FIKRAH

Madzhab Ustadz

Madzhab Ustadz

by. Saiyid Mahadhir, Lc, MA
Mungkin saja nama-nama semisal Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal sudah sering kita dengar, tapi apakah kita tahu pendapat-pendapat fiqih mereka? Lagi-lagi inilah permasalahannya. Maka keberadaan ustadz dalam menyampaikan pendapat mereka menjadi hal yang dibutuhkan. Agar pendapat ulama-ulama mujthid itu sampai kepada mereka.

Bicara masalah fiqih, maka sudah barang tentu kita akan berhadapan dengan banyak perbedaan. Jangan bicara fiqih jika masih takut dan pusing dengan perbedaan. Bahkan perbedaan itu menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. 

Sudah banyak tulisan yang mengangkat masalah perbedaan ini, tulisan sederhana ini hanya bagian dari dari usaha agar ummat ini sadar dengan adanya perbedaan ini, bahwa berfiqih memang sepertinya wajib berbeda. Perbedaan itu memang sudah menjadi tabiat manusia itu sendiri, dan ia juga tabiat kehidupan ini.

Sebagian pengusung jargon 'harus satu kata' kadang kala meyandarkan pendapat mereka pada ayat berikut:

وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ، إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ

“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu” (QS. Hud: 118-119)

Sekilas dari ayat ini kita fahami bahwa berbeda itu bukan sebuah perilaku yang baik, terbukti bahwa pada ayat tersebut disebut bahwa hanya orang-orang yang diberi rahmat yang tidak akan berbeda.

Namun imam As-Syathiby menegaskan bahwa perbedaan yang bersumber dari para mujtahid dalam masalah fiqih tidak termasuk dalam katagori ayat di atas.

Kalimat 'kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu' sering diungkap untuk menunjuk makna sahabat. Namun dalam kenyataannya, mau atau tidak mau, dalam masalah fiqih, para sahabat sendiri yang notabenenya adalah orang-orang yang diberi rahmat oleh Allahpun berbeda pendapat.

Untuk itulah Imam As-Syathiby menjelaskan bahwa celaan terhadap perbedaan pendapat itu bukan pada wilayah fiqih yang diampuh oleh para mujtahid kita.

Bahkan kalangan yang tidak menghendaki perbedaan dalam berfiqihpun dalam kenyatanya mereka juga berbeda. Hal ini mempertegas bahwa memang kita harus berbeda.

Perbedaan itu sendiri akan ada pada setiap kondisinya, bukan hanya ketika tidak ada dalil, tapi kadang kala justru perbedaan itu ada ketika ada dalil, dan sepertinya akan ada juga perbedaan dalam penerapan dalil itu sendiri.

1. Berbeda ketika tidak ada dalil [الخلاف عند عدم الدليل]

Perbedaan fiqih itu sendiri sering muncul disa’at tidak ada dalil yang khusus dalam sebuah perkara. Sebut saja contoh dalam kasus ibu hamil atau menyusui yang tidak berpuasa, bagaimana hukumnya?

Dalam hal ini setidaknya para ulama terbagi ke dalam empat kelompok besar: Ada yang berpendapat bahwa mereka harus mengganti puasa saja, ada juga yang berpendapat mereka harus membayar fidyah saja, ada juga yang berpendapat bahwa mereka harus mengganti puasa dan juga membayar fidyah, ada juga yang membedakan anatara ibu hamil dengan ibu yang menyusui.

Perbedaan ini ada karena memang secara khusus tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an maupun hadits khusus yang menjelaskan tentang perkara ini, untuk itulah semua ulama akan beralih jalannya dengan meggunakan dalil qiyas.

Diantara mereka ada yang mengqiyaskan dengan orang lemah yang tidak mampu untuk berpuasa, ada juga yang mengqiyaskan dengan mereka yang sakit yang tidak mampu untuk berpuasa, dilain pihak ada juga yang mengqiyaskannya dengan musafir, dan seterusnya.

2. Berbeda ketika ada dalil [الخلاف مع وجود الدليل]

Kita mungkin masih menerima alasan bahwa perbedaan itu karena tidak adanya dalil, tapi ternyata hal yang sama juga terjadi disa’at adanya dalil.

Kita ambil contoh pada masalah wudhu’, apakah kaki masuk bagian anggota badan yang harus dicuci (disiram dengan air) atau hanya cukup di usap saja seperti kita mengusap kepala?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, dan perbedaan justru terjadi ketika adanya dalil. Dalilnya adalah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al-Maidah: 6)

Para imam Qiro’at kita berbeda pendapat dalam bacaan ayat ini. Ibnu Amir, Nafi’, dan Al-Kisa’i membaca “waarjulakum” dengan harokat fathah (di atas) pada huruf lam, sedangkan Ibnu Katsir, Abu Amr, dan Hamzah membacanya dengan “waarjulikum” dengan harokat kasroh (dibawah).

Dari model bacaan inilah maka mayoritas ulama lebih memilih pendapat yang membacanya dengan harokat fathah (di atas), maka dalam berwudhu kaki harus dibasuh (disiram), diyakini ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Sedang sebagian ulama lainnya lebih memilih pendapat yang membacanya dengan harkat kasroh (di bawah), maka mereka berpendapat bahwa dalam berwudhu’ kaki cukup diusap saja atau disapu sama seperti kita menyapu kepala dan tidak harus disiram.

Dan begitu seterusnya, ada banyak contoh bagaimana perbedaan itu justru hadir ketika ada dalilnya. Baik dalil Al-Qur’an maupun dalil dari hadits nabi.

3. Berbeda dalam penerapan dalil [الخلاف أثناء تطبيق الدليل]

Hal ini biasanya terjadi pada qiyas dalam menentukan illah suatu masalah, para ulama menyebut metode ini dengan; Tahqiq Al-Manath, Tanqih Al-Manath dan Takhrij Al-Manath.

Kita ambil contoh misalnya, ketika ada hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW mewajibkan kaffaroh (memerdekaan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh fakir miskin) bagi orang yang melakukan hubungan suami istri di siang Ramadhan.

Maka dalam hal ini jumhur ulama mengatakan bahwa illah (alasan) kaffaroh itu adalah hubungan suami istri di siang Ramadhan, namun ternyata dalam mazhab Maliki mereka berpendapat bahwa illah-nya bukan hanya itu, tetapi illah-nya adalah intihaq hurmati Ramadhan (merusak kehormatan bulan Ramadhan).

Maka dalam mazhab ini makan dan minum siang hari dibulan Ramadhan akan dijatuhi hukuman yang sama, yaitu membayar kaffaroh satu dari tiga diatas (memerdekaan budak, puasa dua bulan berturut-tururt, atau memberi makan enam puluh fakir miskin), karena alasan yang sama yaitu perilaku ini (makan dan minum) tersebut sudah merusak kehoratan bulan Ramadhan.

Begitulah akhirnya perbedaan itu sudah pasti ada, dan sepertinya memang perbedaan semacam ini tidak dilarang oleh Allah, asalkan dalam menyikapi perbedaan ini yang kita cari adalah keridhoaan Allah dengan mencari jalan keluarnya dari kitab maupun sunnah, dan metodologi yang digunakan dalam fiqih adalah metodologi yang sejalan dengan apa yang sudah Allah dan Rasul-Nya gariskan. Allah berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

“Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)” (QS. An-Nisa’: 59)

Sebagian ulama menilai bahwa ini adalah ayat yang secara langsung mengindikasikan bahwa perbedaan fiqih itu sudah pasti ada dan ‘boleh ada’, jika seadainya perbedaan itu tidak boleh ada tentunya tidak akan ada ayat yang berbunyi: “jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu”.

Bertanya Kepada Ahlinya

Belakangan banyak sekali terdengar jargon untuk kembali kepada Al-Quran dan sunnah. Jargon yang sangat bagus tentunya, secara pribadi penulis sendiri mendukung jargon ini untuk kebaikan agama. Karena pada dasarnya Al-Qur’an dan sunnah itu terjaga dari kesalahan, sedangkan pendapat ulama memungkinkan terjadinya kesalahan.

Namun dalam kenyataannya kebanyakan masyarakat kita Indonesia bukan orang yang tepat untuk bisa langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan hadits dengan sendirinya tanpa perantara ulama.

Bagaimana mungkin masyarakat yang awam dengan bahasa arab tiba-tiba langsung berbicara Al-Quran dan hadits. Belum lagi dalam kenyataannya kita masih membutuhkan keilmuan lainnya tidak terjadi kesalahan dalam memahami keduanya.

Untuk itu niat baik kembali kepada Al-Quran dan hadits bisa kita lakukan melalui perantara ulama-ulama yang memang sudah memumpuni dibidangnya. Mereka bukan orang sembarangan, berbaik sangka atas apa yang sudah mereka ijtihadkan jauh lebih baik ketimbang terlalu memberanikan diri dengan ketidaktahuan yang ada.

Setidaknya ada beberapa alasan yang melatar belakangi agar kita merujuk kepada pemahaman para ulama atas apa yang suah mereka ijtihadkan:  

 Pertama: Ketika kita tidak mungkin berijtihad, karena kita orang awam atau karena tidak mencapai derajat ijtihad, maka kita disyariatkan untuk bertaklid. Dalilnya:

 “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” (QS. Al-Anbiya: 7)

Ulama telah sepakat bahwasanya ayat ini menyuruh orang yang tidak mengetahui hukum serta dalilnya untuk mengikuti atau bertanya kepada orang yang mengetahuinya. Bahkan mayoritas ulama menjadikan ayat ini sebagai dasar bagi orang awam orang yang tidak mencapai derajat ijtihad untuk mengikuti atau bertaklid kepada orang yang mencapai derajat ijtihad (mujtahid).

Kedua: Para sahabat saja tidak semuanya berani untuk langsung merujuk kepada sumbernya, sebagian dari mereka justru merujuk kepada sebagian sahabat lainnya. Diantara mereka yang sering menjadi rujukan oleh sahabat lainnya adalah: Ummul Mukminin ’Aisyah, Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abu Musa Al-Asy’ari, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab.

Ketiga: Orang yang tidak mencapai derajat mujtahid tidak mungkin ia bisa mengistinbath (menyimpulkan) langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa menukil pendapat para ulama terdahulu apalagi pada zaman sekarangi ini dari segi kualitas keilmuan jauh lebih ketinggalan dari orang-orang terdahulu, maka tidak ada jalan lain lagi bagi kita selain bertaklid atau mengikuti pendapat ulama-ulama terdahulu.

Imam Asy-Syathibi mengatakan:

فتاوى المجتهدين بالنسبة للعامي كالأدلة الشرعية بالنسبة للمجتهدين

”Fatwa-fatwa para imam mujtahid bagi orang awam bagaikan dalil-dalil syara’ bagi para mujtahid”.

Jadi yang menjadi sentral bagi kita itu adalah keberadaan ulama yang sudah mencapai derajat mujtahid yang berhak menggunakan dalil dengan sendirinya. Sedangkan dalil bagi kita yang awam adalah hasil fatwa mereka.

Mazhab Ustadz

Inilah permasahannya, justru kebanyakan masyarakat kita berada pada level keawaman yang sangat, bahkan terhadap siapa-siapa saja ulama yang dianggap mencapai derajat mujtahid saja mereka tidak mengetahuinya.

Mungkin saja nama-nama semisal Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal sudah sering kita dengar, tapi apakah kita tahu pendapat-pendapat fiqih mereka? Lagi-lagi inilah permasalahannya. Maka keberadaan ustadz dalam menyampaikan pendapat mereka menjadi hal yang dibutuhkan. Agar pendapat ulama-ulama mujthid itu sampai kepada mereka.

Keberadaan ustadz-ustadz seperti inilah yang kita butuhkan, agar semakin hari hari masyarakat kita semakin tercerahkan, dan agar aktivitas beragama kita semakin hari semakin meningkat.  Bukan hanya yang bisa membuat yel yel, aau hanya bisa membuat masyarakat tertawa terbahak-bahak, jika seperti itu apa bedanya ustadz dengan tukang lawak?

Setiap ustadz tentunya memiliki kecendurangan masing-masing dalam memilih pendapat ulama-ulama tersebut, yang mungkin belum bisa dilakukan oleh selain mereka, untuk itulah biasanya pilihan ustadz juga akan diikuti oleh jamaahnya.

 Sebenarnya yang seperti ini boleh-boleh saja dilakukan, asalkan ustadz yang diikuti memang benar-benar memenuhi standar ustadz, karena istilah ustadz akhir-akhir ini semakin bias, bahkan para normal pun disematkan untuknya panggilan ustadz.

Lihat keilmuannya, lalu kemudian lihat juga kualitas keberagamaannya. Mungkin ini dua penilaian mendasar sebelum kita memutuskan untuk mengikuti pendapat salah satu ustadz dalam banyak masalah yang kita tidak ketahui.

Pengetahuan tentang ilmu Al-Quran, ilmu hadits, dan ushul fiqih adalah standar yang mestinya ada pada seorang ustadz, apalagi jika memang kesehariannya mereka berbicara tentang agama, ketiga ilmu ini sangat dibutuhkan terutama jika berbicara masalah hukum fiqih.

 Dan karena ustadz pada hakikatnya belum tentu seorang mujtahid, maka dalam adabnya juga tidak boleh menyalahkan pendapat ustad yang lainnya, terutama jika pendapat ustadz yang berbeda itu juga bersandar kepada ulama mujtahid lainnya, berbeda halnya jika seandainya ada sebagian ustadz yang berbicara seenaknya, tanpa ada penjelasan tambahan tentang apa yang mereka kemukaan.

Mudah-mudahan semakin hari kualitas beragama kita semakin membaik, tentunya dengan terus belajar, kapanpun dan dimanapun, karena dalam kaidahnya; setiap kita akan hidup sesuai dengan apa yang kita ketahui, dan model kehidupan kita akan berubah jika pengetahuan kita bertambah.

Wallahu A’lam Bisshowab

Jadwal Shalat DKI Jakarta 29-4-2024
Subuh 04:35 | Zhuhur 11:52 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:51 | Isya 19:00 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia