FIKRAH

Antara Fardhu 'Ain dan Fardhu Kifayah

Antara Fardhu 'Ain dan Fardhu Kifayah

by.
Dalam memahami fardlu kifayah, masyarakat kita terlalu fokus ke bagian pengertian yang kedua “jika ada yang mengerjakannya maka gugur kewajiban bagi yang lain.” namun kurang menekankan aspek "“Jika tidak ada yang mengerjakannya maka semua orang akan menanggung dosanya”.
Salah satu krisis yang menimpa negeri ini, yaitu krisis ulama’. Krisis ini tidak kalah berbahaya dan besar pengaruhnya jika dibandingkan dengan krisis yang lain seperti ekonomi, moral, politik, sosial dan lain-lain. Ini karena pengajaran agama yang benar sebenarnya merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang harus dipenuhi.

Hal ini karena sebagaimana jasad yang butuh nutrisi makanan bergizi, maka akal dan ruh juga membutuhkan nutrisi ilmu dan pencerahan rohani.

Untuk itulah diperlukan orang-orang yang siap mewakafkan dirinya untuk tugas dan pekerjaan mulia ini. Sebab jika tidak ada yang mau, maka ummat ini akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya, tidak tahu arah dan tujuan mereka dalam beragama.

Jika kita mengkorelasikannya dengan hukum fiqih maka inilah yang disebut dengan Fardlu Kifayah, yaitu suatu kewajiban yang ketika sudah ada yang mengerjakannya maka gugurlah kewajiban ini bagi yang lain, namun jika tidak ada yang mengerjakannya maka semua orang akan menaggung dosanya.

Namun yang harus kita perhatikan di sini adalah, bahwa harus ada keseimbangan antara jumlah ulama dan jumlah orang yang dibimbing. Jika kita ingin menganalogikannya dengan ilmu kesehatan, maka idealnya minimal setiap 200 orang dibutuhkan satu unit pelayanan kesehatan.

Jadi ketika berbicara skala Indonesia, maka kita membutuhkan paling tidak 1,25 juta unit pelayanan kesehatan untuk melayani kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Ini belum ditambah dengan perangkat-perangkat yang mendukungnya seperti dokter, perawat, apotek dan lain-lain.

Dari analogi ini maka sebenarnya kita harus sedikit merubah paradigma berfikir kita tentang fardlu kifayah. Dalam memahami fardlu kifayah, masyarakat kita terlalu fokus ke bagian pengertian yang kedua “jika ada yang mengerjakannya maka gugur kewajiban bagi yang lain.” Artinya ketika sudah ada orang yang melakukan kewajiban ini maka mereka seakan-akan ‘berlepas diri’ dan tidak mau tahu dengan kewajiban ini. “Lha wong sudah ada yang melakukannya koq, ngapain kita capek-capek.”

Contoh sederhananya pernah penulis saksikan ketika terjadi beberapa kali shalat jenazah di kampung tempat penulis tinggal. Jumlah orang yang menunggu di luar ternyata lebih banyak daripada jumlah orang yang ikut sholat. Mungkin ini didasari atas pemahaman di atas.

Maka, sebenarnya yang harus menjadi tugas kita adalah meluruskan pemahaman tentang fardhu kifayah ini, kita harus lebih menekankan aspek “Jika tidak ada yang mengerjakannya maka semua orang akan menanggung dosanya”. Artinya kita harus berfikir, “Bagaimana nasib kewajiban ini jika tidak ada yang mengerjakannya ? Kita jadi ikut berdosa dong ?”

Dengan demikian maka setiap orang akan berlomba-lomba untuk menjadi orang pertama yang mengerjakan kewajiban ini, karena kita juga harus ingat bahwa Allah memerintahkan kita untuk berlomba-lomba dan saling tolong menolong dalam kebaikan.

Jika kita kembali ke permasalahan kebutuhan ummat ini akan para ulama, maka bisa kita simpulkan bahwa kita harus lebih memperhatikan hal ini. Setiap orang islam wajib melaksanakan sholat, puasa, dan zakat serta haji bagi yang mampu, karena ini adalah kewajiban bagi setiap individu (fardlu ‘ain).

Namun ironisnya masih banyak yang belum paham mengenai hukum-hukum atau hal-hal yang berkaitan dengan ibadah-ibadah tersebut, baik secara global apalagi secara terperinci. Nah, di sinilah peran para ulama’ sebagai pembawa lentera yang membimbing para ummat agar tidak tersesat dalam perjalanan kehidupan mereka di dunia ini.

Contoh sederhana, seorang muslim tidak diwajibkan mempelajari ilmu tajwid secara mendetail, namun diwajibkan untuk membaca Al-Qur’an dengan tajwid yang benar. Lalu bagaimana dia akan tahu ini benar atau ini salah jika tidak ada orang yang membimbingnya?

Maka kebutuhan ini adalah kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi, sebelum ummat ini tersesat, atau ada pembimbingnya namun pembimbing tersebut justru pembimbing yang bisa menyesatkan dikarenakan kurangnya pemahamannya terhadap permasalahan yang dihadapi.

Apalagi saat ini banyak kita saksikan orang-orang yang dengan seenaknya berfatwa dan menjawab semua pertanyaan yang ditujukan kepadanya, meskipun kalau kita lebih jeli ternyata jawaban-jawaban tersebut tidak dilandasi dengan paham keilmuan yang benar.

Padahal definisi fatwa itu sendiri adalah “menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari pertanyaan baik si penanya jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif.”

Secara kasat mata, berarti orang yang berfatwa itu harus memiliki pemahaman yang mendalam terhadap hukum syara’ sebelum mengemukakan fatwanya.

Jadi, seorang mufti harus memiliki background ilmu syari’ah yang kuat sebelum mengeluarkan fatwa. Maka sangat disayangkan sekali jika banyak sarjana-sarjana syari’ah yang justru setelah lulus terjun di bidang yang jauh dari bidang keilmuan yang dia geluti ketika kuliah.

Kita harus menyadari bahwa tugas para ulama sebenarnya tidak lain kecuali meneruskan tugas para nabi dan rasul, karena mereka adalah para pewaris nabi yang memiliki tugas sentral untuk membimbing ummat. Coba kita renungkan perkataan Ibnul Qayyim dalam muqaddimah kitabnya I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin tentang betapa pentingnya kedudukan seorang mufti :

“Bila kedudukan mantadaris (penerima mandat) dari seorang raja merupakan kedudukan yang tidak diingkari keutamaan dan kemuliaannya, sebagai kedudukan tinggi dan terpuji, maka lebih-lebih lagi kedudukan seseorang yang mendapatkan mandat dari Rabb bumi dan langit.”

Ya, tugas seorang ulama’ memang berat, namun bukankah ini berarti tidak ada orang yang bisa menanggung amanah dan tugas ini kecuali orang-orang yang kuat?

Wallahu a'lam bisshawab



Judul lain :

Orisinalitas Syariat Islam
Krisis Ulama’: Penyebab dan Dampaknya (bag. 1)
Kompilasi Hukum Islam (KHI) : Antara Kritik dan Harapan
Adil Tak Selalu Sama Rata
Krisis Ulama': Penyebab dan Dampaknya (bag. 2)
Dukun Berkalung Surban
Ikhtilaf Itu Rahmat, Benarkah?
Awas, Sepupu Bukan Mahram
Bolehkah Wanita Ziarah Kubur?
Sholat Kok Sambil Jalan?
Penguburan Massal Dalam Pandangan Fiqih
Menyikapi Hidangan Ta'ziyah
Menelusuri Hukum Hiasan Dalam Masjid
Wajibkah Seorang Ibu Menyusui Anaknya?
Benarkah Imam Ahmad Seorang Ahli Fiqih?
Sejarah Istilah Fiqih dan Kitab Fiqih Pertama
Mengulangi Shalat Jamaah Dalam Satu Masjid
Ketika Darah Haid Nifas Berhenti di Waktu Ashar atau Isya'
Sentuhan Kulit Dengan Lawan Jenis, Batalkah Wudhunya?
Pesantren, Solusi Sekolah Murah Yang Tidak Murahan
Meninggalkan Sholat Karena Ragu-ragu Darah Haid Sudah Berhenti atau Belum
Ketika Ahli Waris Ada yang Menghilang
Tanggung Jawab Vs Tanggung Malu
Wajibkah Wanita Mengenakan Mukena Ketika Shalat?
Batas Aurat Sesama Wanita
Ternyata, Perempuan Justru Mendapatkan Lebih Banyak
Koalisi ala Rasulullah
Air Dua Qullah dalam Perspektif Madzhab Al-Syafi'i
Ijtihad, Dulu dan Sekarang
Singapura Lebih Islami dari Indonesia ?
Wanita Haidh Masuk Masjid, Kenapa Tidak Boleh?
Imam al-Kasani dan Maharnya
Puasa Wishal: Bolehkah? (Bagian-2)
Puasa Wishal: Bolehkah? (Bagian-1)
Puasa Syawwal : Apa dan Bagaimana
Antara Fardhu 'Ain dan Fardhu Kifayah
Hukum Wanita Haji Tanpa Suami atau Mahram
Jangan Buru-buru Menyimpulkan Hadis
Ternyata Qunut Subuh Itu Bid'ah
Nikah Dengan Syarat Tidak Poligami, Bolehkah?
Bolehkah Denda dengan Harta/Uang?
Sholat Subuh Berapa Rakaat ?
Apa Batasan Makmum Mendapat Satu Rakaat pada Shalat Gerhana?
Antara Fiqih dan Keimanan
Antara Istihadhah dan Haidh
Jadwal Shalat DKI Jakarta 16-5-2024
Subuh 04:34 | Zhuhur 11:51 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:48 | Isya 18:58 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia