Jilid : 3 Juz : 2 | Al-Baqarah : 174
Al-Baqarah 2 : 174
Mushaf Madinah | hal. 26 | Mushaf Kemenag RI

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُولَٰئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Kemenag RI 2019 : Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Kitab (Taurat), dan menukarkannya dengan harga murah, mereka hanya menelan api neraka ke dalam perutnya. Allah tidak akan menyapa mereka pada hari Kiamat dan tidak akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang sangat pedih.
Prof. Quraish Shihab : Sesungguhnya orang-orang yang (sedang dan akan) menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab, dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu (sebenarnya) tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada Hari Kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka azab yang sangat pedih.
Prof. HAMKA : Sesungguhnya, orang-orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan Allah dari Kitab, dan mereka jual dia dengan harga yang sedikit, itulah mereka yang tidak ada di makannya dalam perutnya selain dari api neraka. Dan, tidaklah akan bercakap Allah dengan mereka di hari kiamat, dan tidaklah Dia akan membersihkan mereka, dan untuk mereka adalah adzab yang pedih.

Ayat ke-174 ini menelanjangi perilaku busuk para ulama Bani Israil yang menyembunyikan bukti kenabian Muhammad SAW di dalam Taurat dan menjualnya dengan harga yang sedikit. Kepada mereka Allah mengancam bahwa di akhirat nanti mereka akan memakan api neraka dan tidak akan diajak bicara oleh Allah SWT, juga tidak akan disucikan.

Kita  bisa mengetahui penjelasan seperti di atas berdasarkan apa yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas radhiyallahuanhu sebagaimana dikutipkan oleh Fakhruddin Ar-Razi.[1]

Menurut Ibnu Abbas ayat ini diturunkan demi untuk membongkar kebusukan para pemuka agama Yahudi. Nama-nama mereka antara lain adalah  Ka’ab bin Al-Asyraf, Ka’ab bin Asad, Malik bin Ash-Shaif, Huyai bin Akhtab, Abu Yasir bin Akhtab. Tokoh agamawan ini mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi di tengah-tengah para pemeluk agama Yahudi dan berlimpah ruah dengan hadiah dan berbagai penghargaan yang bersifat material. Dari hasil sumbangan para pengikut agama yahudi itulah mereka hidup makmur dan berlimpah dengan kekayaan.

Lalu mereka merasa terancam apabila Allah SWT menurunkan seorang nabi di tengah-tengah mereka. Sebab secara logika, kedudukan mereka yang sudah enak pasti akan tergeser. Tidak bisa lagi menikmati keuntungan secara material karena perhatian orang pasti teralihkan untuk langsung mentaati seorang nabi yang memang utusan Allah, ketimbang mengikuti tokoh agama yang kedudukannya hanya manusia biasa.

Oleh karena itulah mereka bersekongkol dengan sesama untuk menyembunyikan informasi tentang kenabian Muhammad SAW yang ada di dalam kitab suci Taurat.

Kalau kita cermati, tema seperti ini punya kesamaan tema dan objek dengan ayat ke-159, yaitu sama-sama menelanjangi perilaku busuk ulama Yahudi yang sama-sama menyembunyikan informasi kenabian Muhammad SAW di dalam Taurat.

Bedanya kalau di ayat ke-159 hukumannya dilaknat oleh Allah, malaikat dan manusia, maka di ayat ke-174 ini ancamannya adalah dikaitkan dengan memasukkan api ke dalam perut dan tidak diajak bicara di hari kiamat nanti.

[1] Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), Mafatih Al-Ghaib, (Beirut, Daru Ihya’ At-Turats Al-Arabi, Cet. 3, 1420 H), jilid 5 hal. 204

Lafazh inna (إِنَّ) bermakna : “sesungguhnya”, sedangkan alladzina (الَّذِينَ) artinya “orang-orang yang”. Lalu yaktumuna (يَكْتُمُونَ) sendiri asalnya dari (كَتَمَ - يَكْتُمُ), maknanya adalah : “menyembunyikan”. Sedangkan ungkapan maa anzalallah (مَا أَنْزَلَ اللَّهُ) secara harfiyah berarti : “apa yang Allah SWT turunkan”. Lalu lafazh minal-kitab (مِنَ الْكِتَابِ) maknanya adalah  : “yang ada di dalam kitab”, maksudnya kitab suci yang turun kepada bangsa Yahudi yaitu Kitab Taurat.

Pertanyaannya dalam urusan menyebunyikan ini adalah : siapa menyembunyikan apa dari siapa?

Jawabannya pihak yang menyembunyikan itu adalah para pemuka dan agamawan Yahudi. Mereka menyembunyikan informasi kenabian Muhammad yang sebenarnya ada di dalam Taurat. Sedangkan siapakah pihak yang disembunyikan, tidak lain adalah para pemeluk agama Yahudi alias orang-orang awam mereka.

Menurut Al-Mawardi ada dua hal yang disembunyikan dari isi Taurat. Pertama, mereka menyembunyikan informasi yang menjelaskan ciri-ciri fisik Nabi Muhammad SAW dengan cirinya yang terkonfirmasi secara sah 100% mengarah kepada Nabi Muhammad SAW. Kedua, mereka juga menyembunyikan informasi akan adanya nabi yang akan turun sebagai nabi terakhir sebelum terjadinya kiamat, yang posisinya mengangulir semua syariat samawi yang pernah diturunkan.[1]

Pertanyaan berikutnya : dengan cara apa mereka menyembunyikan informasi tentang kenabian Muhammad SAW kepada umatnya?  Bukankah semua orang yahudi pun bisa membaca sendiri isi Taurat mereka? Jawabannya ada dua kemungkinan :

Pertama, kitab Taurat itu konon hanya ada di kalangan elit agamawan, sedangkan umatnya tidak membacanya. Maka tokoh agama mereka memanfaatkan keawaman umatnya dengan cara tidak membahas isi Taurat terkait kedatangan nabi Muhammad SAW.

Kedua, ada yang mengatakan isi Taurat itu bisa diakses oleh semua kalangan, bahkan kalangan awam pun bisa membaca isinya yang salah satunya ada informasi terkait kenabian Muhammad SAW. Namun para tokoh agamawan yahudi itu kemudian membelokkan tafsirannya dengan yang lain.

 

[1] Al-Mawardi (w. 450 H), An-Nukat wa Al-‘Uyun, (Beirut, Darul-kutub Al-Ilmiyah, Cet. 1), jilid 1 hal. 223

Lafazh yasytaruna (يَشْتَرُونَ) adalah fi’il mudhari’ dari kata (اشترى - يشتري) yang maknanya : membeli. Lawannya adalah menjual yaitu (باع-يبيع). Namun di hampir semua versi terjemahan kata yastari ini malah diterjemahkan dengan lawan katanya yaitu menjual.

Terjemah Prof. Buya HAMKA adalah : “dan mereka jual dia dengan harga yang sedikit,”. Begitu juga dengan Prof. Quraish Shihab yang menerjemahkannya : “dan menjualnya dengan harga yang sedikit”. Namun terjemahan Kemenag RI agak beda, terjemahnnya bukan membeli atau pun menjual, tetapi menukar. “Dan menukarkannya dengan harga murah”. Rasanya kalau dimaknai dengan menukar maka amanlah dari pertanyaan. Toh menjual atau membeli itu pada dasarnya memang tukar menukar, bukan? Bukankah aktifitas membeli itu pada dasarnya menjual juga?

Tinggal mau pakai sudut pandang yang mana. Kalau dilihat dari yang punya barang, ketika barangnya dia berikan kepada pembeli, maka apa yang dilakukannya adalah menjual atau dalam bahasa Arabnya yabi’u (يَبِيْعُ). Sedang kalau dilihat dari sisi yang mendapatkan barang dan memberikan uang pembayaran, maka yang dia lakukan adalah aktifitas membeli atau yasytari (يَشْتَرِي).

Lafazh bihi (بِهِ) artinya : “dengannya”, namun apa yang dimaksud dengan kata -nya disini ada dua penafsiran. Pertama, yang dimakusd dengan-nya adalah al-kitman yaitu ‘tindakan menyembunyikan’. Kedua, yang dimaksud dengan-nya adalah kitab yang Allah SWT turunkan yaitu Taurat.

Lafazh tsamanan qalila (ثمنا قليلا) artinya harga yang sedikit atau murah. Pertanyaannya : apa yang dimaksud dengan ‘menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit’?

 Ada beberapa alternatif jawaban yang dikemukakan oleh para mufassir, salah satunya bahwa para agamawan itu menerima bayaran untuk membela pihak-pihak yang tidak suka dengan kedatangan nabi Muhammad SAW, dengan membuat pernyataan bahwa informasi kenabian Muhammad itu tidak ada di dalam Taurat. Dan untuk itu mereka menerima uang kompensasi yang nilainya tidak sepadan dengan dosa yang akan mereka terima nanti di akhirat.

Maka ungkapan ini adalah : “mereka itu tidak makan kecuali memakan api ke dalam perutnya”. Penggalan ayat ini merupakan cara yang sangat kasar dimana Allah SWT menegaskan bahwa mereka itu lebih dari sekedar dibakar, tetapi bahkan mereka malah memakan api ke dalam perutnya.

Gaya bahasa ini merupakan bentuk shighah mubalaghah yang memberikan kesan yang amat mendalam, bahwa saking kerasnya siksa buat mereka di neraka, gaya bahasanya lebih terkesan sarkastik dan satire, yaitu makan api neraka hingga apinya masuk ke dalam perut.

Penggalan ini bermakna : “Allah tidak akan mengajak mereka bicara”. Dan memang manusia tidak bisa bicara langsung dengan Allah, baik di dunia atau pun di akhirat. Lalu kalau memang tidak sanggup untuk berbicara langsung dengan Allah SWT, lantas kenapa ayat ini menyebutkan bahwa mereka tidak akan diajak bicara oleh Allah? Bagaimana kita menjelaskan hal-hal semacam ini?

Ada tiga alternatif jawaban yang dikemukakan oleh para ulama, sebagaimana dikemukakan oleh Fakhruddin Ar-Razi :[1]

1.      Allah SWT tidak akan menyambut dengan tahiyah dan salam.

2.      Bahwa Allah SWT tidak akan berbicara kepada orang kafir, karena mereka ada di neraka. Sedangkan orang-orang beriman, nanti di surga akan bicara langsung dengan Allah SWT, bahkan bisa melihat Allah SWT secara langsung.

3.      Tidak diajak bicara itu sebuah bentuk ungkapan metafora dari murka Allah SWT kepada mereka.

 

[1] Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), Mafatih Al-Ghaib, (Beirut, Daru Ihya’ At-Turats Al-Arabi, Cet. 3, 1420 H), jilid 5 hal. 205

Makna asli kata walaa yuzakkihim (وَلَا يُزَكِّيهِمْ) secara bahasa adalah : “mereka tidak disucikan”. Namun menurut sebagian mufassir maksudnya Allah SWT tidak menerima amal-amal mereka.     

Lafazh adzabun alim (عَذَابٌ أَلِيمٌ) artinya siksa yang pedih, maksudnya siksa di neraka itu dirasakan pedih secara fisik dan merupakan siksaan yang nyata. Siksaan di neraka itu banyak ragamnya, namun yang paling utama adalah dibakar dengan api. Bahkan neraka itu sendiri dinamakan dengan an-nar (النار) yang juga berarti api.

Bila api membakar tubuh manusia, otomatis kulitnya hangus atau gosong. Secara logika kulit gosong sudah tidak bisa lagi merasakan sakit. Karena kulit punya indera perasa, tidak tersentuh api sekalipun bisa dirasakan panasnya oleh kulit. Lalu bagaimana orang yang gosong kulitnya bisa merasakan sakit?

Jawabnya bahwa setiap kali kulit manusia gosong hangus terbakar, maka segera Allah SWT buatkan lagi kulit yang baru. Tujuannya semata-mata hanya agar orang itu bisa merasakan sakitnya dibakar api neraka.

كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ

Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. (QS. An-Nisa : 56)

Al-Baqarah : 174

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 30-4-2024
Subuh 04:35 | Zhuhur 11:51 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:50 | Isya 19:00 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia