Jilid : 4 Juz : 2 | Al-Baqarah : 246
Al-Baqarah 2 : 246
Mushaf Madinah | hal. 40 | Mushaf Kemenag RI

أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوا ۖ قَالُوا وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا ۖ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ

Kemenag RI 2019 : Tidakkah kamu perhatikan para pemuka Bani Israil setelah Musa wafat, (yaitu) ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, “Angkatlah seorang raja untuk kami, niscaya kami berperang di jalan Allah.” Dia menjawab, “Jangan-jangan jika diwajibkan atasmu berperang, kamu tidak akan berperang juga.” Mereka menjawab, “Mengapa kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan sungguh kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami?) Akan tetapi, ketika perang diwajibkan atas mereka, mereka berpaling, kecuali sebagian kecil dari mereka. Allah Maha Mengetahui orang-orang zalim.
Prof. Quraish Shihab : Tidakkah kamu memperhatikan para pemuka dari Bani Israil sesudah Musa, (yaitu) ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah.” Dia (nabi mereka) menjawab: “Apakah sekiranya jika nanti kamu diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang?” Mereka menjawab: “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sungguh kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dijauhkan dari) anak-anak kami?” Maka, ketika perang diwajibkan atas mereka, mereka berpaling, kecuali sedikit di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang zalim.
Prof. HAMKA : Tidakkah engkau perhatikan, dari hal pemuka-pemuka Bani lsrail sesudah Musa? Ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, "Angkatlah untuk kami seorang raja, supaya kami berperang pad a jalan Allah!" Berkata dia, "Apakah tidak akan terjadi kelak, kalau diperintahkan atas kamu berperang, bahwa kamu tidak akan mau berperang?" Mereka menjawab, "Bagaimana kami tidak akan mau berperang pada jalan Allah, padahal kami telah diusir dari kampung halaman kami dan anak-anak kami." Tetapi setelah diperintahkan kepada mereka berperang, berpalinglah mereka kecuali sedikit dari antara mereka. Dan, Allah mengetahui orang-orang yang aniaya.

Ayat ke-246 ini lumayan panjang teksnya sampai 6 baris sendiri di dalam satu halaman mushaf. Keterkaitan dengan ayat sebelumnya sama-sama membicarakan tentang kewajiban berperang dan keengganan Bani Israil untuk berperang.

Penulis berasumsi bahwa kasus keengganan berperang yang diangkat di ayat ini bukan sekedar cerita terkait leluhur Bani Israil di masa lalu, tetapi terkait dengan keengganan Bani Israil di masa turunnya Al-Quran, yaitu di masa kenabian Muhammad SAW.

Asumsinya, Bani Israil atau kelompok Yahudi di Madinah seharusnya ikut berperang bersama Nabi SAW dalam membela agama samawi menghadapi bangsa Arab yang merupakan penyembah berhala.  Hal itu mengingat bahwa Bani Israil di Madinah sebenarnya terikat kesepakatan resmi dalam Piagam Madinah. Intinya, Bani Israil atau pun Nabi SAW harus saling bela bila masing-masing diperangi pihak lain.

Dan ketika Nabi SAW benar-benar terdesak oleh kedatangan seribuan tentara musyrikin Mekkah dalam kesempatan Perang Badar tahun kedua hijriyah, ternyata Bani Israil itu enggan turun tangan membantu Nabi SAW. Maka turunnya ayat ini menjadi punya alasan logis.

Pemahaman semacam ini memang tidak banyak diungkap oleh para mufassir. Kebanyakan kitab tafsir langsung membahas kisah Bani Israil, sehingga terkesan seolah ayat ini tidak ada hubungannya dengan konteks yang terjadi di masa ayat ini diturunkan yaitu di masa kenabian Muhamamd SAW.

Padahal kajian terkait apa dan bagaimana suasana kebatinan Nabi SAW dan para shahabat ketika suatu ayat diturunkan, menurut hemat Penulis justru sangat penting.

Dan ketika ayat ini mengingatkan tentang perilaku Bani Israil yang pernah minta diberikan raja agar bisa berperang di masa lalu dengan semangat gegap gempita, ternyata mereka sendiri yang tidak mau berperang.

Perilaku leluhur mereka ini sengaja diungkap oleh Al-Quran untuk jadi semacam peringatan kepada Yahudi Madinah yang ternyata seperti kata pepatah bahwa buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Rupanya Yahudi itu bangsa yang secara turun temurun takut dan ogah disuruh perang secara fisik.

Lafazh a-lam tara (أَلَمْ تَرَ) secara harfiyah artinya : “tidakkah kamu melihat”. Asalnya dari (رَأَى – يَرَى)  dan bentuk mashdar-nya adalah ru’yah (رُؤْيَة).  Penggalan pembuka ayat ini sama persis dengan ayat ke-243 yang berada pada beberapa ayat sebelumnya (أَلَمْ تَرَ إِلَ الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ).

Dalam hal ini yang jadi mukhatab atau yang diajak bicara adalah Nabi Muhammad SAW. Hanya saja yang agak janggal adalah fakta bahwa Nabi SAW sendiri bukan termasuk Bani Israil, tetapi beliau orang Arab. Sehingga kisah-kisah terkait Bani Israil dengan berbagai macam lika-liku kehidupan mereka di masa lalu, tentu Nabi SAW tidak banyak mengetahuinya.

Berbeda bila yang diajak bicara dari kalangan Bani Israil sendiri, walau mereka tidak menyaksikan secara mata kepala juga, namun pastinya mereka sangat paham dan langsung tersambung dengan kisah-kisah yang melegenda di cerita rakyat mereka. Setiap bangsa pastinya punya cerita yang melegenda di tengah mereka.

Namun begitu secara umum apa yang diceritakan Al-Quran kepada Nabi SAW sudah cukup memberikan gambaran umum kisah itu. Mengingat bahwa Al-Quran memang bukan buku sejarah, sehingga tidak harus mencatat segala fakta sejarah  secara detail.

Ketika Nabi SAW menyampaikan apa yang dikisahkan Al-Quran tentang tragedi yang menimpa leluhur Bani Israil, maka orang-orang Yahudi pun tercengang. Sebab semua yang Nabi SAW ceritakan itu memang benar adanya, bahkan terkadang malah informasi di dalam Al-Quran jauh lebih lengkap dari pada apa yang Bani Israil sendiri ketahui.

Dan tidak keliru juga kalau kita katakan meski mukhathabnya Nabi SAW, tetapi tetap saja Nabi SAW juga akan menyampaikan kepada orang-orang Yahudi di Madinah apa yang Allah SWT katakan di ayat ini. Sehingga orang-orang Yahudi itu menjadi mukhthab juga secara level kedua.

Oleh karena itu makna ru’yah (رُؤْيَة) di ayat ini nampaknya lebih tepat kalau diartikan sebagai perenungan atau pemikiran ketimbang penglihatan secara mata kepala. Sehingga terjemahan yang sifatnya lebih presisi secara bahasa menjadi : “Tidakkah kamu merenungkan”.

Lafazh al-mala' (الملأ) dimaknai secara beragam oleh para ulama. Al-Mawardi memaknainya sebagai jamaah. Namun bisa juga bermakna para tokoh, petinggi, dan sesepuh sebagaimana ungkapan Ath-Thabari yang memaknainya sebagai

وجوه بني إسرائيل وأشرافهم ورؤسائهم

Para tokoh dari Bani Israil dan orang-orang terpandang serta para pemimpin mereka.

Secara bahasa berasal dari sesuatu yang penuh. Seperti firman Allah dalam ayat ini

مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا

Emas sepenuh bumi (QS. Ali Imran : 91)

Atau sebagaimana  lafazh bacaan i'tidal yang terkandung dalam hadits shahih berikut :

كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ

السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ

Rasulullah SAW berdoa dengan lafaz ini : Ya Allah ya Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala puji, sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki sesudah itu.” (HR. Muslim)[1]

Lafazh min bani Israil (بني إسرائيل) maksudnya : “dari kalangan Bani Israil”. Sebagaimana kita tahu bahwa asal muasal disebut Bani Israil pada awalnya karena mereka adalah anak-anak Nabi Ya'qub bin Ishak bin Ibrahim. Nama lainnya adalah Israil. Jadi Bani Israil itu secara bhasa berarti anak-anak Nabi Ya’qub alaihissalam.. Jumlahnya ada 12 orang, termasuk salah satunya Nabi Yusuf alaihissalam

  • Dari istri pertama yang bernama Laya, Nabi Ya'qub mendapat 6 anak laki-laki. Laya adalah sepupu Nabi Ya'qub yang merupakan puteri dari bibinya. Nama mereka adalah : [1] Yahudza, [2] Rubail, [3] Syam'un, [4] Lawi, [5] Bazalun, [6] Yasyjar. 
  • Dari dua orang budak wanita masing-masing bernama Zulfah dan Balhah, ada 4 anak yaitu [7] Daan, [8] Naftali, [9] Jaad, [10] Asyir, 
  • Ketika Laya wafat, Nabi Ya'qub menikahi saudari wanitanya bernama Rahil dan mendapat 2 anak yang bernama [11] Yusuf dan [12] Bunyamin.

Penyebutan Bani Israil adalah penyebutan Al-Quran kepada mereka dalam bentuk penghargaan dan penghormatan. Sebab sudah menjadi kebiasaan di tengah mereka ketika ingin menghormati lawan bicara, maka akan disebut kun-yahnya, baik dengan lafazh abu ataupun ibnu.

Sehingga sapaan wahai Bani Israil itu sapaan penghormatan, karena menyebut mereka dengan nama leluhur yang merupakan seorang nabi. Sebaliknya, bila Al-Quran menyebut mereka dengan panggilan Yahudi, justru itu penyebutan yang kurang terlalu disenangi. Sehingga kesan yang kita dapat berarti Al-Quran sedang menunjukkan kemarahan kepada mereka.

Menurut Quraish Shihab, sudah menjadi ‘urf atau kebiasaan Al-Quran menyebut mereka dengan yahudi biasanya dalam konotasi yang jelek-jelek, sementara ayat ini sedang menyebut mereka dalam konotasi yang positif, sehingga tidak menyebut mereka dengan sebutan : yahudi.

Tentang asal muasal kenapa mereka dinamakan Yahudi ini, ada tiga pandangan yang berbeda, yaitu orang yang bertaubat, diambil dari nama putera pertama Nabi Ya’qub dan :

1. Orang Yang Bertaubat

Ibnu Abbas dan beberapa ulama lainnya mengatakan bahwa kata Yahudi itu berasal dari bahasa Arab, yang berarti kembali yakni bertaubat. Mereka dinamai demikian karena mereka bertaubat dari penyembahan anak sapi, sebagaimana firman Allah SWT :

إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ

Sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. (QS. Al-Araf : 156)

2. Nama Anak Pertama Nabi Ya’qub

Menurut sebagian mufassir, nama Yahudi itu diambil dari nama anak pertama atau kedua dari Nabi Ya’qub alaihissalam yaitu Yahudza (يهوذا).

Dalam bahasa Arab, lafazh yahudza (يهوذا) ini ditulis hanya dengan sedikit sekali perbedaan yaitu meletakkan titik di atas huruf dal. Bahasa Arab sering kali mengubah pengucapan satu kata asing yang diserapnya.

Thahir Ibnu Asyur dalam tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir[2] menuliskan, bahwa penggunaan kata yahudza baru terjadi setelah usai masa kerajaan Sulaiman. Diperkirakan bahwa Nabi Ya’qub dan Nabi Yusuf hidup pada sekitar 1800-1700 SM, sedangkan Nabi Sulaiman hidup pada sekitar 970 SM.

Kerajaan warisan Nabi Sulaiman kemudian akhirnya terpecah menjadi dua kerajaan, yaitu :

  • 1. Rahbaam

Kerajaan yang pertama ini dipimpin oleh anaknya yang bernama Rahba’am bin Sulaiman (رَحْبَعَامَ بْنِ سُلَيْمَانَ), pengikutnya anak keturunan dari Yahudza, anak sulung dan keturunan Bunyamin, anak bungsu.

Namun kerajaan ini lebih dikenal dengan Yahudza karena jumlah mereka lebih besar dan mayoritas. Mereka menampati kota Jurusalem tempat dimana Nabi Sulaiman bertahta dahulu.

  • 2. Yurba’am

Sedangkan kerajaan yang kedua dipimpin oleh Yurba’am bin Binath (يُورْبَعَامُ بْنُ بِنَاطَ), putera Nabi Sulaiman juga, tapi dari istri yang berbeda bahkan wanita itu seorang budak. Pengikutnya anak keturunan dari sepuluh anak Nabi Ya’qub sisanya.

Kerajaan ini menempati kota As-Samirah. Di masa sekarang dikenal sebagai Samaria atau Shomron yang dalam bahasa Arab disebut (السامرة). Samaria adalah sebuah wilayah yang terletak di sebelah utara Yerusalem, di wilayah yang sekarang disebut Tepi Barat, dan nama ini juga digunakan dalam konteks sejarah dan budaya Arab.

Namun kerajaan yang kedua ini runtuh dengan berbagai sebab, yang tinggal adalah kerajaan Yahudza hingga sekian tahun lamanya. Sejak itulah kerajaan atau bangsa mereka disebut dengan Yahudza dan kata itu diserap dalam bahasa Arab menjadi yahudi.

3. Menggerakkan

Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatihul ghaib[3] menuliskan bahwa Abu Amr Al-‘Ala mengatakan kata yahudi itu berasal dari bahasa Arab yaitu yatahawwadu (يَتَهَوَّدُ) yang maknanya menggerak-gerakkan. Maksudnya ketika mereka membaca Taurat atau beribadah, mereka menggerak-gerakkan kepala mereka.

Namun yang dimaksud dengan Bani Israil dalam ayat ini bukan mereka sebagai 12 anak Nabi Ya'qub, tetapi anak cucu keturunan mereka ratusan tahun kemudian, yaitu menjelang diutusnya Nabi Daud alaihissalam.

 

[1] Muslim (w. 261 H), Shahih Muslim, (Turki, Daru Ath-Thiba’ah Al-‘Amirah, 1334 H), jilid 1 hal. 346

[2] Thahir Ibnu Asyur (w. 1393 H), At-Tahrir wa At-Tanwir (Tunis, Darut-Tunisiyah li An-Nasyr, Cet-1, 1984), jilid 1 hal. 532

[3] Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), Mafatih Al-Ghaib, (Beirut, Daru Ihya’ At-Turats Al-Arabi, Cet. 3, 1420 H), jilid 3 hal. 536

Lafazh mim ba'di musa (مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ) artinya masanya setelah Nabi Musa alaihissalam. Para ahli berbeda-beda dalam memperkirakan masa kehidupan nabi Musa. Salah satunya diperkirakan antara tahun 1527-1407 SM.

Sedangkan Bani Israil yang paling awal yaitu dua belas orang anak-anak Nabi Ya’qub alaihissalam masanya lebih awal lagi. Salah satu anaknya adalah Nabi Yusuf alaihissalam. Beliau diperkirakan hidup antara tahun 1745-1635 SM.

Jadi terdapat selisih waktu sekitar 200-an tahun antara masa kehidupan nabi Yusuf dan nabi Musa. Lantas masa kapankah kejadian yang dimaksud ini?

Ternyata tidak ada keterangan yang pasti, kecuali hanya disebutkan bahwa mereka bertanya kepada nabi mereka saat itu. Tinggal kita periksa nanti siapakah nabi yang mereka maksud.

Lafazh idz qaalu (إِذْ قَالُوا) artinya ketika mereka berkata. Lafazh li-nabiyyin lahum (لِنَبِيٍّ لَهُمُ) artinya : kepada nabi untuk mereka.  Namun siapakah nabi mereka yang dimaksud, ternyata para ahli tafsir punya pandangan berbeda-beda satu sama lain.

Yang paling masyhur dan paling banyak disebut-sebut adalah Nabi Shamuel, hanya saja ejaannya berbeda antara bahasa Arab dan Bahasa Ibrani. Kalau dalam huruf Arab tertulis (شَمْوِيلُ) dengan huruf syin (ش), sedangkan dalam huruf Ibrani tertulisnya (صَمْوِيلُ) dengan huruf shad (ص). Tapi ada juga kitab tafsir yang menuliskannya dengan huruf sin (س) menjadi (سمويل).

Ibnu Jarir At-Thabari menuliskan bahwa Nabi Samuel ini masih keturunan dari salah satu dari 12 anak-anak Nabi Ya’qub, yaitu dari jalur Lawi bin Ya’qub bin Ishak bin Ibrahim. Lengkapnya sebagai berikut :

Samuel bin Bali bin Alqamah, bin Yarham, bin Ilaihu, bin Tahwu, bin Shauf, bin Alqamah, bin Amusha, bin Azriya, bin Shanifah, bin Alqamah, bin Abu Yasif, bin Qarun, bin Yashar, bin Qahits, bin Lawi bin Ya’qub, bin Ishak, bin Ibrahim.[1]

Versi lainnya bahwa nabi yang dimaksud adalah Nabi Yusya’ bin Nun bin Afratsim, bin Yusuf, bin Ya’qub bin Ishak bin Ibrahim alaihimussalam. Ini adalah pendapat Qatadah sebagaimana dikutip oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari serta Al-Mawardi dalam An-Nukat wa Al-Uyun[2].

Namun versi yang kedua ini kurang disetujui oleh Ibnu Katsir. Sebab Yusya’ bin Nun itu adalah pemuda yang jadi asistennya Nabi Musa. Artinya dia hidup di masa kenabian Musa.

Padahal peristiwa ini mendekati masanya Nabi Daud alaihissalam. Sebab nantinya nabi tersebut akan menyebutkan nama raja yang akan memimpin perang, lalu salah satu dari prajuritnya yang masih kecil saat itu adalah Nabi Daud alaihissalam.

Nabi Daud sendiri dalam catatan para sejarawan diperkirakan hidup di sekitaran tahun 1040-970 SM. Pemerintahannya atas Kerajaan Yehuda di Hebron diperkirakan antara tahun 1010-1002 SM dan pemerintahannya atas seluruh Israil diperkirakan antara tahun 1002-970 SM.

Sehingga jaraknya tidak kurang dari 500-an tahun antara masa kehidupan Nabi Musa dan Nabi Daud alaihimassalam.

 

[1] Ibnu Jarir Ath-Thabari (w 310 H), Jami Al-Bayan fi Ta’wil Al-Quran, (Beirut, Muassasatu Ar-Risalah, Cet. 1, 1420 H - 2000M), jilid 4 hal. 435

[2] Al-Mawardi (w. 450 H), An-Nukat wa Al-‘Uyun, (Beirut, Darul-kutub Al-Ilmiyah, Cet. 1), jilid 1 hal. 113        

Lafazh ib’ats (ابْعَثْ) adalah fi’il amr dari asalnya (بَعَثَ – يُبْعِثُ - إِبْعَاثًا) yang artinya : utuslah. Kata lana (لَنَا) artinya kepada kami. Lafazh malikan (مَلِكًا) artinya raja, beda sedikit dengan malaikat yang dalam bahasa Arabnya disebut malak (مَلَكْ).

Sedangkan lafazh nuqatil (نُقَاتِلْ) artinya : kami berperang, atau lebih tepatnya bertempur. Sedangkan kata fi sabilillah (فِي سَبِيلِ اللَّهِ) artinya di jalan Allah. Dari penggalan ini ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan antara lain :

Pertama : Bani Israil Ditindas

 Bani Israil tidak punya raja dan kerajaan yang dapat melindungi mereka dari ancaman bangsa lain. Sepanjang sejarah nasib mereka banyak ditindas dimana-mana. Dan penindasan yang mereka alami memang banyak tercatat dalam buku-buku sejarah.

Yang paling awal bahwa mereka selama tidak kurang dari 500-an tahun sudah ditindas dan menjadi budak di Mesir. Terhitung sejak zaman Nabi Yusuf di tahun 1745-1635 sebelum masehi ketika mereka mengungsi ke Mesir karena paceklik.

Tentang paceklik ini Al-Quran juga sedikit menyinggung, bahkan tidak hanya terjadi di negeri mereka bahkan juga di negeri Mesir. 

ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّا تُحْصِنُونَ

 Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.

Hanya saja Mesir saat itu sudah bisa mengantisipasi dengan melakukan penghematan atas saran dari Nabi Yusuf alaihissalam. Sehingga saudara-saudara Yusuf pun berdatangan ke Mesir, sampai akhirnya mereka semua yaitu Bani Israil pindah ke Mesir.

Sayangnya kehidupan mereka di Mesir hanya awalnya saja yang baik, pada masa berikutnya mereka malah hidup di bawah penindasan bangsa Mesir. Selama beberapa generasi di bawah pemerintahan Firaun, mereka dipaksa untuk bekerja keras dan hidup dalam perbudakan.

Sampai datangnya masa nabi Musa alaihissalam yang berhasil membebaskan mereka dari penindasan Firaun lewat eksodus menyeberang laut Merah. Kejadiannya diperkirakan pada tahun-tahun sekitar 1527-1407 sebelum masehi.

Lepas dari kejaran Firaun menyeberang ke gurun Sinai mereka tidak lantas sampai ke negeri leluhur, sebab tanah yang konon dijanjikan yaitu  tanah Kana’an pun sudah ada penguasanya yang juga siap menindas mereka.

Inilah yang namanya maju kena mundur kena. Lepas dari mulut buaya masuk ke mulut macan. Sehingga mereka hidup terlunta-lunta selama 40 tahun di gurun Sinai. Dan keadaan seperti itu dicatat dalam firman Allah SWT berikut ini :

قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ ۛ أَرْبَعِينَ سَنَةً ۛ يَتِيهُونَ فِي الْأَرْضِ ۚ فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ

Allah berfirman: "(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu". (QS. Al-Maidah : 26)

Disebutkan bahwa di tanah Kan’an itu ada kaum jabbarin yaitu kaum yang menindas mereka.

قَالُوا يَا مُوسَىٰ إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّىٰ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ

Mereka berkata: "Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. Jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya". (QS. Al-Maidah : 22)

Dalam cerita Bani Israil, disebutkan beberapa suku kuat atau bangsa yang dihadapi oleh Bani Israil saat mereka berkelana di padang gurun dan setelah mereka memasuki Tanah Kanaan. Beberapa contoh bangsa yang kuat ini termasuk:

1.     Orang Kanaan: Orang Kanaan adalah salah satu musuh utama Bani Israil di Tanah Kanaan. Bani Israil diperintahkan untuk menaklukkan tanah ini dan bersaing dengan orang Kanaan untuk menguasainya.

2.     Palestina: Orang Palestina adalah kelompok bangsa yang tinggal di daerah Palestina dan memiliki dampak besar pada sejarah Bani Israil. Bani Israil menghadapi tantangan besar dari orang Palestina, terutama selama zaman Hakim-hakim.

3.     Orang Amalek: Kitab Suci menyebutkan keberadaan orang Amalek, yang merupakan suku yang kuat dan besar, selama masa perjalanan Nabi Musa di padang gurun. Ketika Bani Israil memasuki Tanah Kanaan, mereka dihadapkan dengan kendala besar yang diwakili oleh orang Amalek.

4.     Orang Amori: Orang Amori adalah salah satu suku yang tinggal di Tanah Kanaan, dan mereka dihadapi oleh Bani Israil di berbagai wilayah. Mereka digambarkan dalam Kitab Suci sebagai bangsa yang kuat.

Ini adalah beberapa contoh suku kuat yang dihadapi oleh Bani Israil dalam cerita dan sejarah mereka, sebagaimana tercantum dalam Kitab Suci.

Kedua : Bani Israil Butuh Raja Untuk Bisa Perang

Untuk bisa menjaga dan melindungi diri mereka, maka tidak ada jalan lain mereka harus bisa membangun sendiri pasukan perang yang diawali dengan bersatunya Bani Israil di bawah pimpinan seorang raja yang ditaati oleh seluruh Bani Israil. Hanya dengan cara itu saja seluruh Bani Israil bisa bersatu untuk menyusun kekuatan.

Yang menarik diamati bahwa meski mereka punya nabi yang merupakan utusan Allah SWT, namun mereka tetap butuh sosok seorang raja untuk bisa memimpin perang.

Entah bagaimana, boleh jadi bagi mereka sosok seorang nabi itu tidak cocok untuk jadi pemimpin perang. Atau mungkin saja Nabi Samuel sudah tua renta dan tidak mungkin memimpin perang. Padahal untuk bisa memimpin perang harus seorang raja yang masih muda.

Dan masih ada banyak lagi spekulasi lain yang bisa dikembangkan. Namun intinya bahwa mereka mengandalkan sosok pemimpin agar bisa membawa mereka kepada kemenangan.

Lafazh qaala (قَالَ) adalah fi’il madhi dari (قَلَ – يَقُول ) artinya berkata. Sebenarnya maksudnya menjawab, yaitu Nabi Samuel menjawab permintaan kaumya.

Kata hal (هَلْ) artinya : apakah, sedangkan kata ‘asaitum (عَسَيْتُمْ) artinya : kalian akan. Sedangkan kata in (إِنْ) artinya : apabila. Lafazh kutiba ‘alaikum (كُتِبَ عَلَيْكُمُ) artinya diwajibkan atas kamu. Selanjutnya makna al-qital (الْقِتَالُ) adalah pertempuran.

Penggalan ini mengisahkan Nabi Samuel yang diminta oleh Bani Israil kaumnya sendiri agar bisa memohonkan kepada Allah agar mereka diberikan seorang raja.  Belilau  menjawab permintaan mereka, yaitu apakah kalau sudah diwajibkan perang nantinya oleh sang raja, mereka mau berperang?

Lafazh an-la tuqatilu (أَلَّا تُقَاتِلُوا) artinya : bahwa kamu tidak mau turun bertempur langsung.

Penggalan yang merupakan jawaban dari Nabi Samuel ini nampaknya bisa kita pahami bahwa menurut analisisnya, kelemahan Bani Israil bukan karena tidak punya pemimpin, tetapi justru karena keengganan mereka untuk turun langsung ke medan pertempuran.

Makanya yang dipertanyakan itu langsung mengena tepat di bagian jantung mereka, yaitu apakah kalian yakin kalau nanti sudah punya raja sendiri, maka kalian mau turun bertempur langsung?

Pertanyaan ini seolah membeberkan aib Bani Israil selama ini, yaitu banyak dari mereka yang tidak punya semangat berjuang, bahkan meski demi untuk kejayaan mereka sendiri.

Lafazh qaaluu (قَالُوا) artinya mereka berkata, maksudnya bahwa Bani Israil menjawab tantangan Nabi Samuel yang seperti meragukan semangat mental perang Bani Israil.

Lafazh wa-ma lana an-la nuqatila (وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ) artinya : “mengapa kami tidak berperang?”. Atau kalau pakai ungkapan Buya HAMKA menjadi :  “Bagaimana kami tidak akan mau berperang”.

Dalam hal ini Bani Israil merasa punya motiv yang kuat untuk melakukan perang, yaitu karena mereka diusir dari rumah mereka dan anak-anak mereka (وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا).

Lafazh falamma (فَلَمَّا) artinya : “dan tatkala”, sedangkan lafazh kutiba alaihimul qital (كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ) artinya :  “diwajibkan kepada kalian untuk berperang”, maka mereka pun benar-benar berpaling (تَوَلَّوْا) dalam arti meninggalkan medan peperangan alias desersi.

Lafazh illa qalilan minhum  (إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ) artinya kecuali hanya sebagian kecil saja yang tidak lari dari medan perang.

Apa yang dikhawatirkan oleh nabi mereka bahwa mereka tidak mau berperang setelah diwajibkan, benar-benar terjadi. Entah karena mata batin nabi itu yang tajam, atau karena beliau memang benar-benar sudah paham karakteristik kaumnya, namun yang pasti tebakannya 100% tepat mengenai sasaran.

Hukum Lari Dari Peperangan

Ada dua ayat Al-Quran yang sekilas saling bertentangan terkait dengan lari menyelamatkan diri. Ayat pertama melarang untuk lari dari peperangan, sedangkan ayat kedua justru memerintahkan untuk menyelematkan diri dari serangan.

Ayat pertama adalah ayat berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ زَحْفاً فَلاَ تُوَلُّوهُمُ الأَدْبَارَ وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفاً لِّقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزاً إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاء بِغَضَبٍ مِّنَ اللّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya. (QS. Al-Anfal: 15-16)

Jelas sekali ayat ini memang melarang kita bila telah bertemu musuh secara berhadap-hadapan untuk lari menyelamatkan diri dari medan perang. Bahkan ayat ini juga mengancampelakunya denganmurka dari Allah serta dimasukkan ke dalam neraka jahannam.

Sedangkan ayat kedua, justru mewajibkan kita untuk pergi menyingkir dari serangan lawan, kalau tidak melakukannya juga masuk neraka.

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" Mereka menjawab, "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri." Para malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS An-Nisa’: 97)

Allah SWT mengharamkan umat Islam berdiam diri di negerinya apabila diserang oleh orang-orang kafir. Allah mewajibkan mereka untuk berhijrah sambil menegaskan bahwa bumi Allah itu luas. Mereka yang diam saja di negeri itu dan tidak menyelamatkan diri dengan berhijrah, akan di tempatkan di dalam neraka jahannam.

Lalu bagaimana kita memahami kedua ayat yang sepintas saling bertentangan?

Para ulama kemudian mencermati masing-masing ayat dan menemukan thariqatul jam’i (metode penggabungan) antara keduanya. Sehingga kedua ayat ini tidak saling bertentangan, karena masing-masing berlaku pada konteksnya sendiri-sendiri.

Kita mulai dari asbabun nuzul masing-masing ayat, yang ternyata sangat menjelaskan kedudukannya. Ayat pertama, terkait dengan perang Badar, di mana saat itu pasukan muslimin sudah dipersiapkan sejak jauh hari. Yang ikut dalam perang ini bukanlah semua penduduk kota Madinah, tetapi hanya sekitar 313 orang saja.

Meski tidak terlalu sempurna, namun sejak awal mereka sudah dilatih dan dipersiapkan untuk menghadapi pertempuran. Kalau kita bandingkan dengan zaman sekarang, kira-kira mereka adalah pasukan militer, atau paling tidak pasukan milisi yang direkrut dari penduduk sipil, di mana sebelumnya mereka sudah dilatih dan dipersiapkan untuk berperang.

Pasukan ini semula berharap untuk bisa mencegat rombongan kafilah dagang milik kafir Quraisy, yang tentu saja terlalu lemah. Tapi ternyata Abu Sufyan berhasil meminta bantuan tentara dari Makkah sebanyak 1.000 orang dengan senjata, kendaraan, makanan dan bekal yang lengkap. Mau tidak mau pasukan muslimin yang cuma 313 orang dengan perbekalan dan senjata seadanya, harus berhadapan dengan lawan di medan perang.

Dalam konteks inilah turun ayat di atas, yang intinya melarang pasukan untuk lari menyelamatkan diri dari medan tempur sesungguhnya.

Sedangkan sababun nuzul ayat kedua, bukan dalam konteks saling berhadapannya kedua pasukan di medan perang, melainkan penduduk sipil yang tiap hari mendapatkan tekanan, serangan dan teror dari penguasa negeri itu. Mereka adalah para shahabat nabi yang tinggal di Makkah. Para penguasa Quraisy menindas mereka, bahkan membunuh banyak orang dari mereka.

Maka pada setelah Bai’at Aqbah I dan II, Allah SWT mewajibkan hijrah kepada mereka, untuk menyelamatkan diri dari semua tekanan orang kafir Makkah. Bukan sekedar dianjurkan atau boleh diikuti oleh para sukarelawan, tetap merupakan instruksi massal kepada semua umat Islam.

Mereka diwajibkan untuk pergi meninggalkan kota Makkah menuju ke kota Yatsrib yang kemudian diganti namanya menjadi Madinah. Hukumnya wajib atas semua umat Islam, sedangkan yang tidak mau pergi digolongkan sebagai orang yang berdosa, bahkan diancam dengan neraka jahannam.

Penerapan Kedua Ayat

Maka ketika kita membaca masing-masing ayat ini, kita harus melihat kepada konteksnya, dengan bahan informasi dari sebab turunnya ayat.

Kalau kasusnya adalah saling berhadapannya dua pasukan, yang satu pasukan muslim sedangkan yang kedua pasukan kafir, haram hukumnya mundur ke belakang untuk lari menyelamatkan diri dan meninggalkan gelanggang perang. Kecuali sekedar untuk taktik atau bergabung dengan pasukan muslim lainnya. Sebagaimana tertera pada ayat di atas.

Tapi kalau kasusnya adalah serbuan penguasa zalim atas suatu desa, kota atau negeri muslim, di manamereka hanya penduduk sipil yang tidak mampu melawan, kecuali hanya menyelamatkan diri ke luar wilayah serangan, maka hukumnya adalah wajib untuk menyelamatkan diri. Bertahan di tengah hujan bom tanpa perlawanan berarti justru tidak boleh. Sebab tidak akan memberikan nilai apa-apa kecuali kerugian harta dan jiwa.

Perkara melarikan diri dari pertempuran bagi kaum muslimin juga diharamkan, sebagaimana tertuang di dalam ayat berikut ini :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). (QS. Al-Anfal : 15)

Selain itu melarikan diri dari peperangan juga termasuk tujuh di antara dosa besar berdasarkan hadits shahih berikut ini :

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَات . . . وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ

Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan … berpaling dari perang yang berkecamuk. (HR. Bukhari Muslim)

Lafazh ‘aliim (عَلِيمٌ) asalnya dari ilmu. Orang yang berilmu disebut ‘aalim (عَالِم). Namun kalau kita ingin menyebut orang yang sangat luas dan dalam ilmunya, maka sebutannya adalah ‘aliim (عَلِيْم).  Dan untuk Allah SWT, kita biasa menyebutnya dengan ungkapan : “Maha mengetahui.”

Sedangkan  zhalimin (ظَالِمِينَ) maknanya : “Orang-orang yang melakukan kezhaliman” . Kata dasar dari zhalim ini adalah zhulmun (ظُلْمٌ) yang artinya kegelapan sebagaimana firman Allah SWT (اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ). Namun secara hakikinya, zhulm itu menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Allah SWT Maha mengetahui bahwa orang-orang yahudi itu banyak sekali melakukan berbagai jenis kezhaliman. Ayat-ayat Al-Quran yang turun kepada Nabi Muhammad SAW cukup banyak bercerita tentang berbagai bentuk kezaliman mereka. Ibaratnya kartu mati orang-orang Yahudi sudah ada di tangan Nabi Muhammad SAW.

Penggalan ini menjadi bagian penutup ayat ke-246. Titik tekannya bahwa Allah SWT itu Maha Mengetahui. Secara lebih khusus Allah SWT mengenal sifat dan karakter mereka, yaitu mereka sebagai orang-orang yang zhalim.

Al-Baqarah : 246

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 30-4-2024
Subuh 04:35 | Zhuhur 11:51 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:50 | Isya 19:00 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia