USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Benarkah Zakat Jual Beli Tidak Dikenal Dalam Syariat?

Benarkah Zakat Jual Beli Tidak Dikenal Dalam Syariat?

PERTANYAAN
Assalamualaikum wr. wb.

Mohon penjelasan yang lengkap terkait dengan zakat jual-beli dan perdagangan.

Ada seorang ustadz yang menerangkan kepada saya bahwa sebenarnya dalam kitab fiqih klasik tidak dikenal zakat jual-beli dan perdagangan, yang ada kata beliau adalah zakat 'urudhu at-tijarah. Dan ternyata ketentuannya agak berbeda dengan ketentuan dalam zakat jual-beli atau perdagangan yang kita kenal selama ini.

Mohon sekali lagi perkenan ustadz menjelaskan, benarkah zakat jual-beli atau zakat atas penjualan barang tidak dikenal dalam fiqih dan syariah?

Wassalamu'alaikum wr. wb.
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang sebenarnya kalau kita mau sedikit lebih detail memperhatikan, apa yang dikatakan ustadz Anda itu ada benarnya. Memang dalam khazanah fiqih klasik 4 mazhab, yang dikenal adalah zakat 'urudhu at-tijarah dan bukan zakat al-bai'u wa asy-syira' (zakat penjualan dan pembelian).

Zakat jual-beli seperi yang sering kita dengar hari ini, kalau mau jujur sebenarnya adalah hasil produk ijtihad di zaman modern ini saja. Tidak akan kita dapati model zakat seperti itu di khazanah fiqih klasik masa lalu.

Mungkin kalau kita buka kitab Fiqih Zakat karya Dr. Yusuf Al-Qaradawi, barulah kita temukan. Atau di buku karya Dr. Didin Hafidudin, yaitu Zakat dalam Perekonomian Modern. Buku ini aslinya merupakan disertasi beliau ketika kuliah di IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tetapi lagi-lagi, apa yang beliau-beliau sampaikan itu sesungguhnya sebuah ijtihad baru, yang sepanjang 14 ini nyaris tidak pernah ada di dalam kitab fiqih empat mazhab.

Boleh dibilang bahwa keberadaan zakat jual-beli ini adalah zakat-zakat baru atau zakat modern buatan zaman sekarang. Meski cukup banyak pendukungnya bahkan semacam jadi mazhab resmi di negeri kita, tetapi suka atau tidak suka, keberadaannya kadang mengandung sekaligus mengundang masalah. Selain masih banyak ulama modern yang kurang setuju dengan pengembangannya, juga ada masalah lain yaitu tidak sepakatnya para 'pengembang' dalam membuat aturan dan ketentuannya.

Jangan heran kalau kita bertanya tentang zakat modern ini kepada tiga orang nara sumber, maka jawabannya bisa tiga macam versinya. Sebab ketika berijtihad mengembangkan zakat, ternyata masing-masing berijtihad sendiri-sendiri dan tidak kompak juga.

A. Pengertian Zakat Urudhu At-Tijarah

Secara istilah, zakat urudhu at-tijarah didefinisikan oleh para ulama menjadi :

كُل مَا أُعِدَّ لِلتِّجَارَةِ كَائِنَةً مَا كَانَتْ سَوَاءٌ مِنْ جِنْسٍ تَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ الْعَيْنِ كَالإْبِل وَالْغَنَمِ وَالْبَقَرِ أَوْ لاَ كَالثِّيَابِ وَالْحَمِيرِ وَالْبِغَال

Zakat atas segala benda yang dijadikan objek jual-beli baik dari jenis yang wajib dizakati seperti unta, kambing dan sapi, atau pun bukan jenis barang yang wajib dizakati, seperti pakaian, himar dan bagal.

Sedangkan zakat jual-beli adalah zakat yang dipungut atas setiap transaksi penjualan atau pembelian suatu benda dengan nilai tertentu.

Dalam tataran teknisnya, zakat jenis ini lebih mengacu kepada sistem pajak atau cukai dalam suatu negara. Pajak adalah kewajiban di luar zakat yang diberlakukan oleh penguasa. Memang Islam memberikan hak kepada penguasa unutk mengutip pajak dari tiap transaksi atas jual-beli yang dilakukan oleh rakyat. Tetapi baik Al-Quran dan Sunnah sama sekali tidak mewajibkan zakat atas transaksi jual-beli.

Kalau kita merujuk kepada dalil-dalil resmi zakat yang eksplisit, memang tidak ada kewajiban zakat atas transaksi jual-beli.  Dengan kata lain, sebenarnya teks Al-Quran dan As-Sunnah tidak mewajibkan zakat atas transaksi jual-beli.

Sedangkan yang disyariatkan dalam zakat barang-barang perdagangan adalah zakat yang dikenakan atas barang-barang yang disimpan atau dimiliki oleh seseorang, dengan niat untuk diperjual-belikan. Ketentuan zakatnya adalah selama barang-barang itu dimiliki, atau belum laku, maka barang-barang itu kena zakat, bila telah memenuhi syarat nishab, haul dan sebagainya.

Adapun ketika barang itu laku dijual, lalu pemiliknya mendapat uang, justru tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas transaksi itu.

B. Masyru'iyah

Secara pensyariatan, zakat urudhu at-tijarah didasarkan pada beberapadalil, diantaranya hadits-hadits berikut ini :

عَنْ سَمُرَةَ كَانَ النَّبِيُّ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نَعُدُّ لِلْبَيْعِ

Dari Samurah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari barang yang siapkan untuk jual beli. (HR. Abu Daud)

Kalimat alladzi nu'adu lil-bai'i artinya adalah benda atau barang yang kami persiapkan untuk diperjual-belikan. Jadi zakat ini memang bukan zakat jual-beli itu sendiri, melainkan zakat yang dikenakan atas barang yang dipersiapkan untuk diperjual-belikan.

C. Ketentuan Zakat Urudhu At-TIjarah

Ada beberapa ketentuan dalam masalah zakat atas barang yang diniatkan untuk dijadikan barang dagangan. Beberapa ketentuan itu antara lain adalah :

1. Bukan Zakat Transaksi Tapi Zakat Kepemilikan Barang

Zakat ini memang bukan zakat perdagangan, melainkan zakat yang dikenakan atas barang-barang yang dimiliki, entah dengan cara membelinya atau membuatnya, namun memang judulnya untuk diperdagangkan. Dengan kata lain, zakat barang perdagangan ini dihitung bukan dari asset yang digunakan untuk perdagangan atau dari profit yang diterima, namun dari modal yang berputar untuk membeli barang yang akan diperdagangkan.

Dengan demikian, kalau seseorang buka toko kelontong misalnya, maka asset seperti bangunan toko, lemari, rak, cash register, kulkas, timbangan dan semua perlengkapan yang ada di dalam toko, tidak termasuk yang harus dihitung untuk dikeluarkan zakatnya.

Yang harus dikeluarkan zakatnya adalah harta yang dikeluarkan untuk membeli stok barang di toko itu.

2. Tidak Ada Dua Zakat

Dalam kasus dimana harta yang akan diperjual-belikan adalah harta yang secara 'ain terkena zakat, seperti hewan ternak atau emas, maka yang berlaku hanya zakat ain-nya saja.

Misalnya seseorang penjual hewan memelihara lima ekor unta dengan niat untuk diperjual-belikan, maka sesungguhnya dia bisa terkena dua zakat sekaligus, yaitu zakat hewan ternak dan zakat memiliki barang yang niatnya untuk diperjual-belikan. Namun dalam hal ini para ulama menegaskan bahwa yang berlaku atasnya hanya satu zakat saja, yaitu zakat atas 'ain hewan itu dan bukan zakat barang yang diperdagangkan.

Misal yang lain, seseorang penjual emas punya 85 gram emas yang telah dimiliki selama satu tahun, padahal kepemilikan atas emasnya tidak lain untuk diperjual-belikan. Saat itu memang ada dua ketentuan zakat, yaitu zakat atas kepemilikan emas itu sendiri, dan kedua zakat atas kepemilikan emas yang niatnya untuk diperjual-belikan.

Tetapi yang berlaku hanya satu saja, yaitu zakat atas kepemilikan emas itu, sedang atas niat untuk memperjual-belikannya tidak diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.

3. Modal Berputar itu harus sudah melewati nisab.

Nisab zakat perdagangan adalah harga 85 gram emas. Bila uang yang keluar untuk membeli barang yang akan dijual lagi itu telah mencapai nilai angka seharga 85 gram emas, maka sudah cukup nishabnya.

Misalnya, harga emas sekarang ini Rp. 100.000,- per gram. Maka nishab zakat perdagangan adalah 85 gram x Rp. 100.000,- = Rp. 8.500.000,-.

4. Haul

Perdagangan itu telah berlangsung selama satu tahun hijriyah. Perhitungan haul dalam masalah zakat atau yang dimaksud dengan satu tahun adalah berdasarkan tahun qamariyah atau tahun hijriyah. Bukan dengan tahun syamsiyah atau yang sering dikenal dengan tahun masehi.

D. Perbedaan

Dan kalau kita pakai hasil ijtihad para penyeru zakat baru ini, tentu akan sangat jauh berbeda. Yang paling sering diijtihadkan bahwa zakat diberlakukan setiap ada transaksi jual-beli.

Misalnya, kita beli tanah atau beli tanah, maka sekian persen dari nilai transaksi itu kena zakat. Kita jual atau beli mobil, maka sekian persen dari harganya harus dikeluarkan zakat. Kita bukan warung tegal, maka tiap sekian persen dari omzet penjualan, ada kewajiban zakat.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA