Kemarin kami menerima email beberapa pertanyaan seputar harta yang sudah ditinggal oleh tuannya, baik atas nama harta waris, hibah maupun wasiat. Salah satu pertanyaan yang ditanyakan kepada kami seperti ini:
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pak ustadz yang saya hormati, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan dan semoga bapak berkenan membantu menjawabnya.
Kakek kami memiliki 6 orang anak, 3 laki-laki (A, B, C) dan 3 perempuan (D, E, F) kemudian 2 anak perempuan kakek (E) meninggal pada tahun 1992 dan 1994 (F) lalu kakek meninggal pada tahun 1996, beliau wafat meninggalkan: Istri (nenek) meninggal 2002, 3 anak laki-laki (A, B, C), 1 anak perempuan (D), 3 cucu yaitu 2 cucu anak dari (E) dan 1 cucu anak dari (F), kakek berpesan bahwa cucu tetap dapat bagian walau ibunya sudah tiada.
Setelah beliau wafat dibacakan surat wasiat beliau yang berisikan bahwa ingin membagi hartanya kepada ahli waris yaitu isi wasiat:
1. Dengan asumsi 10 bagian, maka A, B, C, masing-masing mendapat 2/10 bagian sehingga anak laki-laki mendapat semuanya 6/10 bagian,
2. Kemudian wanita mendapat 1/10 bagian, sehingga anak-anak perempuan mendapat 3/10 bagian karena bagian ahli waris yang wafat diberikan kepada cucu atau bisakah penyataan ini saya buat menjadi:
2a. D mendapat 1/10 bagian
2b. Cucu pewaris atau anak dari E mendapat 1/10 bagian dan cucu pewaris anak dari F mendapat 1/10 bagian
Apakah poin 2 yang saya jabarkan menjadi poin 2a dan 2b bisa dianologikan memiliki pengertian dan maksud yang sama atau malah itu 2 hal yang berbeda? Mengingat poin 2 menjelaskan cucu seperti menjadi ahliwaris pengganti, sedangkan poin 2b menjelaskan lebih rinci dalam wasiat mengenai bagian cucu.
3. Kemudian masih sisa 1/10 bagian yang akan diberikan untuk sosial/masjid.
Namun ternyata setelah dipelajari, wasiat yang ditinggalkan ternyata tidak sesuai syariat karna di dalamnya disebutkan bagian untuk ahli waris yang seharusnya wasiat tidak untuk membagi harta kepada ahli waris yang ketentuannya sudah diatur tanpa perlu adanya wasiat mengenai porsi bagian ahliwaris
Yang ingin saya tanyakan:
1. apakah wasiat tersebut langsung gugur semua isi dan poinnya? Ataukah hanya poin 1 dan poin 2a saja yang gugur? Mengingat dari wasiat mengenai bagian cucu dan sosial nilai totalnya 3/10 atau tidak menyalahi aturan pemberian harta waris kepada selain ahli waris yang tidak boleh melebihi 1/3 bagian.
Poin 1 dan 2a gugur sebagai wasiat karna wasiat harta tidak boleh diberikan kepada ahliwaris, sebab pembagian untuk ahliwaris sudah diatur di hukum faraid, benar atau salah ustad?
Apa solusi terbaik menurut hukum islam? Semua wasiat yang ada gugur atau masih ada yang bisa untuk dijalankan? Saat ini Bagaimana hukum menjalankannya apabila masih ada yang bisa dijalankan dari wasiat tersebut, wajib atau bagaimana?
2. Bagaimana dengan bagian nenek yang ditinggalkan oleh kakek yang tidak disebut dalam wasiat?
3. Bagaimanakah pembagian waris yang benar, ustadz? Tolong kiranya pak ustad dapat membantu menentukan pembagian harta waris yang baik dan benar sesuai hukum islam atau faraidh agar adil dan dapat diterima sesuai ketentuan Allah.
Demikian pertanyaan yang sangat panjang dan banyak dari saya, mohon pak ustad berkenan membantu dan memberikan jawaban, terima kasih banyak.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Jawaban:
Pada umumnya para ulama mempunyai ragam redaksi dalam mengartikan apa itu wasiat, yang jelas kata ini walaupun tidak diterjemahkan secara detail ia sudah bisa difahami oleh kita semua, karena kata ini sudah tidak asing lagi ditelinga kita dan ini sudah menjadi bahasa keseharian di negri ini.
Namun agar kita lebih bisa memahaminya sesuai dengan apa yang dimaksud degan wasiat dalam istilah fikih, perlu kiranya penilis sebutkan salah satu defini wasiat yang ada, bahwa wasiat itu adalah:
تمليك مضاف إلى ما بعد الموت بطريقة التبرع
“Kepemilikan harta atas dasar sukarela/at-tabarru’ setelah adanya kematian”
Jadi kepemilikan harta tersebut baru sah dan boleh diambil setelah adanya kematian, tentunya yang dimaksud adalah kematian dia yang mempunyai harta, atau dia yang memberi wasiat. Namun jika dia yang menerima wasiat terlebih dahulu meninggal dunia atau bersamaan dengan dengan meninggalnya pemberi wasiat maka dalam kedua kondisi ini para ulama sepakat bahwa wasiat tersebut gugur/batal.
Inilah yang membedakan antara wasiat dengan hibah, bahwa kepemilikan aqad hibah langsung bisa terjadi setelah adanya aqad, namun kepemilikan wasiat belum sah hingga dia yang memberi wasiat meninggal dunia.
Rukun Wasiat
Wasiat tidak akan terjadi kecuali setelah terpenuhinya rukun wasiat berikut:
Tidak Boleh Wasiat Kepada Ahli Waris
Dintara hal yang penting dalam kaitaannya dengan pertanyaan diatas bahwa dia yang menerima wasiat bukanlah orang yang sejatinya menjadi ahli waris, karena ahli waris yang bersangkutan sudah mendapat bagian dalam aturan faraid, makanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam mengingatkan:
إن الله قد أعطى كل ذي حق حقه، فلا وصية لوارث
“Sesunguhnya Allah swt sudah memberikan bagian kepada yang berhak (ahli waris) maka tidak boleh ada wasiat (harta) untuk ahli waris” (HR. Tirmidzi)
Karena yang demikian bisa membuat sesama ahli waris merasa ada yang dilebihkan dari yang semestinya mereka dapatkan, sehingga dari sana muncullah permusuhan dan ketidakharmonisan diantara keluarga. Namun wasiat untuk ahli waris masih mungkin untuk dilakukan tapi dengan syarat seluruh ali waris lainnya menyetujui.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
لا تجوز وصية لوارث إلا أن يشاء الورثة
“Tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali jika ahli waris (lain) menghendakinya/menyetujuinya” (HR. Addruquthny)
Ahli Waris Pengganti
Istilah ahli waris pengganti ini memang sering juga terdengar, tidak tahu persis bagaimana muncul istilah ini, sepanjang pembelajaran fikih waris kami belum menemukan istilah ini didalam kitab-kitab fikih para ulama, lebih tepatnya istilah ini ada dalam Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001, pasal 185.
Pasal 185
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan
suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Dalam istilah fikih orang yang meninggal dunia yang hartanya mau dibagi itu disebut dengan istilah Al-Muwarrits, dalam bahasa kita disebut dengan pewaris. Dan dalam penjelasannyan siapapun bisa menjadi al-muwarrist asalkan dia meninggal dunia terlebih dahulu.
Tidak ada syarat bahwa al-muwarrits/pewaris itu harus seorang ayah, sehingga jika dalam satu rumah yang meninggal adalah anak, maka ayah, ibu, kakek, neneknya adalah ahli waris dari anak/cucu mereka yang meninggal tersebut asalkan mereka semua masih hidup. Jika sebaliknya yang meninggal dunia adalah kakek, maka ahli warisnya adalah istri dan anak-anak beliau yang masih hidup, atau cucu beliau jika kondisi cucu tersebut tidak tertutup karena keberadaan anak-anak beliau yang masih hidup.
Lebih lanjut bahwa al-muwarrits/pewaris juga tidak harus seorang laki-laki, juga tidak harus orang dewasa. Pada pokoknya jangan terjebak bahwa al-muwarrits/pewaris itu adalah sosok ayah/kakek atau siapapun yang sudah tua rentah. Setiap orang bisa jadi al-muwarrits/pewaris asalkan dia meninggal dunia terlebih dahulu.
Besaran Yang Mereka Dapatkan
Sebelum wasiat diberikan tentunya ada hal yang harus didahulukan, diantaranya adalah biaya kepengurusan jenazah, hutang, atau hibah yang semasa hidup belum diberikan, yang juga tidak kalah pentingnya pisahkan dulu harta bersama yang mungkin dimiliki kakek tersebut dengan istri beliau atau dengan orang lainnya, sehingga wasiat yang dibagikan maupun warisan yang diserahkan kepada mereka yang berhak memang murni harta dia meninggal dunia, bukan harta yang bercampur.
Perlu diketahui bahwa cucu dari anak perempuan yang sudah meninggal tersebut tidak termasuk kedalam daftar ahli waris dari kakeknya, sehingga yang menjadi ahli waris itu hanya istri kakek, tiga anak laki-laki (A, B, C), dan satu anak perempuan (D) yang masih hidup. Sedangkan dua anak perempuan beliau yang sudah meninggal terlebih dahulu (E dan F) sebelum ayahnya meninggal juga tidak mendapat waris, karena diantara syarat ahli waris adalah harus hidup disaat pemberi waris meniggal dunia.
Jika memang sang kakek menyebutkan atau menuliskan menuliskan bahwa cucu beliau juga harus diberi bagian dari hartanya atas nama wasiat, maka jika sang kakek menyebutkan besarannya asalkan tidak lebih dari sepertiga harta beliau, harta itu boleh diberikan kepada cucunya, dengan alasan karena memang cucu tersebut bukan ahli waris dan besarannya tidak melebihi batasan maksimal, namun jika besarannya belum ditentukan maka dalam hal ini baiknya para ahli waris duduk bersama untuk menyepakati besarannya.
Dengan demikian sehingga istri kakek mendapat seperdelapan dari harta suaminya karena memiliki anak, dan semua anaknya (minus yang sudah meninggal) mendapat sisa dari harta ayahnya dengan catatan anak laki-laki mendapat dua bagian dari anak perempuan, ini dalam istilah faraidnya adalah ashabah bil ghair.
Urusan harta juga termasuk didalamnya harta waris adalah masalah yang cukup sensitif, kadang kala harta yang ditinggalkan tidak seberapa tapi jika tidak benar yang sedikit ini bisa merobohkan keluarga besar yang ada. Semoga Allah swt menghimpun kita semua dalam cinta dan kasih sayangNya. Amin.
Wallahu A’lam Bisshawab