Berbeda itu boleh dan biasa, tapi tidak boleh menimbulkan sesuatu yang akhirnya malah melahirkan silang pendapat tajam di depan khalayak. Padahal perkara itu juga bukanlah perkara yang sampai pada pada level Ijma’, itu masalah yang terbuka ijtihad di dalamnya.
“keluar dari perbedaan adalah lebih utama dan lebih baik”
Ini adalah salah satu ungkapan masyhur bagi kalangan ulama fiqih yang banyak di rekam dalam kitab-kitab fiqih klasik dan modern. Sudah seperti menjadi kaidah umum dalam hal aplikasi pendapat-pendapat ulama yang berbeda dalam bingkai bermasyakarat.
Salah satu yang merekam ini adalah Imam Taqiyuddin al-Subki dalam kitabnya “al-Asybah wa an-Nadzoir” (1/111). Bahkan beliau mengatakan bahwa kaidah itu adalah kaidah yang disepakati oleh ulama sejagad. Beliau menasehati para pembacanya, bahwa perbedaan dalam masalah fqih itu sesuatu yang tidak bisa dihindari, maka jangan memaksa perbedaan itu bersesuai dengan kemauan kita, tapi kita lah yang harus bisa cerdas menyikapi perbedaan itu.
Dari paragraph al-Subki di atas, setidaknya menurut penulis ada 2 hal yang bisa kita ambil pelajarannya; [1] Menyadari perbedaan itu ada, [2] Cerdas dalam berbeda.
[1] Menyadari Adanya Perbedaan
“Siapa yang tidak tahu (Tidak mengakui) Ikhtilaf, ia sama sekali tidak bisa mencium Fiqih”. ini adalah perkataan Imam Qatadah yang direkam oleh banyak ulama termasuk Imam al-Syathibiy dalam kitab beliau; al-Muwafaqat (5/122). Beliau ingin menyadarkan bahwa perbedaan dalam fiqih itu ada, nyata dan tidak diadakan.
Mungkin dulu kita pernah dengar omongan-omongan orang tua yang mengatakan: “madzhabnya orang Indonesia itu madzhab syafi’i”. Ini bisa jadi benar, karena memang sejak dulu, guru-gurunya orang Indonesia itu kebanyakan dari tanah Tarim Hadhramaut, Yaman (walaupun masih diperdebatkan) yang mayoritasnya adalah bermadzhab fiqih syafi’i dan aqidah Asy’ariy. Jadi apa yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia ibadahnya sesuai dengan pengajaran madzhab syafi’i. Dan itu yang kemudian diteruskan oleh orang-orang tua kepada anak cucu mereka, yang akhirnya madzhab al-syafi’I di Indonesia menjadi madzhab hampir seluruh umat islam Indonesia.
Bahkan pembelajaran di kelas-kelas formal memakai madzhab al-syafi’i; karena emmang itu madzhab yang tersebar di nusantara ini. Dari mulai bab thaharah hignga bab haji, bahkan soal fiqih perbudakannya pun memakai pakem al-Syafi’iyyah. Maka wajar saja jika orang Indonesia hampir semuanya sangat antipasti kepada anjing dan babi karena memang sejak kecil sudah dikenalkan bahwa anjing dan babi, hidup matinya adalah najis, bahkan najis besar. Padahal dalam madzhab lain, dua hewan itu tidak najis ketika hidupnya.
Itu juga yang terjadi di beberapa Negara yang mana pembelajaran mereka tergantung dengan madzhab apa yang banyak tersebar di situ. Katakanlah Arab Saudi. Di kelas-kelas formal mereka, semua siswa diajarkan bahwa kotoran yang halal dagingnya dimakan itu bukan najis, maka wajar saja jika mereka tidak anti kepada air kencing unta. Begitu juga mereka sudah sejak kecil diajarkan bahwa shalat tidak perlu dikeraskan bacaan bismillah-nya dalam membaca al-fatihah.
Sekarang, ungkapan “Indonesia itu madzhab al-syafi’i”, sudah tidak pas. Kita punya banyak teman, kerabat atau saudara yang belajar agama Islam ke negeri-negeri timur tengah, seperti Arab Saudi, Mesir, Maroko, Sudan dan Negara-negara Islam lainnya. Yang kita tahu bahwa madzhab mayoritas di sana tidak seperti madzhabnya orang Indonesia. Akhirnya, ketika mereka pulang dan membawa apa yang mereka dapat dari ilmu agama di Negara-negara tersebut. Dan pastinya perbedaan itu muncul tidak tertahan.
Ditambah lagi dengan banyaknya sekolah Indonesia yang jutsru “berbelot’ dari madzhab al-Syafi’iyyah dan akhirnya mengajarkan fiqih ibadah dengan pakem yang bukan al-Syafi’iyah. Entah karena memang itu sekolah “import’, atau sekolah local yang memakai kurikulum anti-mainstream. Walhasil, perbedaan di antara kita kaum muslimin Indonesia semakin kentara dan nyata.
Bagi mereka yang tidak siap dengan adanya perbedaan ini, tentunya akan menjadi terapi kejut yang mengganggu sekali. Kalau tidak bisa tanah diri, bisa jadi timbul perpecahan antara sesama muslim. Karena menganggap mereka yang berbeda itu sebagai ancaman keislaman di kampungnya. Dan kita sudah banyak menyaksikan fenomena ketidaksiapan ini. Apalagi ditambah oleh beberaoa kawan muslim yang dengan bangga berbeda tanpa peduli perasaan masyarakat sekitar.
Akan tetapi jika mereka siap dengan perbedaan itu, justru itu membuka pintu keilmuan yang lebih luas. Nah kesiapan itu butuh ilmu yang kita sebuat dengan ilmu fiqih muqaran atau fiqih perbandingan. Dimana di dalamnya kita bisa pekajari sumber hukum dan metode pengambilan hukum yang ternyata setiap madzhab punya metode berbeda dan itu legal serta muktamad dan diakui oleh ulama sejagad.
[2] Berdas Dalam Berbeda
Kaidah tadi yang disebutkan di atas; “keluar dari perbedaan adalah lebih utama dan lebih baik”, dimaksudkan agar kita tidak menimbulkan sesuatu yang akhirnya malah melahirkan silang pendapat tajam di depan khalayak, yang padahal perkara itu bukanlah perkara yang sampai pada pada level Ijma’, itu masalah yang terbuka ijtihad di dalamnya.
Dengan tidak juga menonjolkan itu depan khalayak yang punya pendapat berbeda, dan tetap hidup seirama dengan mereka. Toh tidak ada yang salah mengikuti alur khalayak dalam masalah fiqih, kenapa harus memaksakan satu pendapat yang akhirnya malah jadi boomerang lalu merobohkan persatuan yang sudah ada.
Bahasa sederhananya seperti ini; “jangan mentang-mentang boleh beda, akhirnya malah dimanfaatkan untuk berlagak semaunya yang malah menimbulkan kegaduhan.” Imam Ibn hajar al-‘Asqalani merekam salah satu cerita tentang bagaimana menjaga keharmonisa masyarakat dalam kaitannya perbedaan pandangan fiqih; yakni cerita tentang sahabat Ibnu Mas’ud r.a. dalam kitab beliau fathul-Baari (2/564).
Sahabat Abdullah bin Mas’ud dengan tegas menyatakan bahwa seorang musafir, afdholnya ialah sholat qashar, tidak tamm (sempurna), jika ada musafir yang sholatnya sempurna 4 rokaat, beliau mengatakan itu adalah mukholafatul-aula [مخالفة الأولى] (menyelisih pendapat yang utama).
Akan tetapi dengan rela ia meninggalkan pendapatnya dan ikut sholat sempurna 4 rokaat di belakang Utsman bin Affan yang memandang berbeda dengannya dalam masalah ini. lalu Ibnu Mas’ud ditanya: “kau mengkritik Utsman, tapi kenapa kau mengikutinya sholat 4 rokaat?”. Ibn Mas’ud menjawab: [الخلاف شر] “berbeda itu buruk!”.
Karena tahu, bahwa jika ia menonjolkan perbedaan itu depan umum yang tidak semuanya paham masalah tersebut, Ibnu Mas’ud memilih untuk tetap mengikuti Utsman walaupun itu menyelisih pandangannya sendiri. Bayangkan jika akhirnya sayyidina Ibnu Mas’ud keluar dari Jemaah dan memilih membuat jamaah ‘tandingan’, apa yang akan terjadi di kalangan sahabat ketika itu? Pasti kekacauan.
Contoh yang kekinian …
Al-Syafi’iyyah yang justru melihat anjing itu seluruh tubuhnya najis, hidu dan matinya. Dan tidak ada larangan jika kita mengambil pendapat berbeda dengan al-Syafi’iyyah, bahwa yang najis dari anjing itu hanya air liurnya saja, bukan keseluruhan tubuhnya. Boleh saja. Asalkan memang pengambilan pendapat itu melalui jalur yang valid, bukan asal ngambil.
Akan tetapi jika kemudian dengan alasan bahwa anjing itu tidak najis badannya, apakah kita bisa dan boleh membawa najing itu berkeliling kampung, sambil menyapa orang di kiri kanan bahwa sampai masuk ke pekarangan rumah tetangga, sedangkan anjing merupakan hewan najis bagi masyarakat, apakah itu elok? Jelas itu tidak patut. Pastinya akan menimbulkan sentiment negatife.
Dalam masyarakat kita tahu, mana hal-hal yang masyarakat kita bisa maklumi, dan mana yang belum bisa dimaklumi. Kita sebagai warga ang tingal dan berbaur di situ, pasti hafal betul aturan tak tertulis itu.
Contoh lagi …
Masyarakat kita ini pada umumnya sudah menjalankan dan meyakini bahwa bersentuhan laki-laki dan wanita setelah berwudhu itu membatalkan wudhu keduanya, termasuk suami dan istri. Ini pandangan al-Syafi’iyyah. Kemudian ada salah seorang ustadz, yang mengerti dalil, paham hukum dan memahami aqwal ulama, kemudian mengambil pendapat tidak umu; yakni bersentuhan suami dan istri tidak membatalkan wudhu. Apakah boleh? Tentu sangat boleh, tidak ada larangan.
Akan tetapi kalau ia melakukannya; ber-“cipika-cipiki” dengan istrinya (dan itu sah-sah saja) di depan orang-orang ketika ingin berangkat ke masjid, dan semua Jemaah melihat itu. Lalu ia masuk masjid dan langsung jadi imam tanpa wudhu lagi, apa reaksi masyarakat? Kegaduhan pasti muncul. Kalau tidak di masjid, pasti sang imam menjadi bahan pembicaraan jelek di luar masjid dari para jemaahnya.
Sejatinya, ia mengambil pendapat berbeda di tengah masyarakat itu boleh. Sangat boleh. Akan tetapi jika itu dipublikasikan di depan masyarakat yang belum bisa menerima perbedaan itu, akhirnya menimbulkan kegaduhan, itu yang buruk.
Muslim yang paham dan cerdas bertoleransi dalam perbedaan itu adalah muslim yang tidak gampang memancing perdebatan. Muslim yang tidak suka membuat kegaduhan. Muslim yang tahu bagaimana harus bersikap di tengah umat. Bukan yang ‘seradak-seruduk’ merasa pintar sendiri dari yang lainnya. Ingin terlihat berbeda sambil merasa kebenaran hanya padanya.
Jadi, tanda dan bukti kematangan orang bertoleransi dalam perbedaan adalah dia yang tenang dalam beribadah dan tidak gampang membuat kegaduhan serta tidak berisik dengan pilihannya.
Wallahu a’lam