◀ | Jilid : 1 Juz : 1 | Al-Fatihah : 6 | ▶ |
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Kemenag RI 2019 :Bimbinglah kami ke jalan yang lurus,[1])
[1]) Jalan yang lurus adalah jalan hidup yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadis
Bimbing (antar)lah kami (memasuki) jalan lebar dan luas.
Tunjukilah kami jalan yang lurus.
Kata ihdina (اهدنا) merupakan fi'il amr yang bermakna thalab atau permintaan, atatau lebih tepatnya merupakan doa. Dalam hal ini kita dicontohkan oleh Allah SWT untuk selalu berdoa dalam arti kata meminta kepada-Nya untuk diberi petunjuk.
Doa minta petunjuk ini termuat dalam surat Al-Fatihah, sehingga doa ini akan selalu terulang-ulang dalam setiap gerak-gerik kehidupan kita. Karena tidak sah shalat kita bila tidak membaca surat Al-Fatihah di tiap rakaatnya, sementara dalam sehari semalam kita shalat 5 kali dengan jumlah rakaat sebanyak 17 kali. Maka otomatis kita berdoa kepada Allah SWT untuk meminta petunjuk setidaknya 17 kali dalam sehari.
Lalu petunjuk apa yang kita minta kepada Allah SWT?
Jawabannya sudah termuat di dalam ayat ke-enam ini, yaitu berupa ash-shirath al-mustaqim.
Dalam hal ini Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar sebagaimana dikutip oleh muridnya Rasyid Ridha menyebutkan bahwa Allah SWT memberikan 4 macam hidayah kepada manusia, yaitu ; [1]
1. Hidayah Fitrah
Atau disebutkan dengan istilah Hidayatu wujdan at-thabi'i wa al-Ilham al-Fithri (هداية الطبيعي و الإلهام الطعيبي).
2. Hidayah Panca Indra
Atau disebut juga hidayatu al-hawas wa al-masya'ir (هداية الحواس والمشاعر)
3. Hiadayah Akal
4. Hidayah Agama
Maka yang dimaksud hidayah dalam ayat ini adalah hidayah agama.
[1] Al-Manar : 1/53
Lafazh shirath (الصراط) secara bahasa bermakna jalan yang lebar, namun makna aslinya adalah menelan. Hubungannya bahwa saking lebarnya jalan itu sehingga seolah menelan orang yang melewatinya.
Kata shirath ditemukan dalam al-Quran sebanyak 45 kali. Kesemuanya dalam bentuk tunggal, 32 kali di antaranya dirangkaikan dengan kata mustaqim, selebihnya dirangkaikan dengan berbagai.
Selanjutnya, bila shirath dinisbahkan kepada sesuatu, penisbahannya adalah kepadaAllah SWT seperti katashirathaka (jalan-Mu), atau shirathi (jalan-Ku), atau shirath al-aziz al-hamid (jalan Allah Yang Mahamulia lagi Maha terpuji), dan kepada orang-orang mukmin, yang mendapat anugerah nikmat Ilahi seperti dalam ayat al-Fatihah ini shiratha allazina an 'amta 'alaihim.
Lafazh shirath (صراط) ini berbeda dengan kata yang mirip yaitu sabil (سبيل) yang juga sering kali diterjemahkan dengan jalan. Kata sabil ada yang berbentuk jamak, seperti subul as-salam (jalan-jalan kedamaian), ada pula yang tunggal yang dinisbahkan kepada Allah, seperti sabilillah, atau kepada orang bertakwa, seperti sabil al-muttaqin. Ada juga yang dinisbahkan kepada setan dan tirani seperti sabil ath-thdghut atau orang-orang berdosa seperti sabil al-mujrimin.
1. Makna Ash-Shirat Al-Mustaqim
Cukup banyak tafsiran para ulama ahli tafsir terhadap makna kata ash-shirath ini. Dalam tafsir Jami' Al-Bayan, Ibnu Jarir Ath-Thabari banyak mengutipkan pendapat mereka satu per satu. Di antaranya adalah jalan lurus, Al-Quran Al-Kariem, agama Islam, Nabi Muhammad SAW dan lainnya.
a. Jalan Yang Lurus
Ibnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan bahwa para ahli ilmu telah bersepakat bahwa secara umum makna shirat adalah :
الطَّرِيقُ الْوَاضِحُ الَّذِي لَا اعْوِجَاجَ فِيهِ
Jalan yang jelas yang tidak ada kelokannya
Lalu kemudian Ibnu Jarih menambahinya menjadi : [1]
وَفّقنا للثبات على ما ارتضيتَه ووَفّقتَ له مَنْ أنعمتَ عليه من عبادِك، من قولٍ وعملٍ، وذلك هو الصِّراط المستقيم
Teguhkan kami agar tetap berada pada apa yang Engkau ridahi sebagaimana orang-orang yang Engkau berikan nikmat-Mu di kalangan hamba-hamba-Mu, baik berupa perkataan atau perbuatan. Itulah ash-shirath al-mustaqim.
b. Al-Quran Al-Karim
Namun Ibnu Jarir Ath-Thabari juga tidak menampik adanya banyak penafsiran yang lain. Salah satunya bahwa ash-shirat al-mustaqim adalah Al-Quran Al-Karim, sebagaimana disebutkan beberapa riwayat yang berbeda-beda dalam tafsirnya, namun semuanya berujung kepada perkataan Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhuma.[2]
c. Agama Islam
Selanjutnya juga ada riwayat dari Jabir bin Abdillah dan Muhammad bin Al-Hanafiyah yang menafsirkan bahwa ash-shirath al-mustaqim adalah Agama Islam. [2]
d. Rasulullah SAW
Tafsiran lain atas ash-shirath al-mustaqim adalah diri Rasulullah SAW sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Hasan Al-Bashri dan Ashim dari Abul Aliyah. [3]
2. Qiraat
Ada tiga macam qiraat pada lafazh shirat, yaitu shad (ص), sin (س) dan zha (ظ). Namun ketiganya tidak mengubah arti.
a. Shirath (صراط)
Bacaan ini adalah bacaan jumhur ulama qiraat. Dan bacaan inilah yang selama ini kita kenal dan kita baca pada setiap harinya.
b. Sirath (سراط)
c. zhirath (ظراط)
[1] At-Thabari, Jami' Al-Bayan, 1/171
[2] At-Thabari, Jami' Al-Bayan, 1/172
[3] At-Thabari, Jami' Al-Bayan, 1/175
[4] At-Thabari, Jami' Al-Bayan, 1/173
◀ | Al-Fatihah : 6 | ▶ |