Jilid : 4 Juz : 2 | Al-Baqarah : 239
Al-Baqarah 2 : 239
Mushaf Madinah | hal. 39 | Mushaf Kemenag RI

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا ۖ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

Kemenag RI 2019 : Jika kamu berada dalam keadaan takut, salatlah dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Lalu, apabila kamu telah aman, ingatlah Allah (salatlah) sebagaimana Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui.
Prof. Quraish Shihab : Maka, jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka (shalatlah) sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebab Dia telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Prof. HAMKA : Tetapi jika kamu dalam ketakutan maka (kerjakanlah) dengan berjalan atau berkendaraan. Akan tetapi, apabila telah aman kamu maka sebutlah nama Allah sebagaimana yang telah Dia ajarkan kepada kamu, perkara yang (dahulunya) kamu tidak tahu.

Ayat ke-239 ini jelas masih sambungan dengan ayat ke-238 yang di posisi satu ayat sebelumnya, yaitu masih sama-sama bicara tentang perintah shalat.

Bedanya, kalau di ayat sebelumnya Nabi SAW diperintahkan menjaga shalat lima waktu dan diwajibkan shalat sambil berdiri, maka justru di ayat ini Allah SWT seperti memberikan pengecualian berupa keringanan.

Keringanannya adalah apabila dalam keadaan perang, maka shalat boleh dilakukan sambil berjalan ataupun sambil naik kendaraan. Keringanan shalat seperti ini oleh para ulama dinamakan dengan shalat khauf, yaitu shalat karena takut. Namun yang dimaksud bukan takut melainkan mengerjakan shalat fardhu lima waktu di tengah kecamuk perang.

Secara lebih definitif, para ulama memberikan batasan shalat khauf yaitu :

الصَّلاَةُ الْمَكْتُوبَةُ يَحْضُرُ وَقْتُهَا وَالْمُسْلِمُونَ فِي مُقَاتَلَةِ الْعَدُوِّ أَوْ فِي حِرَاسَتِهِمْ

Shalat wajib 5 waktu yang sudah datang waktunya, sementara muslimin dalam keadaan pertempuan dengan musuh atau dalam hirasah (berjaga-jaga).[1]

 

[1] Al-Badai' 1/243, Raudhatuthalibin 2:49, Al-Majmu' 4/404, Al-Mughni 2/402

Lafazh fa-in (فَإِنْ) bermakna : maka apabila, kata khiftum (خِفْتُمْ) adalah fi’il madhi dari kata (خاَفَ - يَخَافُ)  yang artinya merasa takut. Namun yang dimaksud dengan takut disini bukan sekedar takut, melainkan terkait dengan peperangan, dimana seseorang yang sedang dalam posisi bertempur, tentu tidak akan bisa mengerjakan shalat dengan khusyu’ sebagaimana yang diperintahkan di ayat sebelumnya.

Sehingga penggalan ini sebenarnya akan lebih tepat bila diterjemahkan menjadi : “apabila kamu dalam posisi pertempuran nyata di tengah medan laga”.

Lafazh fa-rijaalan (فَرِجَالًا) bermakna : berjalan kaki, asalnya dari kata rijl (رِجْل). Secara kebetulan bentuk jamak dari ‘laki-laki’ (رَجُل) adalah rijal (رِجأل) juga. Sehingga mungkin saja ada orang yang baru belajar bahasa Arab keliru menerjemahkannya menjadi : apabila kamu takut maka kamu adalah laki-laki, padahal yang benar adalah : apabila kamu takut maka shalatlah sambil berjalan kaki.

Lafazh rukbana (رُكْبَانًا) artinya naik kendaraan. Asalnya dari kata (رَكِبَ - يَرْكَبُ), sebagaimana firman Allah SWT :

وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً

Dan (Allah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan menjadikannya perhiasan. (QS. An-Nahl : 8)

Orang yang menunggang kuda, bighal atau keledai disebut dengan rukban.

Perang Berjalan Kaki & Menunggang Hewan

Penggalan ini memberi penjelasan bahwa perang di masa kenabian dahulu umumnya dilakukan dengan melakukan perjalanan jauh keluar kota. Dan untuk itu tidak selalu naik kendaraan, seringkali dengan berjalan kaki menempuh jarak ribuan kilometer dan membutuhkan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu.

Atau kalau pun naik kendaraan, tentu bukan truk militer, tank berlapis baja apalagi pesawat terbang. Mereka naik hewan tunggangan seperti unta dan kuda. Hewan-hewan itu tetap saja melangkah pakai kaki. Maka tidak terbayang buat kita di masa sekarang menempuh jarak ribuan kilometer hanya dengan naik unta atau kuda.

Sebagai contoh Perang Badar di tahun kedua, dimana saat itu jumlah pesertanya sekitar 300-an orang. Hampir semuanya berjalan kaki dari Madinah ke lokasi Perang Badar yang berjarak dua hari perjalanan.

Kalau berperang seperti itu di masa kita, berjalan kaki dua hari, bahkan kalaupun naik kuda atau unta, tetap saja pegal-pegal sekujur tubuh. Begitu sampai disana insyaallah kita tidak jadi perang, pasukannya malah sibuk mencari dukun urut karena capek dan kelelahan.

Keringanan Shalat Dalam Perjalanan Perang

Namun lepas dari perbedaan peradaban di atas, Al-Quran saat itu memberikan keringanan yang spesifik dan unik, yaitu dibolehkan shalat dengan berjalan kaki atau naik hewan tunggangan.

Kalau dikaitkan dengan syarat dan rukun shalat, maka shalat sambil berjalan kaki atau naik hewan tunggangan itu jelas tidak sah. Banyak syarat sah shalat dan rukun-rukun yang tidak terpenuhi.

Namun karena kondisinya darurat, pilihannya antara shalat khusyu’ tapi mati terkena senjata lawan atau shalat sambil berjalan kaki dan menunggang hewan, namun tetap bisa siaga dalam medan laga.

Di dalam kitab-kitab tafsir klasik ramai para ulama membicarakan syarat kapan dibolehkannya shalat sambil berjalan kaki atau menunggang hewan tunggangan. Sebenarnya Penulis bisa saja mengutipkan berbagai pendapat itu, namun mengingat bahwa perang yang dengan berjalan kaki atau naik unta di masa kita sekarang sudah tidak ada lagi, maka pertimbangannya apakah perlu dicantumkan disini.

Uniknya justru di dalam Al-Quran kita menemukan bukan kali ini saja Allah SWT membicarakan shalat dalam keadaan berperang, tapi ada lagi di ayat yang lain. Di antaranya dua ayat yang terdapat pada surat An-Nisa’ berikut :

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. (QS. An-Nisa : 101)

Di ayat ini Allah SWT memberikan keringanan berupa pengurangan jumlah rakaat yang empat rakaat diringkas menjadi dua rakaat saja. Dan para ulama sepakat bahwa asal muasal shalat qashar memang ayat ini, yang kemudian diberi lagi keringanan, sehingga syarat dibolehkannnya shalat qashar tidak harus dalam peperangan, yang penting dalam keadaan safar saja dengan minimal jarak tertentu.

Di ayat berikutnya Allah SWT memberikan penjelasan tentang bagaimana shalat berjamaah di dalam keadaan berperang, dimana shaf pertama dan shaf kedua melakukan rukuk dan sujud secara bergantian.

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka  lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri  besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka  sujud, maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu  dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu. (QS. An-Nisa' : 102)

Ad-Daruquthny meriwayatkan dari Abu Ayyash Az-Zarqi bahwa kami bersama Rasulullah SAW dalam perang di Usafan berhadapan dengan kaum musyrikin, dimana Khalid bin Walid waktu itu masih kafir bersama mereka. Posisi lawan berada pada arah kiblat. Maka Rasulullah SAW mengimami kami shalat Dzhuhur.

Pada saat antara Dzhuhur dengan Ashar, turunlah Jibril alaihissalam dengan ayat ini.  Kejadian ini juga yang menjadi salah satu penyebab masuk Islamnya Khalid bin Walid setelah itu.[1] 

Para ulama mengatakan bahwa teknis berjamaah seperti yang digambarkan dalam ayat 102 surat An-Nisa ini hanyalah salah satu dari sekian banyak versi yang berbeda-beda. Dasarnya karena ditemukan beberapa versi shalat khauf lain dalam beberapa hadits nabawi.

Asy-Syafi'i mengatakan bahwa beliau SAW melakukan shalat khauf dengan 16 bentuk yang berlainan. Maka yang tercantum di ayat ini hanyalah satu bentuk, masih ada 15 bentuk lagi yang tidak tercantum.

Ibnul Qashshar dari mazhab Al-Malikiyah menyebutkan bahwa beliau SAW shalat khauf dengan 10 bentuk yang berbeda. Sedangkan Imam Ahmad mengatakan 6 atau 7 bentuk.

Namun sebagaimana yang dikomentari oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa semua hadits yang menceritakan perbedaan-perbedaan tata cara shalat khauf Nabi SAW bisa saja benar semua, karena memang beliau SAW shalat dengan berbagai cara yang berbeda-beda.

Shalat di Atas Kendaraan Selain Perang

Adapun hukum shalat di atas kendaraan di luar konteks peperangan, maka para ulama sepakat hanya membolehkan hanya dalam shalat sunnah, seperti witir atau dhuha. Dasarnya adalah riwayat-riwayat berikut yang menceritakan bahwa Nabi SAW mengerjakan shalat sunnah di atas unta.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ t أَنَّ النَّبِيَّ r كَانَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ الْمَكْتُوبَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW shalat di atas kendaraannya menuju ke arah Timur. Namun ketika beliau mau shalat wajib, beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR. Bukhari)

Hadits ini adalah hadits shahih yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bukan hanya membolehkan untuk melakukan shalat di atas punggung unta, tetapi juga langsung menegaskan bahwa beliau SAW sendiri juga melakukannya.

عَنْ جَابِرٍ t كَانَ رَسُول اللَّهِ r يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ  فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW shalat di atas kendaraannya, menghadap kemana pun kendaraannya itu menghadap. Namun bila shalat yang fardhu, beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR. Bukhari)

Hadits ini juga shahih, namun dengan tambahan penjelasan bahwa beliau SAW ketika shalat di atas punggung unta, tidak menghadap ke arah kiblat, tetapi menghadap kemana saja arah unta itu berjalan.

Dan yang paling penting, hadits ini juga menegaskan bahwa beliau SAW tidak melakukan shalat fardhu yang lima waktu di atas punggung unta.

Shalat di atas punggung unta itu hanya manakala beliau melakukan shalat sunnah saja. Sedangkan untuk shalat fardhu 5 waktu, bila kebetulan beliau sedang dalam perjalanan, beliau kerjakan dengan turun dari untanya, menjejak kaki ke atas tanah, dan tentunya tetap dengan menghadap ke arah kiblat. Tidak menghadap ke arah mana saja untanya menghadap.

 إِنَّ رَسُول اللَّهِ r كَانَ يُوتِرُ عَلَى الْبَعِيرِ

Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan shalat witir di atas untanya. (HR. Bukhari)

Hadits shahih di atas juga menjelaskan bahwa ketika Rasulullah SAW melakukan shalat witir yang hukumnya sunnah, beliau SAW melakukannya di atas punggung untanya.

Namun memang pernah juga beliau SAW melakukan shalat wajib di atas punggung unta, akan tetapi keadaan yang terjadi saat itu memang tidak memungkinkan beliau untuk turun ke atas tanah.

Hal itu terjadi lantaran saat itu sedang terjadi hujan, yang menyebabkan tanahnya menjadi becek atau berlumpur. Sehingga dalam keadaan tertentu memang masih dimungkinkan shalat wajib yang dikerjakan di atas punggung unta.

عن يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ أَنَّ النَّبِيَّ r انْتَهَى إِلَى مَضِيقٍ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ وَالسَّمَاءُ مِنْ فَوْقِهِمْ وَالْبِلَّةُ مِنْ أَسْفَل مِنْهُمْ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَأَمَرَ الْمُؤَذِّنَ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ ثُمَّ تَقَدَّمَ رَسُول اللَّهِ r عَلَى رَاحِلَتِهِ فَصَلَّى بِهِمْ يُومِئُ إِيمَاءً يَجْعَل السُّجُودَ أَخْفَضَ مِنَ الرُّكُوعِ

Dari Ya'la bin Umayyah bahwa Nabi SAW melewati suatu lembah di atas kendaraannya dalam keadaan hujan  dan becek. Datanglah waktu shalat, beliau pun memerintahkan untuk dikumandangkan adzan dan iqamat, kemudian beliau maju di atas kendaraan dan melalukan shalat, dengan membungkukkan badan (saat ruku' dan sujud), dimana membungkuk untuk sujud lebih rendah dari membungkuk untuk ruku'. (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)

Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang lain yang mengisahkan tentang shalat-shalat Rasulullah SAW di atas kendaraan.

 

[1] Al-Qurthubi (w. 681 H), Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, (Cairo - Darul-Qutub Al-Mishriyah –Cet. III, 1384 H- 1964 M), jilid 3 hal. 500

Lafazh fa-idza (فَإِذَا) maknanya : maka apabila, amintum (أَمِنْتُمْ) adalah fi’il madhi yang artinya telah berada dalam keadaan aman. Namun maksudnya bila sudah tidak lagi berada di tengah kecamuk perang, baik karena perang sudah usai karena kemenangan, ataupun usai karena gencetan senjata dan perjanjian damai.

Dan keadaan aman ini bisa saja secara posisi masih ada di tengah perjalanan, belum sampai di rumah.

Lafazh fadzkurullah (فَاذْكُرُوا اللَّه) adalah fi’il amr yang asalnya dari (ذَكَرَ – يَذْكُرُ - ذِكْرًا), secara bahasa maknanya berdzikirlah. Namun makna kata dzikir di dalam Al-Quran ada banyak sekali jumlah dan variasinya. Ada yang bermakna menyebut nama, ada juga yang bermakna mengingat. Namun untuk konteks ini, ternyata yang dimaksud adalah perintah untuk mengerjakan shalat.

Kesimpulan ini bisa kita dapat salah satunya justru penjelasan Al-Quran sendiri, yang terkadang menyebut kata dzikir dan ternyata maksudnya adalah shalat. Salah satunya ayat berikut ini yang memerintahkan umat muslimin untuk mengerjakan shalat Jumat, khususnya ketika maudzdzin telah mengumandangkan adzan Jumat.

فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (QS. Al-Jumuah : 9)

Dan hubungan antara fiqih shalat dan perintah dzikir ada konsiderannya, yaitu kita diperintah shalat untuk mengingat Allah SWT.

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thaha : 14)

Makna penggalan terakhir ayat ini yang juga menjadi penutup adalah ungkapan : sebagaimana Allah telah ajarkan tentang apa-apa yang kamu belum tahu sebelumnya.

Al-Baqarah : 239

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 30-4-2024
Subuh 04:35 | Zhuhur 11:51 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:50 | Isya 19:00 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia