FIKRAH

Pendistribusian Kaffarat Jima' di Siang Bulan Ramadhan

Pendistribusian Kaffarat Jima' di Siang Bulan Ramadhan

by. Isnan Ansory, Lc, MA
Bulan Ramadhan adalah bulan menahan segala hawa nafsu, termasuk menahan untuk berjima' dengan istri di siang hari. Jika melanggar, maka wajib kaffarat.
Sebagaimana ketentuan syariat Islam bahwa di antara yang menyebabkan batalnya puasa adalah terjadinya hubungan suami istri di siang bulan Ramadhan dalam kondisi berpuasa. Khusus untuk pelanggaran ini, Islam mewajibkan kaffarah atas sang pelaku.

Meskipun terdapat beberapa perbedaan ulama terkait masalah kaffarah ini, namun mereka sepakat pada jenis kaffarah yang wajib dibayarkan. Sebagaimana ketentuan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim berikut:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صفَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ ؟ قَالَ:وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ. فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُرَقَبَة؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِمُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَمِسْكِينًا ؟ قَالَ: لا. ثُمَّ جَلَسَفَأُتِي اَلنَّبِيُّ ص بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ. فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا.فَقَالَ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَمَا بَيْنَ لابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍأَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا. فَضَحِكَ اَلنَّبِيُّ ص حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُثُمَّ قَالَ: اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ.

Dari Abi Hurairah RA, bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ”Celaka aku ya Rasulullah”. “Apa yang membuatmu celaka ?“. “Aku berhubungan seksual dengan istriku di bulan Ramadhan”. Nabi bertanya, ”Apakah kamu punya uang untuk membebaskan budak?“. “Aku tidak punya”. “Apakah kamu sanggup puasa 2 bulan berturut-turut ?”.”Tidak”. “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin?“.”Tidak”.Kemudian ia duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma, maka Nabi berkata, ”Ambilah kurma ini untuk kamu sedekahkan”. Orang itu menjawab lagi,”Haruskah kepada orang yang lebih miskin dariku? Tidak ada lagi orang yangl ebih membutuhkan di barat atau timur kecuali aku”. Maka Nabi SAW tertawa hingga terlihat giginya lalu bersabda, ”Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Berturut-turut atau Pilihan

Sebagaimana keterangan hadits di atas, Rasulullah SAW memberikan tiga pilihan untukmembayar kaffarat atas pelanggaran berhubungan suami istri di siang bulan ramadhan bagi yang melaksanakan puasa. Namun terkait pelaksanaan salah satu kaffarat tersebut, ulama berbeda pendapat apakah dilakukan secara berturut-turut sesuai redaksi hadits, ataukah pilihan diberikan secara bebas sesuai keingginan?

Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang berbeda di antara ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa kafarah itu harus dikerjakan sesuai dengan urutannya, bukan atas dasar pilihan mana yang paling dia sukai. Jadi kalau ada orang yang melanggar ketentuan, maka kaffaratnya memerdekakan budak.

Kalau orang itu tidak mampu memerdekakan budak, maka barulah diturunkan menjadi berpuasa dua bulan berturut-turut. Dan bila tidak mampu juga, barulah diturunkan lagi menjadi memberi makan 60 orang fakir miskin.

Namun Imam Malik berpendapat bahwa ketiga bentuk kaffarah itu sifatnya pilihan mana suka. Orang yang melakukan pelanggaran puasa dan diwajibkan atasnya menebus dengan kaffarat, dipersilahkan memilih mana yang paling diinginkan untuk melaksanakannya.

Meskipun di antara ulama Al Malikiyyah ada yang berpendapat bahwa menebus kaffarah secara berturut-turut dianggap lebih utama namun bukan kemestian (Shahih Fiqih As Sunnah 2/109).

Akan tetapi jika melihat konteks masyarakat Indonesia yang notabene tidak ada praktek perbudakan di negara ini. Dapat dipastikan bahwa kaffarat akan dilakukan dengan dua pilihan lainnya, apakah puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin.

Puasa Dua Bulan Berturut-turut

Jika pilihan jatuh pada puasa dua bulan berturut-turut, maka puasa tersebut disyaratkan untuk dilakukan secara berturut-turut. Di mana konsekwensinya adalah jika ada satu hari saja di dalamnya dia libur tidak berpuasa, maka wajib baginya untukmengulangi lagi dari awal.

Bahkan meski hari yang ditinggalkannya sudah sampai pada hitungan hari yang paling akhir dari 2 bulan yang berturut-turut itu. Selain itu, harus ditetapkan pula niat untukmelakukan puasa kaffarat. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah 35/104).

Di samping membayar kaffarat ini, menurut jumhur ulama, dia pun wajib mengqadha’ puasanya yang telah batal. Sedangkan menurut Ibnu Hazm Azh Zhahiri cukup baginya membayar kaffarah saja. (Shahih Fiqih As Sunnah 2/107-108).

Memberi Makan 60 Orang Miskin

Sedangkan jika pilihan jatuh pada memberi makan 60 orang miskin, dalam hal ini kita akan dapati beberapa keterangan ulama yang bisa dijadikan pedoman dalam pelaksanaannya.

Dalam kitab Ensiklopedi Fiqih Kuwait (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, juz.35, h. 101-103) terdapat satu sub bab khusus tentang syarat-syarat membayar kaffarat denganith’am atau memberi makan orang miskin. Ada empat hal terkait syarat ini:

1.  Dari Sisi Kaifiat (Cara Pendistribusian)

Apakah mesti dengan memberikan secara langsung dengan kadar yang telah ditentukan atau cukup dengan mengundang makan 60 orang miskin kerumah lalu memberikan makanan yang telah disediakan yang dapat mengenyangkan mereka? Dalam hal ini ada dua pendapat di antara ulama:

Pendapat Pertama

Jumhur ulama (Al Malikiyyah, Asy Syafi’iyyah, dan Al Hanabilah) berpendapat bahwa pendistribusiannya mesti dengan cara memberikan langsung makanan pokok yang menjadi kaffarat kepada 60 orang miskin (at tamlik). Sebab kaffarat merupakan kewajiban harta yang mesti diketahui kadarnya.

Pendapat Kedua


Al Hanafiyyah berpendapat bahwa pendistribusiannya bisa dilakukan dengan cara mengundang 60 orang miskin kerumah untuk menyantap makanan yang telah disediakan pada siang dan malam hari hingga kenyang. Pendapat ini didasari atas firman Allah, ”... Dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu...” (QS. Al Ma’idah: 89).

2. Dari Sisi Kadar Makanan Yang Mesti Diberikan

Terkait hal ini terdapat dua pendapat di antara ulama:

Pendapat pertama:

Jumhur ulama (Al Malikiyyah, Asy Syafi’iyyah,dan Al Hanabilah) berpendapat bahwa kadar yang wajib diberikan kepada setiap orang miskin adalah satu mud (Ukuran mud itu bila dikira-kira adalah sebanyak dua tapak tangan nabi SAW atau 6 ons) dari jenis makanan pokok setiap daerah. Di samping itu merekapun menambahkan beberapa ketentuan:

  • Kaffarah tidak boleh dibayarkan dengan harga makanan yang diberikan, harus sesuai dengan ketentuan hadits.
  • Takaran setiap satu orang miskin tidak boleh dikurangi, seperti dengan memberikan makanan untuk 120 orang miskin dengan 60 mud, setiap orang mendapatkan ½ mud. Kecuali jika diantara 120 orang miskin tersebut, setengahnya atau 60 orang di antaranya diberikan masing-masing takaran 1 mud yang sempurna.
  • Tidak boleh pula dicampur dengan barang yang lain (at talfiq), seperti misalnya memberikan 30 orang miskin masing-masing 1 mud dan 30 lainnya berupa pakaian.
  • Sebagaimana ketentuan jumhur di atas, bahwa pemberian makanan mesti diberikan sesuai takaran yang ditentukan dan tidak boleh hanya dengan mengundang makan orang-orang miskin ke rumah.
  • Khusus bagi kalangan Al Malikiyyah, mereka tidak membolehkan pemberian 60 mud yang diberikan secara berturut-turut kepada satu orang, seperti jika memberikan kepada satu orang miskin 60 mud selama 60 hari (satu hari satu mud).

Pendapat Kedua

Al Hanafiyyah berpendapat bahwa kadar makanan yang mesti diberikan kepada setiap orang miskin adalah 2 mud atau ½ sho’ (1 sho’: 4 mud).

Dan diperbolehkan untuk memberikan harga dari makanan pokok tersebut. Sebab tujuan dari pemberian ini adalah untuk memenuhi kebutuhan orang-orang miskin dan hal itu dapat pula direalisasikan dengan memberikan harga dari makanan pokok di atas.

Adapun jika yang membayar kaffarat ingin mengundang makan 60 orang miskin kerumah, maka menurut kalangan Al Hanafiyyah, kadar yang mesti diberikan adalah memberi makan mereka hingga kenyang dalam sehari dua kali yaitu pada siang dan malam hari atau di dua waktu yang berbeda.

Akan tetapi jika 60 orang miskin diberi makan pada siang harinya dan 60 orang miskin lainnya diberikan pada malam harinya, maka begi mereka hal ini tidak diperbolehkan karena ini sama saja dengan memberikan 120 orang miskin makan dan tidak menyempurnkan takaran yang telah ditentukan untuk setiap 1 orang.

Selain itu kalangan Al Hanafiyyah juga mensyaratkan untuk tidak diperbolehkan memberikan seluruh kaffarat (120 mud untuk 60 orang) kepada satu orang miskin pada hari yang sama secara keseluruhan atau diberikan pada waktu yang berbeda dalam satu hari. Adapun jika makanan itu diberikan untuk satu orang miskin selama 60 hari (1 hari: 2 mud) atau ia memberi makan dua kali untuk satu orang selama 60 hari, maka hal ini diperbolehkan karena hal tersebut sama saja ia telah memberi makan 60 orang berbeda pada setiap harinya.

Ketiga: dari sisi jenis kaffarat ith’am. Sebagaimana keterangan di atas, mayoritas ulama sepakat untuk tidak dibolehkannya memberikan harga dari makanan pokok yang telah ditentukan. Adapun yang membolehkan hal tersebut hanyalah kalangan Al Hanafiyyah.

Keempat: yang berhak mendapatkan makanan/ith’am. Dalam hal ini para ulama telah menetapkan beberapa syarat atau kriteria orang-orang miskin yang berhak mendapatkanith’am (lihat: Al Mabshuth 8/150, Hasyiah Dasuqi 2/454, Nihayah Al Muhtaj 7/102, AlMughni7/375):

1. Makanan tersebut tidak boleh diberikan kepada anggota keluarga yang menjadi tanggungan nafkah pembayar kaffarat.

2. Menurut jumhur ulama, yang berhak diberi adalah dari kalangan miskin kaum muslimin dan bukan orang-orang kafir, harby maupun dzimmy. Sedangkan imam Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan Asy Syaibani membolehkan diberikannya makanan kaffarat itu kepada golongan kafir dzimmy (golongan kafir yang berada di wilayah kaum muslimin) berdasarkan keumumuan ayat dan hadits di mana tidak ada keterangan yang membedakan antara orang miskin dari golongan muslim ataupun kafir.

3. Tidak boleh diberikan kepada keturunan Bani Hasyim (keluarga nabi SAW), sebab menurut ketentuan syariat mereka telah mendapatkan bagian 1/5 dari ghanimah.

Jika Tidak Mampu Membayar Kaffarat

Sedangkan jika seseorang tidak mampu membayar kaffarat, dalam hal ini ulama berbeda pendapat apakah secara otomatis kewajibannya telah gugur atau tetap diwajibkan hingga ia mampu membayarnya?

Menurut jumhur ulama kewajiban membayar kaffarat itu tetap berlaku bagi si pelaku hingga ia mampu melakukan salah satu dari ketiga kaffarat.

Sedangkan menurut salah satu pendapat kalangan Asy Syafi’iyyah dan pendapat ini dinilai lemah di antara mereka bahwa kewajiban itu secara otomatis telah gugur jika yang bersangkutan tidak mampu membayarnya sebagaimana keterangan hadits a’raby di atas (Lihat: Badai’ Ash Shanai’2/99, 5/95-96, 112, Al Qawanin Al Fiqhiyyah 120-122, Mughni Al Muhtaj 1/444-445, 3/367,Al Mughni 3/129-132).

Distribusi Kaffarat Disalurkan Melalui Lembaga Penyalur Zakat?

Tidak ada ketentuan khusus terkait siapa yang mesti menyalurkan kaffarat tersebut jika berupa pemberian makan kepada 60 orang miskin. Apakah oleh pelaku sendiri atau orang lain. Namun berdasarkan hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa boleh saja seseorang mewakilkan pemberian tersebut kepada siapapun, perorangan ataupun lembaga penyalur zakat atau shadaqah, selama proses penyalurannya telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan ulama di atas.

Hal ini didasarkan pada zhahir hadits di atas, di mana kita dapati bahwa seorang a’raby yang tidak mampu membayar kaffarat setelah Nabi SAW memberitahukan ketentuan hukumnya, malah Nabilah yang menyiapkan kaffaratnya dan memberikannya kepada yang berhak.

Wallahua’lambish Shawab

Isnan Ansory, M. Ag

Peneliti dan Dosen Kampus Syariah, Rumah Fiqih Indonesia



Judul lain :

Fiqih Islami
Isnan Ansory, Lc, MA
Menolak Taqlid Dalam Furuiyyah: Neo Muktazilah Qadariyyah
Isnan Ansory, Lc, MA
Adakah Qadha' Puasa bagi Orang yang Telah Meninggal?
Isnan Ansory, Lc, MA
Pendistribusian Kaffarat Jima' di Siang Bulan Ramadhan
Isnan Ansory, Lc, MA
Orang Awam Wajib Taqlid Kepada Ulama
Isnan Ansory, Lc, MA
Mujtahid Tarjih dalam Mazhab Imam Asy-Syafi'i
Isnan Ansory, Lc, MA
Ekstrimisme Dalam Beragama
Isnan Ansory, Lc, MA
Adakah Qadha' Sholat Bagi Orang Yang Telah Meninggal?
Isnan Ansory, Lc, MA
Tingkatan Fuqaha'
Isnan Ansory, Lc, MA
Moderasi Islam dalam Ibadah
Isnan Ansory, Lc, MA
Wasathiyyah/Moderasi Islam
Isnan Ansory, Lc, MA
Orang Awam Tetap Harus Belajar
Isnan Ansory, Lc, MA
Masalah Khilafiyyah: Apakah Termasuk Ranah Dakwah?
Isnan Ansory, Lc, MA
Wahyu Allah: Al Qur’an dan As Sunnah
Isnan Ansory, Lc, MA
Dua Banding Satu: Hikmah Dan Alternatifnya
Isnan Ansory, Lc, MA
Melafazkan Niat: Bid'ahkah?
Isnan Ansory, Lc, MA
Tidak Berpuasa Tanpa Uzur: Antara Kufur dan Dosa Besar
Isnan Ansory, Lc, MA
Kembalilah Kepada Ulama
Isnan Ansory, Lc, MA
Perbedaan Antara Zakat Maal dan Zakat Fitrah (1)
Isnan Ansory, Lc, MA
Perbedaan Antara Zakat Maal dan Zakat Fitrah (2)
Isnan Ansory, Lc, MA
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanbali (1)
Isnan Ansory, Lc, MA
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi (bag. 1)
Isnan Ansory, Lc, MA
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanbali (2)
Isnan Ansory, Lc, MA
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi (bag. 2)
Isnan Ansory, Lc, MA
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi (bag. 3)
Isnan Ansory, Lc, MA
Bermazhab Atau Mengamalkan Satu Mazhab?
Isnan Ansory, Lc, MA
Jadwal Shalat DKI Jakarta 29-4-2024
Subuh 04:35 | Zhuhur 11:52 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:51 | Isya 19:00 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia