Jilid : 2 Juz : 1 | Al-Baqarah : 113
Al-Baqarah 2 : 113
Mushaf Madinah | hal. 18 | Mushaf Kemenag RI

وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَىٰ عَلَىٰ شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَىٰ لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَىٰ شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ ۗ كَذَٰلِكَ قَالَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ ۚ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

Kemenag RI 2019 : Orang Yahudi berkata, “Orang Nasrani itu tidak menganut sesuatu (agama yang benar)” dan orang-orang Nasrani (juga) berkata, “Orang-orang Yahudi tidak menganut sesuatu (agama yang benar),” padahal mereka membaca Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak berilmu (musyrik Arab) berkata seperti ucapan mereka itu. Allah akan memberi putusan di antara mereka pada hari Kiamat tentang apa (agama) yang mereka perselisihkan.
Prof. Quraish Shihab : Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani tidak mempunyai suatu (pegangan),” dan orang-orang Nasrani berkata: “Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu (pegangan),” padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab. Demikian (pula) orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka. Maka, Allah akan memberi putusan di antara mereka pada Hari Kiamat terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu.
Prof. HAMKA : Dan berkata orang Yahudi, "Tidak ada orang-orang Nasrani itu atas sesuatu." Dan berkata orang-orang Nasrani, "Tidak ada Yahudi itu atas sesuatu." Padahal mereka membaca Kitab. Begitu jugalah orang-orang yang tidak berpengalaman, berkata seumpama kata mereka itu. Maka Allah akan memutuskan di antara mereka di Hari Kiamat pada barang yang telah mereka perselisihkan itu.

Ayat ke-113 ini masih sangat erat terkait dengan ayat-ayat sebelumnya, khususnya ayat ke-111 yang menceritakan bagaimana Yahudi  dan Nasrani mengklaim bahwa hanya mereka saja yang masuk surga. Memang sekilas terkesan keduanya kompak sama-sama masuk surga. 

Namun ayat ini menjelaskan bahwa klaim itu mereka ternyata saling bertentangan. Ketika yahudi mengklaim bahwa yang masuk surga hanya mereka saja, itu berarti orang Nasrani pun teramsuk yang tidak masuk surga. Begitu juga ketika Nasrani mengklaim bahwa hanya mereka saja yang masuk surga, maksudnya Yahudi pun termasuk yang tidak masuk surga. Semua semakin jelas ketika kita membaca ayat ini.

Lafahz yahudu (الْيَهُودُ) secara umum maknanya adalah orang-orang yahudi secara umum dimana saja dan kapan saja. N

Namun menurut sebagian kalangan, kasus ini terkait dengan apa yang terjadi di masa kenabian Muhammad SAW. Sehingga yang dimaksud dengan yahudi disini adalah yahudi yang hidup di Madinah bersama Nabi SAW, bukan seluruh kaum yahudi. Sebagaimana kita ketahui bahwa Madinah memang banyak dihuni oleh komunitas yahudi, yang bahkan mereka lebih dulu tinggal di Madinah ketimbang Nabi Muhammad SAW. 

Sebagian lagi mengatakan bahwa tidak semua yahudi di Madinah yang mengatakan hal itu, namun hanya segelintir saja, khususnya tokoh rahib mereka yang bernama Rafi’ bin Huraimalah. Kejadiannya waktu itu ketika pembesar Yahudi itu bertemu dengan tokoh nasrani dari Najran di depan Nabi SAW. 

Lafazh an-nashara (النَّصَارَىٰ) maksudnya adalah pemeluk agama nasrani. Namun kata sebagian ulama bahwa yang dimaksud saat itu adalah orang-orang Kristen dari Najran, yang waktu itu sedang datang ke Madinah menemui Nabi SAW. Pertemuan itu kemudian jadi perdebatan karena tokoh yahud Madinah sekaligus rahibnya yaitu Rafi; bin Huraimalah ikut datang menemui kelompok Nasrani dari Najran.

Disitulah kemudian Rafi langsung menuduh bahwa orang-orang nasrani itu sebagai : (لَيْسَتِ النَّصَارَىٰ عَلَىٰ شَيْء), secara terjemah kata per kata artinya : “tidak di atas sesuatu”. Dalam hal ini Al-Qurtubi menjelaskan bahwa ungkapan “tidak di atas  sesuatu” merupakan ungkapan yang bersifat melecehkan dengan nada mubalaghah atau gaya bahaya yang berlebihan, karena secara makna seperti ungkapan : “lebih rendah dari tidak di atas sesuatu”. 

Sebagain ulama lain menjelaskan maknanya adalah : (لَيْسَ عَلَى أَمْرٍ يُعْتَدُّ بِهِ) yaitu  : “tidak ada urusan yang bisa dianggap serius”. Makna dari ungkapan ini adalah bahwa ada suatu hal atau masalah yang dianggap tidak penting atau tidak layak untuk diberi perhatian serius atau dianggap remeh. Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa urusan atau masalah tersebut dianggap sepele dan tidak pantas untuk memperhatikannya atau memberikannya perhatian yang serius.. 

Kalau kita tengok terjemahan Kemenag RI, disana dituliskan : tidak menganut sesuatu (agama yang benar)”. Sedangkan Prof, Quraish Shihab menuliskan terjemahannya : “tidak mempunyai sesuatu (pegangan)”. Dan Buya HAMKA menerjemahkan lebih harfiyah :”tidak di atas sesuatu”. 

Lafazh nashara (النَّصَارَىٰ) maksudnya adalah orang-orang nasrani secara umum. Namun kalau dikaitkan dengan kisah latar belakang kejadiannya di masa kenabian, yang dimaksud adalah kaum nasrani penduduk Najran. Penduduk Najran adalah sebuah komunitas di wilayah Najran, yang terletak di wilayah selatan Arab Saudi saat ini. Jarak antara Mekkah dan Najran pada masa kenabian Muhammad adalah sekitar 900 kilometer. Perjalanan dari Mekkah ke Najran pada waktu itu bisa memakan waktu yang cukup lama dan melewati wilayah gurun pasir yang sulit dilalui.

Pada bulan Rajab tahun ke-9 hijriyah, sekelompok pemeluk Nasrani dari Najran melakukan perjalanan ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Mereka datang dengan maksud untuk berdiskusi tentang agama dan memperoleh pemahaman lebih lanjut tentang Islam. Pemimpin delegasi Nasrani itu adalah Uskup Abdul Harits bin Alqamah.

Setelah tiba di Madinah, delegasi Najran diterima oleh Nabi Muhammad SAW dengan hangat dan hormat. Mereka diperkenankan untuk tinggal di Masjid Nabawi selama mereka berada di Madinah. Selama beberapa hari, delegasi tersebut terlibat dalam diskusi dan perdebatan dengan Nabi Muhammad SAW tentang agama dan keyakinan mereka.

Setelah beberapa hari diskusi, delegasi Nasrani dari Najran akhirnya menyadari kebenaran Islam dan memutuskan untuk menerima Islam. Mereka mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul yang diutus oleh Allah. Delegasi tersebut kemudian mengumumkan keislaman mereka di hadapan Nabi Muhammad SAW.

Setelah itu, Nabi Muhammad SAW menjalin perjanjian damai dengan delegasi Najran, yang dikenal sebagai Perjanjian Najran. Perjanjian tersebut melindungi hak-hak dan kebebasan beragama delegasi Nasrani, dan memastikan kerjasama dan perdamaian antara umat Islam dan umat Nasrani dari Najran.

Karena sudah dituduh dan dihina terlebih dahulu oleh yahudi sebagai  “tidak menganut sesuatu (agama yang benar)”, atau “tidak mempunyai sesuatu (pegangan)” atau ”tidak di atas sesuatu”, maka orang-orang nasrani Najran pun membalas dengan ungkapan yang kurang lebih sama. Maka mereka pun berkata bahwa orang-orang yahudi itu sebagai : (لَيْسَتِ اليَهُوْدُ عَلَىٰ شَيْء). Bahwa orang-orang yahudi lah yang “tidak menganut sesuatu (agama yang benar)”, atau “tidak mempunyai sesuatu (pegangan)” atau ”tidak di atas sesuatu”,

Perdebatan antara kedua belah pihak pun semakin memuncak, lalu masing-masing meninggikan suara hingga berteriak. Intinya, kelompok Yahudi secara tegas tidak mengakui Injil sebagai kitab suci sekaligus juga  menolak bahwa Isa alahissalam adalah seorang nabi utusan Allah.  Sebaliknya, kelompok nashara juga mengingkari kenabian Musa alaihissalam dan tidak menerima Taurat sebagai kitab suci yang turun dari langit.

Huruf waw (و) biasanya bermakna : “dan” kalau fungsinya sebagai washal atau penyambung. Namun banyak ulama mengatakannya huruf wau di ayat ini sebagai wawu lil-hal yang maksudnya menunjukkan keadaan, sehingga lebih tepat dimaknai : “sedangkan” atau “padahal”.

Lafazh yatluna (يَتْلُونَ) adalah fi’il mudhari, berasal dari (تَلَا - يَتْلُو - تِلاَوَة) secara bahasa bermakna membaca. Di negeri kita ada lomba membaca Al-Quran yang dikenal dengan sebutan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Namun selain istilah tilawah (تِلَاوَة), di dalam Al-Quran kita juga mengenal ada istilah qiraah (قِرَاءَة) yang asalnya dari (قَرَأَ - يَقْرَأُ - قِرَاءَة). Tentu pastinya ada kesamaan  di antara keduanya, namun apakah keduanya memang sinonim yang identik ataukah ada perbedaan antara keduanya?

Sebagian kalangan ada yang mengatakan bahwa qiraat itu lebih tepat untuk digunakan untuk membaca atau mengucapkan sesuatu yang pendek, sedangkan tilawah biasanya digunakan untuk membaca sesuatu yang lebih panjang. Maka dalam penggunaannya ketika seseorang menyebutkan nama dirinya, lebih tepat menggunakan qara'a ismahu ( قَرَأ اسْمَهُ) dan bukan talaa ismahu (تَلَا اسْمَهُ). Karena nama seseorang hanya satu, dua atau tiga kata. Nama seseorang pastinya bukan berupa kalimat apalagi paragraf. Sedangkan talaa itu lebih tepat digunakan untuk membacakan satu ayat atau beberapa ayat, bahkan hingga 30 juz Al-Quran.

Selain itu sebagian ulama ada yang mengatakan makna talaa-yatluu  adalah ittiba' atau mengikuti, sehingga yatlunal kitab (يَتْلُون الكِتاَب) berarti mengikuti kitab. Ar-Raghib Al-Ashfahani mengatakan bahwa tilawah hanya khusus terjadi pada pembacaan kitab-kitab Allah dengan menyertakan perbuatan lainnya baik dengan bacaan ataupun penjabaran karena didalamnya terkandung perintah, larangan, janji ataupun ancaman atau hal-hal yang diduga mengarah pada kandungan arti-arti tersebut.

Dengan demikian maka tilawah memiliki arti lebih khusus ketimbang qiraah, karena qiraah artinya sekedar baca sedang tilaawah artinya baca namun harus disertai dengan perbuatan lainnya. Maka setiap qiraah berarti tilaawah dan tidak sebaliknya.

Lafazh al-kitab (الكِتَاب) maksudnya adalah kitab suci samawi yang merupakan firman Allah dengan segala syariat dan ketentuan hukumnya. Dalam hal ini maksudnya adalah kitab Taurat yang turun kepada Nabi Musa alaihissalam dan kaum yahudi, serta kitab Injil yang turun kepada Nabi Isa alaihissalam dan kaum nasrani.

Maka pengertiannya secara keseluruhan bahwa Allah SWT menceritakan bahwa masing-masing Yahudi dan Nasrani saling mengkafirkan satu sama lain. Yahudi menyatakan beriman kepada Nabi Isa dan Injil yang turun kepadanya, padahal mereka seharusnya tahu bahwa Nabi Isa itu akan datang dengan membawa Injil, sebab hal itu sudah tertuang di dalam Taurat mereka. Tidak masuk akal kalau mereka sampai menolak beriman kepada Isa.

Sebaliknya kaum Nasrani juga tidak mau mengimani Taurat dan Nabi Musa. Padahal mereka seharusnya tahu bahwa kenabian Musa dan Tauratna itu tertulis di dalam Injil yang mereka yakini kebenarannya.

Maka saling menuduh kafir dan saling ingkar antara Yahudi dan Nasrani itu pada dasarnya juga mereka ingkar kepada kitab suci masing-masing. Sebab kebenaran nabi dan kita suci keduanya benar-benar terdapat dalam kitab suci masing-masing.

Lafazh kadzalika (كَذَٰلِكَ) bermakna : “begitu juga”, sedangkan qaala (قَالَ) merupakan fi’il madhi dari (قَالَ يَقُولُ  قوْلاً) yang artinya : “berkata”, tetapi maksudnya adalah berpandangan, berpendapat atau mempunyai opini. 

Sedangkan ungkapan alladzina laa ya’lamun (الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ) secara bahasa artinya : “orang-orang yang tidak mengetahui”, namun kita menemukan para ulama berbeda ketika menerjemahkannya. Kemenag RI menerjemahkannya menjadi : “orang yang tidak berilmu” dan kemudian di dalam kurung dituliskan maksudnya adalah musyrikin arab. Sementara itu Quraish Shihab menerjemahkannya menjadi : “orang yang tidak mengetahui”. Dan Buya HAMKA menerjemahkannya menjadi : “orang yang tidak berpengalaman”.

Di dalam kitab-kitab tafsir klasik, kita juga menemukan perbedaan pendapat para mufassir.

  • ‘Atha’ ketika ditanya tentang siapa yang dimaksud, Beliau menjawab mereka adalah umat-umat terdahulu sebelum era yahudi dan Nasrani atau sebelum era Taurat dan Injil. Misalnya kaum Nabi Nuh, kaum Nabi Luth, kaum Nabi Shalih, kaum Nabi Syu’aib dan lainnya.
  • As-Suddi dan Muqatil mengatakan maksudnya mereka itu adalah kalangan musyrikin Arab yang tidak turun kepada mereka kitab suci. Sebagian mereka mengatakan maksudnya tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW itu sendiri.
  • Mujahid mengatakan maksudnya mereka itu adalah orang-orang nasrani yang awam.
  • Ar-Rabi’ bin Anas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yahudi yang hidup sebelum masa nasrani.

Lafazh yahkumu (يَحْكُمُ) secara bahasa artinya memberikan keputusan, menghukumi, atau menjadi hakim alias penengah. Namun Al-Fakhrurrazi dalam Mafatih Al-Ghaib menyebutkan setidaknya ada empat pendapat yang berbeda dalam hal ini :

  • Pertama, Allah SWT menyalahkan kedua agama itu dan semuanya dimasukkan ke neraka. Ini adalah pendapat Al-Hasan.
  • Kedua, Allah SWT memberikan hukuman kepada yang berlaku zhalim yaitu yang mendustakan atas yang dizhalimi yaitu pihak yang didustakan.
  • Ketiga, Allah SWT memperlihatkan bagaimana salah satu pihak ada yang masuk surga dan yang lainnya masuk neraka. Ini adalah pendapat Az-Zajjaj.
  • Keempat, Allah SWT memberi keputusan final siapa yang benar dan siapa yang salah.

Sedangkan lafazh bainahum (َيْنَهُمْ) artinya di tengah mereka, maksudnya yang saling berselisih yaitu Yahudi dan Nasrani, atau antara semua agama.

Sebenarnya keempat pendapat ini tidak saling bertentangan, hanya saja masing-masing menceritakan dari sudut pandang yang berbeda.

Namun kalau mau makna yang terus terang apa adanya, apa yang dikatakan oleh Al-Hasan itulah yang jadi kesimpulan akhirnya, yaitu baik yahudi atau pun nasrani akan divonis masuk neraka dua-duanya.

Lafazh yaum (يَوْمَ) secara bahasa artinya hari, namun yang dimaksud bukan hari dalam arti sejak terbit matahari hingga terbenamnya dalam arti 12 jam, juga bukan dari terbit hingga terbit lagi dalam arti 24 jam. Namun hari yang dimaksud tidak lain ada sebuah rentang waktu yang panjang, yang menjadi akhir dari kehidupan di dunia ini.

Sedangkan lafazh qiyamah (الْقِيَامَةِ) artinya hari kebangkitan, yaitu setelah Allah SWT mencabut nyawa semua yang hidup, lalu Allah SWT kembali membangkitkan menjadi hidup. Pada saat itulah nanti Allah SWT akan menggelar pengadilan akhirat.

Adapun lafazh (فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ) maksudnya adalah dalam perkara yang mereka perselisihkan. Setidaknya ada dua hal penting yang mereka perselihkan.

  • Pertama, Yahudi dan Nasrani saling tuduh kafir antara sesama mereka. Yahudi menuduh nasrani kafir, lalu sebaliknya nasrani juga menuduh yahudi kafir. Urusan tuduh menuduh ini nantinya akan sama-sama diadili di hari kiamat.
  • Kedua, Yahudi mengingkari kenabian Isa alaihissalam dan juga menolak untuk beriman kepada kitab Injil. Artinya Yahudi telah mengingkari salah satu kitab suci samawi yang Allah SWT turunkan. Keingkaran itulah yang membuat iman orang yahudi rontok dan tidak berhak masuk surga. Sebaliknya, hal yang kurang lebih sama juga dilakukan oleh orang-orang nasrani kepada orang yahudi. Mereka secara tegas   mengingkari kenabian Musa alaihisalam, sekaligus mereka juga menolak untuk beriman kepada kitab suci Taurat. Dan keingkaran mereka terhadap kitab suci Taurat itulah yang nantinya di hari kiamat membuat orang nasrani juga masuk neraka.

Kalau keduanya masuk neraka gara-gara tidak saling mengimani Taurat dan Injil, serta tidak saling mengimani Nabi Musa dan Isa, lantas bagaimana dengan kita sebagai umat Nabi Muhamamd SAW? Apakah kita harus beriman kepada Musa dan Isa serta beriman pula kepada Taurat dan Injil?

Jawabannya 100% iya, kita wajib beriman atas kenabian Musa dan juga kenabian Isa alaihimassalam. Keduanya adalah dua orang nabi yang sesungguhnya, mereka Allah SWT utus sebagai pembawa risalah samawi. Begitu juga Taurat dan injil, kedua harus kita imani sebagai bagian dari wahyu samawi yang bersumber dari Allah SWT. Bahwa kita tidak menjalankan isi Taurat dan Injil, alasannya karena keduanya telah Allah SWT sempurnakan lewat turunnya Al-Quran Al-Karim.

Al-Baqarah : 113

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 29-3-2024
Subuh 04:40 | Zhuhur 11:59 | Ashar 15:14 | Maghrib 18:03 | Isya 19:10 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia