Jilid : 3 Juz : 2 | Al-Baqarah : 187
Al-Baqarah 2 : 187
Mushaf Madinah | hal. 29 | Mushaf Kemenag RI

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Kemenag RI 2019 : Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.
Prof. Quraish Shihab : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari (bulan) Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagi kamu dan kamu (pun) adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan (nafsu) kamu, karena itu Dia menerima taubat kamu dan memberi maaf kepada kamu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kamu, dan makan minumlah hingga jelas benar bagi kamu benang putih dari benang hitam, (yaitu) fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa (itu) sampai (datang) malam, tetapi janganlah kamu campuri mereka sedangkan kamu beri`tikaf dalam masjid. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.
Prof. HAMKA : Dihalalkan bagi kamu pada malam puasa bercampur kepada istri kamu; mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu telah berkhianat kepada diri-diri kamu; maka telah diampuni-Nya kamu dan dimaafkanNya kamu. Maka, sekarang singgunglah mereka dan carilah apa yang telah ditentukan Allah buat kamu. Dan, makanlah dan minumlah, sehingga berbeda bagi kamu tali putih dari tali hitam dari waktu fajar. Kemudian, itu sempumakanlah puasa sampai malam, dan jangan kamu singgung mereka, padahal kamu sedang iktikaf di dalam masjid masjid. ltulah batas-batas Allah maka janganlah kamu dekati akan dia. Demikianlah Allah telah menjelaskan perintah-perintah-Nya kepada manusia, supaya mereka jadi takwa.

Ayat ke-187 ini cukup panjang, lebih dari setengah halaman mushaf. Isinya beberapa hukum dan ketentuan Allah SWT, antara lain terkait dibatasinya puasa yang tadinya dimulai lepas Isya menjadi lepas shubuh. Selain itu juga ditegaskan batas akhir puasa yaitu terbenamnya matahari.

Selain masalah puasa, ayat ini juga bicara tentang i’tikaf yang harus dikerjakan di dalam masjid.

Lafazh uhilla lakum (أُحِلَّ لَكُمْ) artinya : “telah dihalalkan bagi kamu”. Lafaz lailatash-shiyam (لَيْلَةَ الصِّيَامِ) artinya malam puasa, maksudnya malam hari yang siangnya diwajibkan puasa, khususnya di bulan Ramadhan.

Buat kita saat ini penggalan awal ayat ini rasanya biasa-biasa saja dan tidak ada masalah. Kita memang sudah tahu bahwa puasa itu hanya diberlakukan di siang hari, yaitu dimulai sejak terbit fajar dan berakhir hingga terbenam matahari. Adapun malam hari tentu saja tidak ada puasa.

Namun kalau kita pahami situasi dan kondisinya ketika ayat ini turun, justru sangat menarik, karena ketentuan puasa umat terdahulu khususnya sebelum ayat ini diturunkan adalah bahwa puasa itu dimulai sejak lepas waktu Isya hingga besoknya waktu Maghrib. Malam hari ternyata wajib puasa, sehingga haram untuk makan, minum dan juga melakukan hubungan suami istri.

Lafazh ar-rafatsu (الرَّفَثُ) makna aslinya adalah pembicaraan yang kotor atau yang mesum. Namun para ulama sepakat bahwa maksudnya bukan hanya pembicaraan tetapi berjima’. Jima’ sendiri di dalam Al-Quran banyak disebutkan dengan berbagai ungkapan, antara lain :

1.      Ar-Rafats  (الرَّفَث), pada surat Al-Baqarah ayat 187       (الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ)

2.      Al-Mubasyarah  (المُبَاشَرَة), surat Al-Baqarah ayat 187     (وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ)

3.      Al-Iita'  (الإِيْتَاء), pada surat Al-Baqarah ayat 222           (فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ)

4.      Al-Qurbah (القُرْبَة), pada surat Al-Baqarah ayat 222       (ولا تَقْرَبُوهُنَّ)

5.      Al-Ityan  (الإِتْيَان), pada surat Al-Baqarah ayat 223         (فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ)

6.      Al-Massu (المَسُّ), pada surat Al-Baqarah ayat 237         (مِن قَبْلِ أنْ تَمَسُّوهُنَّ)

7.      Al-Ifdha'  (الإِفْضَاء), pada surat An-Nisa’ ayat 21             (أفْضى بَعْضُكم إلى بَعْضٍ)

8.      Ad-Dukhul (الدُّخُول), pada surat An-Nisa’ ayat 23          (دَخَلْتُمْ بِهِنَّ)

9.      Al-Istimta'  (الاِسْتِمْتَاع), pada surat An-Nisa’ ayat 24         (فَما اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنهُنَّ)

10.   Al-Mulamasah (المُلاَمَسَة), pada surat An-Nisa’ ayat 43    (أوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ)

11.   At-Taghasysyi (التَّغَشِّي), pada surat Al-A’raf ayat 189     (فَلَمّا تَغَشّاها)

12.   Ath-Thamats (الطَّمَث), pada surat Ar-Rahman ayat 56   (لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ)

13.   At-Tamassu (التَّمَسّ), pada surat Al-Mujadilah ayat 3     (مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا)

Sedangkan lafazh nisa’ikum (نِسَائِكُم) artinya istrimu. Di dalam Al-Quran, untuk menyebutkan istri juga ada beberapa ungkapan, antara lain :

1. Nisa’ (نِسَاء), pada surat An-Nisa’ ayat 43                        (أوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ)

2. Azwaj (أَزْوَاج), pada surat An-Nisa’ ayat 12                      (نصف ما ترك أزواجكم)

3. Imra’ah (إِمْرَأَة), pada surat Al-Lahab ayat 4                     (وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ)

4. Shahibah (صَحِبَة), pada surat Abasa ayat 36                    (وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ)

5. Halail (حَلاَئِل), pada surat An-Nisa’ ayat 23                    (وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ)

Lafazh hunna (هُنَّ) adalah dhamir atau kata ganti orang ketiga, namun lebih spesifik lagi khusus hanya yang berjenis kelamin wanita dan jumlahnya banyak. Dalam konteks ayat ini maksudnya adalah para istri. Kata  libas (لِبَاسٌ) artinya adalah pakaian. Ungkapan bahwa istri menjadi pakaian bagi suami punya kekuatan sastra yang cukup unik sebagaimana disinyalir para ulama tafsir.

1. Pakaian Sebagai Penutup Aurat

Perumpamaan pakaian itu dimaksudkan sebagai penutup aurat. Maksudnya ketika suami istri ketika berjima’, biasanya mereka tidak mengenakan pakaian.

Namun karena mereka saling berpelukan, seolah-olah tubuh suami menjadi pakaian yang menutupi tubuh telanjang istrinya. Begitu juga sebaliknya, tubuh suami yang telanjang itu ditutupi dengan tubuh istrinya.

2. Pakaian Sebagai Pelindung

Selain sebagai penutup aurat, fungsi pakaian biasanya juga sebagai pelindung tubuh dari cuaca panas, dingin dan lainnya. Maka dalam hal ini tubuh suami jadi pelindung bagi istri dari hal-hal yang diharamkan Allah, dan begitu juga berlaku sebaliknya.

3. Pakaian Sebagai Benda Pribadi

Biasanya orang dewasa memakai pakaian sebagai benda pribadi yang  tidak digunakan oleh orang lain. Kondisi semacam ini menggambarkan karakter jima’ yang dilakukan pasangan suami istri yang sifatnya setia dengan satu pasangan yang itu-itu saja.

Makna ‘alimallahu (عَلِمَ اللَّهُ) artinya : Allah SWT mengetahui. Lafazh takhtanuna (تَخْتَانُونَ) adalah fi’il mudhari’ yang asalnya dari (خانَ يَخُونُ خَوْنًا وخِيانَةً) artinya : “kamu berkhianat”. Sedangkan kata anfusakum (أَنْفُسَكُمْ) artinya : dirimu sendiri. Prof. Buya HAMKA menerjemahkan secara lebih harfiyah yaitu : “kamu telah berkhianat kepada diri-diri kamu”.

Khianat yang digunakan di ayat ini sekedar metafora, karena yang dikhianati bukan orang lain tetapi justru diri sendiri. Berkhianat  kepada diri sendiri tentu bukan sebuah pengkhianatan. Khianat itu jadi tidak terpuji manakala dilakukan kepada orang lain, seperti korupsi uang negara atau menilep harta milik orang yang telah mempercayainya. Tetapi kalau mencuri harta milik sendiri tentu bukan dianggap sebagai kejahatan.

Kalau begitu apa yang dimaksud dengan ‘berkhianat kepada diri sendiri’ di dalam ayat ini?

Kalau mengacu kepada terjemahan versi Kemenang, penggalan ayat ini diterjemahkah menjadi :”Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri”. Begitu juga Prof. Qurasih Shihab menerjemahkan menjadi : ”kamu tidak dapat menahan (nafsu) kamu”.

Ternyata berkhianat kepada diri sendiri itu adalah ungkapan dari jima’ yang dilakukan oleh beberapa shahabat di malam hari bulan puasa. Padahal seharusnya jima’ di malam hari itu di masa itu masih terlarang, karena puasa sudah harus dimulai sejak lepas Isya’.

Kalaupun jima’ masih dilarang kala itu dan itu sebenarnya maksiat, namun kenapa Allah SWT menggunakan istilah khianat?

Jawabannya bahwa menggunakan istilah khianat untuk maksiat memang bukan hal yang baru bagi Allah SWT. Ada ayat Al-Quran yang juga menggunakan kata ‘khianat’ untuk menggambarkan kemaksiatan.

فَقَدْ خَانُوا اللَّهَ مِنْ قَبْلُ فَأَمْكَنَ مِنْهُمْ

Sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada Allah sebelum ini, lalu Allah menjadikan(mu) berkuasa terhadap mereka. (QS. Al-Anfal : 71)

Namun yang lebih logis adalah jima’ itu sebenarnya terlarang, namun beberapa orang shahabat melakukannya secara diam-diam, kemudian mereka saling merahasiakan dengan sesama mereka. Disitulah Allah SWT menyebut bahwa jima’ yang mereka lakukan itu sebuah ‘pengkhianatan’.

Di antara catatan sejarah tentang kasus ‘pengkhianatan’ antara lain sebagai berikut :

1. Qais bin Shirmah Al-Anshari

Dalam hadits yang dishahihkan oleh Al-Bukhari, ada disebut kisah seorang shahabat anshar bernama Qais bin Shirmah Al-Anshari dengan kasusnya.

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ ﷺ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا، فَحَضَرَ الْإِفْطَارُ، فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ، لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلَا يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الْأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا، فَلَمَّا حَضَرَ الْإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ فَقَالَ لَهَا: أَعِنْدَكِ طَعَامٌ؟. قَالَتْ: لَا، وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ، وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ، فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ، فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ، فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ: خَيْبَةً لَكَ، فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ ﷺ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ

Para shahabat Nabi Muhammad SAW apabila puasa dan tiba waktu berbuka namun tidur sebelum makan, akan sama sekali tidak makan malam itu dan besok siangnya. Qais bin Shirmah Al-Anshari berpuasa, ketika tiba waktu berbuka dia mendatangi istrinya dan bertanya,”Apakah kamu punya makanan?”. Istrinya menjawab,”Tidak, tapi aku bisa keluar untuk mencarikan untukmu”. Namun karena lelah bekerja seharian, dia tertidur. Ketika istrinya kembali dilihatnya suaminya telah tertidur, dia pun berkata,”Betapa malang nasibmu". Di tengah hari Qais pun jatuh pingsan. Hal itu kemudian disampaikan kepada Nabi SAW dan turunlah ayat ini. (HR. Al-Bukhari)[1]

2. Umar bin Al-Khattab

Ibnu Jarir Ath-Thabari di dalam Jami Al-Bayan fi Ta’wil Al-Quranmemuat kasus yang sama menimpa Umar bin Al-Khattab.[2]

Dikisahkan di malam puasa Umar melakukan jima’ dengan istrinya ketika tidur. Usai mandi janabah Umar pun menagis sejadi-jadinya. Lalu Umar merasa dirinya telah bersalah besar dan mendatangi Nabi SAW sambil menangis dan memaki diri sendiri. “Ya Rasulullah, Aku bermohon ampun kepada Allah dan kepada Anda dari kesalahan diriku. Apakah kira-kira Aku diberi keringanan, Ya Rasulullah?”. Nabi SAW menjawab,”Hal ini tidak benar-benar terjadi, wahai Umar”.

Ketika Umar sampai di rumah, tiba-tiba datang utusan Nabi SAW kepadanya dan menyampaikan baru saja turunnya ayat Al-Quran yang memberikan maaf dan menerima taubatnya.

 

[1] Al-Bukhari (w. 256 H), Shahih Bukhari (Dar Thuq An-Najah, Cet. 1, 1422 H), jilid 2 hal.  676

[2] Ibnu Jarir Ath-Thabari (w 310 H), Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Quran, (Beirut, Muassasatu Ar-Risalah, Cet. 1, 1420 H - 2000M), jilid 3 hal. 237

Lafazh fataaba ‘alaikum (فَتَابَ عَلَيْكُمْ) artinya : maka Allah menerima taubat kamu. Makna taubat dalam bahasa Arab adalah ar-ruju’ (الرجوع) yaitu kembali, maksudnya kembali dari dosa-dosa.

Dan secara istilah di dalam kitab Kifayah At-Thalib Ar-Rabbani dan juga kitab Lisanul Arab, taubah itu didefinisikan sebagai :[1]

الرُّجُوعُ مِنْ أَفْعَالٍ مَذْمُومَةٍ إِلَى أَفْعَالٍ مَحْمُودَةٍ شَرْعًا

Kembali dari berbagai perbuatan yang tercela kepada perbuatan yang terpuji secara syariah.

Lafazh wa 'afa ankum (عَفَا عَنْكُمْ) bermakna : Allah memberi maaf kepada kamu. Maaf adalah penghapusan dosa, baik setelah dijatuhkan hukuman ataupun tanpa adanya hukuman.

Abu Hamid Al-Ghazali di dalam kitab Al-Maqshid Al-Asna menuliskan bahwa al-‘afwu atau maaf itu sifatnya menghapus dosa. Sedikit berbeda karakter dengan ampunan atau maghfirah yang sifatnya sekedar menutupi dosa, permafaan ini sifatnya menghapus dosa seoalah-olah tidak pernah terjadi.[2]

 

[1] Kifayah At-Thalib Ar-Rabbani, jilid 2 hal. 348

[2] Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Maqshid Al-Asna, hal. 140

Kata fal-aana (فَالْآنَ) artinya : sekarang, maksudnya mulai sekarang. Karena sebelumnya hal itu dilarang dan diharamkan.

Lafazh baasyiru (بَاشِرُوهُنَّ) adalah fi’il amr dari  kata dasarnya (باَشَرَ – يُبَاشِرُ).  Asalnya dari basyarah (بَشْرَة) yang artinya kulit, sehingga mubasyarah itu makna aslinya adalah sentuhan kulit dengan kulit, namun secara kinayah dimaknai sebagai jima’.

Perinta berjima’ ini meski disampaikan dalam bentuk fi’il amr, tetapi secara hukum tidaklah menjadi wajib. Hal itu disebabkan karena sebelumnya perintah diawali dengan larangan. Para ulama mengatakan bahwa apa-apa yang awalnya dilarang lalu diperintah maka hukumnya menjadi boleh atau mubah.

Contohnya dalam perintah untuk berburu pasca tahallul dari ihram haji atau umrah dalam surat Al-Maidah ayat 2 (وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا). Perintah berburu disini tertulis dalam bentuk fi’il amr yang aslinya merupakan perintah. Namun karena sebelumnya berburu saat berihram diharamkan, maka perintah berburu yang datang kemudian tidak bermakna kewajiban, tetapi hanya dibolehkan kalau mau. Kalau pun tidak dikerjakan, hukumnya tidak jadi dosa apalagi maksiat.

Kasus yang sama juga terdapat pada perintah untuk bertebaran di muka bumi mencari karunia Allah SWT apabila shalat jumat sudah ditunaikan, sebagaimana tertuang dalam pada ayat berikut.

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumuah : 10)

Karena sebelumnya ada larangan untuk berjual-beli ketika mendengar suara adzan Jumat, lalu tiba-tiba turun perintah untuk mencari rizqi, maka hukumnya tidak menjadi kewajiban melainkan hanya sekedar menjadi kebolehan saja.

Makna wabtaghu (وَابْتَغُوا) merupakan fi’il amr yang merupakan perintah dan bermakna carilah atau dapatkanlah. Lafazh kataba artinya menulis, namun maksud dari maa kataballah lakum (مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ) adalah apa yang Allah tetapkan.

Namun apa pula yang dimaksud dengan ‘apa yang Allah SWT tetapkan’ dalam ayat ini? Al-Mawardi menyebutkan tiga pendapat ulama yang berbeda.

  • Pertama, maksudnya adalah anak. Ini menurut pendapat Mujahid, Ikrimah dan As-Suddi. Maksudnya silahkan lakkan jima’ agar nanti bisa punya anak.
  • Kedua, maksudnya adalah lailatul qadar. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas radhiyallahuanhu. Maksudnya berarti silahkan dapatkan keutamaan lailatul qadar dengan menghidupkan malam sambil bisa makan dan minum.
  • Ketiga, maksudnya adalah rukhshah atau keiringanan dari Allah SWT. Dan ini adalah pendapat Qatadah. Silahkan nikmati malam-malam Ramadhan dengan berbagai keringanannya.

Lafazh wa kuluu (وَكُلُوا) artinya dan makanlah, sedangkan wasyrabu (وَاشْرَبُوا) artinya dan minumlah.

Meski keduanya datang dalam bentuk fi’il amr yang mengandung perintah, namun bukan berarti hukumnya menjadi wajib. Sebagimana sudah dijelaskan sebelumnya, perintah yang diawali dengan larangan itu hukumnya menjadi boleh. Sehingga kalau mau diterjemahkan secara ramah, kurang lebih demikian : “silahkan makan dan silahkan minum”.

Lafazh hatta (حَتَّىٰ) artinya : sampai, maksudnya batasan waktu masih boleh makan dan minum adalah sampai disitu.  Sedangkan lafazh yatabayyana lakum (يَتَبَيَّنَ لَكُمُ) artinya : menjadi jelas di mata kamu.

Makna al-khaith (الْخَيْطُ) adalah benang, sedangkan makna al-abyadh (الْأَبْيَضُ) adalah warna putih, lalu makna al-aswad (الْأَسْوَدِ) adalah warna hitam.

Menurut beberapa riwayat bahwa penggalan ayat ini awalnya memang berhenti hanya sampai disini saja, lanjutannya yaitu minal-fajri (مِنَ الفَجْرِ) saat itu memang belum turun, sehingga wajar kalau banyak dari shahabat yang bertanya-tanya bahkan mengira bahwa benang putih dan benang hitam di dalam ayat ini bermakna hakiki, sehingga semalaman mereka berkegiatan bahkan tidur sambil membawa-bawa benang putih dan benang hitam.

Namun ternyata keduanya bermakna majazi, bahwa benang putih itu tidak lain maksudnya adalah siang hari, sedangkan benang hitam itu  maksudnya adalah malam hari. Hal itu sebagaimana yang diceritakan sendiri oleh salah seorang shahabat yang bernama Adi bin Hatim.

Ketika turun ayat (وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ), aku pun mengikatkan dua benang putih dan hitam yang aku simpan di bawah bantalku. Setiap waktu aku pun memeriksa kedua utas benang itu namun tidak pernah jelas perbedaan antara kedua benang itu, mana yang berwarna hitam dan mata yang putih.

Pagi harinya akupun mendatangi Rasulullah SAW sambil menceritakan apa aku alami tadi malam. Lalu Nabi SAW pun bersabda :

إِنَّ وِسَادَكَ إِذًا لَعَرِيضٌ إِنَّمَا ذَلِكَ بَيَاضُ النَّهَارِ وَسَوَادُ اللَّيْل

Sesungguhnya bantalmu kalau demikian benar-benar lebar. Sesungguhnya yang dimaksud dengan demikian itu hanyalah terangnya siang hari dan gelapnya malam hari’.

Makna al-fajr adalah cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit. Beberapa jam sebelum matahari terbit, di ufuk timur tampak cahaya kuning kemerah-merahan yang menjadi waktu berakhirnya gelap malam menuju siang yang terang benderang.

Cahaya tersebut merupakan pembiasan cahaya matahari oleh partikel-partikel yang ada di angkasa. Semakin dekat posisi matahari terhadap ufuk, semakin terang pula cahaya tersebut. Dalam astronomi, cahaya tersebut dikenal dengan istilah twilight  atau cahaya fajar. Kondisi ini terjadi saat posisi matahari masih berada antara - 18˚ sampai - 12˚  di bawah ufuk. Dalam keadaan ini, benda-benda di lapangan terbuka belum tampak batas-batas bentuknya. Semua bintang baik yang terang maupun yang samar masih tampak.

Namun posisi geografis suatu tempat ternyata amat besar pengaruhnya dalam hal penampakan fajar ini. Bila atmosfer cukup tinggi baas atasnya seperti atmosfer negeri kita, maka fajar lebih cepat nampak, sebaliknya bila batas atmosfer lebih rendah, maka fajar lebih lambat terlihat.

Tinggi rendahnya atmosfir itu sangat terkait dengan garis Khatulistiwa dan bagian kutub yang merupakan dua poros bumi. Akibat gerakan rotasi bumi pada porosnya, maka konsentasri atmosfer lebih banyak di bagian khatulistiwa ketimbang di bagian kutub.

Ketebalan atmosfer yang berbeda ini bisa kita ibaratkan seperti ada dua gunung. Gunung yang satu lebih tinggi dari gunung yang kedua. Saat matahari terbit di pagi hari, maka puncak gunung yang pertama itu akan mendapat cahaya matahari terlebih dahulu baru kemudian puncak gunung yang kedua. Puncak gunung yang terkena cahaya matahari terlebih dahulu inilah yang kita ibaratkan itu namanya fajar. Karena pada hakikatnya nya fajar itu adalah pantulan sinar matahari yang tertangkap pada atmosfer kita.

Karena Indonesia berada di daerah khatulistiwa dan ketebalan atmosfer di khatulistiwa itu memang lebih tinggi dari daerah lainnya, maka orang-orang yang tinggal di Indonesia akan melihat mendapatkan fajar itu datang lebih cepat. Sebaliknya negeri yang agak jauh dari khatulistiwa, karena ketebalan atmosfer yang lebih rendah, mereka lebih lambat dalam melihat berkas cahaya matahari yang tertangkap pada lapisan terluar atmosfer nya.

Maka wajar bila di Indonesia Subuh itu lebih cepat karena fajar lebih cepat terlihat meski posisi matahari baru berada 20 derajat di bawah ufuk. Dalam posisi seperti itu ternyata sinarnya sudah tertangkap lewat atmosfer kita yang tebal.

Sementara di beberapa negara Arab yang memang jauh dari khatulistiwa, maka ketebalan atmosfer mereka lebih rendah, sehingga nampak fajar datang belakangan daripada di daerah khatulistiwa.

Kata atimmu (أَتِمُّوا) adalah fi’il amr yang merupakan perintah, asalnya dari kata (أَتَمَّ - يُتِمُّ) yang maknanya : sempurnakan. Juga bisa diterjemahkan menjadi teruskan. Maksudnya teruskan puasa sampai malam. Lafazh ilal-lail (إلى الليل) artinya : sampai malam.

Yang kemudian muncul pertanyaan disini bahwa ayat ini memerintahkan puasa sampai malam, padahal yang kita tahu selama ini bahwa batas akhir puasa itu tidak sampai malam, hanya sampai maghrib saja. Lalu bagaimana cara kita memahami ayat ini?

Para ulama mengatakan bahwa kata ilaa memang artinya sampai, artinya sampai bertemu dengan waktu malam dan bukan sampai tengah malam. Dan kita semua tahu bahwa waktu malam itu dimulai sejak terbenamnya matahari.

Namun bila dibandingkan dengan ayat lain, yaitu batasan mencuci tangan ketika wudhu, lafazhnya juga menggunakan ungkapan yang sama yaitu ilal-marafiq (إِلىَ المَرَافِق). Tetapi para ulama sepakat bahwa sikunya wajib ikut dicuci dan bukan berhenti sampai bertemu dengan siku. Sedangkan puasa ilallail (إلى الليل) kenapa malamnya tidak ikut terkena perintah puasa?

Fakhirudin Ar-Razi menjelaskan perbedaannya, bahwa siku adalah bagian dari tangan, sehingga kalau diperintah untuk mencuci tangan hingga ke situ, maka sikunya wajib ikut juga dicuci. Sebaliknya bila terkait dengan perintah puasa hingga malam, maka malam itu bukan bagian dari siang. Sehingga ketika diperintah puasa sampai malam, maka malamnya tidak ikut dalam ruang lingkup perintah berpuasa. Sehingga begitu siang bertemu malam, maka itulah batas akhir puasa, yaitu terbenamnya matahari.

Kemudian batasan puasa sampai maghrib ini juga dikuatkan berdasarkan hadits nabawi :

إذا أقْبَلَ اللَّيْلُ مِن هَهُنا وأدْبَرَ النَّهارُ مِن هَهُنا وقَدْ غَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أفْطَرَ الصّائِمُ

Bila mulai malam  disini dan berakir siang disini dan matahari telah terbenam, maka orang yang puasa silahkan berbuka. (HR. Al-Baihaqi)[1]

 

[1] Al-Baihaqi (w. 348 H), As-Sunan Ash-Shughra, (Karachi, Jamiatu Ad-Dirasah Al-Islamiyah, Cet. 1 1410 H - 1989), jilid 2 hal. 93

Lafazh la tubasyiru-hunna (لَا تُبَاشِرُوهُنَّ) adalah fi’il nahyi yang bersifat larangan untuk melakukan mubasyarah. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, mubasyarah itu adalah kinayah dari jima’. Sehingga penggalan ayat ini bermakna : “Janganlah kamu berjima’ dengan istrimu padahal kamu sedang beri’tikaf di dalam masjid”.

Lafazh ‘akifuna (عَاكِفُونَ) artinya kamu melakukan i’tikaf, sedangkan fil masajid (فِي الْمَسَاجِدِ) artinya di dalam masjid.

اللُّبْثُ فِي الْمَسْجِدِ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ بِنِيَّةٍ

Berdiam di dalam masjid dengan tata cara tertentu dan disertai niat.[1]

Seluruh ulama termasuk keempat madzhab utama, telah sepakat bahwa berada atau menetap di dalam masjid, atau al-lubsu fil masjid (اللبس في المسجد) merupakan rukun i’tikaf.

Dalam mazhab Asy-Syafi’i, batas minimal dikatakan i’tikaf itu seperti thuma’ninah dalam shalat, yaitu hanya sekilas saja, tidak harus sehari semalam sebagaimana mazhab Maliki. Sebagian dari mereka menetapkan bahwa durasi minimal adalah sehari semalam tanpa putus, dimulai dari sejak terbenamnya matahari sampai 24 jam kemudian ketika matahari kembali terbenam di ufuk Barat keesokan harinya. Bila sebelum itu batal, maka keseluruhan i’tikaf tidak sah.

---

Di dalam banyak kitab tafsir kita tidak menemukan apa yang dimaksud dengan berjima’ ketika sedang melakukan i’tikaf di masjid. I’tikaf itu memang harus di masjid, dimana ketika sedang i’tikaf itu tidak boleh berjima’. Namun yang agak aneh adalah bagaimana kita membayangkan larangan untuk berjima’ saat lagi i’tikaf di dalam masjid.

Kalau dipikir-pikir, jangankan sedang beri’tikaf, bahkan berjima’ di dalam masjid itu sendiri pun tidak terbayang sama sekali. Bukankah masjid itu tempat umum yang terbuka? Lantas kenapa ayat ini sampai melarang berjima’ di dalam masjid? Ada beberapa asumsi di balik ungkapan ini.

Pertama, mungkin maksudnya kalau lagi i’tikaf di masjid, dibolehkan kalau keluar masjid sekedar untuk makan, minum, buang hajat dan sejenisnya. Tetpai janganlah diputus dengan cara pulang ke rumah dan berjima’ dengan istri. Dengan asumsi seperti ini, maka kalau jima’ dilakukan, pastinya bukan di masjid, tetapi di rumah karena akan memutus i’tikaf.

Kedua, yang dimaksud dengan la tubasyiru-hunna (لَا تُبَاشِرُوهُنَّ) bukan berjima’ tetapi sekedar bercumbu dengan istri. Dan kalau itu sampai terjadi di masjid masih dimungkinkan, karena saat beri’tikaf di masjid seringkali orang-orang mengajak istri.

Ketiga, ini yang agak keterlaluan, yaitu benar-benar melakukan jima’ di dalam masjid pada saat i’tikaf, karena boleh jadi waktu itu keadaan masjid sedang benar-benar sepi dan juga gelap. Sehingga dimungkinkan pasangan suami istri yang sedang beri’tikaf di masjid malah berjima’. Walaupun yang terakhir ini nampaknya kurang realistis bila terjadi di masa sekarang ini.

[1] Al-Mughni jilid 2 hal. 183

Lafazh tilka (تِلْكَ) adalah kata tunjuk atau ismul isyarah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berat.

Sedangkan lafazh hududullah (حُدُودُ اللَّهِ) adalah bentuk jamak dari had yang artinya batasan. Maksudnya batasan antara yang halal dengan yang haram. Atau batasan antara yang haq dengan yang batil.

Namun di dalam terjehaman Al-Quran sering diterjemahkan menjadi : batas ketentuan Allah. Sedangkan Prof Quraish Shihab menerjemahkannya menjadi : hukum-hukum Allah.

Di dalam Al-Quran kita menemukan beberapa ayat yang menggunakan kata hudud ini, antara lain sebagai berikut :

Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.

Al-Baqarah : 187

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 30-4-2024
Subuh 04:35 | Zhuhur 11:51 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:50 | Isya 19:00 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia