Jilid : 4 Juz : 2 | Al-Baqarah : 237
Al-Baqarah 2 : 237
Mushaf Madinah | hal. 38 | Mushaf Kemenag RI

وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۚ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Kemenag RI 2019 : Jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) separuh dari apa yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka atau pihak yang memiliki kewenangan nikah (suami atau wali) membebaskannya.74) Pembebasanmu itu lebih dekat pada ketakwaan. Janganlah melupakan kebaikan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Prof. Quraish Shihab : Jika kamu menceraikan mereka (istri-istri kamu) sebelum kamu menyentuh (mencampuri) mereka, dan sungguh kamu telah menetapkan kewajiban (atas diri kamu, yakni mahar) bagi mereka, maka (berikanlah) seperdua dari apa yang telah kamu wajibkan, kecuali jika mereka memaafkan (membebaskan) atau dimaafkan (dibebaskan atau ditambah) oleh orang yang memegang ikatan nikah (wali atau suami), dan pemaafan kamu (itu) lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan jasa keutamaan (hubungan baik) di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Prof. HAMKA : Dan jika kamu talak mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal telah kamu tentukan untuk mereka (mahar) yang difardhukan itu maka separuhlah dari apa yang kamu fardhukan itu. Kecuali jika mereka maafkan atau memberi maaf yang di tangannya terpegang ikatan nikah itu. Dan, bahwa kamu bermaafmaafan itulah dia yang lebih dekat kepada takwa. Dan, janganlah kamu lupakan kebaktian di antara kamu. Sesungguhnya, Allah terhadap apa yang kamu kerjakan adalah melihat.

Ayat ke-237 ini pastinya sangat terkait erat dengan ayat sebelumnya. Selain dari isi topik pembicaraannya juga dikenali dengan kata pembukanya, yaitu diawali dengan wawul-‘athaf (و) yang berfungsi sebagai penyambung satu ayat dengan ayat sebelumnya.

Keberadaan huruf waw dalam format bahasa Arab itu sah-sah saja. Begitu banyak ayat Al-Quran yang diawali dengan huruf waw, baik dalam fungsinya sebagai ‘athf ataupun sebagai huruf sumpah.

Kalau dibandingkan dalam bahasa Indonesia, keberadaan kata ‘dan’ di awal kalimat hukumnya haram jadah. Maka pusing tujuh keliling lah para penerjemah Al-Quran, setidaknya terjadi perdebatan panjang, apakah huruf waw di awal ayat itu tetap harus diterjemahkan atau dianggap tidak ada. Jelas ini jadi polemik besar, khususnya dalam dunia penerjemahan Al-Quran.

Sedangkan kita yang bergelut dengan ilmu tafsir, maka terbebas dari polemik semacam itu, karena tafsir malah dengan bebas bisa membahas keberadaan huruf waw itu tanpa ada rasa khawatir dan takut mengubah makna Al-Quran.

Terikait dengan topik pembicaraannya, ayat ini bicara tentang masalah yang nyaris sama persis dengan kasus di ayat sebelumnya, yaitu suami menceraikan istrinya sebelum terjadi jima’ namun telah menyebutkan nilai mahar yang ingin diberikan. Maka mahar itu wajib diberikan kepada istri, walaupun hanya setengahnya saja.

Lafazh wa in thallaqtum (وَإِنْ طَلَّقْتُمُ) terdiri huruf wawul-‘athf yang berfungsi menyambungkan dengan ayat sebelumnya. Lalu ada kata  (إِنْ) yang berposisi sebagai syarthiyah yaitu merupakan syarat yang maknanya apabila.

Sedangkan lafazh thallaqtum (طَلَّقْتُمُ) adalah fi’il madhi dari kata dasarnya (طَلَّقَ – يُطَلِّقُ - تَطْلِيْقًا) artinya kamu telah mentalak. Sedangkan lafazh hunna (هُنَّ) artinya adalah istri-istrimu.

Lafazh min qabli an tamassu-hunna (مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ) artinya : “dari sebelum kamu menyentuh mereka.” Maksudnya adalah melakukan jima’ dengan mereka.

Ungkapan wa qad faradh-tum (وَقَدْ فَرَضْتُمْ) berarti dan telah mewajibkan diri untuk memberi mahar dengan menyebutkan nilainya. Sedangkan kata lahunna (لَهُنَّ) artinya : kepada mereka, maksudnya kepada wanita yang akan dinikahi menjadi istri.

Lafazh al-faridhah (فَرِيضَةً) secara bahasa adalah kewajiban, sebagaimana kita mengenal istilah fardhu. Namun yang dimaksud adalah shadaq atau mahar, yaitu sejumlah harta yang sudah jadi komitmen suami untuk diberikan kepada istrinya karena menikahinya.

Dalam hal ini yang membedakan ayat ini dengan ayat sebelumnya bahwa di ayat ini suami bukan hanya berkomitmen mau memberi mahar, tetapi bahkan sudah sampai menyebutkan angka nilai mahar itu.

Maka apa yang sudah jatuh omongan tentang nilai mahar itu berkonsekuensi jadi pengikat, yaitu menjadi hutang kepada istri yang wajib dibayarkan sesuai dengan kesepakatannya.

Namun karena pernikahan itu batal begitu saja, bahkan belum sempat terjadi jima’ antara suami istri, maka dalam hal ini harus adil, yaitu dengan cara mahar itu dibagi dua. Setengahnya untuk istri, karena sebab pernikahan sudah terjadi dan mahar sudah disebutkan nilai.

Namun separuhnya lagi masih jadi milik suami, karena pada dasarnya suami sama sekali tidak diuntungkan, bahkan sangat-sangat dirugikan karena uang keluar tapi apa yang didapat sama sekali nol besar.

Kalau suami masih diwajibkan membayar full 100% apa yang sudah dia ucapkan, sementara pernikahan itu sudah berakhir, maka betapa tidak adilnya hukum syariat pernikahan.

Oleh karena itu jalan tengahnya adalah tetap suami wajib memberikan mahar yang sudah terlanjur disebutkan nilainya, tetapi tidak perlu dia bayarkan 100%, cukup 50% saja.

Maka lafazhnya adalah fa-nishfu (فَنِصْفُ) yaitu setengah atau 50% saja, dari nilai yang telah dijanjikan atau sudah jatuh omongan sebelumnya.

Lafazh ya’funa (يَعْفُونَ) artinya memaafkan, namun maksudnya bukan memaafkan dari sebuah kesalahan, melainkan maksudnya memaafkan dalam arti mengikhlaskan untuk tidak meminta bayaran yang sebenarnya dia berhak untuk mendapatkannya.

Ungkapan maaf dalam arti membebaskan dari tuntutan kewajiban membayar seperti itu juga tertuang dalam ayat terkait yang membebaskan dari hukum qishash atau pembayaran diyat (denda) tebusan.  

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ

Siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya. (QS. Al-Baqarah : 178)

Maka makna memaafkan di ayat ini berarti membebaskan suami untuk tidak usah membayarkan mahar yang sudah jadi komitmennya di awal pernikahan.

Namun oleh karena sebab jatuhnya talak bahkan belum sempat terjadi jima’ maka pihak istri yang ditalak kalau berkenan untuk tidak menuntut apa-apa alias  ikhlas dan bersedia tidak menerima mahar, boleh juga. Dan tindakan yang demikian itu sangat mulia dan lebih adil.

Ungkapan alladzi biyadihi uqdatun nikah (الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ) adalah orang yang di tangannya ada hak dan wewenang untuk menikahkan seorang wanita, yaitu tidak lain adalah wali.

Namun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah suami dari wanita itu sebelumnya.

Baik terjemah versi Kemenag RI ataupun Prof. Quraish Shihab sama-sama menambahkan di dalam kurung (wali atau suami).

Jika yang membebaskan mahar adalah wali, suami dibebaskan dari kewajiban membayar separuh mahar. Apabila suami yang membebaskannya, dalam arti berkomitmen untuk membayar seluruh mahar yang disebutkan, dia harus membayar mahar seluruhnya. Dengan syarat bahwa wali tersebut adalah wali mujbir, yaitu wali yang berhak memaksa anak gadis untuk menikah, seperti ayah atau kakek kandung.

Ungkapan wa-an ta’fu (وَأَنْ تَعْفُوا) artinya : dan memaafkan itu, sedangkan makna aqrabu lit-taqwa (أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ) artinya lebih dekat kepada taqwa.

Penggalan ini dimaksudkan agar kedua belah pihak sama-sama mengalah, untuk tidak usah mengajukan tuntuan apakah itu mahar atau pun mut’ah.

Memang kalau bicara soal berhak atau tidak, jelas sangat berhak. Namun apakah semua hak itu harus dikejar dan dituntut sampai ke akar-akarnya? Jawabannya justru tidak harus.

Lalu kaitannya dengan taqwa bagaimana?

Ada banyak jalan, salah satunya adalah bahwa orang yang melepaskan hak miliknya yang sebenarnya dipastikan dia akan tetap mendapatkannya. Dia tidak akan kehilangan atas hak itu, setidaknya di akhirat hak itu akan kembali lagi kepada pemiliknya.

Hanya saja bentuknya sudah bukan lagi harta benda duniawi, melainkan limpahan pahala hasil konversi dari pahala yang diterimanya meski tanpa imbalan materi duniawi. Dan itulah wujud taqwa yang sesungguhnya.

Lafazh la tansau (لَا تَنْسَوُا) adalah fi’il nahiyah yang mengandung makna larangan, yaitu janganlah kamu melupakan. Lafazh al-fadhla (الْفَضْلَ) secara harfiyah bermakna kelebihan.

Kementerian Agama RI mengerjemahkannya menjadi : “Janganlah melupakan kebaikan di antara kamu”. Sedangkan Prof. Quraish Shihab menerjemahkannya menjadi : “Dan janganlah kamu melupakan jasa keutamaan (hubungan baik) di antara kamu”.

Adapun Buya HAMKA menerjemahkannya menjadi : “Dan, janganlah kamu lupakan kebaktian di antara kamu”.

Pada penggalan ini Allah SWT mengingatkan kepada pasangan yang sudah tidak lagi menjadi suami istri terkait usaha dan kebaikan-kebaikan masing-masing mereka selama ini yang sudah ditanamkan. Semua itu jangan dikira hanya sebuah kesia-siaan belaka, karena masing-masing pastinya pernah saling berjasa satu sama lain.

Lepas dari apapun yang memisahkan mereka, namun kebaikan masing-masing pihak itu pernah dicatat sebagai keutamaan atau lebih tepatnya sebagai amal baik yang ada nilai pahalanya di sisi Allah.

Kata innallah (إِنَّ اللَّهَ) maknanya adalah : ”Sesungguhnya Allah”. Lafazh bima (بِمَا) bermakna : “atas apa”, sedangkan lafazh  ta’maluna (تَعْمَلُونَ) makna lahiriyahnya adalah : “kamu melakukan”.

Namun ada makna yang lebih dalam terkandung di dalamnya yaitu bahwa ibadah dan amal yang kamu lakukan betapa pun kecilnya dan meski tidak nampak secara kasat mata namun tetap akan terlihat oleh Allah SWT.

Dan ini sejalan dengan ayat lain  ketika Allah SWT mengumpakan amal yang kecil dengan sebutan dzarrah karena saking kecilnya.

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. Az-Zilzal : 7-8)

Kedua ayat itu sama-sama menegaskan bahwa amal-amal kita seberapa pun kecilnya, pastilah Allah akan tetap melihatnya. Hanya bedanya dalam pilihan diksinya, antara melihat dengan menggunakan kata : bashara (بَصَرَ) dengan melihat dengan kata : yaro (يَرَى). Lalu apa perbedaannya?

Lafazh bashir (بَصِيرٌ) maknanya Maha melihat, namun para ulama di antaranya Al-Khattabi mengatakan yang dimaksud dengan melihat bukan sekedar melihat tetapi bermakna al-‘alim (العَالِم) yaitu melihat dalam arti mengetahui. Selain itu Al-Khatabi juga memaknai bashir dengan mubshir (مُبْصِر), yaitu Allah juga menciptakan makhluk-makhluk yang dapat melihat.

Sebagian ulama lain mengatakan bahwa kata bashir itu bermakna khabir (خَبِيْر) yang berarti pakar atau sangat ahli di suatu bidang. Misalnya  kita menyebut fulan itu pakar di bidang kedokteran, maka sebutannya khabirun bith-thibb (خبير بالطب) maksudnya sangat mengerti dan paham betul urusan kedokteran. Orang yang pakar sekali di bidang matematika disebut khabirun fir-riyadhiyyat  (خبير في الرياضيات) maksudnya sangat paham seluk-beluk matematika dan begitu seterusnya.

Dengan memaknai khabir sebagai pakar yang sangat mengerti seluk beluk di atas, maka bila dikaitkan dengan lafazh bi-ma ya’malun (بِمَا يَعْمَلُونَ) maknanya jadi tepat yaitu Allah SWT pakar dan sangat paham segala seluk-beluk dan lika-liku dari apa yang mereka kerjakan.

Al-Baqarah : 237

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 30-4-2024
Subuh 04:35 | Zhuhur 11:51 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:50 | Isya 19:00 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia