Di antara ciri atau karakteristik mendasar Islam dan segenap ajarannya adalah wasathiyyah atau bersifat pertengahan dan adil. Dalam artian ajaran Islam selalu menekankan aspek proporsional dan keadilan dalam berbagai aplikasi ajarannya.
Sebagai satu contoh, dalam menyikapi posisi para Nabi ‘alaihissalam, Islam mengajarkan sikap yang proposional dengan menempatkan mereka pada tempat yang semestinya sebagaimana ditentukan oleh Allah SWT. Imam Ibnu Jarir Ath Thabari dalam tafsirnya, Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Ayy Al Qur’an berkata:
وأرى أن الله تعالى ذكره إنما وصفهم بأنهم"وسَط"، لتوسطهم في الدين، فلا هُم أهل غُلوٍّ فيه، غلوَّ النصارى الذين غلوا بالترهب، وقيلهم في عيسى ما قالوا فيه - ولا هُم أهلُ تقصير فيه، تقصيرَ اليهود الذين بدَّلوا كتابَ الله، وقتلوا أنبياءَهم، وكذبوا على ربهم، وكفروا به؛ ولكنهم أهل توسط واعتدال فيه. فوصفهم الله بذلك، إذ كان أحبَّ الأمور إلى الله أوْسطُها.
“Aku berpendapat bahwasannya Allah mensifati umat ini dengan wasath karena posisi pertengahan mereka dalam beragama, mereka bukanlah para ekstrimis, sebagaimana ekstrimnya kalangan Nashrani dalam peribadatan dan perkataan mereka tentang Isa, dan mereka bukanlah para ekstrimis sebagaimana ekstrimnya kalangan Yahudi yang telah merubah-ubah kitab Allah, membunuh para Nabi, berdusta pada tuhannya, serta kufur kepada-Nya. Akan tetapi mereka adalah orang-orang pertengahan yang dapat bersikap adil dan proporsional dalam hal tersebut. Oleh sebab itu Allah mensifati mereka dengannya, karena sesungguhnya setiap perkara yang paling disukai Allah adalah perkara yang pertengahan.” (Ibn Jarir ath Thabari, Jâmi’ al Bayân ‘an Ta’wîl Ay al Qur’ân, 3/142).
Namun faktanya, dalam sepanjang lintasan sejarah umat Islam selalu saja ada sikap-sikap beragama yang cenderung ekstrim, baik dalam tataran tindakan kongkrit maupun pemahaman terhadap hukum-hukum agama. Dalam konteks ini Ibn Qayyim Al Jauziyah berkata:
وما أمر الله بأمر إلا وللشيطان فيه نزغتان : إما إلى تفريط وإضاعة وإما إلى إفراط وغلو ودين الله وسط بين الجافي عنه والغالي فيه
“Allah tidak memerintahkan sesuatu melainkan syetan mempunyai dua bisikan, kepada keteledoran dan pengabaian atau kepada berlebih-lebihan dan ghuluw. Agama Allah ada di antara keduanya, antara yang teledor dan yang ghuluw.” (Ibn Qayyim Al Jauziyah, Madârij as Sâlikîn baina Manâzil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în, h. 371).
Sebagaimana sikap ekstrim tersebut pernah diperlihatkan tiga orang shahabat Nabi SAW ketika mereka bertanya kepada para istri Rasul tentang ibadah beliau. Hingga akhirnya salah satu di antara mereka berkata, “Maka aku akan selalu shalat malam dan tidak akan tidur”. Yang kedua berkata, “Adapun aku, maka aku akan berpuasa sepanjang hari dan tidak akan berbuka.” Dan yang ketiga berkata, “Sedangkan aku tidak akan menikah selama-lamanya”. Mendengar hal tersebut lantas Rasulullah melarang mereka melakukan itu dan berkata, “Sedangkan aku, maka aku shalat malam dan tidur, berpuasa dan berbuka, dan menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Ahmad, ‘Abd bin Humaid, Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Hibban dari Anas bin Malik RA).
Atau sikap ekstrim yang dipertontonkan kaum khawarij yang berani mengkafirkan sebagian shahabat Nabi SAW. Hingga dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib RA pernah memerangi mereka setelah beliau mendapat kabar bahwa mereka telah membunuh salah satu anak shahabat Nabi dan membelah perut istrinya yang sedang hamil.
Atau sikap ekstrim kaum syiah rafidhah dalam mencintai ahlul bait nabi hingga memposisikan mereka layaknya tuhan yang disembah padahal ahlul bait nabi berlepas diri dari mereka.
Atau sikap ekstrim kaum inkar as sunnah yang menolak hadits nabi SAW sebagai salah satu sumber utama ajaran Islam dan hanya menjadikan Al Qur’an dan akalnya (baca: hawa nafsu) semata sebagai dasar beragama. Padahal dalam banyak ayat Al Qur’an, Allah SWT memerintahkan untuk selalu taat kepada Nabi SAW dalam arti menjadikan perkataan dan perbuatannya (hadits) sebagai pedoman, uswah, dan qudwah dalam beragama.
FAKTOR-FAKTOR LAHIRNYA EKSTRIMISME DALAM BERAGAMA
Timbul pertanyaan dibenak kita, faktor apa sajakah yang menjadi latar belakang lahirnya sikap-sikap ekstrim tersebut?.
Dalam hal ini Abdurrahman bin Mu’alla al Luwaihiq dalam bukunya yang merupakan disertasinya di Univ. Imam Muhammd bin Su’ud, Musykilât al Ghuluw fî ad Dîn fî al ‘Ashr al Hâdhir, secara mendetail mengidentifikasikan faktor-faktor atau sebab-sebab yang melatar belakangi lahirnya sikap ekstrim/ghuluw di tengah-tengah masyarakat muslim kontemporer. Ia mengklasifikasikannya dalam tiga sebab utama;
Pertama, Sebab-sebab yang berkaitan dengan metodologi ilmiah (al asbâb al ‘ilmiyyah al manhajiyyah), yaitu;
Pertama: Sebab-sebab yang berkaitan dengan kebodohan (al asbâb al muta’alliqah bi al jahl), yang mencakup;
Kedua: Sebab-sebab yang berkaitan dengan metodologi ilmu (al asbâb al muta’alliqah bi al manhaj al ‘ilmî), yang mencakup;
Ketiga: Sebab-sebab yang berkaitan dengan perbuatan (al asbâb al muta’alliqah bi al manhaj al ‘amalî), yang mencakup;
Kedua, Sebab-sebab yang berkaitan dengan aspek kejiwaan dan didikan (al asbâb an nafsiyyah at tarbawiyyah), yaitu;
Pertama: Sebab-sebab pada aspek kejiwaan (al asbâb an nafsiyyah), yang mencakup;
Kedua: Sebab-sebab pada aspek didikan (al asbâb at tarbawiyyah), yang mencakup;
Ketiga, Sebab-sebab yang berkaitan dengan aspek sosial dan problematika dunia (al asbâb al ijtimâ’iyyah wa al ‘âlamiyyah), yaitu;
Pertama, Sebab-sebab pada aspek sosial (al asbâb al ijtimâ’iyyah) yang mencakup;
Kedua; Sebab-sebab terkait problematika dunia (al asbâb al ‘âlamiyyah), yang mencakup;
(lihat Abdurrahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Musykilât al Ghuluw fî ad Dîn fî al ‘Ashr al Hâdhir: al Asbâb, al Âtsar, al ‘Îlâj, hal. 68-653).
STANDAR ATAU DHAWABIT DALAM MENENTUKAN SIKAP EKSTRIM
Hanya saja, meskipun secara umum sikap ghuluw/ekstrim selalu berdampak negatif, namun para ulama yang kompeten telah menetapkan batasan-batasan suatu pemahaman maupun sikap dapat dikatagorikan sebagai bentuk ghuluw, berdasarkan standarisasi berikut;
(Lihat Abdurrahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Ghuluw Benalu dalam ber Islam, hal. 100, Yusuf al Qaradhawi, Ash Shahwah Al Islâmiyyah baina Al Jumûd wa At Tatharruf, 1/33-36,).
Wallahua’lam bi ash shawab
Isnan Ansory, M. Ag
Dosen dan Peneliti di Kampus Syariah, Rumah FIqih Indonesia (RFI) Jakarta