USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Shahihkah Semua Hadits Tentang Akhir Zaman

Shahihkah Semua Hadits Tentang Akhir Zaman

PERTANYAAN

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh

Hari ini ana membaca catatan terakhir dari Catatan Haji Eramuslim 1428H. Kemudian timbul pertanyaan, apakah sumber atau hadis yang digunakan untuk menceritakan kronologis peristiwa akhir zaman dan kemunculan Imam Mahdi, Dajjal dan Nabi Isa alaihissalam tersebut shahih?

Karena penulis kurang lengkap dalam menyertakan hadits dan sumbernya, sehingga ana yang awam ini menjadi bertanya-tanya. Dan semoga juga bagi pembaca awam yang lain mempunyai dasar dan pengetahuan yang jelas asal dan sumbernya.

Afwan jika pertanyaannya kurang berkenan.

Jazakallahu khairan katsiira.Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh.

JAWABAN

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Hadits-hadits tentang akhir zaman memang banyak sekali jumlahnya, bisa mencapai ratusan ribu. Dari sekian banyak itu, sebagiannya telah dishahihkan oleh para ahli hadits, seperti Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim. Tetapi harus diakui bahwa sebagian lainnya ada yang bertatus hasan, dhaif bahkan ada yang sampai derajat palsu.

Dan hal yang sama berlaku juga dengan hadits-hadits tentang urutan kejadian menjelang hari kiamat. Klau hadits itu diyakini 100% keshahihannya, tentu saja wajib kita percaya. Sebaliknya, bila hadits itu jelas-jelas kedhaifanya, apalagi bila sampai derajat palsu, maka haram kita menggunakannya.

Tidak Jelas Kedudukannya

Namun bila kita membaca sebuah keterangan yang dianggap sebagai sabda Rasulullah SAW, namun tidak jelas apakah benar-benar hal itu datang dari beliau atau bukan, maka kita pun tawaquf. Maksudnya kita tidak boleh membenarkan begitu saja tetapi juga tidak lantas menolaknya.

Apalagi ada beberapa kitab yang dipastikan berisi hadits-hadits palsu dan dhaif, di mana didalamnya diceritakan tentang fitnah yang akan terjadi menjelang hari kiamat. Salah satunya kitab Al-Fitan yang ditulis oleh Nu'aim bin Hammad.

Maka ketika kita tidak yakin atas keshahihan suatu informasi tentang berbagai fitnah menjelang hari kiamat, untuk amannya kita bersikap tawaqquf.

Standar Pencantuman Kutipan Hadits

Sebenarnya kalau mau pakai standar penulisan ilmiyah, semua hadits yang dikutip dalam suatu tulisan harus disertai takhrij, yaitu penjelasan hadits tersebut ada di dalam kitab apa, pada bab apa dan halaman berapa.

Sehingga memudahkan para pembaca untuk melakukan pengecekan dan penelusuran ulang. Kalau sebuah hadits dikutip begitu saja tanpa sanad, maka akan menimbulkan banyak masalah, karena tidak ada jejak yang bisa dilacak untuk melakukan penelitian selanjutnya atas sebuah lafadz yang masih diasumsikan sebagai sabda nabi.

Takhrij vs Al-Hukmu 'alal Hadits

Dan kalau kita selami lebih jauh, sebenarnya ada dua hal yang jauh berbeda dalam pencantuman keterangan tentang hadits. Ada takhrij dan ada al-hukmu 'alal hadits.

1. Takhrij

Takhrij hanya sekedar menyebutkan sumber asal muasal hadits dengan menyebutkan bahwa suatu hadits ada di dalam kitab induk hadits tertentu.

Kesalahan yang sering terjadi adalah terkadang kitab yang dijadikan rujukan sebenarnya bukan kitab yang lantas menjelaskan jalur periwayatan. Sehingga masih belum dijamin keshahihannya.

Misalnya ada sebuah hadits yang disebutkan diriwayatkan oleh Abu Daud. Lalu disebutkan bahwa hadits itu adanya di dalam kitab Sunan Abu Daud pada bab tertentu dan kitab tertentu. Nah, sebenarnya penyebutan sampai di sini belum tuntas. Karena tidak semua hadits yang ada di dalam kitab Sunan Abi Daud merupakan hadits yang shahih.

2. Al-Hukmu 'Alal Hadits

Proses berikutnya adalah memberikan status hukum atas suatu hadits. Misalnya, hadits ini hukumnya shahih, atau hasan atau dhaif atau bisa juga palsu.

AL-Hukmu 'alal hadits adalah sebuah proses naqd atau kritik. Baik kritik atas jalur isnad, para perawi bahkan termasuk juga kritik terhadap matan hadits.

Ilmu kritik hadits dimiliki oleh para muhadditsin, yaitu orang-orang profesional yang punya legalitas dan otoritas untuk melakukan kritik hadits.

Ibarat dunia kesehatan, hanya para dokter saja yang secara sah diberikan wewenang untuk melakukan pengobatan. Dan itu kewanangan yang bersifat legal. Sedangkan dukun beranak dan sejenisnya, meski mengaku pandai mengobati dan berpengalaman bertahun-tahun, tetapi saja dianggap tidak punya otoritas.

Kitab Hadits Yang Terjamin Keshahihannya

Kalau mau mencari hadits hari kiamat yang pasti sudah dijamin keshahihannya, mudah kita dapat. Buka saja kitab Ash-Shahih yang disusun oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Kedua kitab itu sudah dijamin oleh semua ulama sebagai kitab tershahih kedua dan ketiga di dunia ini, setelah di urutan pertama kitab suci Al-Quran Al-Kariem.

Di luar kedua kitab shaih itu bukan berarti semua hadits tidak shahih. Tetap banyak yang shahih, hanya saja masih membutuhkan kerja keras para ahli untuk membedakannya.

Kewajiban Awam

Sebagai orang awam, kewajiban kita adalah memastikan keshahihan suatu hadits lewat jasa para muhadditsin. Sebab Rasulullah SAW telah mewanti-wanti agar tidak sembarang menggunakan hadits, kalau kita tidak yakin keshahihannya. Apalagi bila terkait dengan masalah aqidah dan keimanan.

Apalagi bila seorang yang awam atas ilmu hadits punya media di mana dirinya dijadikan panutan dan rujukan oleh kaum muslimin, maka saat menyitir suatu hadits, dirinya harus yakin 100% atas keshahihan hadits itu. Agar tidak berdusta atas nama Rasulullah SAW tentang sesuatu yang sesungguhnya beliau tidak pernah ucapkan.

Sebab dusta atas nama Rasulullah SAW adalah dusta level puncak, tidak ada dusta yang lebih parah dan lebih besar dosanya dari dusta itu. Bahkan ancamannya tegas sekali, yaitu disediakan neraka di akhirat nanti.

Padahal seorang Muhammad SAW yang teramat pengasih dan mencintai umatnya, jarang-jarang beliau marah sampai main ancam masuk neraka. Salah satu yang membuat beliau marah adalah ketika ada orang yang berdusta atas nama dirinya.

Dan termasuk dalam tindakan itu adalah menyampaikan hadits-hadits yang palsu dan dhaif.

Pengecualian Menyampaikan Hadits Palsu dan Dhaif

Ada hal-hal tertentu yang secara khusus membolehkan kita kita dengan terpaksa harus menyampaikan hadits yang palsu. Syaratnya, kita bertujuan untuk mengingatkan orang lain atas kepalsuan hadits itu.

Tentu tujuannya agar orang-orang terhindar dari kepalsuanya dan tidak terperosok ke dalam lubang dusta yang menganga.

Bila sebuah hadits telah jelas-jelas kepalsuannya, tetapi tetap disampaikan juga, dengan mengatakan tegas bahwa hal itu datang dari Rasulullah SAW, maka siap-siaplah diri kita dibakar di dalam neraka, sebagaimana ancaman yang telah beliau sampaikan.

Lalu Bagaimana Bila Kita Tidak Tahu Kedudukan Suatu Hadits?

Tentu saja bila kita tidak tahu, kita punya kewajiban untuk bertanya. Tanyakan kepada orang yang paling ahli di bidangnya, yaitu para muhadditsun.

Seandainya hadits itu shahih, tentu kita pun akan merasakan aman ketika menyampaikan hadits itu. Sebab yang kita sampaikan memang benar-benar pesan dan sabda Rasulullah SAW. Ketika kita menyampaikan suatu hadits yang sudah dijamin keshahihannya, maka kita pun mendapat pahala.

Tapi kalau ternyata yang kita sampaikan itu tidak shahih, maka seharusnya kita menahan lisan kita dari sesuatu yang bisa menjerumuskan diri dari dusta, terutama dusta kepada Rasulullah SAW.

!

Tersebarnya Hadits Palsu

Ada banyak faktor penyebab tersebarnya hadits palsu, misalnya karena kepentingan politis, mendapatkan harta kekayaan, membela kepentingan kelompok, popula1ritas bahkan ada yang disebabkan oleh kejahilan.

Pemalsuan hadits sudah ada sejak zaman nabi. Dan sepanjang masa, ada saja kalangan yang secara sadar dan tidak sadar, ikut membantu penyebaran hadits palsu. Kalau karena kesadaran ikut menyebarkan hadit palsu, tentu dosanya berlipat. Tapi kalau karena tidak tahu bahwa suatu hadits itu palsu, semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosanya.

Pekerjaan Berat

Kami terus terang angkat tangan kalau diminta untuk mengomentari hadits-hadits yang anda maksudkan di atas. Sebab selain hadits itu hanya ditulis terjemahannya saja, juga tidak dicantumkan siapa perawinya. Tentu hal ini jadi menambah kerumitannya.

Intinya pekerjaan seperti itu memang butuh para ahli hadits yang profesional. Bukan ustadz 'amatiran' seperti kami, yang ilmunya tidak seberapa.

Mungkin anda bisa tanyakan kepada Prof. Ali Mustafa Ya'qub, MA atau Dr. Lufti Fathullah MA atau ahli hadits lainnya. Mereka adalah orang yang paling berwenang untuk menjawab atau melakukan penelitian atas hadits-hadits tentang akhir zaman.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmas Sarwat, Lc