FIKRAH

Hafal Kitab Suci, Beliau Dianggap Anak Tuhan

Hafal Kitab Suci, Beliau Dianggap Anak Tuhan

by. Ali Shodiqin, Lc
Seandainya mereka tahu bahwa anak-anak kaum muslimin telah hafal kitab sucinya semenjak usia dini, mungkin yang akan terlontar dari mulut mereka adalah "Sekarang anak-anak Tuhan sudah banyak, ya". Padahal bukan hanya satu atau dua anak yang hafal, ada jutaaan jumlahnya.

Menghafal, sebuah tradisi belajar yang memang identik dengan umat islam. Mengapa? Karena menghafal merupakan hal yang tidak akrab dengan orang-orang dari agama lain. Buat mereka menghafal merupakan hal yang sangat melelahkan, membosankan atau bahkan menjadi sesuatu yang mustahil bagi mereka.

Dalam muqaddimah kitab al-Hatstsu ‘Ala Hifdzi al-‘Ilmi (anjuran untuk menghafal ilmu) Imam Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa salah satu keutamaan yang Allah SWT berikan kepada umat islam adalah hafalan al-Qur’an dan juga berbagai ilmu pengetahuan.

Umat-Umat Terdahulu Dengan Hafalan

Ketika menghafal sudah menjadi tradisi dalam masyarakat islam, maka hal tersebut sangat bertolak belakang dengan keadaan umat-umat yang lain. Di saat umat islam sudah memulai mendidik anak-anak mereka untuk menghafal sejak usia dini, tidak demikian dengan umat-umat yang lain. Menghafal bagi mereka merupakan pekerjaaan yang membosankan dan melelahkan.

Dari usia kanak-kanak generasi umat islam sudah mulai dididik untuk menghafal al-Qur’an. Ya, kitab suci yang menjadi pedoman hidup kaum muslimin. Hasilnya para penghafal al-Qur’an sangat banyak sekali. Bahkan bisa dikatakan mayoritas umat islam hafal al-Qur’an baik keseluruhan atau hanya sebagian dari ayat dan surat dalam al-Qur’an.

Tradisi untuk menghafal kitab suci inilah yang tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain. Hampir tidak kita temukan seorang dari agama lain yang hafal kitab sucinya. Tidak hanya hafal isinya saja tapi redaksinya juga harus hafal dengan detail seperti halnya kaum muslimin menghafal al-Qur’an.

Anak-Anak Tuhan

Dalam al-Qur’an Allah SWT menjelaskan kepada kita tentang kaum-kaum yang mengklaim bahwa Allah SWT punya anak. Lalu siapakah yang mereka klaim sebagai anak Allah SWT dan apa alasannya? Mari kita simak ayat al-Qur’an yang terkait dengan hal tersebut. Allah SWT berfirman:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتْ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِؤُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" sedangkan orang-orang Nasrani berkata: "al-Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru Perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknati mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?”. (QS.at-Taubah : 30)

Al-Masih Putera Allah

Ya, orang-orang Nashrani lah yang mengklaim bahwa Nabi Isa adalah putera Allah SWT. Atas dasar apa klaim mereka tersebut? Dasarnya adalah logika? Bagi mereka semua harus sesuai dengan logika.

Logikanya setiap manusia pasti memiliki dua orang tua. Ya, setiap orang pasti mempunyai ibu dan bapak. Sedangkan Nabi Isa hanya punya ibu, jadi logikanya adalah bapak dari Nabi Isa adalah Allah SWT.

Sungguh logika yang ngawur. Bahkan bisa kita sebut mereka adalah kaum yang gagal dalam berlogika sehingga menjadi korban logika mereka sendiri. Dalam beragama, kita tidak harus mengedepankan logika. Tidak semua hal dalam agama bisa kita logikakan. Ada ranah dimana logika tidak bisa digunakan. Ya, ranah tersebut adalah ranah yang berkaitan dengan keimanan.

Seandainya kita memakai logika, maka seharusnya yang layak mereka klaim sebagai anak Allah SWT adalah Nabi Adam. Kenapa? Karena Nabi Adam tidak punya bapak dan juga ibu. Sedangkan Nabi Isa walaupun tidak punya bapak tapi masih memiliki ibu.

Hanya saja kita sebagai umat islam, kita lebih mengedepankan wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) dan keimanan dibandingkan dengan logika yang bersumber dari akal. Mengedepankan wahyu bukan berarti membuang jauh-jauh peran akal. Akal memang dibutuhkan dalam beragama selama penggunaan akal tersebut masih dalam ranah yang dibenarkan dalam agama.

Uzair Putera Allah

Lain kaum Nashrani, lain pula orang-orang Yahudi. Kalau orang-orang Nashrani mengklaim Isa al-Masih sebagai anak Allah SWT, justru orang-orang Yahudi beranggapan bahwa Uzair lah putera Allah SWT.

Lantas apa alasan yang melatarbelakangi klaim kaum Yahudi tersebut? Uzair adalah seorang yang dimatikan Allah SWT selama seratus tahun kemudian dibangkitkan lagi. Hal tersebut seperti yang diterangkan dalam beberapa riwayat yang dinukil oleh Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ke 259 dari surat al-Baqarah. Hal serupa beliau kutip dalam kitab Qashash al-Anbiya’ (kisah-kisah para nabi).

Singkat cerita setelah Allah SWT menghidupkan Uzair, beliau kembali ke desa tempat tinggalnya. Sungguh keadaan desa tersebut sudah sangat berbeda. Akhirnya ada seorang wanita yang berusia 120 tahun yang mengenalinya. Ya, dia dulunya adalah seorang budak wanita yang masih belia ketika Uzair meninggalkan kampungnya. Wanita tua tersebut sudah kehilangan penglihatan dan sudah tidak sanggup berdiri. Lantas Uzair mendoakannya dan jadilah dia bisa melihat dan berdiri kembali.

Wanita tua itu membawa Uzair menemui anak-anak beliau, cucu-cucu beliau dan juga kaum Yahudi yang ada disana. Sehingga ketika mereka semua telah percaya bahwa dia memanglah Uzair, mereka meminta Uzair untuk menuliskan kitab taurat buat mereka.

Ya, Uzair memang salah seorang yang hafal kitab taurat. Namun ketika terjadi penyerbuan pasukan Nebukadnezar terhadap bangsa Yahudi, dia menghancurkan seluruh kitab taurat yang ada. Walhasil, tidak ada kitab taurat yang tersisa yang bisa dijadikan pedoman hidup oleh kaum Yahudi.

Uzair teringat bahwa ayah beliau pernah memendam kitab taurat di dalam tanah, tidak ada seorang pun yang tahu kecuali Uzair. Beliau menggali dan mendapati lembaran-lembaran taurat tersebut disana. Hanya saja tulisan dalam lembaran tersebut sudah usang dan banyak yang hilang.

Uzair duduk di bawah pohon untuk menyempurnakan tulisan-tulisan yang hilang dengan di kelilingi Bani Israil. Tiba-tiba dua api turun dari langit dan keduanya masuk ke dalam tubuh Uzair. Akhirnya Uzair pun berhasil memperbaharui kitab taurat dengan hafalannya untuk Bani Israil.

Setelah kejadian itu Bani Israil mengatakan bahwa Uzair adalah anak Allah SWT. Sekali lagi logika bermain disini. Di samping penghormatan kepada Uzair, ungkapan itu juga muncul dari logika mereka. Logika bahwa tidak ada orang yang hafal firman tuhan kecuali dia adalah anak tuhan.

Hafalan, Salah Satu Bentuk Penjagaan Allah Terhadap al-Qur’an

Tidak ada jaminaan penjagaaan Allah SWT terhadap kitab-kitab samawi selain al-Qur’an. Dalam al-Qur’an Allah SWT telah memberikan jaminan penjagaan terhadap al-Qur’an. Hal tersebut terdapat dalam firmanNya:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS.al-Hijr : 9)

Salah satu bentuk penjagaan Allah SWT terhadap al-Qur’an, Allah SWT menggerakkan hati umat islam untuk menghafal kitab suci mereka. Di samping itu juga, Allah SWT menjadikan al-Qur’an mudah di hafal.

Tidak hanya al-Qur’an yang dihafal oleh kaum muslimin, bahkan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan al-Qur’an juga dihafal. Hadits-hadits Nabi SAW, atsar-atsar para sahabat dan juga pendapat serta kitab-kitab yang ditulis ulama salaf juga dihafal. Inilah keunggulan yang diberikan Allah SWT kepada umat Islam dibandingkan umat-umat yang lain.

Antara Isnad dan Hafalan

Isnad atau yang disebut juga dengan sanad memiliki kedudukan yang sangat urgen dalam agama Islam. Berikut akan saya nukilkan beberapa perkataan ulama seputar masalah isnad. Ibnu Sirin mengungkapkan urgensi Isnad dengan perkataannya: “Sesungguhnya ilmu ini (isnad) adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu”.

Ibnul Mubarak juga berkata: “Isnad itu termasuk dari agama, jika tidak ada isnad pasti orang berbicara semaunya sendiri”. Bahkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata: “Isnad itu termasuk kekhususan umat ini”.

Inilah yang menjaga keaslian dan keontetikan agama Islam. Setiap perkataan yang berhubungan dengan agama tidak hanya dihafal matannya, bahkan jalur periwayatannya juga dihafal. Menghafal memang sudah mendarah daging dalam tradisi umat Islam dalam menjaga kemurnian agamanya.

Isnad Dalam Tradisi Agama Lain

Dalam agama lain juga banyak ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan agama mereka. ketika ditanya tentang pemilik ungkapan tersebut, maka tidak seorang pun yang tahu. Dari sinilah setiap orang bisa berbicara seenaknya sendiri dan menisbatkannya semau mereka. Bahkan terkadang mereka berani memasukkan pendapatnya dalam kitab suci mereka.

Kenapa mereka begitu berani? Karena memang tidak ada ilmu tentang sanad dalam tradisi mereka. Menghafal kitab suci saja mereka tidak sanggup, apalagi harus menghafal jalur periwayatannya?!

Seandainya Mereka Tahu…

Hanya karena hafalan mereka menempatkan seseorang pada derajat yang sangat tinggi dan bahkan tidak masuk akal. Hal itu wajar-wajar saja mengingat tradisi menghafal merupakan hal yang berat dan mustahil bagi mereka. “Yang hafal firman tuhan pasti anak tuhan”. Ya, logika yang sangat aneh atau malah sangat keterlaluan.

Seandainya mereka tahu bahwa anak-anak kaum muslimin telah hafal kitab sucinya semenjak usia dini. Tidak hanya satu atau dua anak yang hafal. Banyak sekali anak-anak kaum muslimin yang sudah hafal firman Allah SWT. Ketika mereka tahu, mungkin yang akan terlontar dari mulut mereka adalah “SEKARANG ANAK-ANAK TUHAN SUDAH BANYAK YA…”.

Menghafal, Tangga Pertama Menggapai Ilmu Pengetahuan

Ketika kita membaca biografi ulama-ulama besar, kita akan mendapati bahwa mereka menuntut ilmu dimulai dengan cara menghafal. Urutan pertama adalah menghafal al-Qur’an kemudian dilanjutkan dengan hadits-hidits Nabi SAW.

Inilah dasar pendidikan dalam Islam. Hasilnya jelas. Para ulama telah membuktikan itu. Dari kedua hal inilah banyak ilmu pengetahuan yang dapat digali dan dikembangkan. Maka tidak aneh jika para ulama berhasil mencapai puncak ilmu pengetahuan dan peradaban dengan cara ini. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan berhasil ditemukan oleh para ilmuwan Islam.

Menghafal Di Usia Dini Tidak Ramah Otak???

Ini adalah racun yang disebarkan oleh para musuh Islam. Ketidaksanggupan mereka dalam menghafal, juga kedengkian mereka terhadap umat Islam membuat mereka ingin menjauhkan anak-anak Islam dari konsep menghafal di usia dini. Maka tidak heran jika kualitas pendidikan umat Islam sekarang sangat jauh kualitasnya dengan pendidikan para pendahulu kita.

Konsep pendidikan yang salah akan melahirkan generasi-generasi yang tidak berkualitas. Jauh dari kualitas para ulama Islam terdahulu. Sungguh sangatlah jauh. Bagaikan langit dan bumi.

Ulama-ulama termasuk Imam empat madzhab juga memulai menghafal sejak usia dini. Kebanyakan mereka telah menyelesaikan hafalan al-Qur’an ketika mereka berusia antara 7-10 tahun. Inilah konsep islam. Menghafal sejak usia dini.

Ilmu adalah Yang Dihafal

Dalam kamus para ulama yang namanya ilmu adalah yang dihafal, bukan yang ada dalam buku. Inilah ungkapan Imam Abdurrazzaq ibn Hammam: “ Setiap ilmu yang tidak dapat dibawa ke kamar mandi maka tidak dianggap sebagai ilmu”. Ungkapan semisal juga datang dari al-Ashma’i sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya al-Jami’ Lii Akhlaaq ar-Raawi Wa Aadab as-Saami’.

Akan tetapi yang perlu kita ingat bahwa ilmu tidak berhenti pada hafalan saja. Harus ada buah dari ilmu tersebut berupa amalan dan sesuatu yang bermanfaat. Imam asy-Syafi’i mengungkapkan hal tersebut dengan ungkapan yang indah:

ليسَ العلمُ ما حُفِظَ، إنما العلمُ ما نفعَ

“Bukanlah ilmu itu yang telah dihafal, sesungguhnya ilmu itu apa yang memberi manfaat”.

Oleh karena itu kita harus mensyukuri nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada umat ini berupa kemampuan menghafal. Menghafal dalam rangka menjaga kemurnian agama. Menghafal dalam rangka menuntut ilmu. Mencetak generasi-generasi penghafal ilmu sehingga lahirlah para ulama-ulama dan ilmuwan Islam yang akan membawa umat ini menuju kebangkitan.

Wallahu A’lam Bish Showab

 



Judul lain :

Rasul Juga Pernah Salah Berijtihad
Ali Shodiqin, Lc
Islam Bukan Agama Bonsai
Ali Shodiqin, Lc
Nikah Sunnah Nabi, Kok Banyak Ulama Membujang?
Ali Shodiqin, Lc
Hafal Kitab Suci, Beliau Dianggap Anak Tuhan
Ali Shodiqin, Lc
Yang Tidak Paham Fiqih Dilarang Masuk Pasar
Ali Shodiqin, Lc
Anak Kecil Tidak Mau Shalat, Siapa Yang Berdosa?
Ali Shodiqin, Lc
Beda Murid Salaf dengan Murid Sok Salaf
Ali Shodiqin, Lc
Tidak Bisa Jawab Pertanyaan, Berarti Bukan Ulama?
Ali Shodiqin, Lc
Imam Abu Hanifah, Bukan Guru Sembarang Guru
Ali Shodiqin, Lc
Imam Abu Hanifah Tidak Mungkin Salah !
Ali Shodiqin, Lc
Ijtihad di Zaman Nabi SAW
Ali Shodiqin, Lc
Perbedaan Adalah Sebuah Keniscayaan
Ali Shodiqin, Lc
Imam an-Nawawi mengharamkan Ilmu Kedokteran?
Ali Shodiqin, Lc
Jadwal Shalat DKI Jakarta 15-5-2024
Subuh 04:34 | Zhuhur 11:51 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:48 | Isya 18:58 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia