Diyakini bahwa pada masa inilah dimana qawaid fiqhiyyah mempunyai posisi tersendiri sebagai disiplin ilmu ke dua setelah ushul fiqh. Memasuki abad ke 4 Hijriah dan setelahnya, dimana semangat Ijtihad telah melemah sementara taqlid terus mewabah karena saat itu mulai banyak timbul perkara-perkara baru dalam kehidupan manusia.
B. Periode Ke Dua : Masa Perkembangan dan Kodifikasi
Diyakini bahwa pada masa inilah dimana qawaid fiqhiyyah mempunyai posisi tersendiri sebagai disiplin ilmu ke dua setelah ushul fiqh. Memasuki abad ke 4 Hijriah dan setelahnya, dimana semangat Ijtihad telah melemah sementara taqlid terus mewabah karena saat itu mulai banyak timbul perkara-perkara baru dalam kehidupan manusia. Era ini juga menjadi awal masadi mana bidang fiqh mulai mengalami dikotomi dalam kemasan madzhab. Pembukuan terhadap fiqih madzhab tertentu dirasa cukup menjadi penenang bagi setiap orang saat itu untuk merujuk kepada bacaan tertentu pada masalah tertentu pula. Seolah-olah era Ijtihad sudah mati secara total pada masa itu.
Namun, berkembangnya persoalan-persoalan baru ternyata tak mampu terjawab oleh kitab-kitab madzhab. Ulama-ulamapun bangkit untuk membuat kumpulan kaidah yang diharapkan dapat menjaga hukum dan fatwa ulama dari teori yang salah. Di antara yang memulai kodifikasi terhadap qawaid al fiqhiyyah adalah :
Memasuki abad ke 7 dan 8 Hijriah, terlihat bahwa qawaid al fiqhiyyah mengalami peningkatan yang signifikan. Bahkan banyak yang menjulukinya masa keemasan kodifikasi untuk bidang ini. Semakin deras bermunculan dari setiap madzhab yang menyusun dan mengklasifikasikan qawaidh fiqhiyyah menjadi bab tertentu dalam satu kitab. Jika yanng memulai kodifikasi di abad ke empat adalah kebanyakan dari ulama Hanafi, maka di abad ini yang lebih pesat menyebarkan karya ilmu qawaid adalah dari golongan Syafi’iyah. Namun bukan berarti dari madzhab yang lain tidak sama sekali berkontribusi. Di antara karangan yang sangat terkenal hingga sekarang adalah :
Yang lebih mengesankan lagi, ulama di era abad ke sembilan dan sepuluh mencoba mengklasifikasikan qawaid dengan mengumpulkan semua karya dari seluruh madzhab. Seperti imam as shuyuthi yang mengumpulkan qawaid penting dari al a’lai, as subuky, dan az-zarkasyi bahkan dengan nama kitab yang sama, yakni al asybah wan-nadzoir. Di era inilah sangat dikenal sekali sebagai masa kodifikasi dan penyusunan maqashid al fiqhiyyah.
C. Periode Ke tiga : masa Penyempurnaan
Telah terkumpul dan terkodifikasi dalam kitab tersendiri untuk bidang qawaid al fiqhiyyah. Namun bukan berarti qawaid fiqhiyyah telah dinyatakan sempurna. Langkah-langkah penyempurnaan dilakukan ketika ketika disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.
Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang ditulis dan dibukukan setelah diadakan pengumpulan dan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, adalah suatu prestasi yang gemilnag dan merupakan indikasi pada kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim penyusun kitab itu sebelumnya telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, lalu mengkonstruksinya dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus dari sebelumya[1]. Dari era inilah kemudian qawaid al fiqhiyyah tersebar luas untuk menjadi landasan utama proses pengambilan hukum.
Bab III Sistematika Qawaid Al Fiqhiyyah
Pada akhir era kodifikasi maqashid al fiqhiyyah, akan banyak kita temukan pada kitab para ulama, dimana mereka membagi Qawaid pada qaidah asasiyah dan ghoiru asasiyah. Kaidah asasiyah adalah lima kaidah utama yang tidak dipertentangkan oleh ulama madzhab tanpa ada yang menyelisihi pendapat lainnya, lima kaidah utama itu adalah[2] :
Dari kelima kaidah asasiyah ini kemudian bercabang kaidah-kaidah lainnya yang saling berkaitan.
Selain kaidah asasiyah, adapula kaidah ghoiru asasiyah yang menjadi pelengkap di beberapa qodiyyah. Dalam beberapa referensi, ada yang menyebutkan jumlahnya adalah 40 untuk kaidah non asasiyah yang tidak diperselisihkan, dan 20 yang diperselisihkan[3].
Sistematika lain dalam Qawaid Fiqhiyyah, yaitu adapula sebagian ulama yang mengurutkan kaidah-kaidah sesuai abjad, dengan kapasitas 145 jenis kaidah yang kemudian diintisarikan menjadi 99 kaidah, hal ini bisa dilihat dalam kitab majallah al- ahkam al adliyyah[4].
Selanjutnya, sebagian fuqoha juga mensistematis kaidah fiqhiyyah dengan klasifikasi bab pembahasan Fiqh. Misalnya, klasifikasi kaidah berdasarkan bab Ibadah, bab mu’amalah, bab uqubat jinayah, dan lain sebagainya. Hal ini bisa didapatkan dalam kitab “al faraidul bahiyyah fi qawaidi wa fawaidi fiqhiyyah” karya Sayyid Muhammad Hamzah.
Perbedaan antara Qawaid Fiqhiyyah dan Ushuliyyah
Contoh Kaidah Ushuliyah:
“Yang menjadi pegangan ialah ungkapan keumuman lafadz bukan kekhususan sebab[5]”
Dalam kaidah ini dijelaskan bahwa setiap dalil nushus yang turun spesifik untuk menghukumi kasus seseorang di zaman Nabi maka hukumnya berlaku juga pada seluruh umat Islam pada umumnya, dan tidak dikhususkan kepada individu tersebut. Sebagai contoh ayat tentang larangan tabarruj seperti jahiliyah di dalam surat Al-Ahzab ayat 33 yang dikhususkan kepada istri-istri nabi, jumhur ulama sepakat bahwa hukum tersebut kemudian eksis kepada seluruh muslimat secara keseluruhan. Maka asbab nuzul dalam hal ini tidak mempunyai peran pada eksistensi hukumnya.
Dalil yang bersifat mutlak tidak boleh ditentang oleh yang bersifat prediktif[6].
Contoh qawaid fiqhiyyah:
“Kondisi darurat bisa memperbolehkan sesuatu yang terlarang”
Dilihat dari contoh-contoh di atas, secara redaksional saja bisa kita perhatikan bahwa kaidah ushuliyah konsentrasinya adalah pada rambu-rambu penggunaan dalil, sementara kaidah fiqhiyyah lebih kepada amaliyah sang mukallaf.
Bab IV Urgensi Qawaid Al Fiqhiyyah dan Contoh Prakteknya Dalam Muamalat Syar’iyah
Qawaid al fiqhiyyah telah disepakati menduduki kedudukan ke dua dalam disiplin ilmu syariah setelah ushul fiqh. Dengan berpegang kepada rambu-rambu yang tertata di dalamnya, para mujtahid akan lebih sistematis dalam mengambil kesimpulan hukum atas suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah pada lingkup satu kaidah besar yang nanti dicabangkan pada kaidah-kaidah lainnya. banyak fuqoha berkata :
Barang siapa me melihara ushul maka ia akan sampai pada maksud
Dan barang siapa memelihara qawaid maka ia selayaknya mengetahui maksud[7]
Kemudian dalam kitab Faridhul Bahiyyah di sebuah nudzhum dikatakan :
Sesungguhnya cabang-cabang masalah fiqih itu hanya dapat dikuasai dengan kaidah-kaidah fiqhiyyah, maka menghafalkannya sangat besar faedahnya[8].
Selanjutnya, dinukil dari pendapat Imam al Qarafy bahwa seorang faqih tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada ilmu kaidah fiqhiyyah. Karena jika tidak demikian, akan berpengaruh pada hasil ijtihadnya yang bertentangan dengan dalil-dalil yang kulliy. Maka dengan menguasai bidang dan klasifikasi qawaid fiqhiyyah, akan mudah menguasai furu’-furu’nya[9].
Terlebih di era modern ini, kita banyak dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan kontemporer yang mau tidak mau harus bersentuhan dengan ranah fiqih. Tak jarang dari sejumlah perkara baru tersebut belum ditemukan hukumnya karena dalil spesifik dari nushus tidak ditemukan. Sebagai contoh, jenis kredit yang diharamkan, tidak ditemukan nushus yang spesifik menjelaskan teknisnya. Maka para faqih mengambil kaidah :
setiap pinjaman dengan menarik manfaat adalah sama dengan riba
dari situ ulama sepakat bahwa kredit yang diharamkan adalah apabila terjadi pengambilan manfaat berlebih dari akad jual beli normal, dan apabila ada ketidakjelasan terhadap total harga dalam pembayaran angsuran serta persyaratan-persyaratan yang menimbulkan ghoror seperti konsekuensi bunga sekian persen bila jatuh tempo masa pembayaran.
Contoh lain terjadi dalam transaksi bai’ salam (jual beli dengan pembayaran lunas dimuka), ketika barang tidak sesuai pesanan, maka syariah mengatur adanya khiyar atau opsi untuk mengakhiri atau melanjutkan akad, dengan konsekuensi jika melanjutkan maka si pembeli menanggung kerugian. Khiyar merupakan suatu sistem yang dirancang dalam transaksi untuk melindungi seluruh pihak agar tidak ada yang dirugikan atau merugikan. Hukum ini juga ternyata diambil dari kaidah :
“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka bisa diperluas”
Atau pada seseorang yang mengatakan “saya hibahkan benda ini, nanti diganti dengan uang”. Transaksi di atas secara lafaz adalah hibah barang, tapi secara teknis bermakna jual beli. Maka penilaian transaksi bukan dari lafaz melainkan makna. Transaksi di atas adalah transaksi jual beli bukan menghibahkan. Maka kaidah yang berlaku pada akad ini adalah :
“Yang menjadi patokan dalam akad adalah substansi dan makna, bukan redaksi atau penamaan”
Contoh lain Diantara qawa’id yang paling mendasar dalam masalah muamalah syar’iyah adalah:
“Segala bentuk muamalah pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang mengharamkannya” Ini menjadi alasan bagi setiap bentuk transaksi perdagangan dan ekonomi menjadi halal kecuali jelas ada alasan yang melarangnya.
Maka Jika dua orang pelaku muamalah atau lebih, berselisih tentang suatu hal berkaitan dengan akad muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, akad di bank atau lain-lain, maka keberpihakan diberikan kepada yang lebih kuat alasannya sesuai prinsip dalil.
Dengan demikian, dapat dismpulkan bahwa qawaid al fiqhiyyah merupakan komponen penunjang terpenting bagi mujtahid, mufti, dan faqih dalam melakukan metode istinbath ahkam atau interpretasi hukum syariat. Bahkan tak dapat diragukan lagi, penguasaan terhadap ilmu ini merupakan tolak ukur kematangan ilmu sang mujtahid.
PENUTUP
Qawaid al afiqhiyyah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang dibangun oleh syar’i serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya. dinukil dari pendapat Imam al Qarafy bahwa seorang faqih tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada ilmu kaidah fiqhiyyah. Karena jika tidak demikian, akan berpengaruh pada hasil ijtihadnya yang bertentangan dengan dalil-dalil yang kulliy. Maka dengan menguasai bidang dan klasifikasi qawaid fiqhiyyah, akan mudah menguasai cabang disiplin ilmu lainnya.
REFERENSI
abu-l-abbas Ahmad bin Idris As-sonhaji Al qorrofiy. Alfuruq-anwarul buruq fi-l-furuq. Darul Kutub al-Ilmiyah. Beirut. 1998.
Al-Murainiy, aljilaliy. Al-qawaid al Ushuliyyah wa tathbiqotuhaa al fiqhiyyah inda Ibni qudamah fi kitabihi al mughni. Dar Ibnu Qayyim. Saudi Arabia. 2008.
Muchlis Usman. Kaidah-Kaidah ushuliyahiyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta.
Hasbi As-Shidqi. Pengantar Hukum Islam.Penerbit Bulan Bintang. 1975. Jakarta.
Az-zarqo, Asyyaikh Ahmad Bin Syaik Muhammad. Al-Asybah wa-nadzoir. Darul Qolam. Damasqus. 1989.
As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990.
Lajnah mukawwanah min ‘iddati ulama fil khilafah utsmaniyah. Majallatul ahkam al adliyah. Nur Muhammad publishing. Karachi.
Al asma’I, Sholih bin Muhammad bin Hasan. Majmu’atu-l-fu’ad al bahiyyah ‘ala mandzumatil qowaid al fiqhiyyah. Darul Ma’any linnasyr wa tawzi’. Riyadh. 2000.
.Rahman, Asymuni. Qaidah-Qaidah Fiqh. cet. 1. Jakarta: Bulan bintang. 1976.
Asyafi’I, Ahmad Muhammad. Ushul-fiqh al-Islamiy. Darus-syuruq. Makkah. 1983.
Abdul Wahab Khollaf. Ilmu Ushulil Fiqh. Muassasah Ats-tsaqofah al jam’iyyah. Alexandria. 1989.
http://abdulhafidzmuhammad.blogspot.com/2013/02/sejarah-perkembangan-qawaid-fiqhiyah.html
http://feqhweb.com/vb/t751.html
[1] http://abdulhafidzmuhammad.blogspot.com/2013/02/sejarah-perkembangan-qawaid-fiqhiyah.html
[2] As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990. Hal 7
[3] Ibid. 101
[4] Lajnah mukawwanah min ‘iddati ulama fil khilafah utsmaniyah. Majallatul ahkam al adliyah. Nur Muhammad publishing. Karachi. Hal 16 - 28
[5] Al-Murainiy, aljilaliy. Al-qawaid al Ushuliyyah wa tathbiqotuhaa al fiqhiyyah inda Ibni qudamah fi kitabihi al mughni. Dar Ibnu Qayyim. Saudi Arabia. 2008. Hal 394
[6] Ibid.539
[7] A.Rahman, Asymuni. Qaidah-Qaidah Fiqh. cet. 1. Jakarta: Bulan bintang. 1976. H17
[8] Al asm’I, Sholih bin Muhammad bin Hasan. Majmu’atu-l-fu’ad al bahiyyah ‘ala mandzumatil qowaid al fiqhiyyah. Darul Ma’any linnasyr wa tawzi’. Riyadh. 2000. Hal 33
[9] Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta. H105