Jilid : 4 Juz : 2 | Al-Baqarah : 245
Al-Baqarah 2 : 245
Mushaf Madinah | hal. 39 | Mushaf Kemenag RI

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Kemenag RI 2019 : Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah) Dia akan melipatgandakan (pembayaran atas pinjaman itu) baginya berkali-kali lipat. Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki). Kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Prof. Quraish Shihab : Barang siapa mau memberi kepada Allah pinjaman yang haik, maka Dia akan melipatgandakan (pembayaran pinjaman itu) kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Allah menyempitkan dan melapangkan (rewki), dan hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan,
Prof. HAMKA : Siapakah dia, yang sudi meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, supaya Dia gandakan untuknya dengan pergandaan yang banyak? Dan Allah menahan-nahan dan meluas-lebarkan (menghamparkan), dan kepada kepada-Nyalah kamu sekalian akan kembali.

Ayat ke-245 ini diperselisihkan para ulama tentang apakah masih terkait dengan ayat sebelumnya atau berdiri sendiri. Mereka yang mengatakan bahwa ayat ini masih terkait dengan ayat sebelumnya menafsirkan bahwa qardhan hasanan itu maksudnya adalah berjihad di jalan Allah.

Sedangkan mereka yang mengatakan berdiri sendiri menafsirkan qardhan hasanan secara harfiyah saja, yaitu menginfaqkan harta di jalan Allah, dan tidak harus dalam konteks peperangan.

Lafazh man dzal-ladzi (مَنْ ذَا الَّذِي) diterjemahkan secara berbeda oleh para ulama. Karena sebagiannya mengatakan huruf man (مَنْ) disitu sebagai istifham atau pertanyaan, sehingga Kemenag RI menerjemahkannya sebagai sebuah pertanyaan, yaitu : “Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah”. Hal yang sama juga dipilih oleh Buya HAMKA ketika menerjemahkannya menjadi : “Siapakah dia, yang sudi meminjami Allah?”.

Sedangkan Prof. Quraish Shihab nampaknya tidak sejalan dengan dua versi terjemahan di atas. Beliau lebih memilih terjemahan yang tidak menjadikan man (مَنْ) sebagai huruf istifham. Terjemaham Beliau adalah : “Barang siapa mau memberi kepada Allah pinjaman yang baik”.

Lafazh yuqridhu (يُقْرِضُ) adalah fi’il mudhari dari (أَقْرَضَ - يُقْرِضُ) yang artinya meminjamkan. Thahir Ibnu Asyur menuliskan bahwa qardh itu adalah :

إسْلافُ المالِ ونَحْوِهِ بِنِيَّةِ إرْجاعِ مِثْلِهِ

Meminjamkan harta dan yang senilai dengan niat mendapatkan pengembalian yang setimpal.

Lafazh qardhan hasanan (قَرْضًا حَسَنًا) disepakat oleh tiga versi tejemahanya menjadi : “pinjaman yang baik”.

Dan bidang ekonomi syariah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendefinisikan qardhul hasan sebagai suatu akad pinjaman atau piutang kepada si peminjam dana, dengan ketentuan si peminjam dana wajib mengembalikan dana tersebut yang sudah diberi kepada lembaga keuangan syariah pada waktu yang sudah disepakat.[1]

Maksudnya pinjaman qardhul hasan ini adalah pinjaman bebas bunga, bernuansa sosial dan bantuan yang tidak membebankan apapun.

Namun demikian para ulama sepakat bahwa tidak masuk akal kalau Allah SWT pinjam uang kepada hamba-Nya, sebab Allah SWT tidak butuh uang. Jelas sekali ini adalah sebuah gaya bahasa perumpamaan yang menjadi ciri khas Al-Quran. Intinya menawarkan siapa yang mau berjihad atau berinfaq, maka Allah SWT akan kasih imbalan yang berlipat ganda.

Namun karena khitabnya diarahkan kepada orang-orang Yahudi yang pintar dagang dan cari uang, terbiasa hidup dengan cara berbisnis, maka sesuai dengan karakteristik mereka yang apa-apa serba hitung-hitungan, jadilah tawaran ini diumpamakan seperti tawaran pembungaan uang.

Maukah kamu meminjamkan uang yang nanti pengembaliannya ditambahi dengan bunga berkali lipat dari modal pinjamannya. Ibaratnya kasih pinjam hanya sejuta rupiah, maka akan dapat sepuluh juga bahkan dua puluh juga dalam waktu singkat. Dengan logika akad riba dan keuntungan seperti ini, bisa kita rasakan bagaimana Allah SWT bisa membangun logika yang mudah dipahami oleh lawan bicaranya.

 

[1] fatwa MUI, dalam persektif hukum dan perundang–undangan, puslitbang keagamaan badan litbang dan diklat, Jakarta 2012 hal 267

Namun uniknya, penggalan ayat ini justru malah menjungkir-balikkan pengertian qardhu;-hasan di atas, ketika Allah SWT malah menjanjikan akan memberi balasan atau imbalan yang berlipat-lipat ganda dari harta yang dipinjamkan semula.

Lafazh fa yudha’ifahu (فَيُضَاعِفَهُ لَهُ) adalah fi’il mudhari yang artinya : melipat-gandakan. Maksudnya ketika ada seorang hamba ‘memberikan hartanya atau jiwanya sebagai hutang kepada Allah’, maka Allah SWT menjanjikan akan membayarkan hutang-Nya itu dengan berlipat ganda.

Lafazh adh’afan katsira (أَضْعَافًا كَثِيرَةً) artinya berlipat-lipat. Bahkan pengembalian hutang dari Allah SWT bukan hanya sebatas 10%, 20%, tapi hinga 100% bahkan berlipat-lipat dari hutang pokoknya.

Tentu saja hutang semacam ini hukumnya diharamkan, kalau terjadi antara manusia dengan manusia. Ini termasuk akad-akad ribawi yang Allah SWT haramkan prakteknya di tengah kaum muslimin.

Namun tentu saja akad ribawi seperti ini tidak dilarang kalau terjadinya antara Allah SWT dengan hamba-hamba-Nya sendiri. Keharaman riba itu kalau sesama manusia, tetapi kalau antara manusia dan Allah SWT, tentu tidak ada hukum riba.

Lafazh yaqbidhu (يَقْبِضُ) artinya menggenggam, sedangkan yabsutu (يَبْسُطُ) artinya mengulurkan. Maksudnya bahwa Allah SWT itu bisa saja menyempitkan rejeki seseorang dan bisa saja melapangkan rezeki seseorang.

Lafazh ilaihi (إِلَيْهِ) artinya : kepada-Nya, yaitu kepada Allah SWT. Sedangkan lafazh turja’un (تُرْجَعُونَ) artinya dikembalikan. Dan kepada Allah kamu semua akan dikembalikan.

Para ulama mengatakan bahwa makna penggalan ini yaitu kamu akan dikembalikan kepada Allah maksudnya adalah kematian, yaitu semua kamu pasti akan mengalami kematian.

Tetapi sebagian ulama yang lain maknanya bukan kematian tetapi bahwa nanti semua manusia akan dikumpulkan di padang Mahsyar.

Al-Baqarah : 245

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 30-4-2024
Subuh 04:35 | Zhuhur 11:51 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:50 | Isya 19:00 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia