USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Perbedaan Waktu Wukuf dengan Hasil Perhitungan Waktu Iedul Adha di Indonesia

Perbedaan Waktu Wukuf dengan Hasil Perhitungan Waktu Iedul Adha di Indonesia

PERTANYAAN

Assalamu"alaikum Wr Wb,

Saya belum tahu apakah pertanyaan ini sudah pernah ditanyakan atau belum?

Dari salah satu website menginfokan bahwa Pemerintah Arab Saudi sudah menetapkan Wukuf Haji tahun 2006 (9 Dzulhijjah) jatuh pada Hari Jum'at (29 Des 2006) Haji Akbar, bahkan Amirul Hajj Indonesia sudah mengingatkan kepada Jama'ah Haji agar lebih berhati-hati karena kemungkinan jama'ah lokal akan memanfaatkan untuk hajian, sehingga tambah padat.

Sementara ada salah satu Ormas Islam yang sudah menentukan bahwa Iedul Adha (10 Dzulhijjah ) jatuh pada tanggal 31 Des 06.

Bila kita lihat ada perbedaan satu hari.

Pertanyaan: Kapan saya mulai melakukan puasa dan Iedul Adha? Ikut tanggal yang mana? Bagaimana hukumnya? Mohon penjelasan dari Ustadz.

Terima kasih, Wassalam wr. wb.

JAWABAN

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dalam menyikapi perbedaan hasil ijtihad tentang penentuan hari-hari ibadah dalam Islam, kita mengenal sebuah prinsip yang telah dipegang para ulama sepanjang masa. Prinsip itu adalah bahwa setiap umat Islam boleh dan berhak untuk bertanya kepada para ahli agama, meski para ahli agama berbeda pendapat dalam memberikan jawabannya.

Tentu saja selamasemua jawaban itu tidak keluar dari ijtihad yang telah diupayakan sedemikian rupa agar mendekati kebenaran. Kalau ternyata hasil ijtihad itu masih berbeda juga, maka orang yang mengikuti salah satu ijtihad itu tidak bisa disalahkan, juga tidak berdosa.

Bahkan para ahli ijtihad itu sendiri apabila berbeda pendapat dan ternyata salah satunya jatuh ke dalam kesalahan, tidak berdosa juga. Dia tetap akan mendapat satu pahala. Sedangkan yang ijtihadnya benar akan mendapat dua pahala di sisi Allah.

Itulah prinsip dan pedoman dalam semua menyikapi perbedaan hasil ijtihad para ulama.

Sabtu atau Ahad: Keduanya Bisa Dibenarkan

Maka hari yang mana saja yang anda pilih untuk berlebaran haji nanti, boleh dan sah untuk anda ambil. Karena memang dimungkinkan terjadinya perbedaan hari raya untuk beberapa wilayah yang berbeda. Dan hal itu sudah terjadi jauh sebelum zaman kita, yaitu sejak zaman shahabat rasulullah ridwanullahi 'alaihim.

Dan bersama dengan itu, kita toh tidak perlu saling ejek dengan sesama muslim, apalagi sampai ke tingkat caci maki dan saling hina dengan sesama. Karena hasil sebuah ijtihad itu tidak bisa membatalkan hasil ijtihad lainnya.

Wukuf di Arafah ditetapkan oleh pemerintah Saudi jatuh di hari Jumat, namun sebagaimana kita tahu bahwa keputusan itu tidak diambil mewakili seluruh ulama dunia, melainkan hanya oleh mufti kerajaan tersebut. Maka keputusan kerajaan tidak lain adalah hasil ijtihad juga.

Akan lain nilainya seandainya kerajaan itu melibatkan seluruh dunia Islam, di mana sudah ada komitmen bersama untuk menetapkan hari yang sama berdasarkan apa yang telah disepakati. Kalau seandainya ada sekelompok umat Islam yang sudah berkomitmen namun tiba-tiba melanggar dan tidak mau patuh, maka bolehlah pihak yang menyendiri itu dipersalahkan.

Namun selama tidak pernah terjadi komitmen itu, serta masing-masing negeri berijtihad sendiri-sendiri, lalu ada negeri yang menetapkan lebaran haji berbeda dengan ketetapan pemerintah Saudi, tidak bisa kita menyalahkan mereka. Sebab ketetapan pemerintah Saudi itu tidak lain hanya hasil ijtihad belaka yang tidakmengikat.

Hanya kebetulan saja tongkat kekuasaan ada di tangan pemerintah yang sedang berkuasa, sehingga seolah-olah dunia Islam harus selalu 'mengekor' kepada hasil ijtihadmereka. Seakrang yang jadi pertanyaan adalah: Apakah ada peraturan yang mengharuskan bahwa siapa yang berkuasa di wilayah Makkah, lantas berhak mengatur ijtihad ulama di negeri-negeri Islam lainnya?

Di masa kejayaan khilafah Islamiyah, pusat kekuasaan tidak berada di tangan pemerintah Saudi Arabia, melainkan di tangan para khalifah yang berkedudukan di Damaskus, atau Baghdad, atau Isambul. Makkah dan sekitarnya hanya menjadi bagian wilayah pusat khilafah Islam.

Tapi hari ini yang menjadi penguasa di Makkah adalah pemerintahan kerajaan Saudi Arabia. Mereka inilah yang menentukan jatuhnya hari wuquf di Arafah. Dan secara otomatis, seluruh jamaah haji dari berbagai penjuru dunia juga mengikuti hasil ijtihad ulama dan penguasa negeri itu.

Tentu ini merupakan diskusi yang menarik untuk dibahas, bukan?

PerbedaanHari Lebaran Adalah Keniscayaan Baik Rukyat Atau Hisab

Kita tahu ada dua cara dalam menentukan tanggal bulan qamariyah, yaitu dengan cara rukyat langsung dan dengan cara hisab.

Baik rukyat atau hisab, keduanya sama-sama memberikan kemungkinan perbedaan hasil. Maksudnya, meski sama-sama pakai rukyatul-hilal, masih sangat dimungkinkan hasilnya berbeda antara satu ahli rukyat dengan ahli rukyat yang lainnya. Begitu juga dengan hisab,meski sama-sama menggunakan hisab, hasilnya tetap sangat mungkin berbeda antara para ahli hisab.

Misalnya untuk menentukan jatuhnya tanggal 9 Dzulhijjah nanti, kita bisa mendapatkan hasil rukyat dengan beberapa versi, ada yang bilang jatuh hari Jumat dan ada yang hari Sabtu. Hal yang sama juga bila kita gunakan hisab, ada beberapa versi juga. Ada yang jatuh hari Jumat dan ada yang jatuh hari Sabtu.

Jadi paling tidak ada tiga simpang perbedaan yang terjadi, yaitu antara:

  • Ahli rukyat vs ahli rukyat
  • Ahli rukyat vs ahli hisab
  • Ahli hisab vs ahli hisab

Ahli rukyat yang satu sangat mungkin berbeda pendapat dengan ahli rukyat yang lain. Mungkin di satu negara ada beberapa ahli rukyat, tapi masing-masing tidak saling berkonfirmasi, langsung main tetapkan sendiri kesimpulannya.

Inilah yang selama ini terjadi di negeri kita. Kita tidak pernah kekurangan ahli rukyat. Tiap daerah di negeri inipunya para ahli rukyat. Sayangnya, mereka bekerja sendiri-sendiri, ataumaksimal hanya bekerja untuk kelompoknya. Seandainya adaseorang ahli rukyat yang melihat hilal, belum tentu ahli rukyat yang lain mau menerima hasil rukyat saudaranya itu. Alasannya bisa macam-macam, terkadang urusan politis dan lain partai, lain ormas atau lain aliran ilmu, sudah bisa membuat mereka tidak mau saling berkomitmen.

Apalagi antara ahli rukyat dengan ahli hisab, biasanya merekajarang akur. Sebagai contoh, seorang ahli rukyat menyatakan telah melihat hilal, tiba-tiba ditentang oleh ahli hisab begitu saja. Argumennya, karena saat itu tidak dimungkinkan terjadinya rukyat lantaran kurang dari sekian derajat, atau beragam alasan lainnya.

Seolah-olah apapun yang dilihat oleh ahli rukyat itu tidak pernah benar kecuali bila telah sesuai dengan hasil hisab para ahli hisab. Ini kan namanya fait a compli. Lalu para ahli rukyat akan mengeluarkan argumentasi bahwa dalil dari Rasulullah SAW hanya dengan merukyat hilal, bukan dengan hisab. Dan urusannya tidak akan selesai.

Terakhir, antara sesama ahli hisab ternyata juga tidak selalu kompak. Rupanya ilmu hisab itu punya sekian banyak versi. Meski kesannya ilmiyah, tetapi yang eksak itu hanya angkanya saja, sedangkan untuk mengambil kesimpulannya, masih begitu banyak pertimbangan lainnya. Wajar bila seorang ahli hisab berbeda hasil hitungannya dengan temannya yang juga ahli hisab juga.

Maka kesimpulannya, selama masing-masing merasa yakin dan tidak mau mengalah, tidak akan ada terjadi kesamaan hasil penentuan hari lebaran sampai kiamat. Sebab masing-masing bersikukuh dengan argumentasinya, ditambah tidak pernah merasa ijtihad orang lain itu mungkin benar.

Bagaimana Idealnya?

Idealnya, meski masing-masing ahli baik ahli rukyat atau pun ahli hisab berhak punya pendapat masing-masing, tetapi mereka harus legowo bila pendapatnya tidak dipakai sebagai pendapat resmi di suatu negara.

Atau paling tidak, mereka harus belajar untuk bisa berkomitmen antar sesamamereka dalam menetapkan tanggal hijriyah itu, tidak bersikukuh dengan apa yang dimilikinya. Toh, semua itu hanya ijtihad belaka, tidak ada satu pun yang langsung ditetapkan dari langit, karena wahyu sudah terputus hari ini.

Sebenarnya peran pemerintah sangat dibutuhkan, asalkan pemerintah punya sosok figur yang sepakat dihormati, diagungkan dan diterima oleh semua kalangan ahli hisab dan rukyat di negeri itu.

Yang jadi masalah sekarang ini justru itu, sosok figur pemerintah sekarang ini sangat rendah di mata para ahli hisab dan rukyat itu. Lebih konyol lagi, pemerintah malah membuat sendiri lembaga hisab dan rukyat versinya sendiri. Yang dipakai untuk menetapkan jatuhnya lebaran itu hanya dari mereka yang duduk di lembaga versi pemerintah itu saja, versi yang lain meski diundang datang dalam sidang itsbat, semuanya hanya formalitas belaka. Tidak terjadi kajian ilmiyah yang mendasar dan fokus pada titik masalahnya.

Itulah yang semakin memperbesar jarak antara pemerintah dengan sebagian ahli hisab dan rukyat.

Belum lagi kalau kita angkat masalah ini ke tingkat international, maka masalahnya akan semakin rumit lagi. Sebab masing-masing negara merasa diri mereka punya hak preogratif untuk menentukan sendiri hari-hari besar agama, tanpa harus berkomitmen dengan ulama hisab dan rukyat di berbagai tempat.

Akhirnya, memang terlalu banyak pe-er yang menumpuk di depan hidung kita. Sampai-sampai kita bingung, yang mana yang mau kita kerjakan terlebih dahulu. Atau barangkali malah tidak satu pun yang kita kerjakan, lantaran kita sibuk saling mencaci sesama kita. Nauzu billahi min zalik.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.