Kemenag RI 2019 : Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan. Prof. Quraish Shihab : Ini adalah umat yang sungguh telah berlalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagi kamu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan. Prof. HAMKA : 134. Mereka itu adalah satu umat yang telah lampau. Mereka akan mendapat apa yang telah mereka usahakan dan untuk kamu pun apa yang kamu usahakan, dan tidaklah kamu akan diperiksa perihal apa yang mereka kerjakan.
Lafazh tilka (تِلْكَ) adalah kata tunjuk untuk sesuatu yang jauh dan dalam bentuk muannats (perempuan), sedangkan untuk yang mudzakkar digunakan dzalika (ذَلِكَ). Posisi lafazh tilka dalam struktur kalimat menjadi mubtada’, sedangkan yang menjadi khabar-nya adalah lafazh ummatun (أُمَّةٌ). Dan lafaz qad khalat (قَدْ خَلَتْ) menjadi na’at dari ummat, yang maknanya : telah berlalu.
Lafazh ummat sendiri sudah dijelaskan ketika kita membahas ayat 128 surat Al-Baqarah, cukup beragam maknanya dan bisa saja masing-masingnya saling berbeda, tergantung konteksnya. Bisa bermakna kerumunan orang (QS. Al-Qashash : 23), bisa juga hanya satu orang (QS. An-Nahl : 120), bisa bermakna memeluk agama (QS. Az-Zukhruf : 22), bisa bermakna jangka waktu tertentu (QS. Yusuf : 45), bisa juga bermakna pengikut para nabi (QS. Yunus : 47).
Namun dalam konteks ayat ini menurut para mufassir, yang dimaksud dengan umat tidak lain adalah Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishak dan Nabi Ya’qub alihimussalam.
Lafazh qad khalat (قَدْ خَلَتْ) menurut bahasa artinya telah berlalu atau sudah lewat, namun dalam konteks ini berlalu dalam arti masa hidup dan zaman mereka sudah berlalu di belakang.
Ketika ayat ini diturunkan di masa kenabian Muhammad, pastinya angka tahun masehinya sudah di atas tahun 610 masehi sebagai tahun pertama turunnya ayat Al-Quran.
Dan karena ayat ini termasuk ayat-ayat era madaniyah, setidaknya sudah berlalu 13 tahun kemudian sejak pertama kali ayat Al-Quran diturunkan. Paling cepat ayat ini turun di atas tahun 623 masehi. Kalau diukur ke masa-masa kehidupan para nabi di atas, jelas sudah jauh sekali bentangan zamannya.
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ
Lafafz laha (لَهَا) artinya baginya, yaitu bagi umat itu. Dan maksudnya bagi Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishak dan Nabi Ya’qub alihimussalam. Lafazh maa kasabat (مَا كَسَبَتْ) artinya : “apa-apa yang mereka kerjakan atau mereka usahakan”.
Lafazh wa-lakum (وَلَكُمْ) artinya dan bagi kamu, maksudnya adalah Nabi Muhammad SAW, lafazh maa-kasabtum (مَا كَسَبْتُمْ) artinya juga akan mendapatkan pahala dan ganjaran dari apa yang kamu usahakan.
Penggalan ayat ini punya makna yang bisa digali oleh para mufassir. Sebagian ada yang mengatakan bahwa mereka adalah generasi para nabi yang sudah banyak peran dan jasa dalam timeline sejarah. Tentu masing-masing akan mendapatkan pahala dan ganjaran dari apa yang sudah mereka lakukan di zaman masing-masing.
Dalam hadits terkait peritiwa mikraj, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW dipertemukan dengan kakek moyangnya yaitu Nabi Ibrahim alaihissalam di langit yang ketujuh. Digambarkan Beliau sedang bersandar di Baitul Makmur.
Ada juga kalangan yang menggunakan ayat ini untuk memperdebatkan masalah usaha dan taqdir Allah, khususnya kalangan Qadariyah dan Jabariyah.
Kelompok Qadariyah menggunakan ayat ini untuk membela pendapatnya bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih tindakan mereka. Mereka meyakini bahwa manusia memiliki kebebasan untuk melakukan perbuatan baik atau buruk, dan Allah memberikan manusia kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri. Qadariyah percaya bahwa takdir adalah hasil dari kehendak manusia, dan Allah mengetahui apa yang akan terjadi namun tidak memaksa manusia untuk bertindak.
Sementara kelompok Jabariyah berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini ditentukan oleh takdir Allah, termasuk tindakan dan pilihan manusia. Mereka meyakini bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas yang sebenarnya, dan segala tindakan manusia telah ditentukan sebelumnya oleh Allah. Jabariyah meyakini bahwa manusia tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka, karena mereka dianggap sebagai alat yang diperintah oleh takdir Allah.
وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Lafazh wa-la tus’aluna (وَلَا تُسْأَلُونَ) artinya kamu tidak akan ditanya. Sedangkan lafazh amma kanu ya’malun (عمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ) artinya: “atas apa-apa yang dahulu mereka lakukan”.
Maksudnya Allah SWT menegaskan bahwa setiap orang bertanggung-jawab atas apa-apa yang pernah mereka lakukan selama hidup di dunia. Namun yang dimintai pertanggung-jawaban sebatas apa yang mereka kerjakan saja. Sedangkan yang dikerjakan oleh orang lain, walaupun itu misalnya dilakukan oleh orang tua dan nenek moyang, maka tidak akan jadi tanggung-jawab kita.
Dan sebaliknya, semua kesalahan yang kita lakukan tidak akan ditanggung akibatnya oleh nenek moyang kita, meskipun mereka barisan para nabi. Keterkaitan prinsip tanggung-jawab masing-masing ini dengan kasus orang-orang yahudi adalah bahwa mereka mengklaim diri bahwa mereka adalah umat terbaik hanya semata-mata mengandalkan keturunan nenek moyang mereka.
Pesan moral yang penting untuk dicatat bahwa janganlah suatu kaum membangga-banggakan ras dan keturunan mereka, bahkan meski kakek moyang mereka barisan para nabi dan rasul. Kalau orang-orang yahudi itu melakukan berbagai bentuk keingkaran dan maksiat, maka nenek moyang mereka tidak akan membela dan membantu mereka, karena pada dasarnya masing-masing punya tanggung-jawab, tidak bisa saling mengandalkan.