Untuk itulah diperlukan orang-orang yang siap mewakafkan dirinya untuk tugas dan pekerjaan mulia ini. Sebab jika tidak ada yang mau, maka ummat ini akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya, tidak tahu arah dan tujuan mereka dalam beragama.
Jika kita mengkorelasikannya dengan hukum fiqih maka inilah yang disebut dengan Fardlu Kifayah, yaitu suatu kewajiban yang ketika sudah ada yang mengerjakannya maka gugurlah kewajiban ini bagi yang lain, namun jika tidak ada yang mengerjakannya maka semua orang akan menaggung dosanya.
Namun yang harus kita perhatikan di sini adalah, bahwa harus ada keseimbangan antara jumlah ulama dan jumlah orang yang dibimbing. Jika kita ingin menganalogikannya dengan ilmu kesehatan, maka idealnya minimal setiap 200 orang dibutuhkan satu unit pelayanan kesehatan.
Jadi ketika berbicara skala Indonesia, maka kita membutuhkan paling tidak 1,25 juta unit pelayanan kesehatan untuk melayani kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Ini belum ditambah dengan perangkat-perangkat yang mendukungnya seperti dokter, perawat, apotek dan lain-lain.
Dari analogi ini maka sebenarnya kita harus sedikit merubah paradigma berfikir kita tentang fardlu kifayah. Dalam memahami fardlu kifayah, masyarakat kita terlalu fokus ke bagian pengertian yang kedua “jika ada yang mengerjakannya maka gugur kewajiban bagi yang lain.” Artinya ketika sudah ada orang yang melakukan kewajiban ini maka mereka seakan-akan ‘berlepas diri’ dan tidak mau tahu dengan kewajiban ini. “Lha wong sudah ada yang melakukannya koq, ngapain kita capek-capek.”
Contoh sederhananya pernah penulis saksikan ketika terjadi beberapa kali shalat jenazah di kampung tempat penulis tinggal. Jumlah orang yang menunggu di luar ternyata lebih banyak daripada jumlah orang yang ikut sholat. Mungkin ini didasari atas pemahaman di atas.
Maka, sebenarnya yang harus menjadi tugas kita adalah meluruskan pemahaman tentang fardhu kifayah ini, kita harus lebih menekankan aspek “Jika tidak ada yang mengerjakannya maka semua orang akan menanggung dosanya”. Artinya kita harus berfikir, “Bagaimana nasib kewajiban ini jika tidak ada yang mengerjakannya ? Kita jadi ikut berdosa dong ?”
Dengan demikian maka setiap orang akan berlomba-lomba untuk menjadi orang pertama yang mengerjakan kewajiban ini, karena kita juga harus ingat bahwa Allah memerintahkan kita untuk berlomba-lomba dan saling tolong menolong dalam kebaikan.
Jika kita kembali ke permasalahan kebutuhan ummat ini akan para ulama, maka bisa kita simpulkan bahwa kita harus lebih memperhatikan hal ini. Setiap orang islam wajib melaksanakan sholat, puasa, dan zakat serta haji bagi yang mampu, karena ini adalah kewajiban bagi setiap individu (fardlu ‘ain).
Namun ironisnya masih banyak yang belum paham mengenai hukum-hukum atau hal-hal yang berkaitan dengan ibadah-ibadah tersebut, baik secara global apalagi secara terperinci. Nah, di sinilah peran para ulama’ sebagai pembawa lentera yang membimbing para ummat agar tidak tersesat dalam perjalanan kehidupan mereka di dunia ini.
Contoh sederhana, seorang muslim tidak diwajibkan mempelajari ilmu tajwid secara mendetail, namun diwajibkan untuk membaca Al-Qur’an dengan tajwid yang benar. Lalu bagaimana dia akan tahu ini benar atau ini salah jika tidak ada orang yang membimbingnya?
Maka kebutuhan ini adalah kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi, sebelum ummat ini tersesat, atau ada pembimbingnya namun pembimbing tersebut justru pembimbing yang bisa menyesatkan dikarenakan kurangnya pemahamannya terhadap permasalahan yang dihadapi.
Apalagi saat ini banyak kita saksikan orang-orang yang dengan seenaknya berfatwa dan menjawab semua pertanyaan yang ditujukan kepadanya, meskipun kalau kita lebih jeli ternyata jawaban-jawaban tersebut tidak dilandasi dengan paham keilmuan yang benar.
Padahal definisi fatwa itu sendiri adalah “menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari pertanyaan baik si penanya jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif.”
Secara kasat mata, berarti orang yang berfatwa itu harus memiliki pemahaman yang mendalam terhadap hukum syara’ sebelum mengemukakan fatwanya.
Jadi, seorang mufti harus memiliki background ilmu syari’ah yang kuat sebelum mengeluarkan fatwa. Maka sangat disayangkan sekali jika banyak sarjana-sarjana syari’ah yang justru setelah lulus terjun di bidang yang jauh dari bidang keilmuan yang dia geluti ketika kuliah.
Kita harus menyadari bahwa tugas para ulama sebenarnya tidak lain kecuali meneruskan tugas para nabi dan rasul, karena mereka adalah para pewaris nabi yang memiliki tugas sentral untuk membimbing ummat. Coba kita renungkan perkataan Ibnul Qayyim dalam muqaddimah kitabnya I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin tentang betapa pentingnya kedudukan seorang mufti :
“Bila kedudukan mantadaris (penerima mandat) dari seorang raja merupakan kedudukan yang tidak diingkari keutamaan dan kemuliaannya, sebagai kedudukan tinggi dan terpuji, maka lebih-lebih lagi kedudukan seseorang yang mendapatkan mandat dari Rabb bumi dan langit.”
Ya, tugas seorang ulama’ memang berat, namun bukankah ini berarti tidak ada orang yang bisa menanggung amanah dan tugas ini kecuali orang-orang yang kuat?
Wallahu a'lam bisshawab