Jilid : 1 Juz : 1 | Al-Baqarah : 3
Al-Baqarah 2 : 3
Mushaf Madinah | hal. 2 | Mushaf Kemenag RI

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Kemenag RI 2019 : (yaitu) orang­-orang yang beriman kepada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Prof. Quraish Shihab : (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang melaksanakan shalat secara berkesinambungan dan yang menafkahkan sebagian (rezeki) yang Kami anugerahkan kepada mereka,
Prof. HAMKA : Mereka yang percaya pada yang gaib, dan mereka yang mendirikan shalat, dan dari apa yang Kami, anugerahkan kepada mereka, mereka dermakan.

Lafazh yu'minu (يؤمن) maknanya membenarkan atau percaya akan keberadaannya. Dalam bahasa Arabnya adalah yushaddiqu (يُصَدّق).

Kata yu'minu yang bermakna membenarkan dan bukan dalam makna iman kepada Allah SWT juga disebut dalam beberapa ayat Al-Quran, di antaranya dalam ungkapan anak-anak Nabi Ya'qub alaihissalam berikut ini:

وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ

Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar". (QS. Yusuf : 17)

Ayat ini adalah petikan dialog antara Nabi Ya'qub dengan anak-anaknya, yang pada saat itu sedang berkilah dan beralibi tentang diterkamnya saudara mereka, Nabi Yusuf alahissalam.

Sejak awal mereka bilang bahwa sang Ayah pasti tidak akan percaya penjelasan mereka. Istilah 'tidak percaya' disini tentu bermakna tidak menerima alasan, dan bukan tidak beriman kepada Allah.

Ada begitu banyak penafsiran tentang lafadz al-ghaib. Di antaranya adalah

  • Allah SWT itu sendiri
  • Qadha dan qadar yang ditetapkan oleh Allah SWT.
  • Risalah yang datang dari Allah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas.
  • Al-Quran : Sufyan Ats-Tsauri mengatakan bahwa keempat ayat ini sebenarnya turun untuk ahli kitab yang masuk Islam. Dan hal yang ghaib maksudnya adalah Al-Quran itu sendiri yang sudah diberitakan dalam kitab suci mereka, namun belum ada di masa mereka penampakannya.
  • Hari Kiamat : Qatadah mengatakan hari kiamat, azab kubur, hari pengerahan, shirat, mizan, surga dan neraka.
  • Kehidupan Setelah Kematian : Rabi’ bin Anas

Ibnu Athiyah berkomentar bahwa semua penjelasan di atas sama sekali tidak saling bertentangan. Sebab semua sama-sama ghaib dan selama ini tidak dikenal atau tidak diyakini oleh orang-orang musyrikin Mekkah. [1]

Fathul Qadir 1/40

Lafazh shalat secara bahasa bermakna doa, sebagaimana firman Allah SWT di dalam ayat berikut :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.(QS. At-Taubah : 103)

Namun umumnya para ulama sepakat bahwa yang dimaksud shalat dalam ayat ini adalah ibadah ritual lima waktu, yaitu Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Shubuh. Hal itu mengingat bahwa ayat ini turun di Madinah, setelah terjadi peristiwa Mi’raj yang pada intinya mewajibkan shalat lima waktu.

Allah SWT dalam ayat menggunakan lafazh yuqimuna yang secara umum dimaknai bukan sekedar mengerjakan shalat tapi shalat dengan segala hal penunjangnya. Ibnu Abbas memaknai iqamatush-shalah adalah mengerjakan shalat-shalat dengan segala fardhu-fardhunya.

Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas maksudnya adalah melengkapi shalat dengan ruku’, sujud, membaca Al-Quran, khusyu’ dan lainnya.[1] Kalau dikaitkan dengan proses pensyariatan, pendapat ini ada benarnya, karena sebelumnya shalat itu belum dilengkapi jumlah rakaat yang cukup. Awalnya shalat belum lima waktu, bahkan ketika terjadi mi’raj dan diperintahkan lima waktu, ternyata jumlah rakaatnya masih dua-dua rakaat. Dan awalnya shalat masih sambil berbicara tidak khusyu’, sampai kemudian disempurnakan. Maka perintah iqamatushshalah menjadi logis kalau dimaknai dengan shalat yang sudah disempurnakan syariatnya.

Qatadah dan Muqatil bin Hayyan menambahkan bahwa iqamatus-shalat itu dilengkapi dengan menyempurnakan wudhu’ sebelumnya. [2]

 

[1] Ibnu Katsir, 1/168

[2] Ibnu Katsir, 1/168

1. Makna Yunfiqun

Ayat ini adalah ayat yang diperlukan untuk menyediakan sebagian besar harta. Namun para ahli tafsir berbeda tentang maksud dengan makna yunfiqun di ayat ini.

Sebuah. Zakat

Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksudnya adalah zakat. Alasannya karena siyaqnya terkait dengan perintah shalat.

b. Nafkah Kepada Istri

Namun sebagian besar seperti Ath-Thabari, As-Suyuthi, Asy-Syaukani dan kutipan ayat ini tidak sesuai dengan perintah berzakat. Alasannya karena pada saat itu zakat memang belum disyariatkan. Maka yunfiqu dalam ayat adalah nafaqah atau meminta suami. [1]

Unduh sekarang untuk melihat lebih banyak

Sebaik-baik dinar yang diinfaqkan oleh seseorang adalah dinar yang dibuat nafkah bagi keluarga. Kemudian dinar untuk kendaraannya fi sabilillah. Kemudian dinar yang diinfaqkan kepada sahahabtnya di jalan Allah.

Dan jika dibandingkan antara zakat dengan nafkah, sebaliknya yang lebih utama dan prioritas bukan zakat tetapi sebaliknya nafkah. Alasannya karena zakat hanya mendukung manakala sesorang yang memiliki harta yang melebihi nishabnya. Sementara nafkah untuk melanjutkan, tetap wajib hukumnya baik hartanya lebih dari nishab atau pun kurang dari nishab.

Dan memang nash ayat ini juga tidak menggunakan kata zakat, menggunakan kata yunfiqun yang punya kata dasar infaq atau nafaqah.

 

 

 

[1] Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami 'Al-Bayan, 1/244

Al-Baqarah : 3

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 19-4-2024
Subuh 04:37 | Zhuhur 11:53 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:54 | Isya 19:02 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia