Salah satu faktor kelemahan umat Islam di Indonesia adalah tidak adanya sosok ulama dalam arti yang sesungguhnya, yang berperan sebagai mufti resmi negara.
Padahal kedudukan mufti ini sangat strategis dan vital. Ada begitu banyak persoalan hukum Islam yang tidak bisa diselesaikan kecuali lewat ketetapan dari seorang mufti. Dan salah satu masalah itu adalah kewenangan untuk menetapkan kapan jatuhnya Hari Raya bagi umat Islam.
Sepanjang sejarah bangsa Indonesia merdeka, selalu muncul perbedaan pendapat di tengah umat tentang penetapan Hari Raya. Dan perbedaan pendapat itu tidak pernah ada yang menengahinya, dalam arti diberi kewenangan penuh secara hukum.
Berbeda dengan negara-negara mayoritas muslim lainnya, negara kita tidak punya institusi mufti. Sementara di negara-negara itu, mereka mengenal sosok mufti negara. Sosok mufti itulah satu-satunya pihak yang berwenang untuk menetapkan jadwal Hari Raya, setidaknya berlau untuk satu negara berdaulat tertentu.
Bila mufti Saudi Arabia telah menetapkan bahwa hari ini Idul Fithri, maka seluruh rakyat akan ikut ketetapannya. Meski pun ada sekian lusin kelompok umat Islam dengan beragam mazhab, entitas, aliran, harakah dan jamaah. Akan tetapi mereka bisa dipastikan akan berlebaran bersama-sama.
Bila mufti Mesir telah menetapkan bahwa hari ini mulai puasa Ramadhan, maka seluruh rakyat Mesir akan mulai puasa bersama-sama, dengan kompak, serempak, bareng-bareng, dan seragam. Tidak ada yang puasa duluan atau belakangan. Padahal di negera itu ada ribuan kelompok, mazhab, aliran, tanzim dan patai yang saling bermusuhan.
Mufti Indonesia (Betawi)
Namun ketiadaan mufti di masa sekarang ini tidak berarti bahwa sosok mufti itu sama sekali tidak pernah ada di negeri kita. Di masa lalu, ketika kita masih dijajah belanda, justru kita punya mufti sebagaimana yang kita dapati di berbagai negeri muslim lainnya.
Mufti kita saat itu adalah Sayyid Utsman, seorang sosok ulama yang menjadi guru dari semua guru agama, khususnya buat orang-orang betawi. Karena beliau memang lahir di betawi meski peranakan Hadhramaut. Dan diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda di ibukota jajahannya. Namun pengaruh beliau juga meluas ke berbagai wilayah di nusantara.
Nama lengkap beliau adalah Al-Habib Usman bin Yahya bin Aqil bin Syeikh bin Abdurahman bin Aqil bin Ahmad bin Yahya. Lahir di Pekojan, Jakarta Barat pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1238 H atau 1822 M. Ayahnya adalah Abdullah bin Aqil bin Syeikh bin Abdurahman bin Aqil bin Ahmad bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Syekh Abdurahman Al-Misri.
Sayyid Ustaman memang seorang keturunan Arab tapi sudah jadi orang betawi. Orang betawi di masa lalu lebih akrab memanggilnya habib. Tapi beliau bukan habib sembarang habib. Ilmu agama beliau memang sangat tinggi dan luas. Karya tulis beliau tidak kurang dari 80 judul kitab jumlahnya, yang umumnya sampai hari ini masih dipakai oleh orang-orang betawi untuk mengaji.
Belajar Agama
Ilmu agama yang beliau miliki antara lain hasil kerja keras berkelana ke berbagai penjuru dunia, antara lain beliau pernah belajar ke Mesir, Tunis, Aljazair, Yordania dan Turki, Mekah dan Hadramaut.
Guru beliau yang pertama adalah ayah beliau sendiri, Syeikh Yahya. Namun setelah itu beliau pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian bermukim disana selama 7 tahun untuk memperdalam ilmu agama. Di Mekah beliau berguru salah satunya kepada Mufti Mekah, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.
Selanjutnya pada tahun 1848 berangkat ke Hadramaut untuk belajar. Di antara guru-gurunya antara lain Syekh Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri, Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahar.
Dari Hadramaut beliau melanjutkan perjalanan mencari ilmu ke Mesir, negeri gudangnya ilmu. Beliau sempat tinggal di Kairo walaupun hanya untuk 8 bulan. Kemudian meneruskan perjalanan lagi ke Tunis dan berguru kepada Syekh Abdullah Basya. Kemudian beliau juga pergi ke Aljazair dan belajar pada Syekh Abdurahman Al-Magribhi. Bahkan beliau pernah pergi ke Istanbul, Persia dan Syiria.
Maksud beliau berpergian dari satu negeri ke negeri lain adalah untuk memperoleh dan mendalami bermacam-macam ilmu seperti ilmu fiqh, tasawuf, tarikh, falak, dan lain-lain. Setelah itu kembali ke Hadramaut.
Diangkat Belanda Menjadi Mufti
Karena itu ilmu beliau memang bisa diterima karena banyak pergaulannya serta sangat luas, maka diangkatlah beliau menjadi mufti Betawi oleh pemerintah Hindia Belanda.
Tahun 1862 M./1279 H. tercatat beliau kembali ke Batavia dan menetap disitu hingga diangkat menjadi Mufti menggantikan mufti sebelumnya, Syekh Abdul Gani yang telah lanjut usianya, dan sebagai Adviseur Honorer untuk urusan Arab ( 1899 – 1914 ) di kantor Voor Inlandsche Zaken.Menarik juga kalau kita amati. Justru di masa Belanda yang status kita ini dijajah, kita malah punya mufti. Sebaliknya, ketika kita sudah merdeka, malah tidak punya mufti, sehingga begitu banyak urusan umat Islam yang terbengkalai.
Entah kenapa justru setelah merdeka kita tidak mufti negara. Konon salah satu alasannya karena ternyata negara kita ini bukan negara Islam, maka tidak perlu mufti. Padahal kenyataannya, suka atau tidak suka, justru negara kita ini adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Lebih dari 230 juta orang Islam menjadi warga negera Indonesia. Makanya kita juga tidak mau dibilang bahwa Indonesia negara kafir. Akhirnya, negara ini termasuk negara yang 'bukan-bukan'.
Murid-murid
Sebelum menjadi mufti, sebenarnya beliau sudah menjadi guru agama dengan jumlah murid yang sangat banyak. Boleh dibilang, dari beliau itulah hampir semua guru, muallim, kiyai dan tokoh agama menuntut ilmu. Boleh dibilang, orang-orang betawi memang punya sanad ilmu, mirip dengan di masa salaf dulu, dimana setiap ulama pasti punya jalur dari mana mereka mendapatkan ilmunya.
Kalau orang betawi mengenal sosok Habib Ali Al-Habsyi Kwitang, yang menjadi guru dari Kiyai Abdullah Syafi'i (Perguruan Asy-Syafi'iyah) dan KH. Thahir Rahili (Perguruan At-Thahiriyah), maka ketahuilah bahwa guru keduanya, Habib Ali Al-Habsyi Kwitang ini, adalah salah satu murid dari sekian banyak Sayyid Utsman.
Murid-murid beliau yang lain adalah KH. Mansyur (1878-1967), Jembatan Lima. Yusuf Mansyur yang kondang itu konon mengaku sebagai cicit dari kiyai ini. Guru Mansyur, begitu panggilan akrabnya, merupakan seorang ilmuwan Betawi di zaman penjajahan Belanda.
Tokoh terkenal lain yang juga menjadi murid Sayyid Utsman adalah Sayid Abu Bakar Al-Habsyi Kebun Jeruk Jakarta. Juga ada Sayyid Muhammad bin Abdurrahman Pekojan, Kiyai Makruf Kampung Petunduan Senayan, Tuanku Raja Kemala Aceh, Kiyai Muhammad Thabarani, penghulu Pekojan Jakarta dan lainnya.
Karya Tulis
Sayyid Ustman setidaknya pernah menulis 80-an kitab agama yang berguna. Di antara karya beliau antara lain kitab Al-Qawanin Asy-Syar'iyah lil Mahkamah wal Iftaiyah. Kitab ini kitab yang lengkap menjelaskan dengan detail hukum-hukum nikah, talak dan ruju' yang berguna untuk dipakai di dalam pengadilan syariah. Kitab ini adalah rujukan buat para penghulu, qadi, hakim dan pemimpin agama dalam memutuskan perkara umat Islam.
Selain itu beliau juga menulis kitab Iqadzu An-Niyam fimaa Yata'alaqu bi Al-Hilal wa Ash-Shiyam. Kitab ini terkait dengan fatwa serta petunjuk dalam menetapkan hilal Ramadhan serta tata aturan puasa.
Juga beliau menulis kitab I'anatul Mustarsyidin, yang isinya menolak pendapat kalangan anti ulama dan mazhab fiqih, yang saat itu banyak menggerogoti umat Islam. Dan ada pula kitab dengan thema yang sama, namun digubah dalam bentuk syair, berjudul Thariqu As-Salamah Min Al-Khusran wa An-Nadamah.
Penulis sewaktu kecil pernah belajar mengaji di kampung dengan guru ngaji anak-anak. Kitab itu berjudul Babul Minan dan Sifat Dua Puluh. Ternyata baru sekarang penulis tahu bahwa kedua kitab itu adalah karangan Sayyid Utsman. Dan buku kecil doa-doa yang berjudul Maslakul Akhyar, ternyata juga karangan beliau.
Kelangkaan Ulama
Kalau hari ini ada sebuah gerakan dakwah atau harakah yang konon ingin menegakkan syariat atau negara Islam, maka seharusnya gerakan itu harus punya program serius untuk melahirkan sosok-sosok ulama betulan, dengan level ilmu, kewibawaan serta kealiman sebagaimana Sayyid Ustman ini. Bagaimana bisa mendirikan negara Islam apalagi khilafah, lha wong ulamanya saja tidak ada?
Kalau hari ini ada lembaga pendidikan, apa itu TKIT, SDIT, SMPIT, SMUIT dan apalah yang pakai IT-IT-an, maka seharusnya kurikulumnya sudah sejak awal sudah diarahkan agara melahirkan sosok-sosok seperti Sayyid Utsman ini. Bagaimana mau membangun peradaban Islam, kagak punya ulama?
Kalau hari ini ada 5000-an mahasiswa kita di Mesir dan negara-negara timur tengah lainnya yang sedang belajar agama, maka sebaiknya mereka jangan pulang kecuali setelah bisa menjadi ulama selevel dengan Sayyid Ustman ini. Sebab percuma saja belajar jauh-jauh meninggalkan kampung halaman berpuluh tahun, sampai babenya jual sawah dan kebon di kampung buat membiayai, eh ternyata begitu pulang cuma bisa bikin novel, main film, jualan habbah sauda', melayani bekam ruqyah, atau mengirim TKW ke arab. Ilmunya mana? Ittaqillah ya jamaah ...
Kalau hari ini ada berbagai ormas Islam dengan berbagai aktifitasnya yang beragam, sampai seringkali harus bentrok satu dengan lainnya, karena rebutan lahan, maka seharusnya program unggulannya adalah bagaimana mengkader orang-orang yang kualitasnya seperti Sayyid Utsman ini.
Kalau hari ini ada banyak program agama di TV swasta di negeri kita, seharusnya orang-orang seperti Sayyid Utsman inilah yang berhak tampil menyampaikan ilmunya. Bukannya menampilkan badut-badut yang sekedar berceramah sambil ngelawak dan berteriak dengan yel-yel mirip suporter sepakbola. Padahal kalau kita peras kepalanya, satu pun ilmu keluar dari kepala itu. Cuma sorban, gamis dan asesorisnya saja yang dimirip-miripkan dengan ulama, tapi ilmunya NOL BESAR