Jilid : 3 Juz : 2 | Al-Baqarah : 199
Al-Baqarah 2 : 199
Mushaf Madinah | hal. 31 | Mushaf Kemenag RI

ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Kemenag RI 2019 : Kemudian, bertolaklah kamu dari tempat orang-orang bertolak (Arafah) dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Prof. Quraish Shihab : Kemudian, bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah). Dan mohonlah ampun kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Mana Pengasih.
Prof. HAMKA : Kemudian, berduyunlah kamu di tempat yang orang-orang lain telah berduyun, dan memohon ampunlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya, Allah adalah Pemberi ampun, lagi Penyayang. "Tidaklah mengapa bahwa kamu mencari anugerah dari Tuhan kamu."

Lafazh afidhu (أَفِيضُوا) adalah fi’il amr maknanya adalah bergeraklah atau berpindahlah secara bersama-sama. Dalam hal ini jamaah haji digambarkan meluap atau meluber karena bertolak secara bersamaan dari satu titik lain. (الإسْراعُ مِن مَكانٍ إلى مَكانٍ).

Namun ritual apakah yang dimaksud dalam perintah ini, sebagian ulama berbeda dengan sebagian yang lain.

Pendapat pertama mengatakan bahwa perintah afidhu (أَفِيضُوا) lalukanlah tawaf ifadhah, maka tinggalkan Arafah dan segera pergi ke Mekkah untuk melakukan tawaf ifadhah.

Pendapat kedua mengatakan ini perintah afidhu (أَفِيضُوا) maksudnya agar jamaah haji yang sedang berada di Muzdalifah di pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah itu untuk segera bergerak bersama-sama menuju Mina untuk melakukan lontar jamaraat dan bermalam selama tiga hari.

Lafazh min haitsu afadhan-nas (مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ) artinya : “dari tempat orang-orang bertolak”. Maksudnya adalah padang Arafah. Namun ada dua pendapat tentang hal ini.

Pendapat Pertama : bahwa penggalan ayat ini turun khusus hanya buat orang-orang Quraisy saja. Dasarnya karena dalam keyakinan mereka bahwa wuquf tidak boleh di Arafah, dengan alasannya bahwa Arafah bukan termasuk wilayah tanah suci atau tanah haram. Maka mereka selama ini wuqufnya di Muzdalifah.

Memang keyakinan seperti ini agak berbeda dengan tindakan bangsa Arab secara keseluruhannya, yang mana mereka memang melakukan wuqufnya di Arafah. Mereka mengatakan bahwa khusus orang Quraisy adalah manusia pilihan Allah yang masih termasuk keluarga Allah. Dengan sikap yang agak berbeda ini mereka pun dinamakan : al-humsa (الحُمْسَ).  

Dengan turunnya ayat ini, maka kebiasaan dan adat orang Quraish yang telah dilakukan secara turun temurun berabad-abad kemudian dikoreksi agar kembali seperti semula.

Pendapat Kedua : bahwa penggalan ayat ini turun untuk semua jamaah haji, tidak hanya dikhususkan buat orang-orang Quraisy saja. Sedangkan lafazh an-nas (النَّاسُ) yang secara harfiyah artinya orang-orang, maksudnya tidak lain adalah Nabi Ibrahim yang jadi leluhur mereka pun dulu melakukan wuquf di Arafah.

Ini salah satu contoh bagaimana Allah SWT menggunakan kata : ‘orang-orang’ yang seharusnya jumlahnya banyak, tetapi ternyata maksudnya hanya satu orang, yaitu Nabi Ibrahim seorang.

Lafazh was-taghfiru (وَاسْتَغْفِرُوا) adalah fi’il amr yang merupakan perintah  dan asalnya dari (استَغْفَرَ - يَسْتَغْفِرُ), artinya : “bermohon ampunlah”.

Perintah untuk beristighfar atau minta ampun ini oleh para ulama dipahami secara berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa itu merupakan bentuk ritual ibadah secara umum, yaitu dzikir yang intinya istighraf, tanpa ada kaitannya dengan dosa tertentu yang pernah dilakukan.

Pendapat kedua mengatakan bahwa perintah untuk minta ampun ini terkait dengan kesalahan selama ini, yaitu wukufnya di Muzdalifah dan tidak wuquf di Arafah. Lafazh (إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ) menguatkan perintah istighfar yaitu bahwa Allah SWT itu Maha pemberi ampunan dan Maha Rahim.

Al-Baqarah : 199

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 30-4-2024
Subuh 04:35 | Zhuhur 11:51 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:50 | Isya 19:00 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia