USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Tertangkap Tangan Sedang Berduaan Dengan Wanita di Hotel

Tertangkap Tangan Sedang Berduaan Dengan Wanita di Hotel

PERTANYAAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ustadz yang dirahmati Allah.

Akhir-akhir ini kita sering mendengar bahwa kasus orang yang kepergok atau tertangkap tangan atau tertangkap basah  ketahuan ketika di dalam kamar hotel bersama perempuan yang jelas-jelas bukan istrinya. Apalagi bila keduanya ketahuan sedang dalam keadaan tanpa busana alias bugil.

Pertanyaan saya tentang masalah ini adalah :

1. Bagaimana hukumannya bila dilihat dari kaca mata syariat Islam? Bukankah pasangan itu harus dirajam, karena mereka telah berzina, dan tidak bisa mengelak dari tuduhan karena tertangkap basah ketahuan?

2. Apa batasan secara syar'i bahwa seseorang atau suatu pasangan telah berzina dalam arti melakukan hubungan badan atau hubungan seksual?

3. Mohon dalil Quran atau Sunnah tentang hukuman cambuk atau rajam bagi pelaku zina

4. Apa saja syarat yang harus dipenuhi agar kita bisa melaksanakan hukum cambuk dan rajam bagi pezina?

5. Moohn sertakan juga dalil-dalil tentang ketentuan Allah untuk hukuman pezina yang harus dicambuk dan yang harus dirajam. Siapa saja orang-orang yang pernah berzina di masa Rasulullah SAW?

Mohon dijelaskan ustadz, jangan sampai kita umat Islam ini tidak peduli lagi dengan hukum Allah. Sebaliknya, kita punya kewajiban untuk menegakkan hukum Allah SWT, khususunya hukum-hukum hudud ini.

Wassalam
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tertangkap basah sedang berduaan di kamar hotel dengan perempuan yang bukan mahram dan bukan istrinya, belum tentu bisa dikategorikan zina yang mewajibkan cambuk atau rajam. Namun perbuatan itu tetap perbuatan yang keliru dan juga diharamkan serta berdosa.

Apalagi misalnya keduanya tertangkap sedang dalam keadaan tidak berpakaian, dimana asumsi kita biasanya akan mengajak kepada dugaan bahwa mereka sedang melakukan hubungan badan yang masuk dalam kategori zina.

Namun syariat Islam tidak asal main rajam dan cambuk saja untuk kasus-kasus sepert ini. Kalau kita belajar ilmu fiqih, khususnya bab-bab yang membahas hukum hudud dan ta'zir, maka kita akan menemukan banyak syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi.

A. Penetapan Vonis Zina

Untuk bisa melakukan hukuman bagi pezina, maka harus ada ketetapan hukum yang syah dan pasti dari sebuah mahkamah syariah atau pengadilan syariat. Dan semua itu harus melalui proses hukum yang sesuai pula dengan ketentuan dari langit yaitu syariat Islam.

Sayang sekali memang, di Indonesia yang konon rakyatnya agamis dan mayoritas muslim ini, kita malah tidak punya pengadilan syariah. Bahkan hukum Islam khususnya masalah hudud ini pun ditolak mentah-mentah oleh mayoritas bangsa muslim ini.

Maka meski ada orang terang-terangan berzina di tengah lapangan monas di tengah hari bolong dan ditonton oleh ribuan pasang mata, tetap tidak bisa dirajam atau dicambuk sebagaimana yang telah Allah tetapkan. Kita tidak tahu kapan umat Islam di Indonesia ini akan sepakat menegakkan hukum hudud secara resmi. Mungkin butuh puluhan tahun ke depan.

Tetapi tidak apa-apa dan jangan berkecil hati dulu. Sebab tegaknya hukum hudud ini bukan hal yang mustahil. Insya Allah suatu ketika nanti Allah SWT akan ubah semuanya. Yang penting sekarang kita belajar dulu ilmunya, walaupun mungkin belum bisa langsung diterapkan. Setidaknya, kalau kita mau menegakkan hukum hudud, maka ilmunya kita pelajari, kita ajarkan kepada semua orang dan kita populerkan dulu.

Allah telah menetapkan bahwa hukuman zina hanya bisa dijatuhkan hanya melalui salah satu dari dua cara :

1. Ikrar atau pengakuan dari pelaku

Pengakuan sering disebut dengan `sayyidul adillah`, yaitu petunjuk yang paling utama. Karena pelaku langsung mengakui dan berikrar di muka hakim bahwa dirinya telah melakukan kejahatan. Bila seorang telah berikrar di muka hakim bahwa dirinya berzina, maka tidak perlu adanya saksi-saksi.

Di zaman Rasulullah SAW, hampir semua kasus perzinahan diputuskan berdasarkan pengakuan para pelaku langsung. Seperti yang dilakukan kepada Maiz dan wanita Ghamidiyah.

Teknis pengakuan atau ikrar di depan hakim adalah dengan mengucapkannya sekali saja. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Imam Malik ra., Imam Asy-Syafi`i ra., Daud, At-Thabarani dan Abu Tsaur dengan berlandaskan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW kepada pelaku zina. Beliau memerintahkan kepada Unais untuk mendatangi wanita itu dan menanyakannya,

`Bila wanita itu mengakui perbuatannya, maka rajamlah`.

Hadits menjelaskan kepada kita bahwa bila seorang sudah mengaku, maka rajamlah dan tanpa memintanya mengulang-ulang pengakuannya.

Namun Imam Abu Hanifah ra. mengatakan bahwa tidak cukup hanya dengan sekali pengakuan, harus empat kali diucapkan di majelis yang berbeda. Sedangkan pendapat Al-Hanabilah dan Ishaq seperti pendapat Imam Abu Hanifah ra., kecuali bahwa mereka tidak mengharuskan diucapkan di emapt tempat yang berbeda.

Bila orang yang telah berikrar bahwa dirinya berzina itu lalu mencabut kembali pengakuannya, maka hukuman hudud bisa dibatalkan. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah, Asy-Syafi`iyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal ra.

Dasarnya adalah peristiwa yang terjadi saat eksekusi Maiz yang saat itu dia lari karena tidak tahan atas lemparan batu hukuman rajam. Lalu orang-orang mengejarnya beramai-ramai dan akhirnya mati. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau menyesali perbuatan orang-orang itu dan berkata,

`Mengapa tidak kalian biarkan saja dia lari ?`. (HR. Abu Daud dan An-Nasai).

Sedangkan bila seseorang tidak mau mengakui perbuatan zinanya, maka tidak bisa dihukum. Meskipun pasangan zinanya telah mengaku.

Dasarnya adalah sebuah hadits berikut :

Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata bahwa dia telah berzina dengan seorang wanita. Lalu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk memanggilnya dan menanyakannya, tapi wanita itu tidak mengakuinya. Maka Rasulullah SAW menghukum laki-laki yang mengaku dan melepaskan wanita yang tidak mengaku. (HR. Ahmad dan Abu Daud)

2. Empat Saksi Laki-laki Yang Bersaksi di Depan Mahkamah

Ketetapan bahwa seseorang telah berzina juga bisa dilakukan berdasrkan adanya saksi-saksi. Namun persaksian atas tuduhan zina itu sangat berat, karena tuduhan zina sendiri akan merusak kehormatan dan martabat seseorang, bahkan kehormatan keluarga dan juga anak keturunannya. Sehingga tidak sembarang tuduhan bisa membawa kepada ketetapan zina. Dan sebaliknya, tuduhan zina bila tidak lengkap akan menggiring penuduhnya ke hukuman yang berat.

B. Batasan Zina

Berzina adalah perbuatan dosa besar, tidak bisa dilewatkan begitu saja kecuali dengan bertaubat. Syariat Islam sejak dini telah menghalangi umatnya dari perbuatan dosa zina, sehingga larangannya bukan : jangan berzina, tetapi bunyinya : Jangan dekati zina. Logikanya, kalau mendekatinya saja sudah dilarang, maka apalagi melakukannya.

Sedangkan batasan bahwa suatu pasangan melakukan zina yang mewajibkan cambuk atau rajam adalah ketika mereka melakukan jima' , hubungan kelamin atau hubungan badan.

Mazhab Asy-Syafi’iyah memberikan definisi tentang istilah zina sebagai :

إِيلاَجُ حَشَفَةٍ أَوْ قَدْرِهَا فِي فَرْجٍ مُحَرَّمٍ لِعَيْنِهِ مُشْتَهًى طَبْعًا بِلاَ شُبْهَةٍ

Masuknya ujung kemaluan laki-laki meskipun sebagiannya ke dalam kemaluan wanita yang haram, dalam keadaan syahwat yang alami tanpa syubhat.

Batasan ini  bukan berarti kalau tidak sampai masuk berarti bukan zina, tidak demikian cara memahaminya. Tetapi batasan ini adalah batasan apakah pelaku zina itu sudah bisa dirajam atau dicambuk atau tidak. Melakukan perbuatan hubungan badan seperti itu meski tidak sampai masuk, tetapi merupakan zina yang diharamkan dan dosa besar.  Cuma memang tidak sampai harus dicambuk atau dijaram.

C. Dalil Hukuman Cambuk dan Rajam

Allah SWT telah mewajibkan qadhi untuk menjatuhkan hukum cambuk buat orang yang berzina, sebagaimana Dia berfirman :

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلاَ تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ

Wanita dan laki-laki yang berzina maka jilidlah masing-masing mereka 100 kali. Dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah kamu dari menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman. (QS. An-Nuur : 2)

An-Nasai menyatakan bahwa Abdillah bin Amr ra berkata.`Ada seorang wanita bernama Ummu Mahzul (atau Ummu Mahdun) seorang musafih, dimana seorang laki-laki shahabat Rasulullah SAW ingin menikahinya. Lalu turunlah ayat

`Seorang wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik dan hal itu diharamkan buat laki-laki mukminin`.

Tetapi memang ada saja umat Islam yang bandel, tidak tahan dengan nafsu gejolak syahwatnya sendiri. Sehingga tetap saja ada kasus-kasus perzinaan yang terjadi sepanjang sejarah. Bahkan di masa Nabi SAW pun zina sudah terjadi pada mereka yang nota bene sebenarnya masuk ke dalam kategori shahabat. Dan oleh karena itulah maka Rasulullah SAW menegakkan hukum hudud yang telah Allah tetapkan, yaitu merajam dan mencambuk pezina.

D. Syarat Hukum Cambuk dan Rajam

Tidak semua orang yang berzina dihukum rajam atau cambuk. Hanya mereka yang memenuhi syarat tertentu saja yang dijatuhi hukuman itu. Bila salah satu dari syarat itu tidak terpenuhi, maka gugurlah kewajiban menjalankan hukuman atas pelaku zina.

1. Sudah Baligh

Hanya pelaku zina yang sudah cukup usia (baligh) saja yang dihukum. Apabila zina itu dilakukan oleh anak laki-laki yang belum baligh, karena belum keluar mani, maka tidak dijatuhi hukum hudud.

Demikian pula bila seorang wanita yang belum haidh melakukan tindakan zina, maka tidak wajib dijatuhkan hukum hudud atasnya.

2. Berakal

Hanya pelaku zina yang berakal waras saja yang dijatuhkan hukum hudud. Sedangkan orang yang kurang waras akalnya, tidak dijatuhi hukum hudud.

Seorang wanita yang gila bila diajak berzina oleh orang waras, maka yang dihukum hudud hanyalah yang waras saja, sedangkan yang gila tidak dihukum hudud. Demikian juga sebaliknya.

Pendeknya hukum hudud tidak berlaku buat orang yang kurang akalnya, atau sama sekali tidak berakal.

Tetapi orang yang waras tetapi sengaja minum khamar agar mabuk, bila saat mabuk itu dia berzina, tidak dianggap kurang waras, meski kenyataannya demikian. Dia dianggap sebagai orang yang sehat akalnya. Sehingga orang yang sengaja mabuk lalu berzina, maka dia tetap dijatuhi hukuman hudud.

3. Muslim

Hanya pelaku zina yang beragama Islam saja yang dijatuhi hukum hudud. Karena keislaman pelaku zina disyaratkan dalam masalah hukum ini.

Adapun bila seorang laki-laki non-muslim berzina dengan wanita muslimah, maka yang laki-laki tidak dihukum hudud, sedang yang muslimah dihukum hudud. Laki-laki non muslim itu tidak dihukum hudud namun hanya dihukum ta’zir.

Sedangkan keduanya bukan muslim, maka keduanya tidak dihukum hudud, tetapi dihukum ta`zir sesuai dengan pandangan hakim sebagai pelajaran bagi keduanya.

Namun jumhur ulama mengatakan bahwa seorang kafir yang berzina dihukum hudud.

4. Tidak Terpaksa

Perbuatan zina yang wajib dijatuhi hukum hudud hanyalah bila zina itu dilakukan dengan tanpa adanya paksaan. Seorang yang dipaksa berzina dengan ancaman yang membahayakan, seperti diperkosa atau mengalami kekerasan seksual, maka tidak dijatuhi hukum hudud.

5. Dengan Manusia

Hanya perbuatan zina yang dilakukan oleh manusia dengan manusia saja yang dijatuhi hukum hudud. Sedangkan bila zina itu dilakukan seorang manusia dengan hewan, maka pelakuknya dihukum dengan ta`zir bukan dengan hudud.

Sedangkan hukum hewan yang disetubuhi itu tetap halal dan dagingnya boleh dimakan. Namun Al-Hanabilah menyatakan bahwa bila perbuatan itu disaksikan oleh minimal 2 orang, maka hewan itu dibunuh, pelakunya diwajibkan membayar harga hewan itu tapi dagingnya tidak halal dimakan.

6. Mampu Melakukan Hubungan Seksual

Orang yang secara fisik tidak mampu melakukan hubungan seksual, misalnya anak kecil, baik laki-laki mau pun perempuan, pada hakikatnya tidak bisa melakukan zina.

Bila laki-laki bersetubuh dengan wanita di bawah umur, tidak dihukum hudud. Begitu juga bila seorang wanita dewasa bersetubuh dengan anak kecil yang belum baligh.

7. Tidak Syubhat

Zina yang mewajibkan hukum hudud adalah zina yang dilakukan dengan jelas, bukan kesalahan yang tidak disengaja atau mengandung syubhat. Seperti bila seorang menyangka wanita yang disetubuhinya adalah istrinya tapi ternyata bukan. Ini adalah pendapat jumhur ulama.

Mungkin hal itu jarang terjadi, tetapi dimungkinkan terjadinya, karena itulah maka para ulama menegaskan bahwa orang yang mengira seorang wanita sebagai istrinya, lalu melakukan hubungan seksual, kemudian akhirnya ketahuan bahwa ternyata wanita itu bukan istrinya, maka hal itu tidak termasuk zina yang mewajibkan hukum hudud.

Namun Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf mengatakan tetap harus dihukum hudud.

8. Tahu Ancaman Hukum

Pelakunya adalah orang yang mengerti dan tahu bahwa ancaman hukuman zina adalah hudud yaitu rajam atau cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun.

Sehingga bila pelakunya mengaku bahwa dia tidak tahu ancaman hukuman zina, maka para ulama berbeda pendapat.

9. Pasangannya Bukan Kafir Harbi

Seorang yang berzina dengan wanita yang statusnya kafir harbi, tidak dijatuhui hukum hudud. Wanita yang kafir harbi dalam kasus tertentu statusnya sebagai tawanan atau budak, yang dalam kondisi tertentu dihalalkan untuk menyetubuhinya.

10. Pasangannya Masih Hidup

Bila seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan mayat wanita, maka perbuatan zina itu tidak dijatuhi hukum hudud. Sebab syarat jatuhnya hukum hudud itu adalah bahwa wanita yang dizinai adalah seorang wanita yang masih hidup atau bernyawa. Sedangkan menyetubuhi mayat memiliki hukum tersendiri.

E. Bentuk Hukuman Zina : Cambuk Atau Rajam?

Bentuk hukuman untuk pelaku zina adalah salah satu dari cambuk dan rajam. Tergantung dari status pernikahan si pelaku zina. Para ulama membagi status pelaku zina menjadi dua macam, yaitu :

1. Pelaku Zina Berstatus Ghairu Muhshan

Orang yang berzina namun belum pernah sekalipun melakukan hubungan suami istri (jima’) lewat pernikahan yang sah dan syar`i, maka hukumannya adalah dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Dalilnya adalah firman Allah SWT :

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلاَ تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ

Wanita dan laki-laki yang berzina maka jilidlah masing-masing mereka 100 kali. Dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah kamu dari menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman. (QS. An-Nuur : 2)

Selebihnya yaitu tentang mengasingkan mereka selama setahun, para ulama sedikit berbeda pandangan :

Al-Hanafiyah berpendapat bahwa seorang muhshan cukup dicambuk 100 kali saja tanpa harus diasingkan selama setahun. Dalil yang mereka gunakan adalah zahir ayat yang secara terang hanya menyebutkan hanya cambuk saja tanpa menyebutkan pengasingan.

Dan bila ditambah dengan cambuk, maka menjadi penambahan atas nash dan penambahan itu menjadi nasakh. Jadi masalah mengasingkan bagi Al-Hanafiyah bukan termasuk hudud, tetapi dikembalikan kepada hakim sebagai bentuk hukuman ta`zir. Bila hakim memandang ada mashlahatnya maka bisa dilakukan dan bila tidak maka tidak perlu dilakukan.

Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah berpandangan bahwa mengasingkan pezina selama setahun adalah bagian dari hudud dan harus digabungkan dengan pencambukan. Pengasingan itu sendiri ditentukan bahwa jaraknya minimal jarak yang membolehkan seseorang mengqashar shalatnya. Dalil yang mereka gunakan untuk mengasingkan ini adalah sabda Rasulullah SAW :

Ambillah dariku (ajaran agamamu) yang Allah telah jadikannya sebagai jalan. Perawan dan bujangan yang berzina maka hukumannya adalah cambuk dan diasingkan setahun. Dan orang yang sudah menikah yang berzina maka hukumannya adalah cambuk 100 kali dan rajam`.

Namun mereka mengatakan bahwa pengasingan ini hanya berlaku bagi lak-laki saja, sedangkan wanita yang berzina tidak perlu diasingkan kecuali ada mahram yang menemaninya seperti suami atau mahram dari keluarganya. Karena Rasulullah SAW melarang bepergiannya seorang wanita,`Wanita tidak boleh bepergian lebih dari 3 hari kecuali bersama suami atau mahramnya`.

Al-Malikiyah berkata bahwa laki-laki diasingkan ke negeri yang asing baginya selama setahun, sedangkan wanita tidak diasingkan karena takut terjadinya zina untuk kedua kalinya sebab pengasingan itu.

2. Pelaku Zina Berstatus Muhshan

Orang yang berzina dan dia sudah pernah melakukan hubungan suami istri (jima’) lewat pernikahan yang sah dan syar`i, disebut disebut zina ghairu muhshan. Para ulama sepakat menyatakan bahwa pelaku zina muhshan dihukum dengan hukuman rajam, yaitu dilempari dengan batu hingga mati.

Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW secara umum bahwa selama masa hidup Rasulullah SAW paling tidak tercatat 3 kali beliau merajam pezina yaitu Asif, Maiz dan seorang wanita Ghamidiyah.

Asif : Asif berzina dengan seorang wanita dan Rasulullah SAW memerintahkan kepada Unais untuk menyidangkan perkaranya dan beliau SAW bersabda :

وَاغْدُ يَا أُنَيْس عَلىَ امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا

Wahai Unais, datangi wanita itu dan bila dia mengaku zina maka rajamlah.

Maiz : Kisah Maiz diriwayatkan dari banyak alur hadits dimana Maiz pernah mengaku berzina dan Rasulullah SAW memerintahkan untuk merajamnya.

Wanita Ghamidiyah : Kisah seorang wanita Ghamidiyah yang datang kepada Rasulullah SAW mengaku berzina dan telah hamil, lalu Rasulullah SAW memerintahkannya untuk melahirkan dan merawat dulu anaknya itu hingga bisa makan sendiri dan barulah dirajam.

Zina muhshan adalah puncak perbuatan keji sehingga akal manusia pun bisa menilai kebusukan perbuatan ini, karena itu hukumannya adalah hukuman yang maksimal yaitu hukuman mati dengan rajam.


 

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA