Kemenag RI 2019:Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga bertahkim kepadamu (Nabi Muhammad) dalam perkara yang diperselisihkan di antara mereka. Kemudian, tidak ada keberatan dalam diri mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka terima dengan sepenuhnya. Prof. Quraish Shihab:Maka, demi Tuhan Pemeliharamu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Nabi Muhammad SAW) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. Prof. HAMKA:Maka sungguh tidak, demi Allah, mereka tidaklah beriman, hingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati di dalam diri mereka keberatan atas apa yang engkau putuskan, dan mereka pun menyerah dengan penyerahan yang sepenuhnya.
Ayat ke-65 ini masih sambungan dari ayat sebelumnya, yaitu terkait dengan ancaman Allah SWT kepada orang munafik Madinah yang main api tidak mau behukum kepada keputusan Nabi Muhammad SAW dalam suatu perkara. Kepada mereka itu Allah SWT mengancam bahwa mereka itu digolongkan sebagai orang yang tidak beriman, sehingga mereka kembali lagi mau berhukum atau bertahkim kepada Nabi SAW.
Bahkan ayat ini menambahkan syarat bahwa dalam bertahkim kepada Nabi SAW harus tanpa beban dan bukan karena terpaksa. Berhukum kepada Nabi SAW harus dengan penyerahan diri sepenuhnya.
فَلَا وَرَبِّكَ
Kata falaa (فَلَا) sama sekali tidak diterjemahkan oleh Kemenag RI, sedangkan Prof. Quraish Shihab hanya menerjemahkannya dengan : maka. Agak sedikit berbeda dengan Buya HAMKA yang menerjemahkannya menjadi : “maka sungguh tidak”.
Sedangkan kata wa rabbika (وَرَبِّكَ) semua menerjemahkannya, meskipun terjemahannya berbeda-beda juga. Kemenag RI menerjemahkannya menjadi : “Demi Tuhanmu”. Prof. Quraish Shihab menerjemahkannya dengan sedikit tambahan : “demi Tuhan Pemeliharamu”. Adapun Buya HAMKA menerjemahkannya menjadi : “demi Allah”.
Huruf waw (و) pada warabbika (وربك) itu bukan ‘athaf melainkan ا huruf qasam atau sumpah. Memang ciri khas Bahasa Arab agak boros menggunakan ungkapan sumpah. Sumpah dalam Al-Quran ini berfungsi untuk menegaskan kebenaran suatu informasi, menarik perhatian pembaca, atau menunjukkan pentingnya suatu masalah.
Dua Versi Asbabun Nuzul
Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim[1] menukilkan sebuah hadits riwayat Al-Bukhari yang ternyata juga dianggap sebagai asbabun-nuzul dari ayat ke-65 ini.
Dari 'Urwah berkata: "Az-Zubair berselisih dengan seorang laki-laki tentang irigasi dari al-Harrah. Maka Nabi SAW bersabda, 'Wahai Zubair, siramlah (tanamanmu) lalu alirkan airnya kepada tetanggamu.' Kemudian orang Anshar itu berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah karena dia adalah anak dari bibi Anda?' Wajah Rasulullah SAW pun berubah warna, kemudian beliau bersabda, 'Wahai Zubair, siramlah (tanamanmu) lalu tahanlah airnya hingga kembali ke batas dinding, kemudian alirkan airnya kepada tetanggamu.' Rasulullah SAW menetapkan hak Zubair dengan keputusan yang tegas setelah dipicu oleh pernyataan orang Anshar tersebut. Sebelumnya, beliau memberikan nasihat yang lebih luas kepada keduanya. Zubair berkata, 'Aku kira ayat ini turun mengenai kejadian tersebut.'"
Hukum yang berlaku dalam masalah ini adalah bahwa siapa yang tanahnya lebih dekat ke mulut lembah, maka dia lebih berhak mendapatkan air pertama, dan haknya adalah menyirami tanamannya dulu sampai selesai.
Rasulullah SAW memberi izin kepada Zubair untuk menyirami tanamannya dengan cara yang penuh tenggang rasa. Namun, ketika lawannya bersikap tidak sopan dan tidak memahami apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW terkait sikap tenggang rasa demi kepentingannya, maka Nabi SAW memerintahkannya untuk mengambil haknya secara penuh dan memaksa lawannya untuk menerima ketegasan hukum yang sebenarnya.
Versi asbabun-nuzul yang ini sebenarnya malah kurang disetujui oleh Fakruddin Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib[2]. Menurut Beliau ayat ini masih terkait dengan perseteruan antara Yahudi dan orang munafik di Madinah.
Kurang lebih begitu juga pendapat Ibnu Asyur di dalam tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir[3] bahwa apa yang dikatakan oleh Urwah bin Az-Zubair sebenarnya bukan asbabun-nuzul ayat ini. Boleh jadi kejadiannya hampir bersamaan, sehingga Beliau mengira ayat ini turun terkait dengan kasus yang menimpa dirinya.
[1] Ibnu Katsir (w. 774 H), (Cairo, Dar Thaibah lin-Nasyr wa at-Tauzi’, Cet. 2, 1420 H – 1999 M)
[3] Ibnu Asyur (w. 1393 H), At-Tahrir wa At-Tanwir (Tunis, Darut-Tunisiyah li An-Nasyr, Cet-1, 1984)
لَا يُؤْمِنُونَ
Kata laa yu’minuna (لَا يُؤْمِنُونَ) artinya : mereka tidak beriman. Mereka yang dimaksud adalah yang tidak mau bertahkim kepada Nabi Muhammad SAW dan lebih memilih untuk berhukum kepada thaghut, yaitu Ka’ab bin Al-Asyraf pemimpin Yahudi.
Padahal yang secara sah diangkat menjadi hakim di Madinah sejak awal adalah Nabi Muhammad SAW, lewat disepakatinya Piagam Madinah. Maka apapun agama yang dipeluk oleh penduduk Madinah, mereka punya ikatan untuk mentaati segala keputusan Nabi SAW sebagai hakim yang disepakati bersama.
Dalam konteks turunnya ayat ini mereka yang menolak bertahkim kepada Nabi Muhammad SAW justru dari kalangan kaum muslimin sendiri, namun maksudnya mereka adalah orang-orang munafik.
Oleh karena itu sikap enggan mereka berhukum kepada Nabi SAW langsung divonis oleh Allah SWT sebagai tindakan orang yang tidak beriman. Dan sebenarnya ayat ini masih sangat tersambung dengan ayat ke-60, dimana orang-orang munafik mengklaim diri mereka sebagai orang yang beriman. Padahal banyak dari tindakan mereka yang justru cerminan dari perilaku orang yang tidak beriman.
"Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu" (QS. An-Nisa: 60)
Maka klaim bahwa diri mereka beriman kemudian dijawab oleh ayat ini dengan menggunakan sumpah ‘Demi Allah’, bahwa mereka belum bisa dikatakan beriman, sehingga mau menerima apapun keputusan dari Nabi SAW dalam urusan hukum.
فَلا ورَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتّى يُحَكِّمُوكَ فِيما شَجَرَ بَيْنَهم ثُمَّ لا يَجِدُوا في أنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمّا قَضَيْتَ ويُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga bertahkim kepadamu (Nabi Muhammad) dalam perkara yang diperselisihkan di antara mereka. Kemudian, tidak ada keberatan dalam diri mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka terima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’ : 65)
حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
Kata hatta (حَتَّىٰ) artinya : sehingga. Kata yuhakkimuu-ka (يُحَكِّمُوكَ) adalah kata kerja dalam bentuk fi’il mudhari’. Asalnya dari (حَكَّمَ - يُحِكِّمُ) dan maknanya : mereka menjadikan hakim atau bertahkim.
Sedangkan yang menjadi maf’ul bihi atau objeknya adalah kata ganti orang kedua alias dhamiranta atau ka (كَ) yang bermakna : kamu. Dan yang dimaksud tidak lain adalah diri Nabi Muhammad SAW.
Kata fiimaa (فِيمَا) artinya : pada apa yang. Kata syajara (شَجَرَ) artinya : mereka perselisihkan. Kata bainahum (بَيْنَهُمْ) artinya : di antara mereka.
Ibnu Asyur dalam tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir[1] menuliskan bahwa syajara (شَجَرَ) ada kaitannya dengan syajarah (شَجَرَة) yang berarti pohon. Hubungannya karena ranting dan dahan pohon itu pun saling berbelit satu sama lain, menggambarkan persoalan yang membelit di tengah para pihak yang berbeda pendapat.
Sebenarnya penduduk Madinah sudah sepakat untuk mengangkat Nabi Muhammad SAW menjadi hakim sejak pertama kali tibanya Beliau hijrah dari Mekkah. Kala itu baik kaum muslimin maupun kaum Yahudi ahli kitab, sepakat menyerahkan segala urusan hukum di Madinah kepada sosok Nabi SAW.
Kalau di ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan Nabi SAW sebagai hakim, maksudnya bukan sesuatu yang baru. Karena sebelumnya mereka sudah menjadikan Nabi SAW sebagai hakim di Madinah. Hanya saja sejalan dengan dinamika yang ada, mulai muncul keinginan untuk membangkang dan tidak mau lagi berhukum kepada Nabi SAW.
Berarti ayat ini ancaman kepada kaum munafikin agar kembali lagi seperti semula, yaitu sampai mereka berhukum lagi kepada Nabi SAW.
[1] Ibnu Asyur (w. 1393 H), At-Tahrir wa At-Tanwir (Tunis, Darut-Tunisiyah li An-Nasyr, Cet-1, 1984)
Kata tsumma (ثُمَّ) artinya : kemudian. Kata la yajjidu (لَا يَجِدُوا) artinya : mereka tidak mendapati. Kata fi anfusihim (فِي أَنْفُسِهِمْ) artinya : di dalam hati mereka. Kat harajan (حَرَجًا) artinya : keberatan. Kata mimma qadhaita (مِمَّا قَضَيْتَ) artinya : dari apa yang Kamu tetapkan.
Ini merupakan syarat tambahan dari Allah SWT, yaitu berhukum kepada Nabi SAW sifatnya tidak boleh karena terpaksa atau dengan berat hati.
Kata harajan (حَرَجًا) ditafsirkan secara berbeda-beda oleh para ahli tafsir.
Mujahid mengatakan bahwa maknanya adalah asy-syak (الشكّ) alias keraguan.
Al-Jubba'i mengatakan bahwa maknanya adalah adh-dhiiq (الضيق) yang artinya kesempitan.
Adh-Dhahhak mengatakan bahwa maknanya adalah al-itsmu (الإثم) alias dosa
Beberapa ahli tafsir memilih menafsirkannya dengan kesempitan dada karena adanya perasaan tidak suka dan penolakan, sebab beberapa orang kafir yakin akan kebenaran ayat-ayat itu tanpa keraguan, namun mereka tetap menolaknya karena kezaliman dan keangkuhan. Oleh karena itu, mereka tidak beriman.
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maknanya adalah sampai mereka tunduk pada perintah dan menerima sepenuhnya, baik secara lahir maupun batin, sebagaimana ditekankan oleh kata-kata tersebut.
Hukum dari ayat ini kemungkinan tetap berlaku hingga hari kiamat, dan tidak hanya berlaku untuk orang-orang yang hidup pada zaman Nabi SAW, karena keputusan syariat beliau adalah keputusan yang berlaku.
"Seandainya suatu kaum beribadah kepada Allah Ta'ala, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah, kemudian mereka berkata terhadap sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, 'Mengapa ia tidak melakukan hal yang berbeda?' atau mereka merasakan keberatan di dalam hati mereka, niscaya mereka menjadi musyrik." Kemudian beliau membaca ayat ini.
Ibnu Asyur menegaskan bahwa ancaman tidak beriman sebagaimana termuat di ayat ini dikhususkan hanya bagi mereka yang menolak apa yang telah diputuskan oleh Rasulullah SAW dalam urusan hukum. Sedangkan berpaling dari keputusan hakim selain Nabi SAW disepakati tidak dianggap sebagai kekufuran, jika orang yang berpaling tersebut menganggap hakim tersebut mungkin tidak mendapatkan keputusan yang sesuai dengan hukum Allah atau tidak berlaku adil dalam keputusannya.
Abbas dan Ali pernah merasa tidak setuju dengan keputusan Abu Bakar dan Umar dalam kasus tanah Fadak yang ditinggalkan oleh Nabi SAW. Beliau berdua berpendapat bahwa ijtihad Abu Bakar dan Umar dalam hal tersebut tidaklah benar.
Uyainah bin Hisn pernah berkata kepada Umar: "Engkau tidak membagi secara adil dan tidak berlaku adil dalam keputusanmu," namun kritiknya terhadap keputusan Umar tidak dianggap sebagai kekufuran.
Paham Takfir
Di masa modern ini muncul kelompok yang suka mengkafir-kafirkan sesama muslim. Salah satunya mereka menggunakan ayat ke-65 surat An-Nisa’ ini untuk menyatakan bahwa seluruh kaum muslimin di dunia ini kafir dan gugur keislamannya dengan adanya ayat ini.
Dasarnya karena menurut mereka, saat ini tidak ada satupun negeri Islam yang menjalankan hukum Allah. Maka seluruh penduduk muslim di negeri itu harus divonis sebagai kafir. Sementara secara harfiyah, teks ayat ini memang menggunakan kata : mereka tidak beriman, sehingga menjadikan kamu sebagai hakim.
Padahal ayat ini tidak ada kaitannya dengan zaman sekarang, sebab yang diancam dengan kekafiran di ayat ini terbatas pada mereka yang tidak mau menjadikan Nabi SAW sebagai hakim. Sementara faktanya bahwa di masa sekarang ini, Nabi SAW sudah wafat. Sudah tidak bisa lagi menjadi hakim di tengah kaum muslimin.
Maka sangat tidak logis kalau tiba-tiba seluruh kaum muslimin langsung jadi kafir, gara-gara Nabi SAW meninggal dunia dan tidak lagi menjadi hakim.