Al-Fatihah 1 : 1
Mushaf Madinah | hal. 1 | Mushaf Kemenag RI

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Kemenag RI 2019 :

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang


Prof. Quraish Shihab :

Dengan nama Allah Yang Maha Rahman Rahim


Prof. HAMKA :

Dengan nama Allah, Yang Mahamurah, Maha Penyayang.



...

Buat kita mungkin terasa asing kalau mendengar ada sebagian ulama yang berpandangan bahwa ayat pertama surat Al-Fatihah bukanlah bismillahirrahmanirrahim. Namun perbedaan itu fakta yang oleh Asy-Syaukani dijelaskan dalam Fathul Qadir bahwa ada dua kelompok ulama dalam masalah kedudukan ayat pertama surat Al-Fatihah ini :[1]

Para ulama ahli Al-Quran Mekah dan Kufah mengatakan bahwa basmalah bagian dari surat Al-Fatihah dan juga bagian dari semua surat yang ada. Keberadaannya bukan semata pemisah antara surat, melainkan menjadi bagian dari setiap surat itu.[2]

Sedangkan para ulama ahli Al-Quran Madinah, Bashrah dan Syam berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah atau pun semua surat yang ada. Keberadaannya sekedar menjadi pemisah antara satu surat dengan surat lainnya dengan status mengambil keberkahan. Maka menurut kelompok ini hanya ada satu basmalah di dalam Al-Quran yaitu di dalam Surat An-Naml.

Perbedaan pendapat ini juga ikut menjalar di level ulama ahli fiqih. Dari empat mazhab fiqih yang muktamad, dua mazhab berlawanan arah 180 derajat dua mazhab lainnya.

1. Mazhab Hanafi dan Maliki

Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa bismillahirrahmanir-rahim bukan bagian dari surat Al-Fatihah. Ayat pertama surat Al-Fatihah adalah alhamdulillahirabbil ‘alamin. Di mushaf ini nampak jelas bahwa teks  bismillahirrahmanirrahim tidak ada nomor ayatnya. Namun dalam pandangan mereka, jumlah ayat surat Al-Fatihah tetap tujuh, karena ayat terakhir mereka bagi dua.

 

 

Mushaf riwayat Qalun dari Nafi'

 

Namun mazhab Hanafi tetap mensunnahkan baca basmalah sebelum baca surat Al-Fatihah, cukup dengan suara yang lirih saja. Seandainya tidak dibaca, shalatnya tetap sah. Sedangkan mazhab Maliki justru melarang baca basmalah sebelum Al-Fatihah, karena dianggap bukan termasuk surat Al-Fatihah.  

2. Bagian Dari Surat Al-Fatihah

Sedangkan mazhab Asy-Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa bismillahirrah-manirrahim bagian dari surat Al-Fatihah dan merupakan ayat nomor satu. Sedangkan lafazh alhamdulillahirabbil ‘alamin menjadi ayat nomor dua.

Dan ayat terakhir tidak dipecah jadi dua, melainkan jadi satu ayat yang cukup panjang mulai dari shirathalladzina (صراط الذين) hingga waladhdhaallin (ولا الضآلين).

 Mazhab Asy-syafi’i mewajibkan orang yang shalat mengawali surat Al-Fatihah dengan membaca bismillahirrah-manirrahim dengan lengkap, kalau tidak maka shalatnya tidak  sah. Cara membacanya mengikuti jahriyah dan sirriyah shalat. Untuk shalat jahriyah seperti Maghrib, Isya dan Shubuh, bismillahirrah-manirrahim dibaca dengan suara lantang sepeti ayat-ayat lainnya.

Sedangkan dalam pandangan mazhab Hambali, meski membaca bismillahirrah-manirrahim hukumnya wajib, namun lebih utama dibaca sirr atau dengan suara yang lirih.

Sementara di dalam Tafsir Al-Munir, Dr. Wahbah Az-Zuahili menjelaskan status bismillah yang terdapat pada setiap jeda antara surat-surat dalam Al-Quran.[3]

***

Di dalam Al-Quran, lafazh bismillahirrahmanirrahim yang benar-benar resmi dan disepakati 100% menjadi bagian dari sebuah surat adalah yang terdapat pada surat An-Naml.

إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. An-Naml : 30)

Ayat ini menceritakan bahwa Ratu Saba’ menerima surat dari Nabi Sulaiman alaihissalam yang isinya mengajak untuk menyembah Allah SWT dan datang menyerahkan diri. Ternyata surat itu diawali dengan lafazh bismillahirrahmanirrahim.

Para ulama mengatakan bahwa Nabi Sulaiman adalah orang yang pertama kali menggunakan lafazh basmalah, belum pernah ada seorang nabi pun yang menggunakannya kecuali dirinya sebelum itu.

Cerita tentang surat Nabi Sulaiman yang diawali dengan basmalah itu kemudian dijadikan petunjuk oleh Nabi Muhammad SAW dalam urusan surat menyurat. Al-Mawardi di dalam An-Nukat wa Al-‘Uyun meriwayatkan dari Ashim dari As-Sya’bi bahwa ada empat kali perubahan penulisan awal surat Nabi Muhammad SAW : [4]

 

 

[1] Asy-Syaukani (w. 1250 H), Fathul Qadir, (Beirut, Darul Kalim ath-Thayyib, Cet. 1, 1414 H), jilid 1 hal. 20

[2] Al-Qurthubi (w. 681 H), Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, (Cairo - Darul-Qutub Al-Mishriyah –Cet. III, 1384 H- 1964 M), jilid 1 hal. 93

[3] Wahbah Az-Zuhaili (w. 1436 H), Tafsir Al-Munir,  (Damaskus, Darul-fikr, Cet. Ke-10, 1430 H-2009H) jilid 1 hal. 47

[4] Al-Mawardi (w. 450 H), An-Nukat wa Al-‘Uyun, (Beirut, Darul-kutub Al-Ilmiyah, Cet. 1), jilid 4 hal. 206

 

(Afwan tim rumah fiqih, klo teks ini muncul artinya ada sedikit kebocoran script di link ini https://www.rumahfiqih.com/quran/BE-edit_tafsir.php?id=0001 cukup ganti id di belakang ini orang bisa ngedit, terima kasih )

بسم

Lafazh bismi (بِسْمِ) terdiri dari huruf ba’ (بِ) dan ism (اِسْم). Para ahli nahwu berbeda pendapat tentang apa nama dan fungsi huruf ba’ ini. Al-Wahidi dalam Al-Basith menyebutkan di antaranya :

§  Huruf ilshaq (حرف إلصاق) yang berfungsi menempelkan, seperti ucapan (تمسكت بزيد)  : “Aku berpegangan pada Zaid”.

§  Huruf isti’anah (حرف استعانة)  yang berfungsi untuk mendapatkan bantuan, seperti ucapan : (كتبت بالقلم) : “Aku menulis dengan menggunakan pena”.

§  Huruf idhafah (حرف إضافة) seperti ucapan (مررت بزيد) : “Aku melewati Zaid”.

Sedangkan lafazh ism (اسم) artinya adalah : “nama”. Menurut para pakar Nahwu dari Kufah (al-kufiyyun), asalnya dari kata simah (سِمَة)  yang artinya : tanda. Sedangkan para pakar Nahwu dari Bashrah (al-bashriyun) mengatakan asalnya dari as-sumuw (السُّمُو) yang bermakna tinggi, karena meninggikan yang punya nama.

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan ucapan : “dengan nama” menjadi beberapa pendapat yang berbeda.

1. Makna Perintah

Pendapat pertama dari Al-Farra’ yang mengatakan bahwa lafazh : “dengan nama” (بِسْمِ) itu asalnya adalah sebuah perintah yaitu : “mulailah dengan nama Allah” (ابْدَؤُوا بِسْمِ اللَّهِ).[1]

2. Makna Berita

Pendapat kedua dari Az-Zajjaj yang mengatakan bahwa lafazh dengan nama itu asalnya adalah kalimat berita, yaitu : “Aku mulai dengan nama Allah” (بَدَأْتُ بِسْمِ اللَّهِ).

3. Sumpah

Pendapat ketiga mengatakan bahwa makna 'dengan nama' bermakna sumpah atau qasm (القسم). Maksudnya ini adalah sumpah Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya seolah Dia berfirman,"Wahai hambaku, Aku bersumpah bahwa yang Aku katakan ini adalah kebenaran".

Satu catatan penting bahwa lafaz bismillah hanya dikhususkan berlaku pada umat Nabi Muhammad SAW sejak terakhir di masa Nabi Sulaiman alahissalam. Ibnu Katsir meriwayatkan hadits berikut meski terus terang mendhaifkan.

أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آيَةٌ لَمْ تَنْزِلْ عَلَى نَبِيٍّ غَيْرِ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ وَغَيْرِي، وَهِيَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Telah diturunkan satu ayat untukku yang belum pernah turun kepada seorang nabi sebelumku, kecuali Nabi Sulaiman bin Daud, yaitu bismillahirrahmanirrahim.(HR. Ad-Daruquthuni)

Lafazh bismi terdiri dari huruf ba' (ب) dan lafazh ism (اسم), kalau disatukan seharusnya ditulis seperti ini : (باسم). Namun dalam mushaf Utsmani huruf alif-nya dibuang sehingga tulisannya cukup menjadi (بسم) saja, tanpa disisipi huruf alif. Dan ini khusus pada teks bismillah dalam Al-Quran, namun tidak berlaku jika pada ayat lain, karena justru huruf alif tetap dipertahankan. Misalnya perhatikan penulisan ayat pertama dari surat Al-A’laq berikut ini :

 

Perhatikan dengan seksama bahwa huruf alif dalam penulisan ayat ini dibiarkan ada dan tidak dihapuskan. Silahkan cek di beberapa mushaf dari penerbit yang berbeda, ternyata semua seragam.

Lalu yang jadi pertanyaan adalah : apakah ini hanya sebuah kebetulan saja, dimana huruf alif boleh dituliskan dan boleh juga tidak dituliskan? Atau kah ini memang suatu keharuan yang bersifat kewajiban? Lalu kalau pun misalnya dituliskan huruf alif atau tidak dituliskan, apakah dari segi makna akan terjadi perbedaan?

Jawaban sama sekali tidak ada perbedaan dari segi makna, apakah huruf alif-nya dituliskan atau tidak dituliskan. Berarti secara makna aman-aman saja, mau dituliskan atau tidak dituliskan.

Lalu kalau tidak berpengaruh kepada makna, mengapa dipermasalahkan? Sebenarnya bukan dipermasalahkan, tetapi dalam hal ini kita harus tahu bahwa penulisan teks ayat Al-Quran itu bersifat dari segi penulisan huruf-hurufnya bersifat tauqifi. Maksudnya pilihan hurufnya apa saja itu merupakan sebuah ketetapan pasti yang diatur langsung oleh Allah SWT dan bukan sesuatu yang bersifat ijtihadi.

Memang benar bahwa ketika malaikat Jibril alaihissalam turun membawa wahyu, wujudnya bukan dalam bentuk teks tertulis di atas lembaran, tetapi hanya berupa suara. Namun begitu Jibril pergi, Nabi SAW pun memerintahkan para shahabat untuk menuliskan ayat yang barusan turun. Sampai disini kita pasti menduga bahwa pemilihan huruf-huruf Al-Quran bersifat ijtihadi, yaitu tergantung bagaimana ijtihad para shahabat yang menjadi penulis Al-Quran.

Namun rupanya Zaid bin Tsabit radhiyallahuanhu sebagai tokoh utama penulis wahyu di masa kenabian menegaskan bahwa ternyata Nabi SAW secara personal turut campur langsung dalam urusan penulisan itu, walaupun Beliau SAW dikenal sebagai orang yang tidak bisa baca dan tulis. Pengakuan langsung dari Zaid sebagai berikut :

كُنْتُ أَكْتُبُ الوَحْيَ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ r وَهُوَ يُمْلِي عَلَيَّ . فَإِذَا فَرِغْتُ قَالَ: اِقْرَأْهُ فَأَقْرَؤُهُ فَإِنْ كَانَ فِيْهِ سَقْطٌ أَقَامَهُ ثُمَّ أَخْرُجُ بِهِ إِلَى النَّاسِ

 “Aku menulis penulis wahyu yang ditugaskan oleh Rasulullah SAW. Caranya dengan Beliau  SAW membacakannya kepadaku. Bila sudah selesai, Beliau pun memerintahkan aku untuk membaca ulang. Maka Aku membaca ulang, bila ada yang terlewat, Beliau membenarkannya. Barulah setelah itu Aku bawa tulisan itu kepada orang-orang”

Maka apa yang ditulis oleh Zaid itu memang hasil ijtihad Zaid sendiri, tetapi tidak lah sampai ke tangan para shahabat, kecuali setelah diperiksa oleh Rasulullah SAW. Disitulah kita tahu bahwa pemilihan huruf-huruf Al-Quran itu bersifat tauqifi dan bukan bersifat ijtihadi.

Sebenarnya untuk kaidah penulisan selain Al-Quran, para ulama sudah sampai ke titik matang dalam merumuskan kaidah-kaidah penulisan huruf dan bahasa Arab, yaitu yang dikenal dengan qawaid al-imla’ (قَوَاعِدُ الإِمْلا). Namun khusus dalam untuk penulisan rasm Al-Quran, rupanya qawaid al-imla’ tidak berlaku.

Kalau kita ingin mendalami lebih jauh terkait kaidah-kaidah penulisan rasm Al-Quran, nama cabang ilmunya adalah ilmu rasm (عِلْمُ الرَّسْم). Dan sumber utamanya adalah Nabi Muhammad SAW serta para shahabat yang secara khusus diangkat Beliau menjadi para penulis wahyu.

Dr. Ghanim Al-Quduri dalam kitabnya, Rasm al-Mushaf : Dirasah Lughawiyah Tarikhiyah menyebutkan bahwa para shahabat yang diperintahkan untuk menulis wahyu cukup banyak jumlahnya, mencapai 43 orang. Yang paling terkenal adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Saad, Hanzhalah ibnu Ar-Rabi’ dan lainnya.

Namun yang paling produktif dan menonjol untuk menuliskan wahyu dari semuanya memang Zaid bin Tsabit. Selain karena kepintarannya, Beliau juga masih muda, enegik, rajin, teliti dan selalu siap sedia kapan dan dimana pun dibutuhkan oleh Nabi SAW. Dalam kesehariannya, setiap kali malaikat Jibril turun bawa wahyu, maka segera setelah itu Nabi SAW perintahkan :

اُدْعُ لِي زَيْدًا وَلْيَجِيء بِاللَّوْحِ وَالدَّوَاةِ وَالكَتِفِ

Panggilkan Zaid dan suruh bawa batu, pelepah dan tulang

Saking perhatiannya Beliau SAW terhadap penulisan wahyu, sampai Beliau SAW mengeluarkan larangan untuk menulis selain wahyu.

لاَ تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ القُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ

Jangan kalian menulis tentang Aku. Siapa yang terlanjur menulis tentang Aku, hapuslah.

 

[1] Al-Mawardi (w. 450 H), An-Nukat wa Al-‘Uyun, (Beirut, Darul-kutub Al-Ilmiyah, Cet. 1), jilid 1 hal. 48

الرحمن

Apakah Ar-Rahman Merupakan Bahasa Arab?

Para ulama ahli bahasa berbeda pendapat tentang lafazh ar-rahman (الرحمن), apakah asli bahasa Arab yang bisa diotak-atik pembetukan dari kata dasar tertentu, ataukah merupakan bahasa asing di luar Arab lalu diarabkan.

1. Bukan Bahasa Arab

Pendapat pertama mengatakan bahwa lafazh Ar-Rahman ini bukan asli bahasa Arab, melainkan bahasa asing di luar Arab yang kemudian di-arab-kan atau istilahnya mu'rarrab. Aslinya dikatakan berasal dari bahasa Ibrani, yaitu bahasa yang digunakan orang-orang Yahudi.

Sebagai bukti bahwa lafazh Ar-Rahman bukan asli dari bahasa Arab adalah perkataan kalangan musyrikin Mekkah yang menolak sifat Ar-Rahman sebagaimana disebutkan di ayat berikut :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمَٰنِ قَالُوا وَمَا الرَّحْمَٰنُ أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا ۩

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujudlah kamu sekalian kepada yang Maha Penyayang", mereka menjawab: "Siapakah yang Maha Penyayang itu? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami(bersujud kepada-Nya)?", dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman). (QS. Al-Furqan : 60)

Basmalah kaum musyrikin bukan bismillahirrahmanirrahim, tetapi bismikallahuma (بسمك اللهم). Itulah yang tertulis dalam teks perjanjian Hudaibiyah antara kaum musyrikin Mekkah dengan Nabi SAW. Suhail bin Amr yang mewakili kaum musyrikin Mekkah protes kepada Nabi SAW dan menuntut lafazh bismillahirrahmanirrahim dalam draft perjanjian Hudaibiyah itu dihapus dan diganti dengan lafazh bismikallahumma (بسمك اللهم). Karena lafazh itulah yang diakui oleh kaum musyrikin sejak zaman nenek moyang, sedangkan lafazh bismillahirrahmanirrahim dianggap bukan milik mereka. 

Dalam peristiwa pemboikotan (muqatha'ah) ketika masih di Mekkah, keputusan para pemimpin Mekkah untuk mengusir Bani Hasyim ke Syi'ib Ali pun dituliskan dalam selembar kulit yang ditempel di dinding Ka'bah. Dalam kisah itu disebutkan bahwa kulit itu habis dimakan rayap, yang tersisa hanya lafazh : bismikallahumma. Dalam hal ini bukan lafazh bismillahirrahmanirrahim, karena lafazh Ar-Rahman bukan lafazh yang mereka kenal. 

Pendapat bahwa lafazh Ar-Rahman ini bukan asli bahasa Arab tidak jadi masalah, karena di dalam Al-Quran ada beberapa kosa-kata yang juga di-arab-kan dari bahasa lain, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jauzi (w. 597 H) dalam Funun Al-Afnan1 bahwa Ali bin Abi Thalib berkata bahwa di dalam Al-Quran ada banyak bahasa. Ibnu Abbas, Mujahid dan Ikrimah berkata bahwa di dalam Al-Quran ada bahasa selain bahasa Arab. Dan perkataan Said bin Jubair :

ما في الأرض لغة إلا أنزلها الله تعالى في القرآن

Tidaklah ada suatu bahasa di muka  bumi ini kecuali Allah SWT menurunkannya dalam Al-Quran. 

Di antara kosa kata dalam Al-Quran yang bersumber dari bahsa lain misalnya :

يَلْبَسُونَ مِنْ سُنْدُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ مُتَقَابِلِينَ

mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan (QS. Ad-Dukhan : 53)

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا

Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu´) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (QS. Al-Muzammil : 6)

Al-Imam Al-Ghazali mengatakan tidak jadi masalah apabila di dalam Al-Quran terdapat satu dua kosa kata yang bukan Arab, karena tidak akan menghilangkan identitas ke-arab-an Al-Quran. Bukankah puisi berbahasa Persia tetap disebut sastra Persia, meski di dalamnya tercantum beberapa kata asing? Maka demikian juga dengan Al-Quran. 

2. Bahasa Arab

Pendapat kedua mengatakan bahwa lafazh Ar-Rahman ini asli bahasa Arab. Ini merupakan pendapat kebanyakan ulama, termasuk dalam hal ini Al-Imam Asy-syafi'i rahimahullah, dimana mereka mengatakan bahwa semua lafazh yang ada di dalam Al-Quran 100% bahasa Arab, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf : 2)

وَهَٰذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ

Dan Al-Quran ini dalam bahasa Arab yang terang. (QS. An-Nahl : 103)

Dengan adanya pertentangan ini, maka jalan tengahnya adalah bahwa perkataan Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah dan para ulama yang lain itu tidak salah. Hanya saja secara kebetulan kosa kata yang ada di dalam Al-Quran itu ternyata juga terdapat di dalam bahasa mereka. 

yang berasal dari kata rahima (رحم) dan membentuk menjadi ar-rahmah (الرحمة). Lafazh ar-rahman merupakan bentuk shighah mubalaghah yang berarti rahmahnya sangat besar atau sangat agung (عظيم الرحمة).

 

Banyak ulama yang mengatakan bahwa nama Ar-Rahman ini hanya boleh disematkan hanya pada Allah SWT saja, dengan dasar firman Allah SWT :

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ

Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. (QS. Al-Isra' : 110)

Selain Ar-Rahman, juga ada nama Allah yang hanya boleh disematkan hanya pada Allah SWT saja, seperti Al-Khaliq, Ar-Raziq dan lainnya. Oleh karena itulah maka yang didahulukan lafadz Ar-Rahman ketimbang Ar-Rahim. Alasannya karena nilainya lebih khusus dari Ar-Rahim.

Disebutkan bahwa orang-orang Arab jahiliyah sebelum Islam sudah mengenal Allah SWT sebagai Tuhan yang menciptakan, bahkan Ka'bah di Mekkah pun dinamakan dengan sebutan rumah Allah (بيت الله). Namun mereka tidak mengenal nama Ar-Rahman. Oleh karena itulah ada ayat yang memerintahkan untuk menyebut Ar-Rahman.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمَٰنِ قَالُوا وَمَا الرَّحْمَٰنُ أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا ۩

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujudlah kamu sekalian kepada yang Maha Penyayang", mereka menjawab: "Siapakah yang Maha Penyayang itu? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?", dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman). (QS. Al-Furqan : 60)

Selain itu juga ayat yang di atas tadi menjadi bukti bahwa mereka tidak mengenal nama Ar-Rahman, sehingga diperintahkan untuk memanggil nama Ar-Rahman.

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ

Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. (QS. Al-Isra' : 110)

Dan sebagai konfirmasinya, ketika naskah Perjanjian Hudaibiyah mau disepakati, Suhail bin Amar sebagai juru runding pihak musyrikin Mekkah meminta agar lafadz bismillahrrahmanirrahim diganti dengan bismikalla-humma.

لا نعرف الرحمن ولا الرحيم

Kami tidak mengenal 'Yang Maha Rahman' dan 'Yang Maha Rahim'. (HR. Bukhari) 

[1] Ibnul Jauzi, Funun Al-Afnan fi Uyun Ulumil Quran, hal. 341

الله

Kata 'Allah' disebut juga lafzhul-jalalah (لفظ الجلالة) yang merupakan penamaan unik dimana tidak ada sesuatu pun yang boleh punya nama itu selain hanya Allah saja.

Para ahli bahasa dalam tata bahasa (grammar) Arab berbeda pendapat,  apakah lafazh Allah merupakan bentukan dari kata dasar ataukah bukan merupakan bentukan dari kata dasar tertentu.

Pendapat pertama menyebutkan bahwa lafazh Allah itu istilahnya ism jamid (جامد). Sebuah kata yang asli dan bukan merupakan bentukan dari kata dasar tertentu. Sebagaimana kata Musa, Ibrahim atau Daud. Di antara yang berpendapat demikian antara lain : As-Syaf'i, Al-Khattabi, Imam Al-Haramain, Al-Ghazali dan lainnya. Dasarnya sederhana saja.

Adanya alif dan lam pada lafadz Allah itu asli, bukan sebagaimana alif dan lam yang membuatnya menjadi ma'rifah. Sehingga ketika diawali dengan harf munadi seperti 'ya', kita melafadzkannya menjadi Ya Allah. Dimana alif dan lam tetap harus dibaca. Dan ini berbeda ketika ketika mengawali harf mundani pada kata yang alif dan lam nya merupakan tambahan seperti al-hakim, menjadi yal-hakim. 

Pendapat kedua mengatakan bahwa lafadz Allah itu musytaq. Maksudnya punya kata dasar yang membentuknya. Kata dasarnya adalah : ta'alluh (تَألُّه). Dimana fi'il madhi dan mudhari'-nya adalah aliha (ألِهَ) - ya'lahu (يَألَهُ) - ilahatan (إلَاهةً) -wa- ta'alluhan (تَألُّهاً).Hal itu sebagaimana qiraat Ibnu Abbas : wa yadzaraka wa ilahataka (ويذرك وإلاهتك). Kata Allah SWT disebut juga dengan istilah lafzhul jalalah (اللفظ الجلالة).

Dan juga merupakan al-ism al-a'zham atau nama yang paling agung. Karena ada banyak sifat yang menempel pada lafazh Allah. Di antara sifat-sifat yang menempel pada lafadz Allah adalah sifat berikut ini :

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ * هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ * هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Hasyr : 24)

Selain itu Allah SWT juga punya nama-nama yang baik (asmaul husna) sebagaimana disebutkan dalam Quran :

وَلِلَّهِ الْأَسْماءُ الْحُسْنى فَادْعُوهُ بِها

Dan Allah memiliki nama-nama yang baik, maka serulah dengan menggunakan nama-nama yang baik itu.

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْماءُ الْحُسْنى.

Katakanlah serulah Allah atau serulah Yang Maha Rahman. Dengan apa pun kamu menyeru, Dia memiliki nama-nama yang baik. (QS. Al-A'raf : 80)

إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

Allah punya 99 nama, siapa yang menghitungnya dia masuk surga.(HR. Bukhari Muslim)

Sebagian ulama menyebutkan bahwa angka 99 itu bukan batasan, melainkan bermakna sebagian. Sebab ada juga yang menyebutkan bahwa nama-nama Allah SWT itu mencapai 5.000 jumlahnya. Rinciannya, 1.000 di antaranya terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Lalu 1.000 yang kedua terdapat di dalam kitab Taurat. Dan 1.000 yang ketiga terdapat dalam kitab Injil. Dan 1.000 yang keempat terdapat di dalam kitab Zabur. Dan 1.000 yang terakhir terdapat di dalam Lauhil Mahfuzh.[1]

Para ulama terpecah dua dalam masalah apakah nama-nama milik Allah itu sifatnya tauqifi atau kah istilahi. Mereka yang berpendapat tauqifi meyakini bahwa untuk memberi nama kepada Allah harus lewat wahyu, baik berupa ayat-ayat Al-Quran ataupun hadits-hadits nabi. Dan tidak dibenarkan dari hasil karangan kita sendiri. Pendapat kedua mengatakan bahwa nama-nama Allah boleh menggunakan apa saja, asalkan layak dan sesuai bagi Allah SWT.

[1] Ibu Katsir, 1/123, Al-Qurtubi

الرحيم

Ar-Rahim merupakan bentuk shighah mubalaghah juga dari rahmah, dan artinya adalah selalu memberi rahmah (دائم الرحمة). Dan kalau dikaitkan dengan ayat sebelumnya yaitu lafadz rabbul ’alamin menjadi tarhib.

Sebagian ulama menyebutkan bahwa kata ar-rahman lebih tinggi shighah mubalaghahnya dari kata ar-rahim. Abu Ali al-Faris menyebutkan bahwa ar-rahman merupakan lafazh umum untuk semua bentuk rahmah kepada siapa saja, sedangkan ar-rahim adalah bentuk rahmah khusus untuk buat orang mukmin. Dasarnya adalah firman Allah SWT :

وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

Aku itu rahim kepada orang-orang mukmin (QS. Al-Ahzab: 43)

Ibnu al-Anbar dan Az-Zajjah menyebutkan bahwa kata rahman merupakan bahasa Ibrani, sedang kata rahim merupakan bahasa Arab.

Dalam terjemahan Kementerian Agama RI, ar-rahman diterjemahkan menjadi Maha Pengasih, sedangkan ar-rahim diterjemahkan menjadi Maha Penyayang. Ini barangkali dikaitkan dengan kekhususan ar-rahim hanya kepada orang mukmin, dimana Allah bukan hanya memberi tapi juga menyayangi. Sedangkan ar-rahman yang sifatnya lebih umum, menunjukkan bahwa meski orang kafir, namun tetap saja Allah memberi juga, meski tidak diiringi rasa sayang.

REFERENSI KITAB TAFSIR
TAHUN 300
Ath-Thabari (w. 310 H), Jami' Al-Bayan fi Ta’wil Ayil-Quran, (Beirut, Muassasatu Ar-Risalah, Cet. 1, 1420 H - 2000M)
Ibnu Abi Hatim Ar-Razi (w. 327 H), Tafsir Al-Quran Al-Azhim, (Saudi Arabia, Maktabah Nizar Mustafa Al-Baz, Cet. 3, 1419 H)
TAHUN 400
At-Tsa’labi (w. 427 H), Al-Kasyfu wa Al-Bayan ‘an Tafsir Al-Quran, (Jeddah, Darut-Tafsir, Cet-1, 1426 H – 2015 M)
Makki bin Abi Thalib (w. 437 H), Al-Hidayah Ila Bulugh An-Nihayah, (Asy-Syariqah, Majmuah Buhuts Al-Kitab wa As-Sunnah, Cet. 1 1429 H - 2008 M)
Al-Mawardi (w. 450 H), An-Nukat wa Al-‘Uyun, (Beirut, Darul-kutub Al-Ilmiyah, Cet. 1)
Al-Wahidi (w. 468 H), Tafsir Al-Basith, (Riyadh, Jamiah Al-Imam Muhammad bin Suud Al-Islamiyah, Cet. 1, 1430 H))
As-Sam’ani, Abu Muzhaffar (w. 498 H), Tafsir Al-Quran, (Riyadh – Darul Wathan, Cet. 1, 1418 H - 1997 M)
TAHUN 500
Al-Baghawi (w. 516 H), Ma’alim At-Tanzil fi Tafsir Al-Quran, (Beirut, Daru Ihya’ At-Turats, Cet. 1, 1420 H)
An-Nasafi (w. 537 H), At-Taysir fi At-Tafsir (Istambul, Daru Al-Lubab li Ad-Dirasat wa Tahqiq At-Turats, Cet. 1, 1440 H-2019)
Az-Zamakhsyari (w. 538 H), Al-Kasysyaf `an Ghawamidhi Haqaiqi At-Tanzil, (Beirut, Darul-kutub Al-Arabi, Cet. 3, 1407 H)
Ibnu 'Athiyah (w. 546 H), Al-Muharrar Al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab Al-Aziz, (Beirut, Darul-kutub Al-Ilmiyah, Cet-1, 1422 H)
Ibnul Jauzi (w. 597 H), Zadul Masir fi Ilmi At-Tafsir, (Beirut, Darul-Kutub Al-Arabi, Cet. 1 thn. 1422 H)
TAHUN 600
Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), Matafih Al-Ghaib, (Beirut, Daru Ihya’ At-Turats Al-Arabi, Cet. 3, 1420 H)
Al-Baidhawi (w. 675 H), Anwar At-Tanzil wa Asraru At-Ta’wil, (Beirut, Daru Ihya’ At-Turats, Cet.1, 1418 H)
Al-Qurtubi (w. 671 H), Al-Jami' li Ahkam Al-Quran, (Cairo - Darul-Qutub Al-Mishriyah –Cet. III, 1384 H- 1964 M)
TAHUN 700
Ibnu Juzai (w. 741 H), At-Tashil fi 'Uluum At-Tanzil, (Beirut, Darul-Kutub Al-Ilmiyah, Cet-1, 1415 H)
Ibnu Hayyan Al-Andalusi (w. 745 H), Al-Bahru Al-Muhith fi At-Tafsir, (Beirut, Darul-Fikr, Cet1, 1420 H)
Ibnu Katsir (w. 774 H), Tafsir Al-Quran Al-Azhim, (Cairo, Dar Thaibah lin-Nasyr wa at-Tauzi’, Cet. 2, 1420 H – 1999 M)
TAHUN 800
Al-Biqa’i (w. 885 H), Nuzhum Ad-Durar fi Tanasubi Al-Ayah wa As-Suwar, (Cairo, Darul-kutub Al-Islamiyah, Cet. 1)
TAHUN 900
As-Suyuthi (w. 911 H), Ad-Durr Al-Mantsur, (Beirut, Darul-Fikr, Cet. 1)
TAHUN 1.200
Asy-Syaukani (w. 1250 H), Fathul Qadir, (Beirut, Darul Kalim ath-Thayyib, Cet. 1, 1414 H)
Al-Alusi (w. 1270 H), Ruh Al-Ma'ani, (Beirut, Darul-kutub Al-Ilmiyah, Cet. 1, 1415 H)
TAHUN 1.300
Jamaluddin Al-Qasimi (w. 1332 H), Mahasin At-Ta'wil, (Beirut, Darul-Kutub Al-Ilmiyah, Cet. 1 – 1418 H)
Rasyid Ridha (w. 1354 H), Tafsir Al-Manar, (Cairo, Al-Hai'ah Al-Mashriyah Al-'Ammah lil-Kutub. Cet. 1 - 1990 M)
Al-Maraghi (w. 1371 H), Tafsir Al-Maraghi, (Cairo, Maktabah Musthafa Al-Baji Al-Halabi, Cet. 1, 1365 H-1946 H)
Ibnu Asyur (w. 1393 H), At-Tahrir wa At-Tanwir, (Tunis, Darut-Tunisiyah li An-Nasyr, Cet-1, 1984)
TAHUN 1.400
HAMKA (w. 1410 H-1981M), Tafsir Al-Azhar, (Jakarta, Gema Insani, Cet. 5, 1441 H - 2020 M)
Asy-Sya`rawi (w. 1419 H), Tafsir Al-Khawathir, (Cairo, Mathabi` Akbarul Yaum, Cet 1, 1997)
Wahbah Az-Zuhaili (w. 1436 H), Tafsir Al-Munir,(Damaskus, Darul-fikr, Cet. Ke-10, 1430 H-2009H)
Kementerian Agama RI, Al-Qur'an Dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), (Jakarta, Kementerian Agama RI, 2012)
Prof. Dr. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : pesan, kesan dan keserasian Al-Quran, (Tangerang, PT. Lentera Hati, 2017)