah ini kita impor dari penjajah Barat yang kafir itu, lantas kita pakai seolah-olah itu merupakan hukum Allah SWT. Naudzubillahi min zalik. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MA |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |