Masa pemalsuan hadits pun masih berbekas pengaruhnya sampai datang masanya Imam Malik bin Anas (179 H). cara yang dipakai untuk meminimalisir masuk haidts palsu ke dalam syariat ini pun sama seperti apa yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah dalam menangkalnya, yaitu dengan menerima hadits mursal dari para Imam Ahli Madinah yang masuk dalam kelompok 7 Ahli fiqih Madinah, yang ketika itu beberapa di antaranya menjadi penasehat khalifah harun Al-Rasyid.
Salah satu punggawanya ialah Imam Sa’id bin Al-Musayyib (94 H). Mengambil hadits mursal dari para Imam Ahli Madinah, tentu jauh lebih aman dibanding mengambil hadits yang tidak jelas berseliweran, khawatir tentunya kalau itu hadits palsu. Berbeda dengan hadits mursal ini yang memang diriwayatkan oleh mereka yang sudah terpercaya, yaitu para Ahli Fiqih Madinah.
Imam Malik dan ‘Amal Ahli Madinah
Disamping hadits Mursal, yang masyhur dari madzhab Al-Maliki ini adalah penggunaannya terhadap ‘Amal Ahli Madinah sebagai sumber dalil dalam ibadah setelah Al-quran, Hadits Mutawatir, dan Ijma’.
Dan banyak dari beberapa kalangan yang mencibir ini, bahkan menghina Imam Malik meninggalkan hadits dan mendahulukan pekerjaan orang-orang yang tidak makshum (terjaga) sebagai landasan dalil. Ini aneh, bagaiamana Imam Malik yang disebut oleh para Ahli Hadits sebagai pemilik silsilah Al-Dzahabiyah (sanad emas) dalam hadits, (yaitu dari Imam Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar) itu dikatakan meninggalkan hadits Nabi saw?
Tunggu dulu! Kita lihat kenapa Imam Malik lebih memilih pekrjaan penduduk madinah dibanding hadits? Hadits Ahad tepatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang di setiap tingakatan sanadnya.
Kita lihat bahwa syariah itu dibangun secara menyeluruh oleh Nabi saw setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah. Jadi Madinah lah kota dimana syariah itu benar-benar dibangun dengan pondasi yang kuat. Maka setiap ibadah yang dilakukan oleh Nabi saw, pastilah itu dikerjakan di madinah (kebanyakan amal).
Karena Nabi saw adalah sumber syariah maka apa yang dilakukan oleh beliau saw menjadi syariah yang harus diikuti oleh orang muslim ketika itu, khususnya di Madinah. Dengan begitu, penduduk madinah sudah terbiasa dengan kebiasaan syariah sejak zaman Nabi sampai terus berlanjut ke masanya Imam Malik.
Maka ketika Imam Malik mendapati hadits ahad, yang diriwayatkan tunggal oleh setiap tingkatan sanadnya. Beliau menimbangnya dengan ‘Amal Ahli Madinah, apakah sejalan atau tidak? kalau bertentangan tentu ‘Amal Ahli Madinah lah yang dijalankan, bukan hadits Ahad tersebut. Kenapa?
‘Amal Ahli Madinah Lebih Kuat
Karena jalur periwayatan ‘Amal Ahli Madinah jauh lebih kuat, karena diriwayatkan oleh seluruh penduduk madinah yang jumlah sangat banyak sekali sampai kepada Nabi saw. Berbeda dengan hadits Ahad, yang hanya diriwwayatkan oleh satu orang di setiap tingkatannya. Mana yang lebih kuat satu orang atau satu negeri? Tentu satu negeri.
Tentu juga mengingat bahwa ketika masa itu masih ada beberapa pihak yang sering menyebarkan hadits palsu, dan hadits ahad sangat rentan terhadap masuknya pemalsuan dalam sanadnya, apalagi belum ada ketika itu istilah jarh wa ta’dil walaupun prkateknya sudah dilakukan tapi belum seketat masa-masa selanjutnya.
Berbeda dengan ‘Amal Ahli Madinah yang tidak mungkin dimasuki kepalsuan sebagaimana itu bisa masuk dalam sanad hadits. Karena itu lah beliau lebih prefer kepada pekerjaan penduduk madinah dibanding hadits ahad.
Yang dilakukannya ini tentu untuk melindungi syariah itu sendiri dari distorsi-dostorsi yang pasti merusak syariah dan kemurnian wahyu Allah swt.
Wallahu a’lam