Jilid : 3 Juz : 2 | Al-Baqarah : 198
Al-Baqarah 2 : 198
Mushaf Madinah | hal. 31 | Mushaf Kemenag RI

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ ۚ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ

Kemenag RI 2019 : Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu (pada musim haji). Apabila kamu bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masyarilharam.60) Berzikirlah kepada-Nya karena Dia telah memberi petunjuk kepadamu meskipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
Prof. Quraish Shihab : Tidak ada dosa atas kamu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan atau usaha halal lainnya pada musim haji) dari Tuhan Pemelihara kamu. Maka, apabila kamu telah bertolak dari Arafah (menuju ke Muzdalifah), maka berdzikirlah kepada Allah di Masy`ar al-Haram (bukit Quzah di Muzdalifah). Dan berzikir! ah kepada Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepada kamu: dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar benar termasuk orang-orang sesat.
Prof. HAMKA : Tidaklah mengapa bahwa kamu mencari anugerah dari Tuhan kamu. Maka, apabila telah berduyun-duyun kamu dari Arafah, hendaklah kamu menyebut nama Allah di Masy`aril Haram, dan sebutlah akan Dia, sebagaimana Dia telah memberimu petunjuk. Dan, meskipun pada sebelumnya adalah kamu dari orang-orang yang resat.

Ayat ke-198 ini masih bagian dari rangkaian ayat-ayat haji sebelumnya. Kalau di ayat sebelumnya yaitu ayat ke-197 Allah SWT menegaskan haramnya rafats, fusuq dan jidal dalam haji, maka ayat ke-198 ini justru Allah SWT menegaskan kebolehan atas perdagangan dan jual-beli selama dalam haji. Hal itu karena dalam konsep haji jahiliyah, perdagangan termasuk perbuatan yang diharamkan saat berhaji.

Selain itu di ayat juga ditegaskan tentang Arafah sebagai tempat wukuf yang menjadi intisari ibadah haji.

Kata junah (جُنَاح) maknanya al-itsmu (الإِثْم) yang diartikan menjadi dosa. Posisi kata junah dalam kalimat ini menjadi ism dari laisa (لَيْسَ). Sedangkan Ibnu Abbas sebagaimana dikutipkan oleh At-Thabari mengatakan bahwa makna junah adalah al-haraj (الحَرَج) yaitu keberatan.[1]

Makna penggalan ini diterjemahkan secara berbeda-beda dalam terjemahan kita. Kementerian Agama RI menerjemahkannya menjadi : “bukanlah suatu dosa bagimu”. Sedangkan Prof. Quraish Shihab menerjemahkannya lain lagi yaitu : “tidak ada dosa atas kamu”. Dan Prof. Buya HAMKA menerjemahkannya menjadi : “tidaklah mengapa”. Memang hanya beda redaksional dan diksi, sedangkan maksudnya tetap sama.

Kalau kita memasukkan teks (جناح) ke dalam database Al-Quran, maka setidaknya akan ditemukan 30 hasil pencarian yang bervariasi antara junah (جُنَأح) dan janah (جَنَاح) dengan makna yang berbeda.

Kata janah secara makna harfiyah berarti sayap seperti sayap pada burung, sebagaimana tertuang dalam surat Al-An’am ayat 38 (وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ). Namun bisa juga digunakan untuk manusia yang bermakna ketiak sebagaimana ayat berikut :

وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَىٰ جَنَاحِكَ

Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu. (QS. Thaha : 22)

Namun dalam konteks ungkapan metafora, janah bisa bermakna keramahan dan kerendahan hati, sebagaimana pada ayat berikut :

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ

Rendahkan hatimu diantara orang mukmin. (QS. Al-Hijr ayat 88)

[1] Ibnu Jarir Ath-Thabari (w 310 H), Jami Al-Bayan fi Ta’wil Al-Quran, (Beirut, Muassasatu Ar-Risalah, Cet. 1, 1420 H - 2000M), jilid 3 hal. 502

Makna lafazh tabtaghu (تَبْتَغُوا) artinya kamu mencari, mengusahakan atau berusaha mendapatkan. Asalnya dari kata (ابتغى - يبتغي).

Sedangkan fadhlan (فَضْلًا) secara bahasa artinya kelebihan atau keutamaan, namun dalam Al-Quran kata ini punya banyak makna, salah satunya adalah rejeki atau pun juga keuntungan dari perdagangan. Contohnya bisa kita temukan pada surat Al-Maidah ayat 2 berikut ini (يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ).

Dan contoh lain juga kita temukan pada surat Al-Jumuah ayat 10 (فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ). Termasuk juga surat At-Taubah ayat 76 (فَلَمَّا آتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ).

Mekkah Al-Mukarramah memang tempat yang sudah didoakan oleh Nabi Ibrahim alaihissalam agar penduduknya mendapatkan rizki, meskipun tempat itu kering kerontang tidak ada tanaman. Namun jalannya rezki mereka masuk lewat jalur perdagangan.

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ

(Ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Makkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa penduduknya dari tsamarat. (QS. Al-Baqarah : 126)

Lafazh tsamarat (ثَمَرَات) memang seringkali diterjemahkan menjadi buah-buahan, padahal buah dalam bahasa Arab itu ada sebutan khususnya yaitu  fakihah (فَاكِهَة) atau bentuk jamaknya fawakih (فَوَاكِه).

Sedangkan istilah tsamarat itu apapun yang bisa dihasilkan baik dari tumbuhan atau pun bukan tumbuhan, baik sebelum diolah atau pun setelah diolah. Dan yang menarik bahwa dalam kenyataannya meski Mekkah disebut-sebut sebagai negeri yang tidak ada tumbuhannya, namun penduduknya tetap mendapatkan limpahannya, yaitu hidupnya perdagangan yang malah menyediakan segala macam kebutuhan umat manusia secara berlimpah. Padahal Mekkah tidak punya hasil bumi, setidaknya hal itu diungkapkan oleh Nabi Ibrahim alaihissalam saat pergi meninggalkan anak istrinya di Mekkah.

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. (QS. Ibrahim : 37)

Di masa kenabian Muhammad SAW, Mekkah telah menjadi pusat pertemuan para saudagar dari berbagai penjuru. Ada begitu banyak komoditas yang beredar di Mekkah. Bahkan disebutkan Mekkah punya tiga pasar besar, yaitu Pasar Ukazh, Majannah dan Dzul-Majaz. Hal itu bisa kita temukan keterangannya dalam riwayat Al-Bukhari berikut ini :

كَانَتْ عُكَاظُ وَمَجَنَّةُ وَذُو الْمَجَازِ أَسْوَاقًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَتَأَثَّمُوا أَنْ يَتَّجِرُوا فِي الْمَوَاسِمِ، فَنَزَلَتْ: ﴿لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ﴾ فِي مَوَاسِمِ الْحَجِّ».

Ukazh, Majannah dan Dzul-Majaz adalah nama-nama pasar di era jahiliyah. Mereka menganggap dosa bila berniaga pada musim haji, sampai turun ayat ini. (HR. Al-Bukhari)[1]

[1] Al-Bukhari (w. 256 H), Shahih Bukhari (Dar Thuq An-Najah, Cet. 1, 1422 H), jilid 6 hal. 27

Lafazh afadhtum (أَفَضْتُمْ) merupakan fi’il madhi dimana Ibnu Katsir mengatakan maknanya adalah (إِنْدَفَعْتُم) yang artinya bertolak. Sebenanya asal katanya dari faadha (فَاضَى)  yang artinya meluap atau meluber, sebagaimana ungkapan dalam bahasa Arab :

فَاضَ الْإِنَاءُ إِذَا امْتَلَأَ حَتَّى يَنْصَبَّ عَنْ نَوَاحِيهِ

Wadah itu telah meluber, yaitu ketika terisi penuh hingga melebihi kapasitasnya.

Seorang yang penuh dengan pemberian disebut dengan (رَجُلٌ فَيَّاض). Dalam hal ini jamaah haji digambarkan telah meluap atau meluber karena bertolak secara bersamaan dari satu titik yaitu Arafah. Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah bergerak dengan cepat dari satu tempat ke tempat yang lain (الإسْراعُ مِن مَكانٍ إلى مَكانٍ).

Penggalan ayat ini merupakan bentuk perintah untuk melakukan rukun haji yang paling inti yaitu wuquf di Arafah, sebagaimana dikuatkan dalam hadits bahwa haji itu.

الْحَجُّ عَرَفَةَ

Haji adalah Arafah. (HR. Abu Daud dan Al-Hakim)

Ibadah wuquf di Arafah hanya dilakukan setahun sekali saja, yaitu setiap tanggal 9 bulan Dzulhijjah. Di luar tanggal tersebut, tidak ada wuquf di Arafah, dan tempat itu hanya sebuah padang pasir yang terbentang luas tak berpenghuni.

Orang yang sekedar pergi umrah di luar musim haji tidak perlu melakukan wuquf di Arafah. Kalau pun mereka mendatanginya, sekedar melihat-lihat dan tidak ada kaitannya dengan ibadah ritual. Tentu melihat-lihat ini bukan hal yang dilarang, asalkan jangan mengubah ajaran seolah-olah kalau tidak melihat-lihat tempat wuquf, ibadah umrahnya kurang sempurna. Wuquf di Arafah itu adalah :

حُضُورُ الحُجَّاجِ فيِ عَرَفَاتِ فيِ يَوْمِ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الحِجَّةِ وَهُوَ مِنْ أَرْكَانِ الحَجِّ

Hadirnya jamaah haji di padang pasri Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah dan merupakan bagian dari rukun haji.

Waktu wuquf tepatnya dimulai semenjak waktu Dhuhur, yaitu ketika matahari mengalami zawal. Istilah zawal adalah posisi matahari yang mulai bergerak semu ke arah barat, setelah sebelumnya tepat berada di posisi atas kepala kita.

Dalam terjemahan bahasa Indonesia di masa lampau, kata zawalusy-syamsi sering diterjemahkan menjadi tergelincirnya matahari. Dan waktu batas akhir dari wuquf adalah ketika terbit fajar keesokan harinya, yaitu tanggal 10 Dzulhijjah, yang juga merupakan Hari Raya Idul Adha atau Hari Nahr.

Padang Arafah terletak jauh di luar kota Mekkah, posisinya terletak di arah Tenggara dari Masjidil Haram. Jaraknya  sekitar 22 km. Diperkirakan luasnya berkisar 10,4 km persegi dan terdapat rambu-rambu yang menunjukkan batas-batas Arafah.

Kata al-masy’aril haram (الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ) maksudnya adalah Muzdalifah.  Masy’aril Haram itu aslinya adalah nama sebuah gunung, atau tepatnya bukit di bagian akhir dari Muzdalifah. Nama gunung itu aslinya adalah Quzah (قُزَح).

Kemudian dinamakan dengan Masy’aril Haram, karena makna masy’ar adalah tempat syiar-syiar agama ditegakkan. Dan disebutkan haram karena di tempat itu diharamkan untuk berburu dan sebagainya. Sehingga kadang tempat itu juga disebut dengan sebutan Dzul-Hurmah (ذو الحرمة).

Namun yang benar bahwa Masy’aril Haram adalah bagian dari Muzdalifah. Artinya, Muzdalifah bukan hanya Masy’aril Haram, Muzdalifah lebih luas dan lebih besar dari Masy’aril Haram. Sehingga bila jamaah haji bermalam bukan di posisi Masy’aril Haram, tetapi masih di dalam wilayah Muzdalifah, sudah dianggap sah dan tidak perlu membayar dam.

Muzdalifah terkadang juga disebut dengan istilah Al-Jam’u (الجمع) yang berarti kumpulan. Maksudnya karena seluruh jamaah haji di tahun itu pada malam itu berkumpul disana seluruhnya. Lokasi Muzdalifah adalah padang pasir yang membentang antara Padang Arafah dan Mina. Para ulama membuat batasan lokasi Muzdalifah ini dengan ungkapan :

مَكَانٌ بَيْنَ مَأْزِمَيْ عَرَفَةَ وَوَادِي مُحَسِّرٍ

Tempat yang berada di antara Arafah dan Lembah Muhassir.

مَا بَيْنَ مَأْزِمَيْ عَرَفَةَ إِلَى قَرْنِ مُحَسِّرٍ

Tempat yang berada antara Arafah dan tanduk Muhassir.

Dimana pun di Muzdalifah adalah tempat yang sah untuk bermalam, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

مُزْدَلِفَةُ كُلُّهَا مَوْقِفٌ

Muzdalifah seluruhnya adalah tempat wuquf. (HR. Ahmad)

Para ulama umumnya mengatakan bahwa bermalam di Muzdalifah ini termasuk wajib haji, dan bukan termasuk rukun. Termasuk yang berpendapat seperti ini di antaranya Mazhab As-Syafi’iyah dan Mazhab Al-Hanabilah. [1] Dalilnya adalah sabda Nabi SAW :

الْحَجُّ يَوْمُ عَرَفَةَ مَنْ جَاءَ قَبْل الصُّبْحِ مِنْ لَيْلَةِ جَمْعٍ فَتَمَّ حَجُّه

Haji itu adalah (wuquf) di Arafah. Siapa yang datang sebelum shubuh pada malam (mabit di Muzdalifah), maka  sudah sempurna haji yang dilakukan. (HR. Abu Daud dan At-Tirmizy)

Maka konsekuensinya bila seorang jamaah haji tidak melakukannya, ibadah hajinya tetap sah namun dia diwajibkan untuk membayar dam, yaitu menyembelih seekor kambing.

Mazhab Al-Malikiyah mengatakan bahwa bermalam di Muzdalifah itu hukumnya sunnah, atau dalam istilah resmi mereka, hukumnya mandub. Dan hanya dengan mampir sebentar saja sudah dianggap cukup.[2]

Sedangkan Mazhab Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa hukumnya sunnah muakkadah, dan bukan rukun atau wajib haji. Buat jamaah haji disunnahkan untuk bermalam sampai terbit fajar. [3]

Namun ada juga dari sebagian ulama yang menyebutkan bahwa bermalam di Muzdalifah hukumnya fardhu alias rukun dalam ibadah haji. Pendapat ini didukung oleh sebagian ulama seperti Alqamah, Al-Aswad, Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri dan An-Nakha’i. dalil yang mereka pakai adalah hadits berikut ini, namun tidak ada sandaran perawi yang bisa diterima.

مَنْ فَاتَهُ الْمَبِيتُ بِالْمُزْدَلِفَةِ فَقَدْ فَاتَهُ الْحَجُّ

Orang yang luput dari bermalam di Muzdalifah, maka dia telah luput dari ibadah haji.

 

[1] Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 8 hal. 123-150

[2] Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, hal. 132

[3] Badai’ush-Shanai’, jilid 2 hal. 136

Lafazh wadz-kuruu-hu (وَاذْكُرُوهُ) merupakan fi’il amr yang menjadi perintah. Asalnya dari (ذَكَرَ - يَذْكُرُ)  yang artinya ingatlah. Namun kata dzikir sendiri juga punya makna lain, yaitu mengucapkan dengan lisan alias berdzikir. Dalam hal ini nampaknya adalah perintah untuk berdzikir.

Jumhur ulama mengatakan bahwa dzikir yang dimaksud bisa bermacam-macam, seperti tasbih, tahmid dan tahlil. Walaupun dalam hal ini hukumnya bukan sebagai kewajiban, hanya disunnahkan untuk memperbanyak dzikir ketika sedang berada di Muzdalifah.

Namun ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud bukan dzikir dengan lisan, tetapi perintah untuk mengerjakan shalat, dalam hal ini maksudnya untuk menjama’ shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah.

Lafazh kama hadakum (كَمَا هَدَاكُمْ) artinya : sebagaimana Allah SWT telah memberikan petunjuk kepadamu”. Perintah berdzikir ini adalah perintah yang kedua kali, setelah sebelumnya diperintah juga untuk berdzikir. Lantas  apa bedanya masing-masing perintah dzikir di ayat ini? Para mufassir kemudian mencoba memberikan jawaban yang berbeda-beda :

§  Sebagian ulama mengatakan bahwa perintah dzikir yang pertama merupakan perintah berdzikir secara umum, sedangkan perintah yang kedua adalah dzikir yang menggunakan nama-nama Allah SWT yang mulia alias al-asmaul-husna.

§  Sebagian lain mengatakan bahwa dzikir yang pertama dzikir dengan lisan, sedangkan dzikir yang kedua adalah dzikir dengan hati.

§  Sebagian yang lain lagi mengatakan bahwa dua perintah dzikir itu menunjukkan perintah untuk terus menerus berdzikir tanpa berhenti.

(وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ)

Penggalan akhir yang menjadi penutup ayat ini bermakna : “meskipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”. Lantas apa atau siapakah yang dimaksud dengan orang-orang sesat.

Yang dimaksud dengan sesat di ayat ini bahwa para shahabat yang dulunya ketika masih jahiliyah pernah menjalankan ritual haji peninggalan Nabi Ibrahim, namun secara prakteknya yang mereka lakukani itu termasuk praktek haji yang sesat. Oleh karena itulah Allah SWT turunkan ayat-ayat terkait haji, dengan tujuan agar mereka kembali lagi bisa menjalankan ibadah haji sesuai dengan tuntunan yang benar.

Al-Baqarah : 198

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 30-4-2024
Subuh 04:35 | Zhuhur 11:51 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:50 | Isya 19:00 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia