![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Benarkah Shalat Yang Sengaja Ditinggalkan Tidak Perlu Diganti? |
PERTANYAAN Assalamualaikum wr wb, Pak ust yg smoga Dirahmati Allah SWT, Benarkah pendapat yang mengatakan bahwa bila kita meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa udzur syar'i, maka tidak perlu diganti? Yang diganti hanya bila kita terlupa saja? Moohn penjelasan ustadz dalam masalah ini. Terima kasih, Wassalam. |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warhamtullahi wabarakatuh, Memang sekarang tanpa sadar muncul pemikiran yang mengatakan bahwa tidak ada kewajiban mengqadha' shalat, apabila ditinggalkan dengan sengaja alias ditinggalkan dengan lalai. Menurut mereka bahwa qadha' shalat hanya berlaku ketika seseorang tertidur atau terlupa dari shalat, sebagaimana zhahir teks haditsnya. Adapun bila shalat itu sengaja ditinggalkan, maka tidak ada kewajiban untuk mengqadha'nya. مَنْ نَسِىَ الصَّلاَةَ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَاSiapa yang lupa shalat maka dia harus melakukannya begitu ingat. (HR. Muslim) Tahukah Anda mengapa dibedakan antara orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dan terlupa? Menurut pandangan ini, karena orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja sudah dianggap kafir. Sedangkan bila alasannya karena terlupa tidak kafir. Pertanyaannya, pemikiran dan logika seperti ini muncul dari mana? Siapa yang mempeloporinya? Dan apakah bisa diterima logikanya? 1. Ibnu Hazm Kalau kita telusuri alur pemikirannya, kita akan menemukan tokoh bernama Ibnu Hazm Al-Andalusi (w. 456 H). Beliau adalah salah satu tokoh Mazhab Zhahiri, yang meskipun mazhabnya sudah punah, namun beberapa pemikirannya mulai banyak diikuti oleh tokoh-tokoh masa kini. Beliau inilah yang mengatakan di dalam kitabnya, Al-Muhalla bi Atsar, bahwa seorang muslim yang secara sengaja meninggalkan shalat fardhu, hukumnya kafir. Bayangkan, cukup hanya dengan meninggalkan shalat secara sengaja tanpa udzur yang syar’i, maka sudah dianggap kafir, meski pun yang bersangkutan masih meyakini kewajiban shalat.[1] Dan karena statusnya kafir, maka tidak ada kewajiban untuk mengganti shalat yang terlewat. Orang kafir itu kan memang tidak wajib menerjakan shalat. Dan bila kembali lagi memeluk Islam, cukup bertaubat saja tanpa perlu mengganti shalatnya. Disini letak perbedaan Ibnu Hazm dengan seluruh ulama sepanjang 14 abad yang diwakili oleh 4 mazhab yang muktamad. Seluruhnya tanpa kecuali telah sepakat bahwa seseorang baru bisa disebut kafir kalau sengaja meninggalkan shalat tanpa udzur syar'i sambil juga di dalam hatinya mengingkari kewajiban shalat. Sebaliknya, kalau baru sekedar tidak shalat tapi hatinya meyakini kewajiban shalat, maka dia tidak kafir. Dan shalat yang telah ditinggalkannya itu harus diganti (diqadha'). 2. Syeikh Abdul Aziz bin Baz Tokoh lainnya yang juga punya pendapat yang sejalan adalah Syeikh Abdul Aziz bin Baz (w. 1420 H). Beliau pernah menjabat sebagai mufti Kerjaan Saudi Arabia di masanya. Tokoh ini juga termasuk yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat secara total selama kurun waktu tertentu, tidak perlu mengganti shalatnya. [2] Alasan yang dikemukakan pendapat ini adalah karena selama kurun waktu tertentu itu dirinya dianggap telah murtad atau keluar dari agama Islam. Dan sebagai orang yang bukan muslim, menurut pendapat ini, yang bersangkutan tidak diwajibkan untuk mengerjakan shalat. Beliau mengemukakan beberapa dalil, antara lain : بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِBatas antara seseorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim) العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةَ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَPerjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Siapa yang meninggalkan shalat maka dia telah kafir. Bila yang bersangkutan kembali menjalankan agamanya, maka dia harus bersyahadat ulang untuk memperbaharui keimanan dan keislamannya kembali, seperti orang kafir yang baru masuk Islam. Dan oleh karena itu, dia tidak perlu mengganti shalat-shalat yang ditinggalkannya. Konsekuensi Logika Ini Sekilas vonis kafir bagi orang yang meninggalkan shalat secara sengaja menjadi kafir ini kelihatannya biasa-biasa saja. Namun kalau kita ikuti alur logika ini, sebenarnya agak mengerikan. Betapa tidak? Ketika seorang mufti memberi vonis kafir atau murtad kepada seseorang yang sebenarnya beragama Islam, maka ada banyak konsekuensi yang tidak disadari. Di antara konsekuensi vonis murtad adalah : 1. Gugur Amal Sebelumnya Seorang muslim yang murtad dan keluar dari agama Islam, maka gugurlah amal-amal yang pernah dilakukan sebelumnya. Dasarnya adalah firman Allah SWT : وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَـئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَBarangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah : 217) وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَBarangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al-Maidah : 5) Sebagian ulama bahkan ada yang mengatakan bisa seorang sudah pernah mengerjakan ibadah haji dalam Islam, lalu murtad dan kembali lagi masuk Islam, maka ibadah haji yang pernah dikerjakannya menjadi gugur, seolah-olah dia belum pernah mengerjakannya. Dan oleh karena itu ada kewajiban untuk mengulangi ibadah haji. 2. Istrinya Haram Seseorang yang murtad keluar dari agama Islam, maka bila dia punya istri atau suami, secara otomatis menjadi haram untuk melakukan hubungan suami istri. Hal itu karena Islam mengharamkan terjadinya pernikahan antara muslim dan kafir. Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bila salah satu pasangan murtad dari agama Islam, maka status pernikahan mereka menjadi fasakh (dibatalkan) tetapi bukan perceraian. Mazhab Al-Malikiyah memandang bahwa bila salah satu pasangan suami istri murtad, maka statusnya adalah talak bain. Konsekuensinya, mereka diharamkan menjalankan kehidupan rumah tangga sebagaimana layaknya suami istri. Bila yang murtad itu kembali lagi memeluk agama Islam dengan bersyahadat, maka mereka harus menikah ulang dari awal. Mazhab Asy-Syafi’iyah menyebutkan bahwa bila salah satu pasangan murtad, maka belum terjadi furqah di antara mereka berdua kecuali setelah lewat masa iddah. Dan bila pada masa iddah itu, si murtad kembali memeluk Islam, mereka masih tetap berstatus suami istri. Namun bila sampai lewat masa iddah sementar si murtad tetap dalam kemurtadannya, maka hukum pernikahan di antara mereka bukan cerai tetapi fasakh. 3. Haram Menikah Dengan Siapa pun Pasangan suami istri bila salah satunya murtad, maka terlepaslah ikatan pernikahan di antara mereka berdua. Tetapi bila orang yang murtad ini belum menikah, maka para ulama sepakat bahwa haram hukumnya untuk menikah, baik dengan pasangan muslim, atau pun pasangan yang beragam lain, atau pun dengan pasangan yang sama-sama murtad. Hal itu karena orang yang murtad itu statusnya tidak beragama. Disini ada perbedaan mendasar antara murtad dan pindah agama. Murtad itu sebatas divonis keluar dari agama Islam, namun tidak lantas memeluk agama yang lain. Jadi status orang murtad itu tidak memeluk agama Islam dan juga tidak memeluk agama selain Islam, dia adalah orang yang statusnya tanpa agama. Pendapat Jumhur Ulama Maka dalam hal ini yang lebih tepat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa udzur syar'i berdosa besar, dia wajib menggantinya (qahda'), tetapi statusnya tidak kafir. Sebab menjatuhkan vonis kafir itu sangat berat konsekuensinya. Semoga Allah SWT mengampuni semua dosa-dosa kita. Amin. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warhamtullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MA REFERENSI : [1] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, jilid 2 hal. 242 [2] http://www.binbaz.org.sa/mat/18110 |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |