[1]) Yaumid-d?n (hari Pembalasan) adalah hari ketika kelak manusia menerima balasan atas amal-amalnya yang baik dan yang buruk. Hari itu disebut juga yaumul-qiy?mah (hari Kiamat), yaumul-?is?b (hari Penghitungan), dan sebagainya
Lafadz ‘malik’ punya dua qiraat, yaitu dibaca maalik (مالك) dengan memanjangkan mim menurut qiraat ‘Ashim dan Kisa’i, dan di kalangan shahabat merupakan qiraat Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Ubay. Dengan dibaca panjang pada huruf mim, maknanya adalah pemilik. Maksudnya Allah SWT adalah pemilik hari kiamat.
Bacaan kedua adalah malik (ملك) dimana huruf mim dibaca pendek. Yang membaca dengan qiraaat seperti ini adalah sisanya dari imam yang tujuh, yaitu Abu Amr, Ibnu Katsir, Nafi’, Ibnu ‘Amir, dan Hamzah. Dengan dibaca malik tanpa memanjangkan huruf mim, maknanya bukan pemilik tetapi raja. Sehingga maknanya Allah SWT adalah raja hari kiamat.
Dalil Syatibiyyah dalam bab Ummul Qur’an:
وَمَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (رَ)اوِيهِ (نَـ)ـاَصِرٌ
Di dalam mushaf dengan menggunakan rasm ‘utsmani, meski huruf mim dibaca panjang namun tulisannya tidak diimbuhkan huruf ‘alif’. Hal ini untuk menampung adanya qiraat lain yang tidak memanjangkannya. Dan untuk itu, biar mereka yang memanjangkannya tidak keliru, dibuatkan tanda baca berupa huruf alif kecil di atas huruf mim.
Namun masing-masing punya jalur riwayat yang sama-sama kuat, sebagaimana dituturkan oleh Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir :[1]
Ahamd dan At-Tirmizy meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Nabi SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman membaca maalik dengan alif.
Mana Lebih Utama : Pemilik atau Raja?
Para ulama berbeda pendapat manakah dari dua kata itu yang lebih tinggi? Ada dua pendapat yang berkembang dan saling berlawanan.
Pendapat pertama mengatakan lebih tinggi maalik (مالك) dalam arti pemilik. Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib menyebutkan ada 6 sebab, yaitu :
Karena pahala membacanya jadi lebih banyak dengan bertambahnya huruf alif.
Di hari kiamat dimungkinkan ada banyak raja, namun yang jadi pemilik tetap satu yaitu Allah SWT
Pemilik lebih unggul karena memiliki hak mutlak untuk menggunakan sesuatu yang menjadi miliknya.
Pemilik itu memiliki budak secara mutlak, sedangkan raja hanya sekedar punya kekuasaan yang umum di depan rakyat dan bukan pemilik rakyat.
Raja bisa kehilangan kekuasaannya dengan digulingkan, sedangkan pemilik budak tetap jadi pemilik atas budaknya secara mutlak.
Raja yang berkuasa dibandingkan pemilik budak raja itu justru lebih kuat pemilik budak. Raja itu diwajiban oleh agama untuk melayani rakyatnya, padahal rakyatnya tidak berkewajiban melayani raja. Sedangkan budak itu itu multak diwajibkan melayani tuannya.
Pendapat ini juga merupakan pendapat Ibnul Arabi dan Abu Hatim. Mereka mengatakan bahwa untuk memuji Allah SWT maka yang lebih tepat dengan menyebut-Nya sebagai pemilik (مالك). Sedangkan untuk memuji manusia, memang yang lebih tepat menyebutnya sebagai raja (ملك).
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang lebih tepat dibaca dengan malik (ملك) yang berarti raja. Ar-Razi menyebutkan tiga alasan mereka yang berpendapat seperti ini :
Pertama, bahwa kalau sekedar jadi pemilik, maka siapa pun bisa jadi pemilik. Sedangkan untuk menjadi raja, hanya ada satu orang saya yang bisa dijadikan raja. Maka Allah SWT itu tidak ada sekutu bagi-Nya, lebih layak disebut sebagai raja satu-satunya.
Kedua, karena di dalam surat terakhir yaitu surat An-Nas disebutkan lafazh malikin-nas (ملك الناس) yang berarti raja manusia, tanpa ada perbedaan qiraat. Maka maliki yaumid-din (ملك يوم الدين) di dalam surat Al-Fatihah lebih layak untuk dibaca dengan makna raja.
Ketiga, malik lebih utama dibaca pendek karena lebih memudahkan ketimbang dibaca panjang.
Lafazh yaum (يوم) bermakna secara bahasa bermakna hari, yaitu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Dalam penggunaannya dalam ayat ini disepakati bukan hari dalam hari 24 jam, melainkan menunjukkan rentang masa dan keadaan zaman.
Sedangkan makna asli ad-din (الدين) adalah jaza’ atau balasan dan imbalan. Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud ketika menafsirkan Surat An-Nur ayat 25 yaitu (يومئذ يوفهم الله دينهم الحق) menegaskan bahwa din yang dimaksud dalam ayat ini adalah hisab atau perhitungan. Dan makna yang sama juga terdapat pada Surat Ash-Shaffat ayat 53 (أإنا لمدينون) yang bermakna pastilah kami akan dibalas atau dihisab.[1]
Maka lafadz maliki yaumiddin (ملك يوم الدين) di dalam terjemahan Kementerian Agama RI menjadi Pemilik hari pembalasan, yaitu hari ketika kelak manusia menerima pembalasan terhadap amal-amal yang baik-baik dan yang buruk.[2]