FIKRAH

Ekstrimisme Dalam Beragama

Ekstrimisme Dalam Beragama

by. Isnan Ansory, Lc, MA
Di antara ciri atau karakteristik mendasar Islam dan segenap ajarannya adalah wasathiyyah atau bersifat pertengahan dan adil. Dalam artian ajaran Islam selalu menekankan aspek proporsional dan keadilan dalam berbagai aplikasi ajarannya

Di antara ciri atau karakteristik mendasar Islam dan segenap ajarannya adalah wasathiyyah atau bersifat pertengahan dan adil. Dalam artian ajaran Islam selalu menekankan aspek proporsional dan keadilan dalam berbagai aplikasi ajarannya.


Sebagai satu contoh, dalam menyikapi posisi para Nabi ‘alaihissalam, Islam mengajarkan sikap yang proposional dengan menempatkan mereka pada tempat yang semestinya sebagaimana ditentukan oleh Allah SWT. Imam Ibnu Jarir Ath Thabari dalam tafsirnya, Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Ayy Al Qur’an berkata:


وأرى أن الله تعالى ذكره إنما وصفهم بأنهم"وسَط"، لتوسطهم في الدين، فلا هُم أهل غُلوٍّ فيه، غلوَّ النصارى الذين غلوا بالترهب، وقيلهم في عيسى ما قالوا فيه - ولا هُم أهلُ تقصير فيه، تقصيرَ اليهود الذين بدَّلوا كتابَ الله، وقتلوا أنبياءَهم، وكذبوا على ربهم، وكفروا به؛ ولكنهم أهل توسط واعتدال فيه. فوصفهم الله بذلك، إذ كان أحبَّ الأمور إلى الله أوْسطُها.


Aku berpendapat bahwasannya Allah mensifati umat ini dengan wasath karena posisi pertengahan mereka dalam beragama, mereka bukanlah para ekstrimis, sebagaimana ekstrimnya kalangan Nashrani dalam peribadatan dan perkataan mereka tentang Isa, dan mereka bukanlah para ekstrimis sebagaimana ekstrimnya kalangan Yahudi yang telah merubah-ubah kitab Allah, membunuh para Nabi, berdusta pada tuhannya, serta kufur kepada-Nya. Akan tetapi mereka adalah orang-orang pertengahan yang dapat bersikap adil dan proporsional dalam hal tersebut. Oleh sebab itu Allah mensifati mereka dengannya, karena sesungguhnya setiap perkara yang paling disukai Allah adalah perkara yang pertengahan.”  (Ibn Jarir ath Thabari, Jâmi’ al Bayân ‘an Ta’wîl Ay al Qur’ân, 3/142).


Namun faktanya, dalam sepanjang lintasan sejarah umat Islam selalu saja ada sikap-sikap beragama yang cenderung ekstrim, baik dalam tataran tindakan kongkrit maupun pemahaman terhadap hukum-hukum agama. Dalam konteks ini Ibn Qayyim Al Jauziyah berkata:


وما أمر الله بأمر إلا وللشيطان فيه نزغتان : إما إلى تفريط وإضاعة وإما إلى إفراط وغلو ودين الله وسط بين الجافي عنه والغالي فيه


Allah tidak memerintahkan sesuatu melainkan syetan mempunyai dua bisikan, kepada keteledoran dan pengabaian atau kepada berlebih-lebihan dan ghuluw. Agama Allah ada di antara keduanya, antara yang teledor dan yang ghuluw.” (Ibn Qayyim Al Jauziyah, Madârij as Sâlikîn baina Manâzil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în, h. 371).


Sebagaimana sikap ekstrim tersebut pernah diperlihatkan tiga orang shahabat Nabi SAW ketika mereka bertanya kepada para istri Rasul tentang ibadah beliau. Hingga akhirnya salah satu di antara mereka berkata, “Maka aku akan selalu shalat malam dan tidak akan tidur”. Yang kedua berkata, “Adapun aku, maka aku akan berpuasa sepanjang hari dan tidak akan berbuka.” Dan yang ketiga berkata, “Sedangkan aku tidak akan menikah selama-lamanya”. Mendengar hal tersebut lantas Rasulullah melarang mereka melakukan itu dan berkata, “Sedangkan aku, maka aku shalat malam dan tidur, berpuasa dan berbuka, dan menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Ahmad, ‘Abd bin Humaid, Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Hibban dari Anas bin Malik RA).


Atau sikap ekstrim yang dipertontonkan kaum khawarij yang berani mengkafirkan sebagian shahabat Nabi SAW. Hingga dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib RA pernah memerangi mereka setelah beliau mendapat kabar bahwa mereka telah membunuh salah satu anak shahabat Nabi dan membelah perut istrinya yang sedang hamil.


Atau sikap ekstrim kaum syiah rafidhah dalam mencintai ahlul bait nabi hingga memposisikan mereka layaknya tuhan yang disembah padahal ahlul bait nabi berlepas diri dari mereka.


Atau sikap ekstrim kaum inkar as sunnah yang menolak hadits nabi SAW sebagai salah satu sumber utama ajaran Islam dan hanya menjadikan Al Qur’an dan akalnya (baca: hawa nafsu) semata sebagai dasar beragama. Padahal dalam banyak ayat Al Qur’an, Allah SWT memerintahkan untuk selalu taat kepada Nabi SAW dalam arti menjadikan perkataan dan perbuatannya (hadits) sebagai pedoman, uswah, dan qudwah dalam beragama.

 

FAKTOR-FAKTOR LAHIRNYA EKSTRIMISME DALAM BERAGAMA

 

Timbul pertanyaan dibenak kita, faktor apa sajakah yang menjadi latar belakang lahirnya sikap-sikap ekstrim tersebut?.


Dalam hal ini Abdurrahman bin Mu’alla al Luwaihiq dalam bukunya yang merupakan disertasinya di Univ. Imam Muhammd bin Su’ud, Musykilât al Ghuluw fî ad Dîn fî al ‘Ashr al Hâdhir, secara mendetail mengidentifikasikan faktor-faktor atau sebab-sebab yang melatar belakangi lahirnya sikap ekstrim/ghuluw di tengah-tengah masyarakat muslim kontemporer. Ia mengklasifikasikannya dalam tiga sebab utama;


Pertama, Sebab-sebab yang berkaitan dengan metodologi ilmiah (al asbâb al ‘ilmiyyah al manhajiyyah), yaitu;


Pertama: Sebab-sebab yang berkaitan dengan kebodohan (al asbâb al muta’alliqah bi al jahl), yang mencakup;

  1. kebodohan terhadap Al Qur’an,
  2. kebodohan terhadap As Sunnah,
  3. kebodohan terhadap manhaj salaf,
  4. kebodohan terhadap tujuan-tujuan syariat (maqashid asy syari’ah),
  5. kebodohan terhadap sunnah-sunnah rabbaniah,
  6. kebodohan terhadap hakikat iman dan kaitannya dengan amal,
  7. kebodohan terhadap tingkatan-tingkatan hukum,
  8. kebodohan terhadap tingkatan-tingkatan manusia,
  9. kebodohan terhadap bahasa Arab, dan
  10. kebodohan terhadap sejarah.

Kedua: Sebab-sebab yang berkaitan dengan metodologi ilmu (al asbâb al muta’alliqah bi al manhaj al ‘ilmî), yang mencakup;

  1. menjauhi para ulama,
  2. at ta’wîl dan at tahrîf,
  3. mengikuti yang mutasyâbihât,
  4. tidak mengompromikan di antara beberapa dalil,
  5. menentukan hukum secara langsung dari nash dan metode yang kaku dalam memahami nash,
  6. ijtihad yang dilakukan bukan oleh pakarnya,
  7. terlalu disibukkan oleh hadits-hadits tentang fitnah, dan
  8. bersandar pada mimpi-mimpi.

Ketiga: Sebab-sebab yang berkaitan dengan perbuatan (al asbâb al muta’alliqah bi al manhaj al ‘amalî), yang mencakup;

  1. tergesa-gesa (al isti’jâl),
  2. fanatik buta (at ta’ashshub), dan
  3. tidak peduli dengan kondisi manusia dan alasan-alasannya.

Kedua, Sebab-sebab yang berkaitan dengan aspek kejiwaan dan didikan (al asbâb an nafsiyyah at tarbawiyyah), yaitu;


Pertama: Sebab-sebab pada aspek kejiwaan (al asbâb an nafsiyyah), yang mencakup;

  1. hilangnya kebersamaan,
  2. tidak terpenuhinya kebutuhan hidup,
  3. kegoncangan jiwa dan akhlaq,
  4. kegoncangan perasaan, dan
  5. thabiat yang keras.

Kedua: Sebab-sebab pada aspek didikan (al asbâb at tarbawiyyah), yang mencakup;

  1. lemahnya kesabaran,
  2. putus asa,
  3. thabiat pemuda,
  4. mengikuti hawa nafsu,
  5. permusuhan, dan
  6. kekosongan dalam metodologi pendidikan.

Ketiga, Sebab-sebab yang berkaitan dengan aspek sosial dan problematika dunia (al asbâb al ijtimâ’iyyah wa al ‘âlamiyyah), yaitu;


Pertama, Sebab-sebab pada aspek sosial (al asbâb al ijtimâ’iyyah) yang mencakup;

  1. hilangnya syariat Allah dalam aspek hukum di mayoritas negara-negara kaum muslimin,
  2. kerusakan akidah,
  3. ditinggalkannya amar ma’ruf dan nahi mungkar,
  4. ketidak harmonisan hubungan antara penguasa dan rakyat,
  5. tuduhan dan penghinaan,
  6. sikap keras,
  7. kerusakan akhlaq,
  8. kemiskinan,
  9. hilangnya peran ulama,
  10. hilangnya kepercayaan diri umat Islam,
  11. sekulerisasi,
  12. kebobrokan media-media informasi,
  13. hilangnya tradisi syura,
  14. sektarian, dan
  15. kekalahan politik dan militer.

Kedua; Sebab-sebab terkait problematika dunia (al asbâb al ‘âlamiyyah), yang mencakup;

  1. phobia terhadap ajaran Islam dalam skala global, dan
  2. runtuhnya khilafah Utsmaniah.

(lihat Abdurrahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Musykilât al Ghuluw fî ad Dîn fî al ‘Ashr al Hâdhir: al Asbâb, al Âtsar, al ‘Îlâj, hal. 68-653).


STANDAR ATAU DHAWABIT DALAM MENENTUKAN SIKAP EKSTRIM

 

Hanya saja, meskipun secara umum sikap ghuluw/ekstrim selalu berdampak negatif, namun para ulama yang kompeten telah menetapkan batasan-batasan suatu pemahaman maupun sikap dapat dikatagorikan sebagai bentuk ghuluw, berdasarkan standarisasi berikut;

  1. Pembatasan pengertian ghuluw harus didasarkan kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam artian, untuk menghukumi sebuah sikap merupakan ghuluw hendaklah berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah bukan berdasarkan hawa nafsu, prasangka apalagi kepentingan musuh-musuh agama.
  2. Ghuluw dalam kehidupan kontemporer merupakan realitas yang tidak perlu dipungkiri.
  3. kondisi agama (al wazi’ ad diniy) seseorang dan masyarakat sekitarnya, kuat dan lemahnya kondisi tersebut mempunyai pengaruh untuk menghukumi seseorang sebagai palaku ghuluw, setengah ghuluw atau sama sekali tidak. Sebab, barang siapa yang berpegang teguh terhadap agama dan hidup ditengah masyarakat yang memiliki komitmen tinggi terhadap agama, maka perasaannya langsung bangkit jika mendapati sebuah kemungkaran atau pengabaian dalam penegakkan hukum-hukum syariat. Sementara orang yang tidak ambil pusing dan hidup ditengah masyarakat yang acuh tak acuh terhadap agama, maka perasaannya menjadi kebal, tidak melihat suatu dosa sebagai sebuah kesalahan namun disisi lain ia melihat komitmen seseorang terhadap agamanya sebagai sebuah ghuluw/sikap ekstrim.
  4. Menghukumin sesuatu sebagai ghuluw terhadap seseorang atau penafiannya berbeda-beda menurut kondisi dan miliu. Melawan penguasa zhalim yang memusuhi Islam memungkinkan disebut jihad. Hal ini terjadi jika penguasa yang diperangi itu melakukan kekufuran yang nyata, lengkap dengan bukti-buktinya. Tapi memungkinkan juga disebut ghuluw jika penguasa yang hendak diperagi itu tidak melakukan kekufuran dan juga tidak ada bukti atas kekufurannya. Semua ini tergantung kepada perbedaan kondisi dan situasi.

(Lihat Abdurrahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Ghuluw Benalu dalam ber Islam, hal. 100, Yusuf al Qaradhawi, Ash Shahwah Al Islâmiyyah baina Al Jumûd wa At Tatharruf, 1/33-36,).


Wallahua’lam bi ash shawab


Isnan Ansory, M. Ag

Dosen dan Peneliti di Kampus Syariah, Rumah FIqih Indonesia (RFI) Jakarta




Judul lain :

Fiqih Islami
Isnan Ansory, Lc, MA
Menolak Taqlid Dalam Furuiyyah: Neo Muktazilah Qadariyyah
Isnan Ansory, Lc, MA
Adakah Qadha' Puasa bagi Orang yang Telah Meninggal?
Isnan Ansory, Lc, MA
Pendistribusian Kaffarat Jima' di Siang Bulan Ramadhan
Isnan Ansory, Lc, MA
Orang Awam Wajib Taqlid Kepada Ulama
Isnan Ansory, Lc, MA
Mujtahid Tarjih dalam Mazhab Imam Asy-Syafi'i
Isnan Ansory, Lc, MA
Ekstrimisme Dalam Beragama
Isnan Ansory, Lc, MA
Adakah Qadha' Sholat Bagi Orang Yang Telah Meninggal?
Isnan Ansory, Lc, MA
Tingkatan Fuqaha'
Isnan Ansory, Lc, MA
Moderasi Islam dalam Ibadah
Isnan Ansory, Lc, MA
Wasathiyyah/Moderasi Islam
Isnan Ansory, Lc, MA
Orang Awam Tetap Harus Belajar
Isnan Ansory, Lc, MA
Masalah Khilafiyyah: Apakah Termasuk Ranah Dakwah?
Isnan Ansory, Lc, MA
Wahyu Allah: Al Qur’an dan As Sunnah
Isnan Ansory, Lc, MA
Dua Banding Satu: Hikmah Dan Alternatifnya
Isnan Ansory, Lc, MA
Melafazkan Niat: Bid'ahkah?
Isnan Ansory, Lc, MA
Tidak Berpuasa Tanpa Uzur: Antara Kufur dan Dosa Besar
Isnan Ansory, Lc, MA
Kembalilah Kepada Ulama
Isnan Ansory, Lc, MA
Perbedaan Antara Zakat Maal dan Zakat Fitrah (1)
Isnan Ansory, Lc, MA
Perbedaan Antara Zakat Maal dan Zakat Fitrah (2)
Isnan Ansory, Lc, MA
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanbali (1)
Isnan Ansory, Lc, MA
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi (bag. 1)
Isnan Ansory, Lc, MA
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanbali (2)
Isnan Ansory, Lc, MA
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi (bag. 2)
Isnan Ansory, Lc, MA
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi (bag. 3)
Isnan Ansory, Lc, MA
Bermazhab Atau Mengamalkan Satu Mazhab?
Isnan Ansory, Lc, MA
Jadwal Shalat DKI Jakarta 15-5-2024
Subuh 04:34 | Zhuhur 11:51 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:48 | Isya 18:58 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia