Sejak dulu sudah ada kelompok-kelompok Islam, ada fiqih ahli ra’yu di Iraq, ada fiqih al-sunnah di Hijaz, ada fiqih Al-Laits bin Said di Mesir dan juga pembela madzhab Imam Al-Auza’i. Dan mereka semua berjalan beriringan tanpa ada satupun kelompok yang saling mencaci.
Dan mereka semua berjalan beriringan tanpa ada satupun kelompok yang saling mencaci atau menganggap mereka paling benar dan paling dekat dengan Al-Quran dan sunnah. Semua baik-baik saja, paham dan mengerti posisi masing-masing.
Upaya Pemersatu
Bahkan ketika Abu Ja’far Al-Manshur (khalifah Abbasiyah) menjabat sebagai khalifah, wacana penyatuan madzhab-madzhab fiqih yang ada ketika itu sudah dilakukan dan diupayakan. Beliau mendatangi Imam Abu Hanifah, datang juga ke Hijaz bertemu dengan Imam Malik dan juga ke Mesir untuk berkomunikasi dengan Imam Al-Laits bin Sa’d.
Bukan hanya beliau, anak-anaknya pun demikian, dari mulai Al-Mahdi lalu kepemimpinan jatuh ke anaknya Al-Hadi serta Harus Al-Rasyid, pengkotakan kelompok antara Iraqi dan Hijazi serta Laitsi masih santer. Dan para khalifah berupaya untuk membuat perbedaan itu jadi satu yang tidak pernah bisa.
Bukan karena umat Islam tidak ingin bersatu, justru jika disatukan itu malah menjadi sumbu perpecahan. Adanya perbedaan itu sudah tabiatnya fiqih yang sulit dan tidak bisa dihindari. Ikhtilaf dalam fiqih adalah sesuatu yang memang ada dan bukan yang diada-adakan.
Kalau kita buka al-Quran dan Hadits, pastinya kita akan mendapati banyak kalimat-kalimat yang mengandung makna ganda atau dalam istilah fiqih disebut dengan muhtamal. Karena itu masing-masing ulama berijtihad mencari makna tersebut, yang mengakibatkan ada perbedaan pendapat. Itu salah satu contoh kecil adanya perbedaan.
Yang menarik adalah, perbedaan mereka justru malah membuaat mereka tidak saling bertengkar dan saling menghargai. Mereka paham bahwa perbedaan yang ada ketika itu muncul menjadi sebuah rahmat bagi umat. Mereka bisa saling jaga diri dan sikap untuk saling berlapang dada dalam setia perbedaa. Dan tidak pernah mencari-cari siapa yang benar!
Murid Imam Abu Hanifah Belajar ke Imam Malik
Murid-muridnya Imam Abu Hanifah dari Iraq, ketika merka berhaji atau umrah, pasti mereka menyempatkan diri untuk duduk di masjid Nabawi mendengarkan pelajara fiqih dari Imam Malik. Dan mendiskusikan apa yang mereka bawa dari fiqih Iraq kepada beliau (Imam Malik), dan semua menerima.
Memang terjadi perbedaan pendapat dalam diskusi tersebut, akan tetapi kedua belah pihak menerima itu semua sebagai khazanah keilmuan Islam yang mahal harganya. sehingga tak sampai hati mengatakan bahwa kebenaran hanya ada di pihaknya sendiri.
Imam Malik Menolak Memberatkan Umat
Abu Ja’far Al-Manshur, khalifah Abbasiyah, sempat menawarkan Imam Malik untuk menajdikan kitabnya Al-Muwatho’ sebagai qanun (undang-undang) Negara ketika itu, namun Imam Malik menolak. Beliau tidak ingin memberatkan umat hanya dengan satu madzhab saja.
kalau beliau mau, tentu itu mudah sekali. hitung-hitung menyebarkan madzhabnya ke saentero kesultanan Abbasiah yang sangat besar ketika itu. Tapi dengan sangat tawadhu', Imam Malik menolak itu semua. Beliau lebih tentang jika para orang muslim mengamalkan apa yang sudah biasa mereka amalakan dari madzhab-madzhab fiqih yang ada.
Dan sungguh sangat memberatkan pastinya nanti jika harus terpaksa mengikuti madzhab yang mereka baru kenal.
Imam Malik dan Imam Al-Laits bin Sa'd
Imam Malik, kalau mendapati di majlisnya ada salah seorang mudafir dari Mesir, pasti sang Imam menitipkan salam lewatnya kepada Imam Al-Laits bin Sa’d, dan tidak jarang memberikannya hadiah walaupun hanya dengan sekantung kurma. Mereka saling mendoakan padahal Imam Al-Laits salah satu Imam yang paling santer menyelisih pendapat-pendapatnya Imam Malik lebih dari 70 masalah fiqih.
Sebaliknya pun demikian, Imam Laits bin Sa’d, kalau berangkat haji atau umrah,pastilah beliau menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumahnya Imam Malik dengan membawa buah tangan beserta segudang doa untuk kebaikan Imam Malik.
Pernah dalam suatu ketika, Imam laits mengutus salah satu muridnya ke Hijaz untuk mengantarkan surat kepada Imam Malik yang isinya bantahan Imam Laits terhadap “Amal Ahli Madinah” yang dijadikan dalil oleh Imam Malik di Hijaz. Tapi, di awal dan di akhir surat yang panjang itu, Imam laits menyertakan doa untuk Imam Malik.
Yang menariknya lagi, di samping surat bantahan itu Imam Laits menyertakan satu kantong berisikan uang ribuan dinar untuk Imam Malik. Hebat bukan, berselisih tapi saling memberi hadiah. Yang akhirnya uang itu diberikan kepada Imam Al-Syafi’i (murid Imam Malik) sebagai mahar pernikahannya dan bekal beliau (Imam Syafi’i) berangkat ke Iraq.
Imam Muhammad bin Hasan dan Imam Al-Syafi'i
Imam Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, murid dan pembela madzhab Hanafi, tahu dan paham bahwa Imam Al-Syafi’i banyak menyelisih madzhabnya. Akan tetapi sesampainya Imam Syafi’i di Baghdad, beliaulah orang yang dengan tangan terbuka menyambut kedatangan Imam Syafi’i.
Bukan hanya itu, beliau juga yang menampung Imam Syafi’i di rumahnya. Seluruh kebutuhan Imam Syafi’i yang ingin menuntut ilmu fiqih Al-Ra’yu difasilitasi oleh Imam Muhammad bin Hasan, dari mulai tempat tidur, makan dan juga kitab. Padahal mereka sering berselisih paham ketika berdiskusi, tapi masih bisa saling berbagi.
Dan kepergiannya ke Mesir untuk menuntut ilmu fiqih Al-Laitsi juga dibiayai oleh Imam Muhammad bin Hasan, kendaraan serta bekal perjalanannya. Karena itu banyak ulama yang menyebut Imam Muhammad bin Hasan itu sebagai “bapak”-nya Imam Syafi’i di Baghdad.
Yang dilakukan Imam Syafi’i ketika di Hijaz pun tidak berbeda. Beliau duduk di masjid Nabawi mendengarkan Imam Malik, tapi beliau juga menyanggah dan menyelisih Imam Malik dalam beberapa masalah fiqih. Dan tidak ada kemarahan dari Imam Malik sedikitpun. Bahkan beliau mendoakannya agar menjadi ulama besar yang menerangi umat. Bahkan sampai jadi murid kesayangan Imam Malik.
Begitulah ulama mengajarkan kita bagaimana caranya bersikap. Walaupun saling berbeda, tidak ada dalam diri mereka keinginan untuk mengaku kebenaran sendiri dan menyalahkan yang lain. Semua baik-baik saja, sebaik ilmu yang mereka miliki. Mereka sering jadi 'lawan' diskusi, tetapi hubungan mereka tetap 'mesra'.
Bagaimana kita sekarang?
Saling caci? Mengatakan selain kita tidak benar? Memprovokasi yang lain untuk tidak mengikuti mereka? Atau kalau perlu memfitnah mereka dengan informasi negative agar pengikutnya menjauh?
Atau berlapang dada sebagaimana ulama kita mengajarkan?
Wallahu a’lam