USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Terlambat ke Masjid Bolehkah Ikut Jamaah Gelombang Kedua?

Terlambat ke Masjid Bolehkah Ikut Jamaah Gelombang Kedua?

PERTANYAAN
Assalamu 'alaikum wr. wb.

Saya pengurus masjid di perkantoran, ingin menyampaikan pertanyaan penting terkait ketentuan syariah dalam shalat berjamaah. Di masjid kantor kami setiap bakda Dzhuhur diadakan majelis taklim, mulai dari hari Senin hingga Kamis.

Yang jadi masalah, ketika majelis taklim dimulai seusai shalat Dzhuhur berjamaah, masih ada saja sebagian karyawan yang datang terlambat ke masjid. Mereka lalu membentuk jamaah shalat Dzhuhur baru. Kadang jumlah mereka lumayan banyak, sampai beberapa shaf ke belakang.

Sehingga terjadi 'saling mengganggu'. Jamaah yang mau melaksanakan shalat Dzhuhur gelombang kedua ini terganggu dengan suara ustadz yang sedang mengajar, sehingga kurang konsentrasi dan kurang khusyu. Sementara jamaah majelis taklim pun terganggu juga, karena di tengah-tengah ceramah tiba-tiba terdengar takbir intiqal. Belum lagi jamaah gelombang kedua ini malah memenuhi ruang majelis taklim.

1. Apa hukum mengadakan jamaah gelombang kedua? Sebab saya pernah dengar katanya yang berlaku hanya jamaah gelombang pertama saja, yang bersama dengan imam rawatib. Mohon penjelasan, apakah membentuk shalat berjamaha gelombang kedua itu dilarang atau boleh?

2. Mohon ustadz juga bisa memberikan solusi atas masalah 'bentrokan' antara jamaah majelis taklim dan jamaah gelombang kedua. Kira-kira bagaimana solusi yang mudahnya.

Demikian pertanyaan kami, semoga Allah SWT selalu melimpahkan inayah dan keberkahan kepada ustadz sekeluarga. Amin.

Wasalam
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pada dasarnya seluruh ulama sepakat bahwa shalat fardhu lima waktu adalah sesuatu yang disyariatkan, baik yang mengatakan hukumnya sunnah muakkadah, fardhu kifayah, fardhu 'ain bahkan ada yang sampai menjadikannya sebagai syarat sah shalat.

Namun seluruh ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan shalat berjamaah disini tidak lain adalah shalat yang dilaksanakan di masjid bersama imam rawatib.

A. Masjid Yang Ada Imam Rawatib dan Jamaah Tetap

Lalu yang menjadi fokus pembahasan ini adalah fenomena terlambatnya sebagian orang untuk shalat berjamaah di suatu masjid, sementara shalat berjamaah bersama imam rawatib sudah selesai dilakukan. Oleh karena itu, ruang lingkup pembahasan ini tidak terlepas dari beberapa kondisi :

1. Adanya Imam Rawatib

Masjid yang dibicarakan adalah masjid yang punya imam teteap atau imam rawatib, dimana imam ini secara khusus bertugas memimpin shalat berjamaah.

Sedangkan masjid yang tidak ada imam yang pasti, tentu tidak termasuk dalam pembahasan disini.

2. Masjid Yang Punya Jamaah Tetap

Selain masjid itu punya imam rawatib tetap, juga yang menjadi titik pembahasan disini sebatas masjid yang berada di permukiman atau punya jamaah tetap dan rutin.

Sedangkan masjid yang merupakan fasilitas umum dan posisinya di tempat umum, dimana orang-orang yang shalat umumnya adalah para musafir yang kebetulan lewat dan menumpang shalat, tidak termasuk masjid yang menjadi objek pembahasan dalam bab ini.

Contohnya adalah masjid yang terletak di stasiun kereta api, bandar udara, terminal bus, rest area jalan tol, pelabuhan, kapal laut, jalan antar kota dan seterusnya.

Menurut hemat penulis, termasuk juga dalam kriteria ini masjid yang sangat kecil dan sempit, sementara jumlah jamaahnya terlalu banyak. Contohnya masjid di pusat perbelanjaan (mal), taman hiburan, atau gedung-gedung tertentu yang umumnya sangat sempit, tidak sebanding dengan jumlah orang yang ingin melakukan shalat.

3. Shalat Berjamaah Sudah Selesai Dilaksanakan

Ruang lingkup yang ketiga dari pembahasan bab ini adalah ketika imam rawatib di suatu masjid telah usai menjalankan tugasnya, dan shalat berjamaah yang diikuti oleh jamaah tetap sudah selesai dilaksanakan.

Lalu datanglah sebagian orang ke masjid untuk melaksanakan shalat. Yang menjadi titip perbedaan pendapat adalah apa yang seharusnya mereka lakukan? Apakah mereka shalat sendiri-sendiri ataukah sebaiknya mereka shalat berjamaah? Dan apa hukumnya kalau mereka shalat berjamaah, boleh atau makruh hukumnya?

Dalam hal ini, ternyata kita menemukan fakta bahwa jumhur ulama umumnya justru memakruhkannya. Namun ada sebagian yang membolehkannya atau malah menganjurkannya.

B. Pendapat Jumhur Ulama : Makruh

Jumhur ulama umumnya berpendapat bahwa mengulangi shalat berjamaah di satu masjid yang sama hukumnya makruh. Namun makruhnya bila syarat-syarat terpenuhi, antara lain punya imam tetap, punya jamaah tetap dan ukurannya proporsional dengan jumlah jamaah.

Imam Rawatib : Masjid itu punya imam rawatib yang secara khusus bertugas mengimami jamaah, lalu datanglah seusai shalat orang-orang yang membentuk jamaah baru. Mereka shalat tidak bersama imam rawatib, tetapi saling menunjuk imam di antara mereka sendiri.

Punya Jamaah Tetap : Yang dimakruh hanya sebatas masjid yang berada di permukiman atau punya jamaah tetap dan rutin.

Sedangkan masjid yang merupakan fasilitas umum, dimana orang-orang yang shalat sebatas mereka yang lewat, sehingga gelombang-gelombang shalat berjamaah tidak mungkin dihindari, tentu tidak termasuk yang dimakruhkan.

Maka masjid yang terletak di tempat semacam stasiun kereta api, bandar udara, terminal bus, rest area jalan tol, pelabuhan, kapal laut, jalan antar kota, dan sejenisnya, tidak termasuk yang dimakruhkan bila dilakukan shalat berjamaah bergelombang-gelombang.

Tidak Proporsional : Dan menurut hemat penulis, termasuk juga dalam kriteria ini aapabila masjidnya sangat kecil dan sempit, sementara jumlah jamaahnya terlalu banyak.

Contohnya masjid di pusat perbelanjaan (mal), taman hiburan, atau gedung-gedung tertentu yang umumnya sangat sempit, tidak sebanding dengan jumlah orang yang ingin melakukan shalat. Menurut hemat penulis, tidak mengapa kalau shalat berjamaah dilakukan berkali-kali.

1. Fatwa Para Ulama

Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama dari empat mazhab, yaitu Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah.

a. Al-Hanafiyah

Diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf bahwa mereka memakruhkan apabila peserta shalat jamaah pada gelombang kedua itu berjumlah banyak. Sedangkan bila jumlahnya hanya dua atau tiga orang saja, dan mereka melakukannya di pojok belakang masjid, hukumnya masih dibolehkan.

Dan diriwayatkan dari Muhammad bahwa makruh hukumnya apabila shalat jamaah gelombang kedua dan berikutnya dilakukan dengan cara memanggil dan mengajak orang-orang.

b. Al-Malikiyah

Al-Imam Malik memakruhkan pengulangan shalat berjamaah di masjid yang punya imam rawatib tetap. Sebagaimana makruhnya shalat berjamaah sebelum datangnya imam rawatib.

Di dalam kitab Al-Muwaththa’ disebutkan bahwa Al-Imam Malik ditanya orang tentang imam yang mengumandangkan adzan di masjid, lalu menunggu orang-orang datang tapi tidak ada yang datang juga. Maka dia pun shalat sendirian. Seusai itu barulah ada jamaah yang datang untuk shalat berjamaah. Pertanyaannya, apakah imam yang sudah shalat tersebut harus shalat lagi biar dapat berjamaah?

Maka jawaban beliau bahwa imam itu tidak perlu lagi mengulanginya. Dan siapa yang datang setelah imam itu selesai shalat, shalatnya sendiri-sendiri juga”.

c. Asy-Syafi'iyah

Demikian juga mazhab Asy-Syafi'iyah, mereka memandang shalat berjamaah gelombang kedua di masjid yang sama hukumnya makruh, yaitu masjid yang punya imam rawatib.

Namun demikian, ada sedikit pengecualian dalam kasus ini, yaitu bila seorang datang ke masjid namun semua sudah shalat berjamaah, dianjurkan agar salah satunya (tidak semuanya) ikut menemaninya shalat. Maksudnya agar tetap mendapatkan pahala berjamaah, meski pun hanya berdua saja.

d. Para Ulama Lain

Selain keempat mazhab, di antara ulama yang mendukung pendapat ini adalah Al-Imam Hasan Al-Bashri (w. 110 H) rahimahullah. Beliau berfatwa hendaklah orang-orang yang terlambat itu shalat sendiri-sendiri dan tidak membuat jamaah baru.[1]

Ibrahim An-Nakha’i (w. 96 H), salah seorang guru dari Imam Abu Hanifah, juga termasuk yang melarangnya. Disebutkan bahwa beliau tidak suka mengimami suatu shalat jamaah di masjid yang sudah dilaksanakan shalat berjamaah sebelumnya.

Selain beliau juga ada Al-Imam At-Tsauri (w. H), Abdurrazzaq (w. H), Ibnul Mubarak (w. H), Al-Imam Al-Laits (w. H), Salim (w. H) dan Al-Auza’i (w. H).

2. Dalil Nash

Sedangkan dalil-dalil yang digunakan oleh para ulama untuk memakruhkan cukup banyak, sebagain di antaranya adalah dalil-dalil berikut ini.

a. Dalil Pertama

Rasulullah SAW telah mewajibkan shalat berjamaah bersama imam rawatib di masjid. Hal itu sebagaimana haits berikut :

وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنُ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,'Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan shalat pada gelombang kedua, ketiga dan seterusnya, meskipun tetap dilakukan di masjid, namun tidak bersama imam rawatib. Artinya, hal itu sudah keluar dari perintah Nabi SAW.

b. Dalil Kedua

Di dalam riwayat Abu Bakrah disebutkan bahwa Rasulullah SAW sendiri pernah terlambat tiba di Madinah dan ketika sampai di masjid, shalat berjamaah sudah usai dilakukan. Ternyata beliau SAW tidak melakukan shalat berjamaah gelombang kedua di masjid, tetapi langsung pulang dan shalat berjamaah dengan keluarganya di rumah.

أَقْبَلَ النَّبِيُّ rمِنْ نَوَاحِي المـَدِيْنَةَ يُرِيدُ الصَّلاَةَ فَوَجَدَ النَّاسُ قَدْ صَلُّوا فَمَالَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَجَمَعَ أَهْلَهُ فَصَلَّى بِهِمْ

Nabi SAW datang dari luar kota Madinah ingin mendapatkan shalat berjamaah di masjid. Namun setibanya beliau dapati orang-orang sudah usai mengerjakan shalat. Beliau pun berbelok ke rumahnya dan mengumpulkan kelurga untuk shalat berjamaah dengan mereka. (HR. Ath-Thabarani).

c. Dalil Ketiga

Dalil yang ketiga adalah apa yang dilakukan oleh para shahabat nabi SAW ketika terlambat ikut shalat berjamaah. Mereka tetap shalat di masjid namun dikerjakan sendiri-sendiri tidak berjamaah.

إِنَّ أَصْحاَبَ رَسُولِ اللهِ كاَنُوا إِذَا فَاتَتْهُمُ الجَمَاعَةُ صَلُّوا فيِ المـَسْجِدِ فُرَادَى

Sesungguhnya para shahabat nabi SAW apabila mereka terlambat shalat berjamaah di masjid, mereka shalat di masjid secara sendiri-sendiri.

3. Illat

Selain menggunakan dalil-dalil di atas, para ulama yang melarang berulangnya shalat jamaah di masjid mengemukakan alasan lain, yaitu agar jumlah oran yang shalat berjamaah tidak berkurang.

Sebab kalau masih dibolehkan adanya shalat jamaah gelombang kedua, ketiga dan seterusnya, orang-orang akan dengan seenaknya meninggalkan shalat berjamaah yang utama. Akibatnya, jumlah jamaah pada shalat berjamaah yang utama akan berkurang. Sedangkan mengurangi jumlah jamaah adalah hal yang dimakruhkan. [2]

C. Pendapat Al-Hanabilah : Boleh

Pendapat kedua adalah pendapat dari mazhab Al-Hanabilah. Mereka umumnya memang mewajibkan shalat berjamaah. Dan untuk itu maka mereka pun membolehkan bahkan mengharuskan dilaksanakannya shalat berjamaah di dalam satu masjid, walaupun akan terjadi gelombang-gelombang shalat jamaah yang banyak dan berkali-kali.

Bahkan pendapat ini tidak membedakan apakah masjid itu sudah ada imam rawatibnya atau tidak, dalam pandangan mereka tetap saja orang yang datang kemudian dianjurkan membentuk lagi jamaah shalat baru, baik untuk gelombang kedua, ketiga dan seterusnya.

Bahkan pendapat ini juga tidak membedakan apakah masjid itu adalah masjid di lingkungan tertentu yang sudah punya jamaah khusus tertentu, ataukah masjid di jalan dan tempat umum. Dalam pandangan mereka, di masjid apa pun bila ada orang yang tertinggal shalat berjamaah, maka dianjurkan untuk membuat jamaah baru.

1. Fatwa Para Ulama

Selain secara resmi pendapat ini merupakan pendapat mazhab Al-Hanabilah, sesungguhnya ada juga para ulama lain yang punya pendapat sejalan, yaitu dibolehkan terjadinya pengulangn shalat berjamaah di satu masjid.

Di antara mereka dari kalangan shahabat adalah Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu. Selain itu dari kalangan tabi'in yang sependapat adalah Atha', Qatadah, Adi Tsabit, Ishak, Ashab, Ibnu Hazm dan tentunya Al-Imam Ahmad sendiri.

2. Dalil

Dalil-dalil yang digunakan oleh kalangan yang membolehkan terulangnya shalat berjamaah di satu masjid ada beberapa, baik dari perintah Nabi SAW sendiri atau pun dari atas para shahabat.

a. Perintah Nabi SAW

Rasulullah SAW pernah memerintahkan kepada agar ada yang berbisnis dengan seorang yang datang terlambat untuk shalat berjamaah.

عَنِ أَبِي سَعِيْدٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللهِ  فَقَالَ: أَيُّكُم يَتَّجِرَ عَلىَ هَذَا ؟ فَقَامَ رَجُلٌ وَصَلَّى مَعَهُ

Dari Abu Said Al-Khudhri radhiyallahuanhu, dia berkata,”Seseorang datang padahal Rasulullah SAW sudah selesai shalat”. Beliau SAW bersabda,” Siapa di antara kalian yang mau berbisnis dengan orang ini?”. Maka ada satu orang yang bangun untuk shalat berjamaah dengannya.

Dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa hal itu merupakan sedekah kepada orang yang shalat sendiri.

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ  رَأَى رَجُلاً يُصَلِّي وَحْدَهُ فَقَالَ: أَلاَ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّي مَعَهُ؟ فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلىَّ مَعَهُ . فَقَالَ رَسُولُ اللهِ هَذَانِ جَمَاعَةٌ

Dari Abu Umamah bahwa Nabi SAW melihat seseorang shalat sendirian. Maka beliau SAW bersabda,”Tidak adakah seorang yang mau bersedekah kepada orang ini dengan cara shalat berjamaah dengannya?”. Maka satu orang berdiri untuk berjamaah dengannya. Rasulullah SAW bersabda,”Mereka berdua berjamaah”.

b. Atsar Anas bin Malik

Disebutkan suatu ketika Anas bin Malik radhiyallahuanhu shalat di masjid yang sudah dilaksanakan shalat jamaah sebelumnya.

أَنَّ أَنَسًا جَاءَ إِلَى مَسْجِدٍ قَدْ صُلِّيَ فِيْهِ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ وَصَلَّى جَمَاعَةً

Bahwa Anas bin Malik radhiyallahuanhu datang ke suatu masjid yang telah usai dilaksanakan shalat berjamaah. Beliau kemudian melantunkan adzan, iqamat dan melaksanakan shalat berjamaah.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa kejadian itu atau kejadian lain yang mirip juga terjadi pada Anas bin Malik. Dan disebutkan terjadinya di masji Bani Tsa’jabah saat shalat Shubuh. Maka Anas pun memerintahkan seseorang untuk melantunkan adzan dan iqamah, kemudian beliau shalat bersama dengan para shahabatnya.

c. Atsar Ibnu Mas’ud

Ibnu Mas’ud radhiyallahuanhu juga disebutkan pernah melakukan hal yang dilakukan Anas, yaitu shalat berjamaah di suatu masjid yang sudah selesai dilakukan di dalamnya shalat berjamaah.

Dari Salamah bin Kuhail bahwa Ibnu Mas’ud masuk ke dalam masjid yang sudah usai dilaksanakan shalat berjamaah sebelumnya. Lalu beliau shalat berjamaah bersama dengan Alqamah, Masruq dan Al-Aswad.

D. Jalan Tengah

Kalau kita perhatikan dalil-dalil yang digunakan kedua pihak, sebenarnya nyaris kita kesulitan untuk menyalahkan salah satunya. Sebab dalil-dalil yang mereka gunakan sangat kuat dan masuk akal.

Oleh karena itu nampaknya kita tidak perlu meributkan masalah ini dengan cara saling menyalahkan atau mau menang sendiri. Ada baiknya kita carikan titik temu yang bisa menjadi jalan tengah atas perbedaan ini.

Namun kalau melihat bagaimana pendapat mayoritas ulama yang memakruhkan, bahkan pendapat tiga mazhab utama pun ikut memakruhkan, maka kita tidak bisa menafikan apa yang telah menjadi pendapat mayoritas para fuqaha itu.

Oleh karena itu maka jalan tengah yang bisa dijadikan pilihan menurut versi penulis adalah :

1. Usahakan Tidak Terlambat Shalat Bersama Imam Rawatib

Titik pangkal masalah ini adalah adanya orang yang terlambat datang ke masjid. Seandainya tidak ada yang datang terlambat, tentu kita tidak sampai harus berbeda pendapat dalam masalah ini.

Maka jalan tengah pertama adalah hindari hal-hal yang menjadi sumber perbedaan pendapat itu sendiri. Intinya jangan datang terlambat ke masjid.

Malah akan lebih bagus bila sebelum waktu shalat sudah berada di dalam masjid menunggu datangnya waktu shalat. Sebab selama menunggu waktu shalat akan dianggap sebagai shalat juga, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

وَلاَ يَزَالُ فيِ صَلاَةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاَةَ

Dan dia tetap dianggap masih dalam keadaan shalat selama dia menunggu datangnya waktu shalat.". (HR. Bukhari Muslim)

2. Tunda Iqamat Biar Jamaah Berkumpul Dulu

Masih ada kaitannya dengan di atas, agar jamaah tidak terlambat datang, imam masjid sesungguhnya punya wewenang yang tinggi untuk mensiasati bagaimana agar resiko orang terlambat dihindari.

Caranya adalah dengan menunda iqamat dan tidak terlalu terburu-buru memulai shalat berjamaah. Tindakan menunda iqamah ini merupakan suatu yang masyru' dan punya dasar hukum yang kuat dari Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW seringkali memperlambat dimulainya shalat bila melihat jamaah belum berkumpul semuanya. Misalnya dalam shalat Isya', beliau seringkali menunda dimulainya shalat manakala dilihatnya para shahabat belum semua tiba di masjid.

عن جَابِرٍ t قال: وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا إِذَا رَآهُمْ اِجْتَمَعُوا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ

Dan waktu Isya’ kadang-kadang, bila beliau SAW melihat mereka (para shahabat) telah berkumpul, maka dipercepat. Namun bila beliau melihat mereka berlambat-lambat, maka beliau undurkan. (HR. Bukhari Muslim)

Dan secara logika managemen waktu, kalau antara adzan dan iqamah waktunya sangat pendek, maka sudah bisa dipastikan ada jamaah yang tertunda. Bukankah adzan itu sendiri merupakan panggilan untuk datang ke masjid?

Bayangkan ketika orang sedang bekerja atau dalam aktifitas sehari-hari, lalu dia dengar suara adzan. Maka dia butuh waktu untuk menghentikan pekerjaannya, lalu berwudhu, terus melangkahkan kaki ke masjid. Ada yang rumahnya dekat masjid tetapi juga tidak sedikit yang rumahnya agak jauh.

Maka imam shalat harus menghitung semua faktor itu, agar jangan sampai adzan yang dikumandangkan menjadi sia-sia, lantaran tidak masuk akal dari sisi managemen waktunya. Kalau habis adzan langsung iqamat, sudah bisa dipastikan akan ada yang terlambat.

3. Usahakan Jadi Masbuk

Jalan tengah berikutnya adalah ketika seseorang memang benar-benar sudah terlambat dari ikut shalat berjamaah, dalam arti telah kehilangan beberapa rakaat, maka tetap lebih utama untuk ikut shalat berjamaah bersama imam rawatib.

Ikut berjamaah bersama imam rawatib meski dalam posisi masbuk jauh lebih baik ketimbang bikin jamaah yang baru. Bahkan meski sudah tidak mendapatkan satu rakaat pun bersama imam, dimana imam sudah duduk tahiyat akhir misalnya, tetap saja mendapatkan keutamaan shalat berjamaah.

Sebab Rasulullah SAW bersabda :

فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

Apa yang bisa kamu dapat bersama imam maka lakukanlah. Dan apa yang luput kamu kerjakan bersama imam, maka sempurnakanlah. (HR. Bukhari)

4. Lakukan Shalat Sendiri-sendiri

Apabila shalat berjamaah bersama imam rawatib benar-benar sudah selesai, maka pilihan yang paling pertama adalah shalat sendiri-sendiri, sebagaimana fatwa dari mayoritas ulama.

Yang dimaksud shalat sendiri-sendiri disini adalah tidak secara sengaja dan terbuka mengajak-ajak orang untuk membentuk shalat jamaah baru. Namun bila ada orang yang meminta kita untuk menjadi makmum sehingga menjadi shalat berjamaah, tentu permintaan itu tidak harus ditolak.

Sebab Rasulullah SAW pernah meminta salah seorang shahabat untuk 'menemani' orang yang shalat sendirian karena terlambat ikut shalat berjamaah.

أَلاَ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّي مَعَهُ؟ فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلىَّ مَعَهُ

Tidak adakah seorang yang mau bersedekah kepada orang ini dengan cara shalat berjamaah dengannya?”. Maka satu orang berdiri untuk berjamaah dengannya.

Intinya, shalat jamaah itu tidak dilarang namun juga bukan menjadi anjuran yang ditekankan.

5. Posisi di Pojok Masjid

Kalau pun akhirnya shalat berjamaah itu dilakukan juga, maka usahakan dilakukan bukan di shaf terdepan, tetapi lakukanlah di pojok masjid, atau di serambi, teras atau selasar masjid.

Hikmahnya agar jangan sampai terjadi penambahan peserta shalat jamaah itu secara terus menerus, yang akhirnya akan terkesan menjadi shalat jamaah gelombang kedua, ketiga dan seterusnya.

Demikian sedikit pembahasan tentang hukum mengulang shalat berjamaah di masjid yang sudah usai dilakukan shalat berjamaah utama bersama dengan imam rawatib.

 
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA

[1] Mushannaf Abdurrazzaq, jilid 2 hal. 293

[2] Badai' Ash-Shnai' jilid 1 hal. 149