Kemenag RI 2019 : Katakanlah (Nabi Muhammad), “Maha Benar Allah (dalam firman-Nya).” Maka, ikutilah agama Ibrahim yang hanif dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik. Prof. Quraish Shihab : Prof. HAMKA :
Kata qul (قُلْ) adalah fi’il amr yang merupakan perintah, asalnya dari (قال – يقول -قولا) artinya : berkata. Dalam hal ini yang memberi perintah adalah Allah SWT, sedangkan yang diperintah adalah Nabi Muhammad SAW.
Perintahnya adalah untuk berkata, yaitu menjawab atau berdialog dengan kalangan orang-orang Yahudi di Madinah, yang mengklaim bahwa Allah SWT telah mengharamkan daging unta di dalam Taurat, padahal sama sekali Allah SWT tidak pernah mengharamkannya, bahkan tidak ada ayat dalam Taurat yang mengharamkannya.
Maka Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatakan kepada orang-orang Yahudi : Maha Benar Allah, yaitu lafazh shadaqallahu (صَدَقَ اللَّهُ).
Maksudnya bahwa yang benar itu Allah SWT, sedangkan yang salah adalah orang-orang Yahudi. Maka yang harus diikuti bukan klaim fatwa sepihak dari kalangan Yahudi, melainkan apa yang telah Allah SWT tetapkan, yaitu halalnya daging unta dan juga susunya untuk diminum.
فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ
Kata ittabi’uu (فَاتَّبِعُوا) adalah fi’il amr yang merupakan perintah, asalnya dari (اتبع – يتبع - اتباعا), maknanya : ikutilah.
Sedangkan kata millata (مِلَّةَ) sering diartikan menjadi agama. Al-Imam Al-Qurtubi dalam Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran menuliskan bahwa pengertian millah adalah :
Sebutan untuk apa yang Allah syariatkan bagi hamba-Nya yang tertuang dalam kitab-kitab-Nya dan lewat lisan para utusan-Nya.
Dalam hal ini Al-Quran memposisikan istilah millah itu setara dengan istilah syariah. Sehingga kalau disebutkan istilah millata ibrahim (ملة إبراهيم) maksudnya tidak lain adalah : syariat yang Allah SWT tetapkan kepada Nabi Ibrahim alaihissalam.
Dalam hal ini, syariat yang Allah SWT tetapkan buat Nabi Ibrahim adalah halalnya daging unta berikut juga halal susunya. Tidak seperti yang diklaim oleh kalangan Yahudi di masa kenabian Muhammad SAW, seolah-olah haramnya daging unta itu merupakan syariat Nabi Ibrahim.
حَنِيفًا
Kata hanifa (حَنِيفًا) secara posisi dalam struktur kalimat disebut sebagai hal (حأل) atau semacam keterangan dari millah Ibrahim sering diartikan menjadi lurus. Namun ada beberapa pandangan ulama terkait makna lainnya.
1. Condong
Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf mengatakan bahwa secara bahasa maknanya adalah al-mailu (المَيْلُ) yaitu condong :
Maka wajar kalau kita temukan dalam banyak kitab terjemah Al-Quran yang mengartikan hanif itu dengan makna : “lurus”.
3. Murni
Pendapat lain mengatakan bahwa makna hanif itu murni atau mukhlish (مخلص). Maksudnya masih original dan belum tercampur dengan tambahan-tambahan buatan manusia atau pun pengurangan disana-sini. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang murni (QS. Az-Zumar : 3)
4. Manasik Haji
Sementara sebagian mufassir yang lain seperti Mujahid, Al-Hasan, Adh-Dhahhak, Athiyah, Katsir bin Ziyad dan lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hanif tidak lain adalah manasik haji.
Sebab Nabi Ibrahim lah yang pertama kali diperintahkan untuk menjalankan syariat haji, bahkan Beliau juga yang pertama kali membangun Ka’bah di atas bekas-bekas pondasi yang ada sebelumnya.
5. Menjadi Pengikut
Ada juga yang berpendapat bahwa hanif itu artinya muttabi’ (مُتَّبِع) alias menjadi pengikut. Pendapat ini datang dari Mujahid.
Lafazh wa-maa kana (وَمَا كَانَ) artinya : dan dia bukan, lafazh minal al-musyrikin (مِنَ الْمُشْرِكِينَ) artinya : termasuk orang-orang musyrik.
Kata musyrikin secara makna harfiyah artinya adalah orang-orang musyrik, yaitu orang yang menyekutukan Allah SWT dengan tuhan-tuhan yang lain.
Namun yang dimaksud dengan orang-orang musyrik dalam ayat ini adalah mereka yang menjadi pemeluk agama keberhalaan yang tidak mengenal sistem kenabian dan konsep kitab suci yang turun dari langit. Yang termasuk kafir jenis ini adalah penduduk Mekkah, Madinah, Thaif dan juga para penghuni gurun pasir di sepanjang jazirah Arabia.
Sedangkan dari kalangan non Arab, yang termasuk agama syirik dan banyak bersentuhan adalah orang-orang Persia yang memeluk agama Majusi yang menyembah api. Kadang jenis agama ini juga disebut dengan agama non-samawi.
Ciri utamanya mereka tidak mengenal konsep dasar rukun iman yang enam, yaitu tidak mengenal konsep malaikat, nabi, kitab suci, atau dengan kata lain tidak mengenal turunnya risalah samawi.
Dan satu lagi yang juga tidak mereka miliki adalah kepercayaan tentang konsep hari kiamat, hari akhir atau kehidupan akhirat pasca kehidupan duniawi. Dalam pandangan mereka, kehidupan dunia ini hanyalah sekali saja dan tidak ada yang namanya alam akhirat, alam barzakh, apalagi hisab, dan surga atau neraka.
Kalau pun setelah mati mereka hidup lagi, paling jauh hanya sekedar konsep reinkarnasi saja.
Maka ayat ini menceritakan adanya tiga agama berbeda di masa kenabian Muhammad SAW, yaitu yahudi, nasrani dan agama syirik penyembah berhala. Ternyata Nabi Ibrahim alaihissalam bukan termasuk pemeluk agama Yahudi, bukan pula pemeluk agama Nasrani. Dan tentunya juga bukan pemeluk agama syirik penembah berhala.
Tentang Nabi Ibrahim bukan penyembah berhala, jelas sekali dari tindakan Beliau yang merobohkan patung-patung sembahan
Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. (QS. Al-Anbiya’ : 58)
Gara-gara itulah Beliau dibakar hidup-hidup oleh kaum yang masih gemar menyembah berhala.