Kemenag RI 2019 : (Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi.58) Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafa?,59) berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat. Prof. Quraish Shihab : Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,` maka barang siapa mewajibkan (atas dirinya) untuk berhaji di dalam uyu (bulan-bulan itu). maka tidak ada ufitt; (bercampur dengan istri, cumbu rayu, dan hcrkat.i cabul), tidak ada kefasikan (berucap atau berbuat sesuatu yang melanggar norma-norma susila dan agama) dan tidak ada hanrah-bantahan di dalam haji. Dan apa ptm yang kamu kerjakan berupa kebaikan, (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah kamu! Maka, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bcriakwdali kepada Ku. liai Ulul Albab (orang orang yang berakal bersih murni, dan cerahi’ Prof. HAMKA : Haji itu adalah beberapa bulan yang telah dimaklumi. Maka, barangsiapa yang memerlukan dirinya berhaji di bulan-bulan itu maka sekali-kali tidak boleh rafats {bercakap kotor) dan tidak boleh fusuq dan tidak boleh berbantah di dalam haji. Dan, apa pun kebaikan yang kamu perbuat, Allah mengetahuinya dan bersiap-bekallah kamu. Maka, sesungguhnya bekal yang sebaik-baiknya ialah takwa. Dan, takwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berpikir.
Ayat ke-197 ini masih bicara tentang haji, khususnya terkait dengan bulan-bulan haji serta larangan-larangan yang harus dihindari.
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ
Lafazh asyhur (أَشْهُرٌ) adalah bentuk jamak dari bentuk tunggalnya syahr (شهر) yang artinya bulan-bulan. Sedangkan kata ma`lumat (مَعْلُومَاتٌ) secara bahasa maknanya : yang sudah diketahui. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawal, bulan Dzulqa’dah dan sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah.[1]
Sebagaimana sudah kita ketahui bahwa ibadah haji itu terdiri dari hari-hari proses menjelang haji dan puncak ibadah haji. Puncaknya hanya pada tanggal 9 hingga 12 atau 13 Dzulhijjah, yaitu ketika jamaah haji bergerak ke Arafah, Mudzalifah dan Mina. Sedangkan prosesnya yaitu mulai masuk ke tanah suci dengan melewati miqat makani sudah bisa dimulai 2 bulan sebelum puncak haji, yaitu sejak tanggal 1 Syawwal.
Lafazh faradha (فَرَضَ) artinya mewajibkan, namun maksudnya adalah berniat serta ber-’azam untuk melaksanakan ibadah haji di bulan itu.
Sebagian ulama menjadikan penggalan ayat ini sebagai perintah wajib untuk meneruskan ibadah haji atau umrah bagi orang yang sudah terlanjur melewati miqat. Dan bila dia membatalkannya menjadi berdosa dan wajib kembali lagi untuk melakukan qadha’ penggantian.
فَلَا رَفَثَ
Makna kata rafats (رَفَثَ) aslinya adalah berbicara yang cabul, namun para ulama mengatakan maksud tidak boleh rafats adalah tidak boleh melakukan percumbuan dengan istri. Dan oleh itu maka larangan berjima’ termasuk di dalamnya.
Namun sebagian ulama mengatakan maksudnya hanya tidak boleh berjima’ saja, sedangkan percumbuan yang tidak sampai kepada jima’ masih tidak membatalkan haji. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Umar, Al-Hasan, Mujahid, Said bin Jubair, Ikrimah, Qatadah dan Az-Zuhri.
Namun Hasan Al-Basri menampik pendapat di atas. Menurutnya larangannya justru bercumbu dengan istri, sehingga bercumbu itu membatalkan haji.
وَلَا فُسُوقَ
Makna asli dari kata fusuq (فُسُوق) asalnya dari kefasikan. Namun detailnya seperti apa, rupanya para ulama beda-beda pendapat :
Ibnu Abbas, Al-Hasan, Mujahid dan Thawus mengatakan maksudnya segala macam bentuk kemaksiatan.
Abdullah bin Umar mengatakan maksudnya adalah mengerjakan hal-hal yang terlarang ketika ihram, seperti berburu hewan, menggunduli rambut, memotong kuku, dan lainnya.
Atha’ dan As-Suddi mengatakan maksudnya adalah mencaci maki orang.
Abdurrahman bin Zaid mengatakan maksudnya menyembelih hadyu dengan niat sebagai persembahan untuk berhala.
Adh-Dhahhak mengatakan maknanya saling mengejek dengan sesama, biasanya dengan memberi laqab atau julukan yang tidak disukai. Dalilnya adalah (ولا تنابذوا بالألقاب)
وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Makna jidal (جِدَالَ) adalah pertengkaran meski hanya lewat mulut. Namun berbantah-bantahan itu cenderung dilakukan dengan berteriak dan menjerit-jerit satu dengan yang lain.
Sebuah perbuatan yang amat sangat memalukan dan merendahkan pelakunya sendiri. Padahal perbuatan seperti itu justru dilakukan di hadapan Allah SWT, yang seharusnya dilakukan adalah berkata-kata yang baik, sopan, bertutur kata baik serta meningkatkan rasa prasangka yang baik.
Dari ketiga larangan di atas, biasanya yang paling sering dilanggar justru bagian yang tidak boleh berbantah-bantahan ini. Sebab kondisi berjuta manusia yang datang ke satu titik dengan berjejal-jejal pastinya menimbulkan potensi bentrok, rebutan dan berbagai kerusuhan lainnya, baik dalam skala besar atau pun skala kecil.
Apalagi ditambah perut yang lapar karena suplai makanan terhalang, maka orang dalam suasana seperti itu akan cepat terbakar emosinya, lalu berkata kasar kepada orang lain. Sementara orang lain yang dikasari itu tidak terima dan tersinggung, lalu membalas berkata kasar lagi. Dan terjadilah ucapan-ucapan yang keras dengan nada meninggi serta kasar, yang semuanya dilakkan justru di even yang suci serta mulia. Maka kata-kata kasar inilah yang kemudian merusak suasana kesyahduan ibadah haji. Oleh karena itu Allah SWT secara khusus menyebutkan sebagai salah satu larangan tersendiri di dalam ayat ini.
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
Penggalan ayat ini sekilas terkesan seperti keluar dari topik yang sedang dibicarakan, yaitu terkait larangan dalam haji untuk tidak melakukan rafats, fusuk dan jidal.
Namun sebenarnya penggalan ini justru amat sangat erat kaitannya dengan larangan, yaitu justru menjadi perintah khusus untuk berlaku yang sebaliknya. Sehingga kita harus memahaminya bahwa dalam berhaji itu janganlah melakukan rafats, tetapi lakukan perbuatan baik yang lainnya agar tidak sampai terkena larangan rafats. Begitu juga ayat ini memerintahkan kita mengerjakan perbuatan lain yang bisa mencegah dari perbuatan fusuq dan jidal ketika berhaji.
Namun seperti apa bentuk pengalihan itu, silahkan masing-masing tentukan sendiri-sendiri. Pendeknya apapun perbuatan yang baik. Maka apapun yang kamu lakukan dari semua bentuk kebaikan itu akan diketahui oleh Allah SWT dan tentunya akan dibalas dengan pahala.
Secara teknis, biasanya selama berihram itu lebih utama diisi dengan kegiatan ibadah, seperti shalat, dzikir, membaca Al-Quran, atau pun menuntut ilmu agama yang akan menambah wawasan dan keilmuan.
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ
Lafazh wa-tazawwudu (تَزَوَّدُوا) adalah fi’il amr yang aslinya dari kata (تَزَوَّدَ - يَتَزَوَّدُ) yang artinya : berbekal lah. Maka az-zad (الزَّاد) adalah bekal.
Sebagian mufassir meriwayatkan bahwa di masa itu ada orang yang ikut berhaji bersama Nabi SAW, konon asalnya dari negeri Yaman. Namun dia sama sekali tidak membawa bekal apa-apa, sehingga membuatnya tidak mampu mengerjakan ibadah haji, karena kelaparan di sepanjang perjalanan.
Sebagian lagi mengatakan bahwa kepercayaan bangsa Arab jahiliyah ketika berhaji adalah berpasrah diri kepada Allah, dengan mendatangi tanah haram secara gembel, tidak bawa harta, makanan, pakaian dan bekal apapun. Dianggapnya berhaji dengan cara seperti itu merupakan ibadah yang bernilai tinggi.
Ternyata hal itu justru dilarang dalam syariat Islam. Berhaji itu harus berbekal yang banyak, biar bisa sempurna semua ibadah yang dijalankan, serta tidak menjadikan Ka’bah sebagai pusat gembel dan pengemis.
Sedangkan penggalan kalimat (فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ) bukan berarti menafikan kewajiban membawa perbekalan dalam berhaji. Namun penggalan ini menjadikan pentingnya membawa perbekalan ketika berhaji dengan perumpamanan nanti orang yang berangkat menghadap Allah SWT ke negeri akhirat yang juga harus punya bekal sejak masih di dunia. Namun kalau haji harus berbekal makanan, minuman dan harta benda, sedangkan untuk berangkat ke negeri akhirat bekalnya beda lagi, yaitu bekalnya taqwa.
وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
Lafazh wat-taquni (وَاتَّقُونِ) adalah fi’il amr yang merupakan perintah, asalnya dari (اِتَّقَى - يَتَّقِي) yang maknanya cukup luasa, bisa takutlah, atau jagalah atau bertaqwalah.
Aslinya huruf nun kasrah di bagian akhir fi’il amr adalah dhamir atau kata ganti orang pertama, yang dalam hal ini artinya adalah : Aku. Dan yang dimaksud tidak lain adalah Allah SWT. Karena perintah untuk bertaqwa ini datangnya dari Allah SWT, sehingga perintahnya agar : kamu takutlah kepada-Ku.
Sedangkan lafazh ulul-albab (أُولِي الْأَلْبَابِ) secara harfiyah adalah orang yang punya albab. Albab adalah bentuk jama’ dari lub (اللُّبُّ) yang artinya (العقل الخالص من الشوائب) akal yang bersih dari kerancuan berpikir atau kepercayaan yang tidak ada dasar informasi yang akurat.
Penggalan terakhir ayat ini adalah perintah untuk takut atau bertaqwa kepada Allah. Kemudian Allah SWT menyapa dengan sebutan : ulul albab yang maknanya orang-orang yang cerdas, punya ilmu dan pengetahuan yang luas serta mendalam.
Ada yang mengaitkan penggalan terakhir ini dengan sikap tawakkal salah kaprah yang dilakukan oleh beberapa orang yang berhaji tanpa bekal cukup sejak dari negerinya.
Sehingga perbuatan berhaji tanpa bekal itu sangat dilarang dan tidak masuk akal. Karena secara logika, mereka yang berhaji itu memang harus orang kaya, sedangkan yang tidak punya harta benda, sejak awal tidak pernah diperintah untuk berhaji.
Lagian bagi mereka yang berhaji justru sangat diutamakan untuk datang membawa buah tangan, oleh-oleh dan hadiah untuk dipersembahkan kepada Allah SWT di tanah suci nanti, yaitu berupa hewan-hewan yang disembelih. Maka berhaji tanpa bekal itu dianggap perbuatan tidak masuk akal, tidak cerdas dan tidak paham apa yang dimaksud.