Di antara pandangan ulama yang disepakati terkait ibadah-ibadah yang dapat dilakukan secara adaa' (dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan) dan qadha (dilaksanakan di luar waktu yang telah ditentukan) adalah ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Tentunya dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan untuk setiap cara ibadah. Terkait puasa Ramadhan, ulama sepakat bahwa waktu pelaksanaannya secara adaa’ adalah pada waktu yang telah ditentukan dalam Al Qur’an dan As Sunnah yaitu pada bulan Ramadhan (QS. Al Baqarah: 185).
Sedangkan jika ibadah ini dilakukan dengan cara qadha’ (jika terdapat uzur syar’i untuk tidak dapat melaksanakannya secara adaa’; musafir, sakit, haidh, nifas, batal karena sebab-sebab tertentu), maka dapat dilakukan pada waktu yang diinginkan sebab kewajiban mengqadha’ puasa Ramadhan bukan didasarkan atas alfaur/ ketergesaan namun atas dasar at tarakhy/ boleh ditunda hingga waktu yang diingini dan kewajiban ini merupakan kewajiban yang bersifat muwassa’/memiliki waktu yang panjang. (Qawa’id Al Ahkam 1/202,Shahih Fiqih As Sunnah2/129).
Ketentuan ini didasari atas hadits ‘Aisyah RA, ia berkata, “Aku dulu memiliki kewajiban mengqadha’ puasa Ramadhan, dan aku tidak dapat mengqadha’nya kecuali pada bulan Sya’ban (satu bulan sebelum bertemu Ramadhan berikutnya).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathu Al Bari-nya (4/191) mengomentari hadits ini, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa dibolehkannya mengakhiri qadha’ puasa Ramadhan dengan adanya ‘uzur ataupun tanpa ‘uzur.”
Meski demikian, tetaplah disunnahkan menyegerakan qadha’ puasa berdasarkan keumuman firman Allah SWT, “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minin: 61).
Belum Mengqadha’ Puasa, Sedangkan Telah Masuk Ramadhan Berikutnya
Para ulama sepakat bahwa masa yang telah ditetapkan untuk mengqadha’ puasa yang terlewat adalah setelah habisnya bulan Ramadhan. Berdasarkan firman Allah SWT:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
”Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan,boleh tidak berpuasa namun harus mengganti di hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Namun, meskipun qadha’ puasa berdasarkan attarakhy, akan tetapi mayoritas ulama membatasi keabsahan qadha’ hingga menemui bulan Ramadhan berikutnya berdasarkan hadits Aisyah di atas dan ketentuan Nabi SAW untuk tidak mengakhirkan pelaksanaan qadha’ shalat pertama atas qadha’ shalat kedua (qiyas puasa pada shalat).
Bahkan menurut jumhur ulama, barangsiapa yang mengakhirkan qadha’ Ramadhan hingga bertemu dengan Ramadhan berikutnya tanpa didasari ’uzur syar’i (alasan yang dibenarkan) maka ia telah berdosa.
Di samping itu selain ia tetap diwajibkan mengqadha’ puasanya, ia pun diwajibkan membayar fidyah atas setiap hari puasa yang belum diqadha’. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah mereka berkata, ”Wajib baginya mengqadha’ puasa dan memberi makan orang miskin sebanyak hari yang belum diqadha’.”
Adapun waktu pembayaran fidyah ini, sebagaimana penjelasan jumhur ulama boleh dilakukan sebelum mengqadha’ puasanya, pada saat mengqadha’ atau setelahnya. (Lihat:Al Inshaf 3/333,Asy Syarh Al Kabir li Ad Dardir 1/537, Al Qawanin Al Fiqhiyyah h.84, Al Iqna’ 2/343, Syarh Al Muhally ’Ala Al Minhaj 2/68-69, Al Muhazzab 6/363, Kasysyaf Al Qinna’ 2/334).
Sedangkan kalangan Al Hanafiyyah (dan menurut sebagian Hanabilah) berpendapat boleh mengakhirkan qadha’ secara mutlak tanpa dibatasi bulan Ramadhan berikutnya. Namun jika masuk Ramadhan berikutnya maka puasa adaa’ (puasa pada ramadhan tersebut) mesti didahulukan atas puasa qadha’ (bulan ramadhan pada tahun sebelumnya), bahkan meskipun yang bersangkutan meniatkan puasa qadha’ maka niat itu tidak berlaku kecuali atas niat adaa’.
Di samping itu, tidak pula diwajibkan atasnya fidyah. Hal ini berdasarkan kemutlakan firman Allah, ”Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, boleh tidak berpuasa namun harus mengganti di hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah : 185) (lihat: Maraqy Al Falah h. 375, Al Fatawa Al Hindiyyah 1/208, Al Inshaf 3/334).
Meninggal Sebelum Mengqadha’ Puasa Ramadhan
Lalu bagaimana jika seseorang memiliki kewajiban mengqadha’ puasa, akan tetapi sebelum ia sempat membayarnya, ia meninggal?. Maka mayoritas ulama mengatakan, bahwa hutang-hutang puasanya itu terhapus dengan sendirinya. Serta tidak pula wajib atas walinya mengqadha’ puasanya atau membayarkan fidyah atasnya. Namun dengan syarat ia memiliki ’uzur untuk tidak mampu mengqadha’nya semasa hidup.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, ”Jika aku memerintahkan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah). Dan karena puasa adalah haq Allah yang mesti dilakukan orang yang bersangkutan akan tetapi jika ia meninggal maka gururlah kewajiban atas dirinya dan walinya sebagaimana dalam perkara haji (badal haji).
Sedangkan Thawus dan Qatadah berpendapat akan wajibnya membayar fidyah atas walinya, sebab puasa yang dilakukan adalah puasawajib yang gugur kewajibannya kerena ketidak mampuan maka wajib baginyamembayar fidyah sebagaimana orang tua yang tidak berpuasa karena ketidakmampuan melakukannya. (Badai’ 2/103, Al Qawanin Al Fiqhiyyahh.110, Al Majmu’ 6/372, Al Mughni 3/142, Mughni Al Muhtaj 1/438).
Sedangkan bila orang itu memiliki kesempatan untuk mengqadha’, namun belum sempat membayar hutang puasanya, kemudian dia meninggal dunia, para ulama berbeda pendapat tentang hukum membayar puasanya, apakah keluarganya harus berpuasa qadha’ untuk mengganti hutang puasa almarhum, ataukah cukup dengan membayar fidyah saja?
Dalam hal ini ada dua pendapat di antara ulama:
Pendapat pertama: Al Hanafiyyah, Al Malikiyyah, pendapat terkuat kalangan Al Hanabilah dan As Syafi’iyyah, mereka berpendapat bahwa keluarganya tidak wajib mengqadha’ puasanya. Kerena puasa Ramadhan merupakan kewajiban yang memiliki landasan syar’i yang tidak boleh diqadha’ orang lain serta tidak boleh diwakilkan pelaksanaannya pada orang lain ketika almarhum hidup atau setelah meninggal seperti ketentuan dalam shalat. (Lihat: Fath AlQadir wa Al ’Inayah 2/351, 352, 358, 359, Al Majmu’ 6/368-372, AlMughni4/398, Nihayah Al Muhtaj 3/184, Bidayah Al Mujtahid1/299, I’lam Al Muwaqqi’in 4/390, Al Muntaqa 2/36).
Kemudian diantara ulama' pendapat pertama ini berbeda pendapat tentang kewajiban yang dibebankan kepada wali atau keluarga almarhum atas qadha’ puasa yang belum dibayarnya:
Kalangan Al Hanafiyyah dan Al Malikiyyah berpendapat bahwa tidak wajib bagi mereka membayar fidyah atas almarhum kecuali jika almarhum mewasiatkan hal tersebut. Maka fidyah itu mesti dibayar dari 1/3 harta yang ditinggalkan almarhum.
Sedangkan kalangan Hanabilah dan pendapat masyhur As Syafi’iyyah wajib bagi wali atau keluarganya mengeluarkan fidyah, berdasarkan wasiat almarhum maupun tidak. Pendapat ini diriwayatkan pula dari Aisyah RA dan Ibnu Abbas RA, serta ulama lainnya seperti Al Laits, Al Awza’i, Ats Tsauri, Ibnu ’Aliyyah, Abu Ubaid dll. (Al Mughni 4/398, Bidayah Al Mujtahid1/299, 300, Al Majmu’ 6/368, 398, 371, Al Muntaqa 2/63, FathAl Qadir ma’a Al ’Inayah 2/352, 353, 357, 358, Al Muwafaqat 2/174).
Pendapat kedua: pendapat imam Syafi’i yang lama (dalam kitab Al Hujjah) dan pendapat yang dipilih imam An Nawawi (muhaqqiq mazhab) serta pendapat Abu Al Khaththab Al Hanbali bahwa boleh (tidak wajib) bagi walinya mengqadha’ puasa yang belum dibayar atau menggantinya dengan fidyah berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah RA :
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan hutang puasa, maka walinya harus berpuasa untuk membayarkan hutangnya.” (HR.Bukhari dan Muslim). (Al Majmu’ 6/368, 369, 372, Al Mughni 4/398, Nihayah Al Muhtaj 3/14).
Wallahua’lam bis Ash Shawab
Isnan Ansory, M. Ag
Peneliti dan Dosen di Kampus Syariah, Rumah Fiqih Indonesia.
Bermazhab Atau Mengamalkan Satu Mazhab?
Isnan Ansory, Lc, MA | 2 December 2016, 08:00 | 8.490 views |
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi (bag. 3)
Isnan Ansory, Lc, MA | 18 December 2014, 15:56 | 7.584 views |
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi (bag. 2)
Isnan Ansory, Lc, MA | 17 December 2014, 16:11 | 7.631 views |
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi (bag. 1)
Isnan Ansory, Lc, MA | 9 December 2014, 10:58 | 12.514 views |
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanbali (2)
Isnan Ansory, Lc, MA | 5 December 2014, 11:23 | 10.048 views |
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanbali (1)
Isnan Ansory, Lc, MA | 4 December 2014, 11:14 | 11.007 views |
Kembalilah Kepada Ulama
Isnan Ansory, Lc, MA | 18 August 2014, 09:31 | 7.878 views |
Perbedaan Antara Zakat Maal dan Zakat Fitrah (2)
Isnan Ansory, Lc, MA | 27 July 2014, 22:22 | 12.722 views |
Perbedaan Antara Zakat Maal dan Zakat Fitrah (1)
Isnan Ansory, Lc, MA | 27 July 2014, 21:58 | 26.409 views |
Tidak Berpuasa Tanpa Uzur: Antara Kufur dan Dosa Besar
Isnan Ansory, Lc, MA | 30 June 2014, 00:06 | 9.706 views |
Melafazkan Niat: Bid'ahkah?
Isnan Ansory, Lc, MA | 28 June 2014, 01:56 | 9.169 views |
Dua Banding Satu: Hikmah Dan Alternatifnya
Isnan Ansory, Lc, MA | 6 June 2014, 05:51 | 8.224 views |
Wahyu Allah: Al Qur’an dan As Sunnah
Isnan Ansory, Lc, MA | 8 April 2014, 06:06 | 31.658 views |
Masalah Khilafiyyah: Apakah Termasuk Ranah Dakwah?
Isnan Ansory, Lc, MA | 4 April 2014, 06:58 | 13.894 views |
Menolak Taqlid Dalam Furuiyyah: Neo Muktazilah Qadariyyah
Isnan Ansory, Lc, MA | 16 March 2014, 11:35 | 11.601 views |
Orang Awam Tetap Harus Belajar
Isnan Ansory, Lc, MA | 1 March 2014, 06:54 | 7.495 views |
Moderasi Islam dalam Ibadah
Isnan Ansory, Lc, MA | 22 February 2014, 06:00 | 8.464 views |
Wasathiyyah/Moderasi Islam
Isnan Ansory, Lc, MA | 21 February 2014, 06:04 | 17.625 views |
Tingkatan Fuqaha'
Isnan Ansory, Lc, MA | 21 October 2013, 13:17 | 11.370 views |
Adakah Qadha' Sholat Bagi Orang Yang Telah Meninggal?
Isnan Ansory, Lc, MA | 22 September 2013, 11:34 | 47.097 views |
Ekstrimisme Dalam Beragama
Isnan Ansory, Lc, MA | 15 September 2013, 12:22 | 10.068 views |
Mujtahid Tarjih dalam Mazhab Imam Asy-Syafi'i
Isnan Ansory, Lc, MA | 2 September 2013, 00:46 | 34.393 views |
Orang Awam Wajib Taqlid Kepada Ulama
Isnan Ansory, Lc, MA | 21 August 2013, 17:55 | 11.761 views |
Pendistribusian Kaffarat Jima' di Siang Bulan Ramadhan
Isnan Ansory, Lc, MA | 15 August 2013, 13:39 | 13.639 views |
Adakah Qadha' Puasa bagi Orang yang Telah Meninggal?
Isnan Ansory, Lc, MA | 13 August 2013, 12:00 | 19.602 views |
Fiqih Islami
Isnan Ansory, Lc, MA | 12 March 2013, 09:10 | 9.971 views |
Ahmad Zarkasih, Lc | 106 tulisan |
Hanif Luthfi, Lc., MA | 69 tulisan |
Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA | 57 tulisan |
Ahmad Sarwat, Lc., MA | 48 tulisan |
Isnan Ansory, Lc, MA | 26 tulisan |
Firman Arifandi, Lc., MA | 23 tulisan |
Sutomo Abu Nashr, Lc | 20 tulisan |
Aini Aryani, Lc | 19 tulisan |
Galih Maulana, Lc | 15 tulisan |
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 13 tulisan |
Ali Shodiqin, Lc | 13 tulisan |
Isnawati, Lc., MA | 9 tulisan |
Muhammad Ajib, Lc., MA | 9 tulisan |
Siti Chozanah, Lc | 7 tulisan |
Tajun Nashr, Lc | 6 tulisan |
Maharati Marfuah Lc | 5 tulisan |
Faisal Reza | 4 tulisan |
Ridwan Hakim, Lc | 2 tulisan |
Muhammad Aqil Haidar, Lc | 1 tulisan |
Muhammad Amrozi, Lc | 1 tulisan |
Muhammad Alfatih Mubarok | 1 tulisan |
Luki Nugroho, Lc | 0 tulisan |
Nur Azizah, Lc | 0 tulisan |
Wildan Jauhari, Lc | 0 tulisan |
Syafri M. Noor, Lc | 0 tulisan |
Ipung Multinigsih, Lc | 0 tulisan |
Teuku Khairul Fazli, Lc | 0 tulisan |
Jadwal Shalat DKI Jakarta7-2-2023Subuh 04:37 | Zhuhur 12:08 | Ashar 15:26 | Maghrib 18:21 | Isya 19:31 | [Lengkap]
|
Rumah Fiqih Indonesiawww.rumahfiqih.comJl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940 Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia Visi Misi | Karakter | Konsultasi | Pelatihan | Buku | PDF | Quran | Pustaka | Jadwal | Sekolah Fiqih
|