FIKRAH

Fiqih Islami

Fiqih Islami

by. Isnan Ansory, Lc, MA
Istilah fiqih pada dasarnya merupakan istilah yang hanya ada pada agama Islam an sich atau milik Islam semata.

Telah menjadi pandangan aksiomatik di tengah-tengah umat Islam, bahwa ilmu fiqih merupakan salah satu bagian terpenting dari keseluruhan ajaran Islam.

Dengan ilmu tersebut, seorang muslim dapat mengetahui hal-hal yang halal maupun haram, sehingga ia dapat mengaktualisasikan keislamannya dengan baik, benar, dan sempurna. Bentuk aktualisasi ini lebih dikenal dengan istilah al-wazi ad-diniy.

Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya pengajian-pengajian rutin di berbagai masjid di tanah air, yang lebih menitik-beratkan tema kajiannya pada tema-tema fiqih. Meski kitab-kitab yang dikaji bukanlah kitab fiqih, seperti kitab hadits Riyadhus Shalihin dan kitab Tafsir Ibnu Katsir.

Dan lebih dari itu, jika kita cermati dengan seksama, kita akan dapati bahwa istilah fiqih itu sendiri merupakan terminologi yang sangat identik dengan Islam dan kebudayaan Islam. Hingga dapat dikatakan bahwa fiqih telah menjadi sebuah ilmu layaknya tradisi yang melekat pada ajaran Islam dan umat ini.

Adakah kita pernah mendengar agama lain diluar Islam menggunakan istilah fiqih untuk mengungkapkan ritus-ritus ajaran mereka, terkhusus ritual ibadah?

Baik dalam agama samawi seperti Yahudi dan Nashrani ataupun agama ardhi seperti Budha dan Hindu, kita tidak meneukan istilah fiqih di dalamnya. Kita tidak pernah mendengar istilah fiqih Nasrani, fiqih Yahudi, fiqih Majusi, fiqih Budha, fiqih Hindu dan seterusnya.

Istilah fiqih tidak pernah sama sekali terdapat pada ajaran agama-agama selain Islam. Istilah fiqih boleh dibilang merupakan istilah yang khusus dimiliki hanya oleh agama Islam.

Terkait istilah ini, penulis teringat sebuah buku kontroversial yang ditulis beberapa tahun lalu secara ‘berjamaah’ oleh orang-orang yang mengklaim diri mereka sebagai pembaharu dan cendikiawan muslim.

Buku itu berjudul ‘Fiqih Lintas Agama’. Jika kita baca sepintas dari judulnya setidaknya pemahaman yang timbul dalam benak kita adalah bahwa setiap agama memiliki khazanah fiqih tersendiri. Artinyaistilah fiqih yang secara bahasa berarti pemahaman atau pemahaman yang mendetail (al fahm ad daqiq), dimilki pula oleh agama-agama di luar Islam.

Namun sangat disayangkan buku ini tidaklah mencerminkan sebuah kajian fiqih dengan pendekatan ajaran-ajaran normatif agama yang ada.

Buku itu tidak lebih dari sebuah karya tulis yang dimaksudkan mendistorsi bahkan mendekontruksi ajaran-ajaran Islam yang telah mapan dan menjadi kesepakatan (ijma’) ulama Islam sepanjang masa. Isi buku itu di antaranya masalah pernikahan beda agama, pembagian warisan dan lain sebagainya.

Namun pada tulisan ini, penulis tidak bermaksud memberikan tanggapan atas buku tersebut. Akan tetapi penulis lebih menitik beratkan pada term ‘fiqh’ yang dijadikan tema utama buku tersebut. Hingga akhirnya penulis berasumsi bahwa istilah ‘fiqih’ pada dasarnya merupakan istilah yang hanya ada pada agama Islam an sich atau milik Islam semata.

Asumsi di atas pada awalnya merupakan asumsi subyektif penulis sendiri, hingga asumsi tersebut setidaknya mulai terbukti kekeliruannya ketika penulis mendapati penisbatan istilah lain atas istilah fiqih dalam muqaddimah sebuah karya monumental ulama masa kini dalam masalah fiqih, al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah.

Dalam buku tersebut (yang berjumlah kurang lebih 45 jilid), para ulama yang terkumpul dalam Kementrian Waqaf Kuwait menyebut dua istilah yang dinisbahkan kepada term ‘fiqih’ yaitu al fiqih al Islamy (fiqih yang berlandaskan pada dasar-dasar agam Islam) dan al Fiqih al Wadh’i (fiqih yang tidak berlandaskan pada dasar-dasar agama Islam atau sering disebut dengan hukum positif). Dalam arti lain, istilah fiqih tidak hanya milik Islam saja namun ajaran lain pun atau produk hukum lainpun dapat disebut dengan fiqih.

Namun menurut hemat penulis, para ulama itu ketika menyebut kedua istilah tersebut, pada dasarnya hanya bertujuan untuk memudahkan penyebutan semata. Dengan tujuan memberikan perbandingan antara produk hukum yang dihasilnya berdasarkan ajaran Islam dan produk hukum lainnya yang tidak bersandar pada Islam sama sekali. Sebab kedua produk hukum itu pun dihasilkan melalui penelitian dan pemahaman yang mendalam, sebagaimana proses tersebut dapat dipadankan dengan pengertian etimologi fiqih.

Namun perbedaan akan semakin tampak ketika kita melihat sumber yang dijadikan dasar dilahirkan dua fiqih tersebut. Setidaknya penisbatan diatas memiliki persamaan dengan istilah lainnya yang terkait seperti penisbatan hukum positif (al wadh’i) atau produk hukum suatu bangsa tertentu kepada istilah ‘at tasyri’’, semisal at tasyri’ al asyuri, at tasyri’ al babiloni, at tasyri’ al fir’auni dll.

Mengapa penulis berkesimpulan demikian?.

Setidaknya kesimpulan penulis tersebut berdasarkan dua alasan berikut:

Pertama, secara etimologi dan terminologi, istilah fiqih memiliki akar yang sangat kuat dalam khazanah Islam.

Dalam hal ini, Al Qur’an dan al Hadits sebagai sumber ajaran Islam secara eksplisit menyebut istilah fiqih seperti yang tertuang dalam surat at Taubah; 122 (liyatafaqqahu fi addin).

Ataupun seperti doa Nabi Muhammad SAW kepada Ibnu Abbas Rahiyallahuanhu, “Allahumma faqqihhu fi ad din wa ‘allimhu at ta’wil”.

Namun, meskipun pada awalnya istilah ‘fiqih’ mengalami beberapa fase perkembangan, namun pada akhirnya para ulama pun ketika memutlakkan istilah fiqih, mereka mengartikannya sebagai;

“Sekumpulan hukum dan permasalahan syariat yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia”.

Adapun ilmu fiqih berarti sebuah; “Ilmu yang membahas hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalilnya yang terperinci.”

Dengan demikian sebuah kumpulan hukum atau disiplin ilmu yang tidak bersandarkan pada dalil-dalil syara’ tidak dapat dinyatakan sebagai fiqih.

Kedua, orisinalitas istilah ‘fiqih’ bagi agama Islam dapat dianalogikan dengan istilah-istilah lainnya dalam agama ini, seperti shalat, zakat, haji, shaum, bahkan istilah syariat dan dakwah.

Terkait istilah ‘syariat’, Syaikh Manna’ al Qaththan dalam bukunya ‘at Tasyri wa al Fiqh al Islamy’ telah mengkritik kalangan yang menyebut hukum positif sebagai at tasyrî’ al wadh’î sedangkan wahyu ilahi disebut dengan at tasyrî’ as samawî,

Menurut beliau yang benar adalah bahwa istilah syariat/tasyri’ hanya boleh disandarkan pada wahyu bukan selainnya dari hasil olah fikir manusia maupun sistem-sistem ciptaan mereka. (Manna’ Khalil al Qaththan, at Tasyrî’ wa al Fiqh al Islâmî, hal. 15-16).

Demikian pula dengan istilah dakwah yang juga merupakan istilah khusus yang dimaksudkan membawa manusia kejalan Allah. Dalam arti lain tidak semua ajakan (dakwah) dinamai dakwah bila tidak dimaksudkan untuk membawa manusia ke jalan Allah.

Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid Quthub, “Sesungguhnya dakwah adalah dakwah (seruan) kejalan Allah, bukan ke jalan da’i atau kaumnya. Tiada bagi da’i dari dakwah yang ia lakukan, kecuali menjalankan tugas dan kewajibannya kepada Allah SWT.” (Sayyid Quthb, fî Zhilâl al Qur’ân, jilid. IV, hal. 2301-2302).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penisbatan istilah ‘islamy’ kepada istilah ‘fiqih’ sebagaimana judul di atas, hanya dimaksudkan sebagai penekanan semata. Sebab, sebagaimana berdasarkan alasan-alasan di atas, dapat dinyatakan bahwa istilah ‘fiqih’ meskipun tanpa embel-embel ‘islamy’, mutlak merupakan bagian tak terpisahkan dari khazanah Islam

Disamping istilah ini merupakan salah satu wujud keistimewaan agama Islam sebagai satu-satunya agama yang sempurna (syamil) dan menyempurnakan (mutakaamil) serta dapat beradaptasi dengan setiap kondisi (murunah) berlandaskan dasar-dasar agama yang bersifat tsawabit /tetap sekaligus mengakomodasi setiap yang mutaghayyirat/hal-hal yang berubah pada setiap masa dan tepat.

Akan tetapi, keistimewaan tersebut pada dasarnya tidak akan tercapai, kecuali jika komponen-komponen penunjang karakteristik Islam tersebut tidak teralisasikan dengan tepat, yaitu berupa ijtihad-ijtihad fiqih yang harus terus digalakkan untuk menjawab setiap tantangan zaman sembari berdiri di atas pondasi-pondasi ijtihad genarasi terbaik umat ini dengan kembali menggalakkan kajian-kajian seputar turast Islam sembari dengan menciptakan suasana yang kondusif untuk mengaplikasikan turats tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Dan hal tersebut sekali lagi dapat tercapai jika tradisi fiqih dapat mengakar luas di tengah-tengah umat.

Wallahu’alam bi ash showab.



Judul lain :

Fiqih Islami
Isnan Ansory, Lc, MA
Menolak Taqlid Dalam Furuiyyah: Neo Muktazilah Qadariyyah
Isnan Ansory, Lc, MA
Adakah Qadha' Puasa bagi Orang yang Telah Meninggal?
Isnan Ansory, Lc, MA
Pendistribusian Kaffarat Jima' di Siang Bulan Ramadhan
Isnan Ansory, Lc, MA
Orang Awam Wajib Taqlid Kepada Ulama
Isnan Ansory, Lc, MA
Mujtahid Tarjih dalam Mazhab Imam Asy-Syafi'i
Isnan Ansory, Lc, MA
Ekstrimisme Dalam Beragama
Isnan Ansory, Lc, MA
Adakah Qadha' Sholat Bagi Orang Yang Telah Meninggal?
Isnan Ansory, Lc, MA
Tingkatan Fuqaha'
Isnan Ansory, Lc, MA
Moderasi Islam dalam Ibadah
Isnan Ansory, Lc, MA
Wasathiyyah/Moderasi Islam
Isnan Ansory, Lc, MA
Orang Awam Tetap Harus Belajar
Isnan Ansory, Lc, MA
Masalah Khilafiyyah: Apakah Termasuk Ranah Dakwah?
Isnan Ansory, Lc, MA
Wahyu Allah: Al Qur’an dan As Sunnah
Isnan Ansory, Lc, MA
Dua Banding Satu: Hikmah Dan Alternatifnya
Isnan Ansory, Lc, MA
Melafazkan Niat: Bid'ahkah?
Isnan Ansory, Lc, MA
Tidak Berpuasa Tanpa Uzur: Antara Kufur dan Dosa Besar
Isnan Ansory, Lc, MA
Kembalilah Kepada Ulama
Isnan Ansory, Lc, MA
Perbedaan Antara Zakat Maal dan Zakat Fitrah (1)
Isnan Ansory, Lc, MA
Perbedaan Antara Zakat Maal dan Zakat Fitrah (2)
Isnan Ansory, Lc, MA
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanbali (1)
Isnan Ansory, Lc, MA
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi (bag. 1)
Isnan Ansory, Lc, MA
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanbali (2)
Isnan Ansory, Lc, MA
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi (bag. 2)
Isnan Ansory, Lc, MA
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi (bag. 3)
Isnan Ansory, Lc, MA
Bermazhab Atau Mengamalkan Satu Mazhab?
Isnan Ansory, Lc, MA
Jadwal Shalat DKI Jakarta 29-4-2024
Subuh 04:35 | Zhuhur 11:52 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:51 | Isya 19:00 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia