Jilid : 3 Juz : 2 | Al-Baqarah : 170
Al-Baqarah 2 : 170
Mushaf Madinah | hal. 26 | Mushaf Kemenag RI

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Kemenag RI 2019 : Apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “Tidak. Kami tetap mengikuti kebiasaan yang kami dapati pada nenek moyang kami.” Apakah (mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka (itu) tidak mengerti apa pun dan tidak mendapat petunjuk?
Prof. Quraish Shihab : Apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah dengan sungguh-sungguh apa yang telah diturunkan Allah!” Mereka menjawab: “(Tidak!), tetapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati atasnya nenek moyang kami.” Apakah (mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka (itu) tidak memahami sesuatu dan tidak (juga) mendapat petunjuk?
Prof. HAMKA : Dan apabila dikatakan kepada mereka, "lkutlah apa yang diturunkan Allah!" Mereka katakana, "Bahkan kami {hanya) mau mengikut apa yang telah terbiasa atasnya nenek moyang kami." Bagaimana kalau keadaan nenek moyang mereka itu tidak mengerti suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?

Lafazh wa idza qila (وَإِذَا قِيلَ) maknanya : “Dan apabila dikatakan”. Walaupun yang terucap hanya dikatakan, tetapi maksudnya adalah diperintahkan. Sedangkan lahum (لَهُمُ) artinya : “kepada mereka”. Lantas siapa kah yang dimaksud dengan ‘mereka’ dalam ayat ini?

Para ulama ahli tafsir punya tiga pendapat yang berbeda, sebagaimana disebutkan oleh Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib.[1]

1. Musyrikin Arab

Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘mereka’ dalam ayat ini adalah orang-orang musyrikin Arab. Dasarnya bahwa dhamir hum (هُمْ) di ayat ini kembali ke lafazh man (مَنْ) dalam ayat ke-165 sebelumnya, yaitu :

مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أنْدضداً

Orang yang menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah (QS. Al-Baqarah : 165)

2. Manusia

Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘mereka’ adalah manusia pada umumnya. Dasarnya bahwa dhamir hum (هُمْ) di ayat ini kembali ke lafazh ya ayyuhan-nas (يَا أَيُّهَا النَّاسُ) pada ayat ke-168 :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا

Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik. (QS. Al-Baqarah : 168)

Pendapat ini didukung oleh Al-Mawardi di dalam An-Nukat wa Al-‘Uyun[2], dimana Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud adalah mereka yang mengharamkan makanan yang tidak Allah SWT haramkan, sebagaimana di ayat berikut :

مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ

Allah sekali-kali tidak pernah mensyari´atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan haam. (QS. Al-Maidah : 103)

3. Yahudi

Pendapat ketiga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘mereka’ di ayat ini adalah orang-orang yahudi. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas radhiyallahuanhu sebagaimana ditegaskan juga oleh Ibnu Katsir.[3]

Menurutnya ketika Nabi SAW menyampaikan kepada orang-orang Yahudi di Madinah agar mengikuti perintah Allah SWT di dalam Al-Quran, mereka menjawab sebagai berikut :

بَل نَتَّبِعُ ما وجَدْنا عَلَيْهِ آباءَنا، فَهم كانُوا خَيْرًا مِنّا، وأعْلَمَ مِنّا

Tidak usah, kami akan mengikuti ajaran yang kami dapati dari leluhur kami. Sebab mereka itulah yang lebih baik dari kita dan lebih mengerti dari kita.

 

[1] Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), Mafatih Al-Ghaib, (Beirut, Daru Ihya’ At-Turats Al-Arabi, Cet. 3, 1420 H), jilid 5 hal. 188

[2] Al-Mawardi (w. 450 H), An-Nukat wa Al-‘Uyun, (Beirut, Darul-kutub Al-Ilmiyah, Cet. 1), jilid 1 hal. 221

[3] Ibnu Katsir (w. 774 H), Tafsir Al-Quran Al-Azhim (Cairo, Dar Thaibah lin-Nasyr wa at-Tauzi’, Cet. 2,  1420 H – 1999 M), jilid 1 hal. 480

Kata ittabi’u (اتَّبِعُوا) adalah fi’il amr yang artinya ikutilah. Dalam hal ini maksudnya perintah untuk memeluk agama Islam. Dalam hal ini yang digunakan adalah ungkapan maa anzallah (مَا أَنْزَلَ اللَّهُ) yang secara harfiyah artinya : “apa yang Allah SWT turunkan”.

Yang diturunkan itu tentunya adalah kitab suci samawi, bisa saja Taurat, Injil, Zabur dan kitab-kitab suci lainnya. Namun kalau dikaitkan dengan perintah ini datang dari Nabi Muhammad SAW, maka yang lebih tepat maksudnya adalah kitab suci Al-Quran.

Menjadi pengikut Al-Quran tentu aja maksudnya adalah masuk Islam. Dan itulah dakwah yang dilakukan oleh Nabi SAW.

Dan perintah ini tetap bisa diterapkan dalam tiga versi para mufassir di atas. Bisa saja dikatakan kepada orang-orang musyrikin Mekkah agar masuk Islam dan menerima Al-Quran sebagai kitab suci.

Namun bisa juga diarahkan kepada orang-orang Yahudi yang sebenarnya mereka juga sudah punya kitab suci samawi yaitu Taurat. Namun ajakan ini berarti ajakan untuk meninggalkan Taurat dan menerima Al-Quran sebagai penggantinya.

Lafazh qaaluu (قَالُوا) artinya mereka berkata, maksudnya mereka menjawab ajakan itu dengan penolakan. Lafazh bal (بَلْ) bisa diterjemahkan menjadi : tidak mau atau bisa juga diterjemahkan menjdi : tetapi.

Lafazh alfaina (أَلْفَيْنَا) adalah fi’il madhi yang bermakna (وجدنا) yaitu : ‘mendapati’. Dan ada ayat-ayat lain yang jadi kembarannya :

قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا

Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". (QS. Al-Maidah : 104)

بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا

(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. (QS. Luqman : 21)

Lafazh aabaa-ana (آبَاءَنَا) adalah bentuk jamak dari ab (أَب) yang berarti :  “ayah-ayah”. Bukan berarti ayahnya ada banyak, tetapi maksudnya urutan ayah, lalu  ayahnya-ayah, lalu ayahnya ayahnya ayah dan terus ke atas.

Penyebutan ayah-ayah ini maksudnya adalah para pendahulu mereka dalam masalah agama. Disebut dengan ayah-ayah kami karena di masa lalu agama itu memang diwariskan turun temurun. Termasuk juga warisan mewarisi dalam masalah kenabian.

Namun dalam versi terjemah ke dalam Bahasa Indonesia, tiga sumber terjemahan yang selama kita gunakan, yaitu Kemenag RI, Prof. Qurasih Shihab dan Buya HAMKA sama-sama kompak menerjemahkannya menjadi : “nenek moyang”.

Penerjamahan seperti itu tidak salah juga, sebab kalau dihitung jarak dari zaman Nabi Musa hingga ke zaman dimana orang-orang Yahudi hidup bersama Nabi Muhammad SAW, memang cukup panjang durasinya. Diperkirakan Beliau hidup di sekitaran 1.300 tahun sebelum Masehi. Bila ditambahkan angka 610 tahun, maka jaraknya 19 abad. Sudah cukup untuk menyebut Nabi Musa sebagai nenek moyang.

Penggalan ayat ini diawali dengan hamzah atau alif istifham (أ)  dan diteruskan dengan huruf wawul-‘athaf (وَ). Oleh para mufassir negeri kita, ungkapan ini diterjemahkan menjadi : “Apakah mereka akan mengikuti juga apabila”.

Ini adalah jawaban yang diberikan ketika menanggapi jawaban mereka yang merasa tidak perlu ikut dengan apa yang Allah SWT turunkan berupa Al-Quran, tetapi malah lebih memilih untuk mengikuti nenek moyang mereka saja. Intinya apakah mereka itu tetap akan tetap mengikuti para nenek moyang dengan ajaran-ajarannya?

Lafazh la ya’qiluna syai-an (لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا) artinya tidak berakal, namun dengan ungkapan yang lebih tegas yaitu sama sekali tidak mengetahui sesuatu. Sedangkan lafaz la yahtadun (وَلَا يَهْتَدُونَ) artinya tidak mendapatkan petunjuk, dalam arti tidak menerima wahyu atau pun juga petunjuk samawi.

Dalam ayat ini Allah SWT menyebutkan bahwa panutan mereka yaitu nenek moyang mereka itu tidak pantas untuk diikuti. Alasannya ada dua, yaitu tidak berakal dan tidak mendapat petunjuk samawi.

Al-Baqarah : 170

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 30-4-2024
Subuh 04:35 | Zhuhur 11:51 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:50 | Isya 19:00 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia