Sebelum kita membahas tentang apakah khamr itu najis ataukah tidak. Alangkah baiknya kita ketahui dulu apa maksud dari kata khamr tersebut.
A. Pengertian
1. Definis Khamr Secara Bahasa
Dalam kitab Lisanul ‘Arab, Khamr secara bahasa :
Sesuatu yang memabukkan dan dihasilkan dari perasan anggur.[1]
Fairuz Abadi (w 817 H) dalam kitabnya Kamus al-Muhith mengartikan khamr tidak jauh berbeda dengan Ibnu Mandzur ( w 711 H) namun dia juga menambahkan bahwa khamr itu lebih umum, bukan hanya dari perasaan anggur saja dan ini pendapat yang paling benar menurutnya.
Khamr adalah sesuatu yang memabukkan dan diproduksi dari perasan anggur atau dari selainnya. Pendapat yang paling benar adalah khamr tersebut bisa dihasilkan dari perasan apa saja dan bukan hanya dari perasan anggur semata Dikarenakan ketika diharamkannya khamr, di madinah ketika itu tidak ada khamr yang diproduksi dari perasan anggur. Minuman orang madinah ketika itu diproduksi dari kurma segar. Dinamakan khamr karena dengan meminumnya maka akan mengalami disfungsi akal atau menutupi fungsi akal.[2]
2. Definisi Khamr Secara Istilah
Para ulama berbeda pendapat mengenai definisi khamr secara istilah. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan dalam mendefinisikan khamr secara bahasa dan kemuthlakan penamaannya dalam syariat. Jumhur ulama menyatakan setiap sesuatu yang memabukkan disebut khamr baik itu yang berasal dari perasan anggur, kurma, madu, gandum dan lainnya.[3] Jumhur ulama memakai dalil dari hadits Nabi S.A.W
Setiap yang memabukkan itu adalah khamr dan setiap khamr hukumnya haram. (H.R. Muslim)
Sedangkan mazhab Hanafiyah menganggap bahwa khamr itu hanyalah berasal dari perasan anggur saja.[4]
B. Perbedaan Pendapat Para Ulama Atas Kenajisan Khamar
Para ulama sepakat bahwa khamr itu haram,[5] namun mereka berbeda pendapat dalam memutuskan apakah khamr itu najis ataukah tidak?.
Mayoritas ulama fiqih dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah dan Zhahiriyah menyatakan bahwa khamr itu najis mughaladzah bahkan kenajisannya sudah mencapai ijma sebagaimana yang dikatakan oleh Badruddin al-A’ini (w 855 H) dalam kitabnya al-Binayah Syarhu al-Hidayah dan juga Burhanuddin Ibnu Muflih (w 884 H) dalam kitabnya al-Mubdi’ Syarhu al-Muqni’.[6]
Sedangkan Rabi’ah Ar-Ra’yi (w. 136 H) guru dari Imam Malik (w 179 H), Laits bin Sa’ad (w 175 H), Daud azh-Zhahiri (w 270 H), al-Muzani (w 264 H), ash-Shan’ani (w. 1182 H) dan asy-Syaukani (w 1250 H) menyatakan khamr itu suci dan tidak najis. Untuk lebih jelasnya saya akan mengajak para pembaca untuk menelusuri langsung ke kitab-kitab para ulama.
C. Pendapat Yang Menajiskan Khamr
1. Mazhab Hanafi
Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi As-Syarai’ menuliskan sebagai berikut :
Diantara jenis benda najis adalah khamr dan minuman yang memabukkan. Adapun kenajisan khamr dikarenakan Allah ta’ala menamakannya dengan rijsun dalam ayat pengharaman khamr. Allah berfirman : “rijsun adalah termasuk perbuatan syaitan.” (Q.S. Al-Maidah : 90) arti kata (الرجس/ ar-rijsu) adalah benda najis.[7]
Az-Zaila’i (w 743 H) salah satu ulama mazhab Hanafiyah di dalam kitabnya Tabyinul Haqaiq Syarhu kanz ad-Daqaiq menuliskan sebagai berikut :
Keharaman khamr termasuk perkara yang qath’i (pasti) maka siapa saja yang menghalalkannya akan menjadi kafir dan bagi yang meminumnya akan dikenai hukuman had (hukuman cambuk) walaupun hanya meminum setetes dan tidak sampai mabuk. Khamr dianggap sebagai najis mughalazhah (berat).[8]
Badruddin al-‘Aini (w 855 H) salah satu ulama mazhab Hanafiyah di dalam kitabnya al-Binayah Syarhu al-Hidayah menuliskan sebagai berikut :
Menurutku : kenajisan khamr sudah mencapai ijma, adapun pendapat Daud (w 270 H) yang menyelisih ijma tidak dianggap dan tidak sah dalam syariat.[9]
Al-Qadli Zadah (w. 1078 H) salah satu ulama mazhab Hanafiyah di dalam kitabnya Majma’ al-Anhur fii Syarhi Multaqa al-Abhur menuliskan sebagai berikut :
Berkata ulama mulia yang terkenal dengan Qadli Zadah, “Kemudian tersisa satu pembahasan lagi, yaitu tentang zat khamr misalnya. Zat itu tidak termasuk hadats meskipun ia zat yang tidak diragukan lagi kenajisannya dalam hukum syar’i.[10]
Ibnu Abdin (w 1252 H) salah satu ulama mazhab Hanafiyah di dalam kitabnya Raddul Muhtar ‘Ala Durril Mukhtar menuliskan sebagai berikut :
Khamr itu najis dan derajat kenajisannya adalah najis mughaladzah (berat), karena Allah Ta’ala telah menamainya dengan kata rijsun (najis). Maka kenajisan khamr sebagaimana najisnya kencing dan darah yang mengalir.[11]
2. Madzhab Maliki
Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu ulama mazhab Malikiyah di dalam kitabnya Adz-Dzakhirah menuliskan sebagai berikut :
Illah (sebab) kenajisan khamr dikarenakan khamr merupakan sesuatu yang memabukkan dan juga adanya perintah untuk menjauhinya. Pendapat yang menyatakan kenajisan khamr adalah bentuk dukungan untuk menjauhinya.[12]
Muhammad bin Ahmad ‘Illisy (w. 1299 H) salah satu ulama mazhab Malikiyah di dalam kitabnya Manhul Jalil Syarh Mukhtashar al-Khalil menuliskan sebagai berikut :
Hukum kenajisan terhadap benda cair akan hilang jika terjadi perubahan pada benda cair tersebut, Sebuah hukum bisa ditiadakan jika tidak adanya ilat (sebab). Sebagaimana hilangnya keharaman khamr dan kenajisannya dikarenakan telah lenyap penyebab mabuk dengan cara menjadikannya sebagai cuka.[13
3. Madzhab Syafi’i
Asy-Syairazi (w. 476 H) salah satu ulama mazhab Syafi’iyah di dalam kitabnya al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut :
Adapun khamr hukumnya najis, sebagaimana firman Allah : Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(Al-Maidah : 90). Karena kenajisannya itu maka khamr haram dikomsumsi jika bukan pada saat darurat dan kenajisannya sama dengan kenajisan darah.[14]
Imam An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama mazhab Syafi’iyah di dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut :
Menurut kami khamr itu najis.[15]
4. Madzhab Hanbali
Imam Ibnu Qudamah (w. 620 H) salah satu ulama mazhab Hanabilah di dalam kitabnya al-Mughni menuliskan sebagai berikut :
Khamr itu najis dalam pandangan kebanyakan para ulama dikarenakan Allah Ta’ala mengharamkan dzatnya. Oleh karena itu khamr menjadi najis sebagaimana babi, setiap yang memabukkan itu haram dan najis sebagaimana telah kami sebutkan.[16]
Ibnu Muflih (w 884 H) salah satu ulama mazhab Hanabilah di dalam kitabnya al-Mubdi’ Syarhu al-Muqni’ menuliskan sebagai berikut :
Khamr adalah sesuatu yang dapat menutupi dan mendisfungsikan akal. Kenajisannya sudah mencapai ijma.[17]
Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Hanabilah di dalam kitabnya al-Inshaf fii Ma’rifati ar-Rajih Minal Khilaf menuliskan sebagai berikut :
Benda-benda najis itu tidak bisa disucikan dengan cara istihalah atau dengan api kecuali khamr. Ini adalah pendapat madzhab ini (hanbali) tanpa diragukan lagi, juga mayoritas pendapat ulama madzhab mendukung pendapat ini.[18]
5. Madzhab Zhahiri
Ibnu Hazm (w. 456 H) salah satu ulama mazhab Zhahiriyah di dalam kitabnya al-Muhalla bil Atsar menuliskan sebagai berikut :
Khamr, judi, berhala, anak panah (yang digunakan mengundi nasib) Adalah sesuatu yang najis, haram serta wajib dijauhi. Siapa saja yang membawanya ketika shalat maka batal shalatnya.
D. Pendapat Yang Tidak Menajiskan Khamr
Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa khamr itu suci dan tidak najis sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf. Berikut ini kutipan lengkap yang penulis sadur dari kitab-kitab para ulama.
Imam al-Qurtubi (w 671 H) dalam kitabnya al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an menuliskan sebagai berikut :
Beberapa ulama berbeda pendapat dengan jumhur ulama, mereka adalah al-Laits bin Sa’ad, al-Muzani dari kalangan Syafi’i, sebagian ulama mutaakhirin dari baghdad dan Qarawi. Mereka berpendapat bahwa khamr itu suci dan yang diharamkan adalah meminumnya.[19]
Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitabnya al-Majmu’ menuliskan sebagai berikut :
Khamr itu hukumnya najis menurut madzhab kami (madzhab syafi’i), Malik, Abu Hanifah, Ahmad dan seluruh ulama kecuali pendapat (berbeda) yang diriwayatkan Al-Qadli Abu Thayyib dan yang lainnya bahwasanya Rabi’ah syaikh Imam Malik, serta Dawud mereka berdua berpendapat bahwa khamr itu suci meskipun hukumnya haram sebagaimana racun yang merupakan tanaman seperti ganja yang memabukkan.[20]
Imam ash-Shan’ani (w. 1182 H) ketika menjelaskan mengenai haramnya jual beli khamr, bangkai dan babi di dalam kitabnya Subulus Salam lebih memilih berpendapat bahwa khamr itu suci dikarenakan tidak kuatnya dalil yang menyatakan kenajisan khamr. Berikut ini petikan teksnya :
Dikatakan bahwa illah dari diharamkannya jual beli tiga jenis pertama (khamr, bangkai dan babi) adalah karena ketiga benda itu merupakan benda najis, namun dalil-dalil mengenai kenajisan khamr adalah dalil-dalil yang tidak kuat, begitu juga dengan kenajisan bangkai dan babi, maka konsekuensi dari pendapat bahwa illah dalam masalah ini adalah karena kenajisannya adalah bahwa semua benda najis itu haram diperjual belikan.
pendapat yang kuat adalah bahwa dalil yang menunjukkan bahwa illahnya adalah najis itu lemah, sebab illah dari diharamkannya jual beli ini sebab benda-benda tersebut adalah benda-benda yang haram.[21]
Imam asy-Syaukani (w 1250 H) dalam kitabnya as-Sailul Jarar menyatakan menuliskan sebagai berikut :
Menurutku : tidak ada dalil yang kuat untuk menyokong pendapat yang menyatakan kenajisan sesuatu yang memabukkan. Adapun ayat “Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(Al-Maidah : 90). Kata rijsun disini bukan bermakna najis melainkan bermakna haram.[22]
E. Dalil-dalil Yang Menunjukkan Kenajisan Khamr
Para ulama yang menyatakan khamr itu najis mengambil dalil Al-Quran dan Al-Hadits. Dari Al-Quran para ulama mengambil dalil dari ayat 90 surah al-Maidah yang di dalamnya terdapat kata rijsun yang oleh para ulama dan para ahli bahasa arab diartikan sebagai sesuatu yang najis.[23] Begitu juga dengan firman Allah Ta’ala :
Dan Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih. Q.S. Al-Insan 21.
Menurut Syekh Muhammad Amin asy-Syinqiti (w 1393 H) : minuman yang dimaksud dari ayat ini adalah khamr. khamr di dunia tidak suci (najis) berbeda dengan khamr di akhirat yang suci dan dapat diminum hal tersebut dikarenakan terdapat hukum-hukum yang khusus untuk akhirat. Sebagaimana hukum meminum dengan gelas yang terbuat dari perak yang diharamkan di dunia namun dibolehkan di akhirat.[24]
Sedangkan Dalil yang berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah sebagai berikut :
Ya, Nabi Allah! Sesungguhnya negeri kami negeri ahli kitab, dan sesungguhnya mereka biasa memakan daging babi dan meminum khamr, maka apa yang harus aku perbuat dengan bejana-bejana mereka dan panci-panci mereka? Beliau menjawab,”Jika kamu tidak mendapatkan yang selainnya, maka cucilah dan masaklah dengannya dan minumlah.” (H.R. Ahmad)
Dari hadits ini kita dapat melihat bahwa Rasulullah S.A.W menyuruh sahabatnya untuk mencuci bekas bejana yang telah dipakai untuk memasak khamr dan babi.
F. Dalil-dalil Yang Menunjukkan kesucian khamr,
1. Dalil pertama
Dari Anas Radhiyallahu Anhu, Aku pernah menjamu suatu kaum dengan minuman di rumah Abu Thalhah. Saat itu khmar mereka adalah Al Fadhikh (khamr yang terbuat dari buah kurma). Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkan seorang penyeru untuk menyerukan bahwa khamar telah diharamkan. Anas berkata: Maka Abu Tholhah berkata, kepadaku: Keluar dan tumpahkanlah. Maka aku keluar lalu aku tumpahkan. Maka khamar mengalir di jalan-jalan kota Madinah. Kemudian sebagian kaum berkata; Telah wafat sebagian orang sedangkan di perut mereka masih ada khamar, maka Allah subhanahu wata’ala menurunkan firmanNya (Q.S Ali ‘Imran ayat 93 yang artinya): (Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu..(H.R Bukhari)
2. Dalil kedua
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu bahwa dia berkata, Saya pernah menuangkan minuman dari Fadlikh dan Tamr (khamr yang terbuat dari kurma) kepada Abu Ubaidah bin Jarrah, Abu Thalhah dan Ubay bin Ka’ab, tiba-tiba seseorang datang kepada mereka sambil berkata, “Sesungguhnya khamr telah diharamkan.” Lantas Abu Thalhah berkata, “Wahai Anas, berdirilah! Ambil dan pecahlah bejana (khamr) ini.” Kemudian saya mengambil gentong milik kami dan saya pukul bawahnya hingga pecah.
Dari 2 hadist di atas menunjukkan akan kesucian khamr. Dimana dalam hadist tersebut para sahabat menumpahkan khamr di jalan dan di pasar-pasar. Seandainya saja khamr itu najis tentu para sahabat tidak akan menumpahkannya di jalan dan tentu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam melarang hal tersebut dan mereka akan diperintahkan untuk membuang khamr di selokan bukan di jalanan. Seperti halnya larangan buang hajat di jalanan. (H.R. Muslim)
3. Dalil ketiga
Dari Abdurrahman bin Wa’lah as-Saba’i Rahimalullah dari penduduk Mesir, bahwa dia pernah bertanya kepada Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhu tentang perasan anggur. Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu menjawab : Suatu ketika seorang laki-laki menghadiahkan sekantong khamr kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. beliau pun bersabda kepadanya: Belum tahukah kamu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengharamkannya? Laki-laki itu menjawab, “Belum.” Kemudian dia berbisik kepada orang yang ada di sampingnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: Apa yang kamu bisikkan kepadanya? dia menjawab, “Saya memerintahkan supaya menjualnya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Dzat yang mengharamkan untuk meminumnya juga mengharamkan untuk menjualnya.” Abu Sa’id melanjutkan, “Kemudian laki-laki tersebut membuka kantung khamr dan menumpahkan isinya semua. (H.R. Muslim)
Dalam hadist ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruh untuk mencuci bejana yang digunakan untuk menyimpan khamr, hal ini menunjukkan bahwasanya khamr tidaklah najis.
4. Dalil keempat
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Al-Maidah ayat 90)
Dalam ayat ini berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah dan khamr disebutkan dalam satu susunan kalimat. Maka sebagaimana ketiganya tidaklah termasuk sesuatu yang najis maka khamr pun juga tidak jauh berbeda dengan ketiganya.[25]
5. Dalil kelima
Istishhabul Ashl
Menurut Imam ash-Shan’ani (w. 1182 H) asal sebuah benda itu suci sampai datangnya dalil yang menunjukkan kenajisannya. Karena pengharaman tidak serta merta menjadikan sesuatu benda menjadi najis seperti haramnya racun yang dipergunakan untuk membunuh namun racun tersebut tidaklah najis. Hal ini juga sama dengan khamr, dimana nash-nash telah menyatakan keharamannya namun tidak ada yang dengan jelas menyatakan kenajisannya. Maka itulah khamr ini dihukumi tidak najis, namun jika ada yang menyatakannya sebagai benda najis maka wajib baginya mendatangkan dalil kenajisannya.[26]
Wallahu a’lam bishshawab
[1]. Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab maadah Khamra.
[2]. Fairuz Abadi, Kamus al-Muhith maadah khamra.
[3]. Mudawwanah Al-Kubra jilid 4 hal 523 cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyah. An-Nawawi, Raudhatu at-Thalibin jilid 10 hal 168 cet. Al-maktab al-Islami. Ibnu Qudamah, Al-Mughni jilid 9 hal 159 cet maktabah Al-Qahirah. Al-Buhuty,Kasysyafu al-Qinna’ jilid 6 hal 116. Cet Darul Fikr.
[4]. Ibnu abdin, Raddul Muhtar ‘Ala Durril Mukhtar jilid 5 hal 288. Cet Ihya At-Turats.
[5]. Ibnu abdin, Raddul Muhtar ‘Ala Durril Mukhtar jilid 5 hal 288. Cet Ihya At-Turats. Ibnu Qudamah, Al-Mughni jilid 9 hal 159 cet maktabah Al-Qahirah.
[6]. Al-‘Aini, al-Binayah Syarhu al-Hidayah. Jilid 1 hal 447. Cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyah. Ibnu Muflih, al-Mubdi’ Syarhu al-Mumti’. Jilid 1 hal 209. Cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyah.
[7]. Al-Kasani, Badai’ as-Shanai’ fi Tartib As-Syarai’ – jiild 1, hal. 66. Cet Darul Kutub ‘Ilmiyah.
[8]. Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarhu kanz ad-Daqaiq jilid 6 hal 54.
[9]. Al-‘Aini, al-Binayah Syarhu al-Hidayah. Jilid 1 hal 447. Cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyah.
[10]. Qadhi Abu Zadah, Majma’ al-Anhur fii Syarhi Multaqa al-Abhur jilid 1 hal 19 cet. Darul Ihya at-Turats.
[11]. Ibnu abdin, Raddul Muhtar ‘Ala Durril Mukhtar jilid 6 hal 449.
[12]. Al-Qarafi, Adz-Dzkhira jilid 1 hal 164.
[13]. ‘Illisy, Manhul Jalil Syarh Mukhtashar al-Khalil jilid 1 hal 42 cet. Darul fikr.
[14]. Asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, jilid 1 hal 93. Cet. Darul Kutub ‘ilmiyah.
[15]. An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 2 hal 563. Cet. Darul Fikr.
[16]. Ibnu Qudamah, al-Mughni, jilid 9 hal 171. Cet. Maktabah al-Qahirah.
[17]. Ibnu Muflih, al-Mubdi’ Syarhu al-Mumti’. Jilid 1 hal 209. Cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyah.
[18]. Al-Mardawi, al-Inshaf fii Ma’rifati ar-Rajih Minal Khilaf, jilid 1 hal 318. Cet Ihya at-Turats al-‘Arabi.
[19]. Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkami al-Quran, jilid 6 hal 288. Cet. Darul Kutub al-Mishriyah.
[20]. An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzdzab, jilid 2 hal 563. Cet. Darul Fikr.
[21]. Ash-Shan’ani, Subulus Salam, jilid 2 hal 4. Cet. Darul Hadits.
[22]. Asy-Sayukani, as-Sailul Jarar, jilid 1 hal 25. Cet. Daar Ibnu Hazm.
[23]. Ibnu Faris, Mu’jam Maqayisi al-Lughah, maadah rajasa jilid 2 hal 490. Cet. Darul Fikr yang ditahqiq oleh Abdus Salam Muhammad Harun.
[24]. Asy-Syinqitthi, Adwa Al-Bayan fi Idhah Al-Qur’an bil Quran. Jilid 8 hal 397. Cet. Darul Fikr Beirut.
[25]. Ibnu ‘Utsaimin, Majmu’ Fatawa Wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin. Jilid 11 hal 188.
[26]. Ash-Shan’ani, Subulus Salam. Jilid 1 Hal 49. Cet Darul Hadits.
Sahkah Sholat Di Belakang Imam Yang Fasik? Faisal Reza |
Apakah Khamr Itu Najis? Faisal Reza |
Sunahkah Mengumandangkan Adzan Saat Menguburkan Jenazah? Faisal Reza |
Bolehkah Seorang Wanita Haid Membaca Al-Quran? Faisal Reza |