FIKRAH

Wajibkah Seorang Ibu Menyusui Anaknya?

Wajibkah Seorang Ibu Menyusui Anaknya?

by.
Namun anggapan umum yang mewajibkan seorang ibu menyusui bayinya belum menjadi kesepakatan para ulama fiqih. Kalau kita telusuri lebih dalam kitab-kitab fiqih madzhab ternyata kita menemukan ada beberapa ulama yang tidak mewajibkan seorang ibu menyusui anaknya.
Sudah menjadi anggapan yang umum bahwa seorang ibu wajib menyusui anaknya. Apalagi kalau kita membaca ayat-ayat berikut ini :

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh. ( Q.S Al-Baqarah : 233)

وَوَصَّيْنَا الإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ المَصِير

Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. ( Q.S Luqman : 14)

Namun anggapan umum yang mewajibkan seorang ibu menyusui bayinya belum menjadi kesepakatan para ulama fiqih. Kalau kita telusuri lebih dalam kitab-kitab fiqih madzhab ternyata kita menemukan ada beberapa ulama yang tidak mewajibkan seorang ibu menyusui anaknya.

Bahkan seorang ibu berhak menuntut upah atas penyusuan bayinya sendiri atas suaminya. Apalagi ketika membaca ayat Al-Quran berikut ini :

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya. ( Q.S. Ath-Thalaq : 6)

Ayat ini menjelaskan bahwa seorang ibu berhak meminta upah dari suaminya atas jasa menyusui bayinya sendiri.

Kewajiban untuk memberikan air susu kepada bayi

Jumhur ulama sepakat bahwa bayi yang belum genap usia dua tahun dan membutuhkan air susu ibu wajib hukumnya untuk diberikan. [1]

Namun mereka berbeda pendapat tentang siapa yang berkewajiban untuk melakukannya. Apakah ibunya yang wajib melakukan radha' , atau bapaknya yang harus melakukan  istirdha'?

Yang dimaksud dengan radha' adalah pemberian air susu oleh ibunya sendiri. Sedangkan istirdha' adalah meminta jasa wanita lain untuk menyusui bayi, biasanya dengan upah tertentu. Sebagaimana kakek Rasulullah SAW telah meggunakan jasa Halimatussa'diyah untuk menyusi cucunya yaitu Rasulullah SAW.

1. Ibu Wajib  Melakukan Radha'

Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah berpendapat bahwa ibulah yang berkewajiban untuk menyusui anaknya. Kewajiban ini adalah amanah sebagai seorang ibu dihadapan Allah SWT. Sehingga kewajiban ini tidak dipertanggungjawabkan dihadapan seorang hakim.[2]

Al-Malikiyah menambahkan kewajiban baginya saat statusnya sebagai istri dari suaminya atau saat masa thalaq raj’i. Tetapi jika sudah thalaq tiga atau bain tidak wajib bagi ibu untuk menyusui anaknya.[3]

Seorang istri tidak ada hak menuntut upah menyusui ke suaminya selama statusnya adalah sebagai istri. Karena Allah SWT telah memerintahkan seorang istri menyusui anak suaminya. Sehingga rizqi sudah menjadi tanggung jawab sepenuhnya seorang suami. Maka tidak ada keperluan istri yang tidak tercukupi sehingga tidak perlu adanya upah menyusui.[4]

Hal itu didasarkan atas dalil berikut :

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.. (Q.S Al-Baqarah : 233)

Al-Malikiyah menambahkan upah menyusui menjadi hak seorang ibu jika statusnya adalah janda yang diceraikan oleh suaminya yaitu bapak dari si anak yang ia susui.

2. Ibu Tidak Wajib Melakukan Radha'

Madzhab As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa ibu tidak wajib menyusui anaknya sendiri. Sebaliknya, justru bapaknyalah yang wajib melakukan istirdha' , walaupun ibu anak tersebut pada saat itu mampu untuk menyusui. 

Dalam hal ini tidak ada hak bagi suami membujuk atau memaksa istrinya untuk menyusui anaknya. Maka bila istrinya menolak untuk menyusui anaknya sendiri, menjadi kewajban suami untuk mencarikan wanita yang bisa menyusui anaknya. Dan itu disebut dengan istilah istiridha'. [5]

Karena menyusui bukanlah kewajiban bagi seorang ibu, maka mereka berhak meminta upah dari suaminya.Seakan-akan bisa dikatakan menyusui dengan mendapatkan upah seperti proses jual beli.[6]   Sesuai dengan dalil berikut :


فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya. ( Q.S. Ath-Thalaq : 6)

Namun pendapat ini sangat asing ditelinga kita yang sudah menganggap itu menjadi sebuah kewajiban bagi seorang ibu. Akan tetapi bukankah Rasulullah SAW tidak disusui oleh ibunya sendiri yaitu Aminah?

Pengecualian

Namun meski kedua mazhab ini tidak mewajibkan seorang ibu untuk menyusui anaknya sendiri, ada pengecualian dimana pada kondisi tertentu seorang ibu tetap diwajibkan untuk menyusui anaknya.

1. Pada Saat Melahirkan

Kondisi pertama adalah ketika seorang ibu baru saja melahirkan anaknya. Dalam hal ini dia tetap berkewajiban memberikan kolostrum pada anaknya.

2. Tidak Ada Wanita Yang Bisa Menyusui

Kondisi kedua yaitu jika memang bapak sama sekali tidak menemukan wanita manapun yang bisa menyusui anaknya.

As-Syafi’iyah menambahkan bahwa seorang ibu tidak diperkenankan menyusui anaknya jika itu akan membahayakan dirinya. Dan suami patut melarangnya sebagaimanaia melarang istrinya keluar rumah tanpa izin suaminya.

Waallahu a’lam bishawab.

----------------------------------------------------
[1] Al-Mughni 7/ 627, Nihayatul Muhtaj 7/ 222, Hasyiyah Ad-Dasuqi 2/ 525
[2]Al-Mughni 7/ 627, Nihayatul Muhtaj 7/ 222
[3] Al-Fawakih Ad-Dawani 2/ 100, Hasyiyah Ad-Dasuqi 2/ 525
[4] Ibnu Aabdin 2/ 675
[5] Asnal Mathalib 3/ 445, Nihayatul Muhtaj 7/ 221-222
[6]  Al-Mughni 7/ 627, Nihayatul Muhtaj 7/ 222, Hasyiyah Ad-Dasuqi 2/ 525

Judul lain :

Orisinalitas Syariat Islam
Krisis Ulama’: Penyebab dan Dampaknya (bag. 1)
Kompilasi Hukum Islam (KHI) : Antara Kritik dan Harapan
Adil Tak Selalu Sama Rata
Krisis Ulama': Penyebab dan Dampaknya (bag. 2)
Dukun Berkalung Surban
Ikhtilaf Itu Rahmat, Benarkah?
Awas, Sepupu Bukan Mahram
Bolehkah Wanita Ziarah Kubur?
Sholat Kok Sambil Jalan?
Penguburan Massal Dalam Pandangan Fiqih
Menyikapi Hidangan Ta'ziyah
Menelusuri Hukum Hiasan Dalam Masjid
Wajibkah Seorang Ibu Menyusui Anaknya?
Benarkah Imam Ahmad Seorang Ahli Fiqih?
Sejarah Istilah Fiqih dan Kitab Fiqih Pertama
Mengulangi Shalat Jamaah Dalam Satu Masjid
Ketika Darah Haid Nifas Berhenti di Waktu Ashar atau Isya'
Sentuhan Kulit Dengan Lawan Jenis, Batalkah Wudhunya?
Pesantren, Solusi Sekolah Murah Yang Tidak Murahan
Meninggalkan Sholat Karena Ragu-ragu Darah Haid Sudah Berhenti atau Belum
Ketika Ahli Waris Ada yang Menghilang
Tanggung Jawab Vs Tanggung Malu
Wajibkah Wanita Mengenakan Mukena Ketika Shalat?
Batas Aurat Sesama Wanita
Ternyata, Perempuan Justru Mendapatkan Lebih Banyak
Koalisi ala Rasulullah
Air Dua Qullah dalam Perspektif Madzhab Al-Syafi'i
Ijtihad, Dulu dan Sekarang
Singapura Lebih Islami dari Indonesia ?
Wanita Haidh Masuk Masjid, Kenapa Tidak Boleh?
Imam al-Kasani dan Maharnya
Puasa Wishal: Bolehkah? (Bagian-2)
Puasa Wishal: Bolehkah? (Bagian-1)
Puasa Syawwal : Apa dan Bagaimana
Antara Fardhu 'Ain dan Fardhu Kifayah
Hukum Wanita Haji Tanpa Suami atau Mahram
Jangan Buru-buru Menyimpulkan Hadis
Ternyata Qunut Subuh Itu Bid'ah
Nikah Dengan Syarat Tidak Poligami, Bolehkah?
Bolehkah Denda dengan Harta/Uang?
Sholat Subuh Berapa Rakaat ?
Apa Batasan Makmum Mendapat Satu Rakaat pada Shalat Gerhana?
Antara Fiqih dan Keimanan
Antara Istihadhah dan Haidh
Jadwal Shalat DKI Jakarta 15-5-2024
Subuh 04:34 | Zhuhur 11:51 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:48 | Isya 18:58 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia