Jilid : 3 Juz : 2 | Al-Baqarah : 189
Al-Baqarah 2 : 189
Mushaf Madinah | hal. 29 | Mushaf Kemenag RI

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Kemenag RI 2019 : Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang bulan sabit.52) Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
Prof. Quraish Shihab : Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad saw.) tentang bulan-bulan sabit. Katakanlah: “Ia (bulan sabit) adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji. Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.”
Prof. HAMKA : Mereka bertanya kepada engkau dari hal bulan sabit. Katakanlah, "Dia itu adalah waktuwaktu yang ditentukan untuk manusia dan (untuk) haji." Dan tidaklah kebajikan itu, bahwa kamu masuk ke rumah kamu dari belakangnya, tetapi yang kebajikan ialah barangsiapa yang takwa, dan datanglah ke rumah-rumah dari pintupintunya, dan takwalah kepada Allah, supaya kamu beroleh kejayaan.

Tema terkait ayat ke-189 ini nampaknya balik lagi ke tema puasa, karena membicarakan tentang hilal yang amat erat kaitannya dengan penetapan awa Ramadhan. Padahal ayat sebelumnya yaitu ayat ke-188 justru spin-off ke masalah muamalah maliyah.

Namun kalau kita amati lebih jauh, ternyata Allah SWT tidak sedang membahas bulan sabit atau hilal dalam konteks penetapan awal Ramadhan. Yang terjadi justru para shahabat bertanya tentang hilal, yaitu bagaimana bulan itu bisa berubah-ubah bentuknya setiap hari, kadang hanya berupa sabit, tapi kadang bisa penuh purnama. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya lebih dekat kepada ilmu astronomi ketimbang pertanyaan terkait dengan masalah ketentuan jadwal ibadah.

Namun di luar ekspektasi, ternyata jawaban dari Allah SWT seperti malah menghindar dan tidak mau menjawab pertanyaan itu yang mengarah kepada pembahasan ilmiyah astronomis. Sebaliknya nampak bahwa Allah SWT malah seperti mengalihkan pembicaraan kepada tema dan persolaan terkait jadwal peribadatan dan hubungannya dengan hilal.

Kata yas’alunaka (يَسْأَلُونَكَ) merupakan fi’il mudhari’ dari (سَأَلَ – يَسْأَلُ - سُؤَالاً) yang punya dua makna, bisa bermakna meminta dan bisa juga bertanya, namun konteks ini yang lebih tepat adalah bertanya. As-Suddi mengatakan bahwa yang bertanya adalah Muadz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghanamah.

Fakhruddin Ar-Razi menyebutkan bahwa ada 14 ayat yang mengandung ungkapan (يَسْأَلُونَكَ) yaitu mereka bertanya kepadamu :

Lafazh ahillah (الْأَهِلَّةِ) adalah bentuk jamak dari bentuk tunggalnya : hilal. Kata hilal sendiri asalnya bukan bermakna sabit, melainkan artinya teriakan (اسْتِهْلالِ), dimana orang-orang akan berteriak apabila berhasil melihat penampakannya di langit (وأُخِذَ اسْمُ الهِلالِ مِنِ اسْتِهْلالِ النّاسِ بِرَفْعِ أصْواتِهِمْ عِنْدَ رُؤْيَتِهِ).

Hilal sendiri diidentikkan sebagai penampakan bulan yang mirip dengan sabit dalam pandangan mata manusia di permukaan bumi, khususnya pada tiga hari awal bulan yaitu tanggal 1, 2 dan 3, atau tiga hari terakhir yaitu tanggal 28, 29 dan atau 30. Namun ada juga yang berpendapat hingga 7 hari awal dan 7 hari akhir masih bisa dianggap sebagai hilal.

Ketika mata kita diarahkan ke bulan sebagai satelit bumi, maka bentuk yang bisa kita lihat berubah-ubah dari hari ke hari.

Yang jadi pertanyaan para shahabat sebenarnya sangat ilmiyah, yaitu bagaimana bulan itu bisa berubah wujud setiap hari dari waktu ke waktu. Muadz bertanya kepada Nabi SAW :

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الْيَهُودَ تَغْشَانَا وَيُكْثِرُونَ مَسْأَلَتَنَا عَنِ الْأَهِلَّةِ، فَمَا بَالُ الْهِلَالِ يَبْدُو دَقِيقًا ثُمَّ يَزِيدُ حَتَّى يَسْتَوِيَ وَيَسْتَدِيرَ، ثُمَّ يُنْتَقَصُ حَتَّى يَعُودَ كَمَا كَانَ؟

Ya Rasulallah, orang-orang yahudi telah menipu kita dan banyak menanyakan tentang fenomena bulan sabit, bagaimana bulan sabit itu bisa berubah jadi tipis lalu bertambah besar separuh sampai akhirnya berbentuk bulat, kemudian mengecil dan kembali lagi seperti semula?

Dalam riwayat lain yang bertanya justru sesama para shahabat sendiri yang butuh penjelasan dari Nabi SAW terkait fenomena perubahan bentuk bulan. Boleh jadi mereka mengira Nabi SAW tahu dan bisa menjelaskan. Bukankah Nabi SAW pernah diajak terbang naik ke langit tujuh, atau setidaknya Nabi SAW sering berjumpa dengan Malaikat Jibril yang setiap hari naik turun antara langit dan bumi. Siapa tahu Nabi SAW atau Jibril bisa menjelaskan fenomena alam yang unik yaitu bentuk bulan yang setiap hari berubah-ubah.

Penggalan ini adalah jawaban dari Allah SWT yang diluar dari ekspektasi jawaban yang diharapkan. Alih-alih memberikan penjelasan dan sebab musabab bentuk bulan yang setiap hari berubah-ubah, isi jawabannya justru seperti mengalihkan masalah kepada ritual ibadah.

Katakanlah bahwa bentuk bulan itu menjadi jadwal ibadah umat manusia, khususnya dalam menentukan awal bulan. Ada beberapa bulan yang punya koneksi langsung dengan ritual peribadatan dalam syariah. Misalnya bulan Ramadhan, dimana umat Islam diwajibkan berpuasa. Juga ada bulan Syawwal yang pada tanggal 1 ada ritual shalat Idul Fithri sekaligus juga kewajiban mengeluarkan zakat al-fitrh.

Selain Ramadhan juga ada bulan Dzul-hijjah yang juga terkait dengan ritual haji, yaitu pada tanggal 9 untuk melakukan ibadah wuquf di padang Arafah. Tanggal 9 itu pun jadi tanggal penting untuk berpuasa sunnah. Lalu pada tanggal 10 ada ritual shalat Idul Adha dan menyembelih hewan qurban. Khusus untuk menyembelih hewan qurban, tanggalnya bisa dieksten dengan tanggal 11, 12 dan 13.

Lalu bagaimana nasib pertanyaan ilmiyah terkait perubahan bentuk bulan? Kenapa Allah SWT sepertinya enggan menjelaskannya?

Ada banyak dugaan dan kemungkinan. Namun yang paling menarik dari semua itu bahwa pertanyaan para shahabat itu kurang relevan dengan tema besar Al-Quran yang merupakan kitab petunjuk dalam ritual ibadah. Sementara tema yang diajukan sama sekali tidak terkait dengan peribadatan, tetapi tema yang sifatnya ilmiyah.

Lantas kenapa Al-Quran tidak menjelaskan saja bagaimana proses perubahan bentuk bulan? Bukankah Al-Quran merupakan kitab ilmu pengetahuan juga?

Al-Quran vs Sains

Penulis cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa Al-Quran memang tidak meladeni pertanyaan yang bersifat sains, karena beberapa faktor :

Pertama, urusan sains itu tidak perlu dijelaskan dalam Al-Quran. Sebab kalau pun dijelaskan, pastinya tidak akan percaya juga. Kalau di abad ke 7 masehi itu secara tegas Al-Quran membicarakan bahwa bulan tidak pernah berubah bentuk, tentu mereka menolak mentah-mentah. Sebab yang mereka lihat bulan setiap hari berubah bentuk.

Kita di zaman modern ini dengan mudah sudah menemukan jawabannya. Sebenarnya yang kita lihat dari bumi atas berubah-ubahnya bentuk bulan ternyata tidak terkait dengan perubahan bentuk fisik bulan, melainkan lebih kepada permainan cahaya.

Bulan sendiri bentuknya bulat seperti bola raksasa yang berjarak 380 juta km dari bumi. Bulan bergerak para porosnya sekaligus juga bergerak mengelilingi bumi sebulan sekali. Namun bulan tidak mengeluarkan cahaya sendiri, sehingga di angkasa bulan itu sebenarnya tidak akan nampak.

Adapun yang kita lihat ada bagian belahan bulan yang terkena sinar matahari di permukaannya. Sebenarnya setiap saat bulan itu tidak pernah sekalipun tidak mendapat cahaya matahari. Namun karena bentuknya yang bulat, tentu tidak semua permukaan bulan bisa terkena sinar matahari. Permukaan bulan yang terkena sinar matahari itu akan nampak di mata kita dari bumi, sementara permukaan bulan yang tidak terkena sinar matahari tentunya tidak bisa terlihat dari bumi.

Dalam kondisi tertentu, posisi bumi berada pada bagian belakang bulan yang tidak menghadap matahari, maka dari bumi bulan tidak nampak, meskipun sebenarnya ada disitu. Nanti di hari yang lain, posisi bumi berada sudut bisa melihat semua bagian permukaan bulan yang terkena sinar matahari. Akibatnya di mata kita, terkesan bulan itu bulat penuh yang kita sebut sebagai bulan purnama.

Kapan waktu lagi, yang kelihatan dari bumi hanya separuh permukaan bulan yang terkena sinar matahari. Kita kemudian mengatakan bulan setengah. Sampai pada satu posisi dari bumi yang nampak hanya bagian kecil sekali permukaan bulan yang terkena sinar matahari. Saat itulah kita sebut bulan sabit alias hilal.

Lantas kenapa Al-Quran tidak menjelaskan saja seperti penjelasan kita yang hidup di abad ke-21 ini?

Jawabannya bahwa penjelasan semacam itu belum tentu bisa dipahami oleh umat manusia di masa itu. Sehingga ayat yang menjelaskan itu hanya akan jadi bahan perdebatan di kalangan umat mnusia.

Nampaknya Allah SWT tidak menjawab di dalam Al-Quran karena memang konsep isi Al-Quran bukan untuk menjawab hal-hal yang bersifat teknis di bidang astronomi. Biar umat manusia saja yang melakukan penelitian, sampai akhirnya misteri itu bisa terpecahkan.

Pemahaman semacam ini tidak terjadi pada satu tahun tertentu yang spesifik, melainkan lewat proses yang berlangsung selama berabad-abad dan melibatkan kontribusi dari banyak ilmuwan, peneliti, dan pemikir di berbagai periode sejarah.

Salah satu tonggak penting dalam perkembangan ini adalah ketika munculnya tokoh seperti Nicolaus Copernicus pada abad ke-16 dan pada abad ke-17 muncul hasil-hasil Johannes Kepler dan Galileo Galilei, serta teori gravitasi yang dikembangkan oleh Isaac Newton. Baru sejak saat itulah misteri alam semesta seperti terbuka sedikit demi sedikit.

Uniknya misteri itu akhirnya dipecahkan oleh umat manusia sendiri, bukan oleh wahyu samawi. Al-Quran sendiri tidak pernah secara tegas dan eksplisit bercerita tentang fenomena fisika, kimia ataupun juga astronomi.

Ungkapan-ungkapan Al-Quran terkait tema sains banyak yang tidak sejalan dengan penjelasan modern tentang gambaran fisik alam semesta. Sebutlah yang mudah ketika Al-Quran bicara tentang tujuh lapis langit dan juga konsep tujuh bumi. Kita tidak pernah bisa menyambungkan ungkapan Al-Quran dengan apa yang kita pelajari dari ilmu astronomi.

Sebenarnya kejadian semacam ini dialami juga oleh kitab-kitab suci yang lain, seperti Zabur, Taurat dan Injil. Hanya saja penjelasan di dalamnya nyaris banyak yang tidak masuk akal. Sementara penjelasan dari Al-Quran sendiri cenderung sangat minim dan hemat informasi. Penulis lebih cenderung mengatakan Al-Quran memang sengaja tidak menjawab pertanyaan yang bersifat sains ini.

Alasanya karena Al-Quran bukan kitab sains, selain itu jawaban atas pertanyaan ini harus sesuai dengan realitas kesiapan peradaban manusia di masing-masing zamannya. Al-Quran tidak akan memberikan jawaban berdasarkan fakta sains yang baru terkuak di abad ke 17, untuk sekedar memuaskan rasa ingin tahu manusia di sepuluh abad sebelumnya.

Biarkan peradaban manusia sendiri yang nanti akan menjawabnya, lewat berbagai macam penelitian dan analisa ilmiyah. Jangan bebankan masalah di bidang itu kepada Al-Quran.

Kata laisa (لَيْسَ) bermakna “bukanlah”. Sedangkan al-birr (الْبِرَّ) secara umum diterjemahkan menjadi : “kebaikan”. Secara bahasa asalnya dari al-barr (البَرّ) yang maknanya daratan luas.

Namun para ulama mengatakan makna yang lebih dalam adalah berbuat kebaikan sebesar-besarnya.  Thahir Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir menyebutkan bahwa maknanya adalah :

سِعَةُ الإحْسانِ وشِدَّةُ المَرْضاةِ والخَيْرُ الكامِلُ الشّامِلُ

Luasnya sikap ihsan, mendalamnya keridhaan dan kebaikan yang sangat lengkap dan menyeluruh.

Namun penggunakan kata ini cukup banyak di dalam Al-Quran dengan makna dan pengertian yang berbeda-beda. Yang pertama bahwa al-birru merupakan salah satu nama Allah. Allah disebut sebagai Tuhan yang melimpahkan pahala, yaitu al-barru-rahim (البَرّ الرَّحِيم).

إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلُ نَدْعُوهُ ۖ إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ الرَّحِيمُ

Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dialah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang. (QS. Ath-Thur : 28)

Lafazh al-birr (الْبِرَّ) di dalam Al-Quran juga terkait dengan berbakti kepada kedua orang tua.

وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا

dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka. (QS. Maryam : 14)

Lafazh ta’tu (تَأْتُوا) asalnya dari (أتى - يأتي) merupakan fi’il mudhari’ dengan makna mendatangi. Sedangkan lafazh al-buyut (الْبُيُوتَ) adalah bentuk jama’ dari bentuk tunggalnya bait (بَيْت) yang artinya rumah-rumah. Karena mendatangi rumah, maka lebih tepat bila diterjemahkan menjadi : memasuki rumah. Sedangkan min zhuhuriha (مِنْ ظُهُورِهَا) secara harfiyah artinya punggung. Namun yang dimaksud adalah bagian belakang rumah.

Penggalan ayat ini secara harfiyah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kebaikan itu bukan masuk ke dalam rumah dari arah belakang. Namun para ulama berbeda pendapat tentang apakah pesannya berlaku secara hakiki ataukah majazi.

1. Makna Hakiki

Menurut sebagian ulama di antaranya Ibnu Abbas, Qatadah dan ‘Atha’ serta yang lainnya, bahwa pesan yang termuat di dalam penggalan ayat ini merupakan larangan secara hakiki.

Konteksnya di masa itu bahwa ada semacam kepercayaan di masa jahiliyah yang ingin diluruskan bahwa orang yang sedang berihram dilarang masuk rumah lewat pintu depan rumah.

Dasarnya adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari berikut ini :

كانُوا إذا أحْرَمُوا في الجاهِلِيَّةِ أتَوُا البُيُوتَ مِن ظُهُورِها

Adalah orang-orang di masa jahiliyah kalau berihram akan memasuki rumah dari belakangnya (HR. Al-Bukhari)

Ada juga riwayat lain yang ikut melengkapi kisah yang melatar-belakangi larangan ini lewat jalur Qais bin Jubair :

أنَّ النّاسَ كانُوا إذا أحْرَمُوا لَمْ يَدْخُلُوا حائِطًا مِن بابِهِ، فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ دارًا، وكانَ رَجُلٌ مِن الأنْصارِ يُقالُ لَهُ رِفاعَةُ بْنُ أيُّوبَ، فَجاءَ فَتَسَوَّرَ الحائِطَ عَلى رَسُولِ اللَّهِ، فَلَمّا خَرَجَ مِن بابِ الدّارِ خَرَجَ رِفاعَةُ، فَقالَ رَسُولُ اللَّهِ: (ما حَمَلَكَ عَلى ذَلِكَ؟ فَقالَ: يا رَسُولَ اللَّهِ، رَأيْتُكَ خَرَجْتَ مِنهُ فَخَرَجْتُ مِنهُ، فَقالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: إنِّي رَجُلٌ أحْمَسُ فَقالَ: إنْ تَكُنْ أحْمَسَ فَدِينُنا واحِدٌ فَأنْزَلَ اللَّهُ تَعالى

Pada zaman dahulu, ketika orang-orang melakukan ibadah haji, mereka tidak memasuki tembok dari pintunya. Namun, Rasulullah ﷺ memasuki sebuah rumah, dan ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang disebut dengan nama Rifaa'ah bin Ayyub. Lelaki tersebut datang dan menghalangi tembok untuk Rasulullah. Ketika Rasulullah keluar dari pintu rumah tersebut, Rifaa'ah juga keluar. Rasulullah bertanya, "Apa yang mendorongmu melakukan hal itu?" Rifaa'ah menjawab, "Wahai Rasulullah, saya melihat Anda keluar dari situ, maka saya juga keluar dari sana." Rasulullah ﷺ bersabda, "Saya adalah seorang Ahmas." Rifaa'ah berkata, "Jika Anda adalah Ahmas, maka agama kita satu." Allah menurunkan ayat ini.

Pendapat yang lain mengatakan larangan ini tidak terkait dengan ibadah ihram, melainkan terkait dengan kepercayaan khurafat bangsa Arab di masa itu yang punya kepercayaan bila gagal dari melakukan usaha mencari rejeki, maka pulangnya mereka tidak akan masuk ke dalam rumah lewat pintu depan.

Dengan demikian, di hari ini kita tidak perlu repot-repot mengindari masuk rumah lewat pintu belakang, sebab larangannya hanya terkait praktek orang-orang di masa jahiliyah ketika berihram. Yang dilarang adalah keyakinan mereka terhadap khurafat yang melanda mereka kala itu.

Adapun di luar dari konteks kepercayaan khurafat masa jahiliyah, mau masuk rumah dari mana saja tidak jadi masalah.

2. Makna Majazi

Sementara itu ada banyak juga para ulama yang mengatakan bahwa pesan yang terkandung dalam penggalan ayat ini bersifat majazi. Namun ketika menafsirkannya, para ulama berbeda-beda.

§  Larangan Bersetubuh Dari Dubur : Ibnu Zaid mengatakan bahwa larangan yang dimaksud adalah haramnya menyetubuhi istri dari duburnya. Dalam hal ini tubuh wanita diumpamakan dengan rumah.

§  Menunda Waktu Berhaji : Ibnu Bahar mengatakan yang dilarang sebenarnya menunda-nunda waktu haji sehingga haji dilaksanakan di luar bulan Dzulhijjah. Praktek terlarang ini sudah lama mereka lakukan, namun begitu datang syariat Islam, maka penyimpangan itu ingin kembali diluruskan. Hubungannya dengan masuk rumah dari arah belakang karena hal itu dianggap tidak normal.

§  Bertanya Kepada Yang Bukan Ahlinya : Abu Ubaidah mengatakan bahwa sebenarnya yang dimaksud adalah larangan bertanya kepada yang bukan ahlinya. Hal itu diumpamakan dengan orang yang masuk rumah tapi bukan lewat pintunya.

Lafazh walakinna (وَلَٰكِنَّ) adalah bentuk penolakan yang diartikan menjadi : “tetapi”. Maksudnya Allah SWT menyanggah pendapat mereka yang memandang bahwa cukup

Kalimat al-birru manit-taqa (من اتقى) secara makna kalimat terasa janggal, yaitu “kebaikan itu adalah orang yang bertaqwa”. Seharusnya kebaikan itu sebutan untuk suatu aktifitas, bukan sebutan untuk orang. Oleh karena itu menurut para ulama, ada kata yang ditertutupi (mahdzuf) dengan taqdir sebagai berikut :

ولكنّ البرَّ (برُّ) مَنِ اتَّقَى

“Namun kebaikan itu adalah (sebagaimana kebaikannya) orang yang bertaqwa”.

Lafazh wa’tul-buyuta (وَأْتُوا الْبُيُوتَ) maknanya : datangilah rumah itu, maksudnya masukilah rumah itu. Sedangkan lafazh min abwabiha (مِنْ أَبْوَابِهَا) maknanya :  lewat pintu-pintunya.

Penggalan ayat ini yang memerintahkan kita  untuk masuk ke dalam rumah lewat pintu-pintunya memang agak unik dan membuat kita jadi sedikit bertanya-tanya. Ada apa dengan perintah ini? Kenapa masuk rumah dari pintu belakang sepertinya sebegitu terlarangnya? Kira-kira apa ‘illat keharamanan masuk dari pintu belakang, sehingga harus turun sebuah ayat khusus yang memerintahkan kita masuk rumah lewat pintu depan?

Bukankah masuk rumah lewat pintu depan itu merupakan perintah yang biasa-biasa saja?. Dimana-mana normalnya semua orang masuk ke dalam rumah memang lewat pintu depan.

Wajar kalau kemudian berkembang asumsi liar. Misalnya apa benar model rumah di masa itu hanya punya satu pintu di depan, sehingga kalau sampai ada orang masuk ke rumahnya sendiri lewat pintu belakang, dianggap sebuah kesalahan dan penyimpangan.

Kalau benar asumsinya bahwa model rumah  di masa itu hanya satu pintu yang hanya pintu depan saja, barangkali cukup masuk akal bila ada larangan masuk rumah kecuali tidak ada pintu tetapi menerobos lewat loteng atau mendobrak dinding. ? Namun itu hanya asumsi semata.

Sedangkan model rumah kita di masa sekarang kebanyakan punya pintu depan dan pintu belakang. Bila ada tamu di ruang depan, agar penghuni rumah lainnya tetap bisa keluar masuk, maka dibuatkan pintu belakang.

Lafazh wattaqu (واتقوا) terbentuk dari huruf wa (و) yang bermakna 'dan' dan ittaqu (اتقوا) yang merupakan fi'il amr atau perintah untuk melakukan sesuatu. Asalnya dari (اتقى - يتقى)  yang maknanya bisa bertaqwa namun juga bisa bermakna takut atau memelihara diri dari sesuatu. Dalam konteks ayat ini tentu makna yang paling cocok adalah perintah untuk bertaqwa kepada Allah.

Lafazh la’allakum (لعلكم) cukup banyak kita temukan di dalam Al-Quran dan sering diterjemahkan menjadi ‘agar supaya kamu’. Secara rasa bahasa, ungkapan semacam ini pantas diucapkan oleh manusia sebagai bentuk harapan akan terjadinya sesuatu di masa datang yang saat ini masih belum terjadi. 

Namun bagaimana kita terima kalau ungkapan harapan ini justru muncul dari perkataan Allah SWT sendiri? Masak sih Allah SWT berharap akan terjadinya sesuatu di masa mendatang? Bukankah Allah SWT tidak perlu berharap karena Dia Maha Kuasa?

Lagi pula di sisi lain, ada juga harapan Allah SWT sampaikan namun tidak pernah menjadi kenyataan. Misalnya harapan agar Fir’aun bisa mengambil pelajaran seperti dalam ayat ini :

وَلَقَدْ أَخَذْنَا آلَ فِرْعَوْنَ بِالسِّنِينَ وَنَقْصٍ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Sungguh, Kami telah menghukum Fir‘aun dan kaumnya dengan (mendatangkan) kemarau panjang dan kekurangan buah-buahan agar mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-A’raf : 130)

Ternyata dalam kenyataannya harapan itu tidak pernah terjadi, sebab Fir’aun dan rezimnya terus menerus melakukan kedurhakaan sehingga pada akhirnya mereka ditenggalamkan di laut Merah.

Oleh karena itulah ada sebagian ahli tafsir yang menanggapi masalah harapan di balik lafazh (لعل) sebenarnya merupakan perintah Allah SWT kepada  yang sedang diajak bicara agar membuat harapan. Sehingga yang berharap pada dasarnya bukan Allah SWT, melainkan manusia. Jadi lengkapnya perintah itu sebagai berikut :

Wahai manusia, silahkah kamu mengharap agar dirimu bisa menjadi orang yang bertaqwa lewat cara mengerjakan ibadah.

Pakar tafsir dan bahasa Arab az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata (لعل) merupakan majaz dan bukan dalam arti harapan yang sebenarnya. Bahwa Allah SWT menciptakan hamba-hamba-Nya agar mereka menyembah-Nya sambil memberi mereka kebebasan untuk memilih. Dia menghendaki untuk mereka kebaikan dan agar mereka bertakwa.

Dengan demikian, mereka sebenarnya berada dalam posisi yang diharapkan memperoleh ketakwaan tetapi dalam kerangka kebebasan memilih antara taat atau durhaka. Ini serupa dengan, situasi sesuatu yang belum jelas apakah ia terjadi atau tidak. Ketidakjelasan itu lahir karena adanya pilihan untuk yang bersangkutan apa memilih yang ini atau yang itu.

Betapapun, pada akhirnya kita dapat berkata bahwa tidak ada sesusatu yang merupakan harapan bagi Allah jika maknanya dikaitakan dengan  ketidakpastian. Keyakianan setiap penganut agama tentang kemahaluasan pengetahuan Allah menjadi dalil yang sangat kuat untuk menghindarkan makna ketidakpastian itu dari kandungan makna la'alla bila pelakunya adalah Allah SWT. Bila Anda telah menghindarkan makna itu, maka silahkan pilih makna yang Anda anggap tepat.

Lafazh tattaqun (تَتَّقُون) adalah bentuk fi’il mudhari dari taqwa, sehingga sudah tepat kalau diartikan sebagai : ‘bertaqwa’ dan bukan : ‘orang yang bertaqwa’. Ketika disebutkan ‘bertaqwa’, maka yang dimaksud adalah taqwa dalam arti sebuah aktifitas, sedangkan kalau disebut ‘muttaqin’ maka maksudnya adalah taqwa dari arti identitas.

Umumnya para ulama menyebutkan bahwa taqwa itu sebuah derajat yang tinggi yang diawali dengan derajat iman. Hal itu berdasarkan ayat yang memanggil orang beriman untuk melakukan ini dan itu, lalu di akhir disebutkan semoga menjadi orang yang bertaqwa. Atau juga karena taqwa disebutkan setelah iman seperti yang disebutkan dalam ayat berikut :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. (QS. Al-Araf : 96)

Al-Baqarah : 189

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 30-4-2024
Subuh 04:35 | Zhuhur 11:51 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:50 | Isya 19:00 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia