USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Kalau Pembagian Harta Waris Harus Disegerakan Lalu Ibu Harus Tinggal Dimana?

Kalau Pembagian Harta Waris Harus Disegerakan Lalu Ibu Harus Tinggal Dimana?

PERTANYAAN
Assalamu'alaikum Wr.Wb

Pak Ustadz yang dirahmati Allah SWT.

Saya ingin menanyakan masalah hak waris dari bapak saya yang telah meninggal dunia. Harta waris tersebut berupa rumah yang masih ditinggali oleh ibu (isteri almarhum bapak) dan adik perempuan saya. Sedangkan saya dan tiga adik saya bertempat tinggal di luar kota.

Dengan kata lain saya dan ketiga adik saya yg lain tidak tinggal di rumah warisan almarhum bapak saya. Bagaimanakah menyikapi permasalahan ini dalam konteks pembagian harta waris yg harus disegerakan? Di manakah ibu saya dan adik saya harus tinggal kalau rumah sebagai harta warisan harus segera dibagi?

Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu'alaikum Wr.Wb
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pertanyaan Anda ini cukup menarik dan rasanya mewakili pertanyaan begitu banyak umat Islam khususnya dalam teknis pembagian harta waris.

Memang benar bahwa pembagian harta waris itu harus disegerakan, sebab merupakan perintah Allah SWT yang ditetapkan langsung di dalam Al-Quran. Namun yang harus dipahami bahwa membagi harta waris itu tidak selalu identik dengan menjual aset-aset kepada pihak lain dan membagikan uangnya.

Membagi waris itu pada hakikatnya cuma menetapkan siapa yang menjadi pemilik dari harta yang statusnya 'tidak bertuan', lantaran tuannya telah meninggal dunia. Sebab prinsipnya tidak boleh ada harta yang tidak bertuan. Kalau tuannya wafat, maka secara otomatis yang menjadi tuan berikutnya adalah ahli waris.

Jumlah ahli waris dari seorang yang meninggal dunia itu jumlahnya tidak cuma satu. Ketika seorang pemilik harta meninggal dunia, setidaknya ada 22 pihak yang termasuk ke dalam jajaran para ahli waris. Dimana masing-masing ahli waris itu punya fardh alias jatah atau bagian yang telah ditetapkan di dalam nash-nash syariah.

Tindakan membagi waris itu pada hakikatnya adalah akad penetapan perpindahan kepemilikan harta dari pemilik aslinya yang tuannya telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup.

Ibnu Abdin (w. 1252 H) di dalam kitabnya, Hasyiatu Ibnu Abdin telah menuliskan definisi waris sebagai berikut :

عِلْم بِأُصُول مِنْ فِقْه وَحِسَاب تُعرفُ حَقَّ كُلٍّ فِي التَّرِكَةِ

Ilmu tentang dasar-dasar fiqih dan perhitungan, yang dengannya dapat diketahui hak-hak tiap orang dalam pembagian harta peninggalan. [1]

Kalau kita perhatikan definisi ulama di atas, kita tidak menemukan urusan jual-menjual aset dalam hal pembagian waris. Yang ada cuma sekedar menetapkan hak-hak setiap orang atas harta waris tersebut.

Maka perlu ditegaskan sekali lagi bahwa membagi harta warisan itu tidak ada kaitannya dengan menjualnya. Apalagi harta waris itu tidak selalu berbentuk rumah atau tanah. Harta waris bisa berbentuk apapun yang termasuk kategori harta, seperti uang, emas, hewan, kendaraan, surat-surat berharga, dan sebagainya.

Kalau seorang laki wafat dan hartanya berupa seekor sapi, ahli warisnya seorang istri dan satu orang anak laki-laki, apakah lantas sapi itu wajib disembelih begitu dibagi waris? Tentu saja jawabnya tidak harus disembelih. Sapi itu bisa saja dibiarkan hidup atas kesepatan para ahli waris, sebab istri dan anak itu butuh sapi yang masih hidup, karena mereka minum susunya. Kalau sapinya disembelih, tentu saja mereka rugi.

Demikian juga ketika harta warisan berupa rumah kontrakan. Istri dan anak yang menjadi ahli waris tidak harus menjual rumah itu. Yang penting mereka menjadi ahli waris, dimana istri punya prosentase hak kepemilikan senilai 1/8 bagian dan anak laki-laki tunggal punya hak sebesar 7/8 bagian.

Mereka tidak harus menjual rumah itu, tetapi bisa memiliki secara bersama dengan nilai saham sesuai jatah waris masing-masing. Kalau uang sewa kontrakan rumah itu 80 juta sebulan, maka istri mendapat 10 juta dan anak laki-laki mendapat 70 juta tiap bulan.

Dan dalam kasus yang Anda tanyakan, rumah itu tidak harus dijual kalau tidak penting-penting amat. Rumah yang tadinya milik almarhum Ayah itu dibagi waris cukup dengan ditetapkan siapa saja pemiliknya dan berapa nilai saham kepemilikan masing-masing.

Dalam hal ini Ibu mendapatkan hak kepemilikan berdasarkan jatahnya sebagai istri almarhum yaitu sebesar 1/8 bagian. Dan sisanya yaitu 7/8 bagian menjadi hak putera puteri almarhum. Bila anak-anak almarhum ada 5 orang dan semuanya laki-laki, maka sisa 7/8 itu dibagi 5 sama besar.

Sedangkan bila dari 5 anak itu ada yang laki-laki, misalnya ada 2 orang anak laki dan 3 orang perempuan, maka tiap anak laki 'dianggap' seperti 2 orang anak perempuan. Seolah-olah almarhum punya anak 7 orang. Maka sisa 7/8 bagian itu dibagi 7 bagian sama besar, tiap anak laki mendapat 2 bagian dan tiap anak peremuan mendapat 1 bagian.


Yang dibagi-bagi dalam hal ini adalah nilai saham kepemilikan dan bukan uang penjualan rumah. Kita tidak membagi uang hasil penjualan rumah dalam pembagian harta warisan ini. Kita hanya bicara tentang berapa saham kepemilikan atas rumah bagi masing-masing ahli waris. Rumahnya tetap utuh berdiri tegak tanpa harus diotak-atik.

Setelah masing-masing tahu saham kepemilikan atas rumah peninggalan Ayah tersebut, maka segera ditetapkan dan diikrarkan secara tertulis dan dibuatkan berita acaranya. Akan lebih kuat lagi bila didatangkan ahi hukum seperti notaris dan sejenisnya.

Maka dengan ditanda-tanganinya ikrar waris itu, selesai sudah pembagian waris dalam keluarga. Masing-masing sudah mendapatkan bagian yang pasti dari rumah itu. Maka rumah itu sudah bukan lagi milik almarhum, tetapi sudah berpindah menjadi milik para ahli waris secara bersama-sama, dengan perbandingan nilai saham yang berbeda-beda.

Tidak Harus Segera Dieksekusi

Lalu bagaimana urusan eksekusi dan implementasinya? Apakah Ibu dan salah satu anak yang menghuni rumah itu harus segera 'diusir' keluar?

Tentu saja tidak perlu harus dieksekusi dan tidak perlu ada pengusiran. Apalagi ibu dan adik belum punya rumah untuk ditinggali. Maka atas kesepakatan semua ahli waris, silahkan saja mereka tetap tinggal di rumah tersebut. Asalkan sudah jelas siapa pemiliknya.

Seandainya Anda atau salah satu ahli waris 'kebelet' ingin punya duit dan mau menjual bagiannya, bisa-bisa saja hal itu dilakukan. Silahkan Anda jual hak kepemilikan yang merupakan bagian milik Anda dan tawarkan kepada sesama pemilik, yaitu saudara dan saudari Anda sendiri. Siapa tahu di antara mereka ada yang tertarik untuk membelinya, maka jual-beli bisa saja terjadi.

Anggaplah misalnya salah satu saudara Anda ada yang mau membeli jatah kepemilikan rumah Anda itu, silahkan dia bayar dan otomatis Anda sudah kehilangan hak kepemilikan atas rumah itu.

Ibu Boleh Tinggal di Rumah Itu

Atas kesepakatan para 'pemilik' rumah waris, bisa saja mereka semua menyepakati untuk tidak segera menempati rumah itu. Apalagi mereka semua masih punya Ibu, tidak mengapa bila Ibu tetap tinggal di rumah itu meski jatah kepemilikannya cuma sebatas 1/8 bagian saja.

Demikian juga dengan adik Anda, atas kesepakatan semua 'pemilik' rumah, bisa saja dia diizinkan untuk tinggal di rumah itu, meski hak kepemilikannya cuma 1/8 bagian saja. Yang penting, semua ahli waris yang merupakan pemilik rumah telah memberikan izin dan kebolehannya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA 

[1] Ibnu Abdin, Hasyiyatu Ibnu Abdin, jilid 5 hal. 499