C. Periode kodifikasi atau pembukuan dan Munculnya Imam-Imam Mujtahidin
Periode ini berawal dari permulaan abad kedua Hijriah sampai pertengahan abad ke empat, kurang lebih selama 250 tahun. Di sinilah masa di mana hadist mulai dituliskan. Juga muncul fatwa-fatwa dari sahabat, tabi’in, tabi’u tabi’iin. Muncul pula penulisan-penulisan tafsir, tulisan-tulisan tentang ilmu ushul fiqh, maka di sinilah juga bisa dibilang masa keemasan dalam sejarah ilmu fiqih. Berikut adalah alasan atas penamaan era keemasan fiqih tersebut :
Dalam era ini, yang mempunyai otoritas dalam berijtihad dan mengeluarkan fatwa adalah tabi’in (pada akhir abad pertama dan masuk ke pertengahan abad ke dua) yang pernah belajar dari sahabat, dan yang mengambil riwayat hadist langsung dari sahabat, serta hafal fatwa-fatwa sahabat. Seperti sa’id bin Musib di Madinah dan said bin Jabir di Kufah. Sementara pada era tabi’iu tabi’iin, yang berhak melakukan fatwa adalah mereka yang bertalaqi langsung kepada tabi’in, kemudian turun lagi ilmunya kepada imam-imam madzhab yang kita kenal beserta murid-muridnya.
Dari sini, maka landasan tasyri’ bertambah menjadi : Al-Qur’an, as-sunnah, ijma’, ijtihad dengan qiyas. Keunggulannya adalah ide dibukukannya hadist rasulullah SAW. Berawal dari pesan khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar Muhamma bin Umar bin hazm untuk membukukan hadist rasulullah demi menghindari hilangnya para penghafal dan berkurangnya para ulama, maka keduanyapun mencoba mengumpulkan semampu mereka. Kemudian pada tahun 140 Hijriah, imam Malik menulis kitabnya Muwattha’ atas permintaan khalifah manshur. Berangsur pada abad ke 3 maka terbitlah kitab-kitab sohih hadist yang enam : Bukhori, Muslim, Abu Daud, an-Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah.
Yang lebih istimewa lagi adalah munculnya imam-imam madzhab, dengan karakter dan metode dasar-dasar fiqih yang berbeda-beda. Penjelasan singkatnya sebagai berikut :
A) Imam Abu Hanifah
Nama beliau yang sebenarnya adalah Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Sabit bin Zauti lahir pada tahun 80 H. di kota Kuffah pada masa Dinasti Umayyah. Dasar Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak bersandar pada ra’yun, setelah pada Kitabullah dan as-sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes di kalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan Abu Hanifah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran pemikiran mazhabnya, mengudang reaksi kalangan ulama. dasar bangunan pemikiran fiqhiyah tercermin dalam pernyataannya berikut, “Saya kembalikan segala persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi saw. maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi, dan tidak beralih pada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Sya’bi, Hasan Ibnu Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib (semuanya adalah tabi’ien), maka saya berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”. Yang membedakan dengan imam-imam yang lain adalah penetapan metode ijtihadnya versi qiyas, ‘urf, istihsan, dan kemaslahatan lainnya yang dominan menekankan kepada tujuan-tujuan moral dan disandingkan dengan perilaku masyarakatnya. Hal ini juga adalah kelebihan ulama-ulama kufah pada umumnya. Imam Abu Hanifah meninggal dengan Syahid pada tahun 150 H.
B) Imam Malik
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah. Dari beberapa isyarat yang ada dalam fatwa-fatwanya dan bukunya Al-Muwattha’, fuqaha Malikiyah merumuskan dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian fuqaha Malikiyah menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu : Nash literatur Al-Qur’an, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih alal ‘illah (pencarian kuasa hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma’ qiyas, tradisi orang-orang Madinah, qaul sahabat, istihsan, istishab, sadd al dara-i’, mura’at al khilaf, maslahah mursalah dan syar’u man qablana. Al-Qurafi dalam bukunya Tanqih Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki sebagai berikut : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas, qaul sahabat, maslahah mursalah, ‘urf, sadd ad-dara’i, istihsan dan istihsab. Bahkan Syatibi, seorang ahli hukum mazhab Maliki, menyederhanakan dasar-dasar mazhab Maliki itu ke dalam empat hal, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan ra’yi (rasio) .
C) Imam Syafi’i
Ia bernama Abu Abdullah, Muhammad ibnu Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Saaib bin ‘Abiid bin Abdu Yazid bin Hasim bin Muthalib bin Abdu Manaf, yang merupakan kakek dari kakek Nabi. Beliau dikenal sebagai pengembara intelektual, maka semua keputusan-keputusan fiqhiyyahnya bergantung pada keadaan zaman dan kondisi sosial masyarakat. Hal in terbukti dengan terbentuknya qoul qodim dan qoul jadid li imam as-Syafi’i. Qoul qodim adalah penetapan madzhabnya selama di Iraq yang menimbulkan kontroversi dengan para ahli fiqih rasional di era khalifah Al-Amin. Sedangkan qoul jadid adalah ketetapan madzhabnya setelah pindah ke Mesir, dengan banyak mengoreksi pendapat-pendapat awalnya. Hal ini tertera pada kitab al-umm yang ditulisnya juga pada kitab ar-risalah yang mengalami revisi selama di Mesir.
Bagi Imam Syafi’i Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sementara teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan, istishab, dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
D) Imam Ahmad bin Hanbal
Nama lengkap imam besar ini adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin Hayyan ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban. Ia terlahir di Baghdad Irak pada tahun 164 H/780 M. Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya.
Dasar-dasar mazhab Hambali ada 10 yaitu : Nushus, yang terdiri dari nash Al-Qur’an, Sunnah dan nash ijma’, fatwa-fatwa sahabat, apabila terjadi perbedaan, Imam Ahmad memilih yang paling dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah; dan apabila tidak jelas, dia hanya menceritakan ikhtilaf itu dan tidak menentukan sikapnya secara khusus, hadits-hadits mursal dan dhaif, qiyas, istihsan, saddu dzara-i’, istishab, ibthal al ja’l, maslahah mursalah. Imam Ahmad bin Hambal lebih mempersempit penggunaan rasio dalam istidlal.
D. Periode Taqlid
Era ini berawal dari pertengahan abad ke Empat Hijriah, dimana muslimin mulai banyak disibukan dengan urusan-urusan politik. Semangat Ijtihad mulai melemah pada masa ini dengan sebab-sebab berikut :
Pada era ini kemudian terbagilah ulama mujtahid kepada level-level tertentu :
E. Periode bangkitnya Aktivitas Tasyri’
Bagi sejumlah ulama, periode ini dinilai sebagai menurunnya nilai-nilai miliu fiqhiyyah, namun justru dengan berlandaskan padas pembagian level-level mujtahid di atas, Dr. Abdul Wahhab Kholaf justru memandang masa inilah kembali bangkit aktivitas tasyri’, dimana kemudian khalifah mulai perduli pada sektor ini. Ciri-ciri yang paling menonjol pada era ini adalah :
Sedikitnya dengan dua karakter pada era ini, fiqih telah dinilai kembali bangkit. Bahkan hingga saat ini, disiplin ilmu fiqih tak lepas dari metode komparativ sehingga diharapkan tidak ada jenis taqlid yang tanpa landasan ataupun tanpa pemahaman. Wallahu a’lam.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan Ijtihad dan munculnya madzahib
Secara garis besar, berikut adalah alasan terjadinya ikhtilaf ulama dalam penentuan suatu hukum :
Urgensi Bermadzhab
Melalui perspektif sejarah, setidaknya ada sejumlah poin tentang pentingnya bermadzhab, sekalipun mungkin tidak ada dalam nusus tentang perintah bermadzhab secara gamblang. Namun logika menarik kesimpulan dari perjalan fiqih dengan fase-fasenya sebagai berikut :
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Melalui semua pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam kacamata sejarah, fiqih telah mengalami evolusi. Bukan berarti originalitasnya hilang, namun lebih kepada tahapan-tahapan perbaikan. Metode Ijtihad timbul pasca wafatnya nabi dan bertahap terbuka melalui sejumlah periode. Tersebarnya islam ke penjuru dunia menjadi faktor utama terjadinya ikhtilaf ulama dalam berijtihad. Pengklasifikasian level-level mujtahid menjadikan kita di era saat ini pada posisi mengikuti imam-imam madzhab dengan faham yang mendalam tentunya.
Imam Ibnul-Qayyim meriwayatkan bahwa pada suatu ketika, Muhammad bin Ubaidillah bin Munadi telah mendengar seorang lelaki bertanya kepada guru beliau, imam Ahmad bin Hanbal : “apabila seseorang menghafal seratus ribu hadist apakah dia bisa dibilang sebagai orang yang faqih?” Imam Ahmad menjawab “tidak”. Dia ditanya lagi, kalau hafal dua ratus ribu hadist?” beliau menjawab “tidak” orang itu kemudian bertanya lagi “jika dia hafal tiga ratus ribu?” tidak, jawabnya. Ditanya lagi “kalau 400.000 hadits? Lalu imam Ahmad mengisyaratkan dengan tangan beliau, “lebih kurang begitulah”. Riwayat di atas dapat memberi gambaran bahwa hanya dengan mempelajari sejumlah hadist saja belum cukup untuk melayakkan diri mengeluarkan hukum dengan sewenang-wenang kita. Belum lagi dengan disiplin ilmu agama yang lain. wallahu a’lam.
Referensi:
Ali Gomah.المدخل إلى دراسة المذاهب الفقهية. Darussalam. Cairo. 2009. Hal 23 - 142
Khollaaf, abdul wahhab. خلاصة تاريخ التشريع الإسلامي. Darul qolam.kuwait. 2003. Hal 99
ibnul Qayyim Jauziyah.إعلام الموقعين عن رب العالمين. Darul Qolam. 2005. Juz II