Kemenag RI 2019 : Setelah itu, hatimu menjadi keras sehingga ia (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras. Padahal, dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya) memancar. Ada pula yang terbelah, lalu keluarlah mata air darinya, dan ada lagi yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Allah tidaklah lengah terhadap apa yang kamu kerjakan. Prof. Quraish Shihab : Kemudian, setelah itu hati kamu menjadi keras sehingga ia (hati kamu) seperti batu, bahkan lebih keras (lagi). Padahal, sesungguhnya di antara batu-batu (itu) benar-benar ada yang mengalir sungai-sungai darinya dan sesungguhnya di antaranya benar-benar ada yang terbelah lalu keluarlah (mau) air darinya dan sesungguhnya di antaranya benar-benar ada (batu) yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Prof. HAMKA : Kemudian, telah kesat hati kamu sesudah ltu, maka adalah dia laksana batu atau lebih keras. Dan sesungguhnya, dari batu kadang-kadang terpancarlah darinya sungai-sungai, dan sesungguhnya setengah darinya ada yang belah, maka keluarlah air dari dalamnya. Dan sesungguhnya dari setengahnya pula ada yang runtuh dari takutnya kepada Allah. Dan tidaklah Allah lengah dari apa yang kamu perbuat.
Salah satu keunikan kisah-kisah leluhur Bani Israil adalah naik turunnya mereka dalam urusan iman dan kufur. Setelah kepada kita disuguhkan kisah dramatis penyembelihan sapi, yang berakhir dengan ending yang baik, yaitu mereka akhirnya bisa melaksanakan perintah penyembelihan, ternyata satu ayat berikutnya kita langsung dihadapkan kepada kisah yang mengecewakan dari mereka. Ayat ke-74 ini kemudian menggambarkan bahwa Bani Israil kemudian kembali membatu hatinya.
(ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ)
Lafazh tsumma (ثُمَّ) bermakna : kemudian. Lafazh ini menghubungkan antara yang sebelumnya dan sesudahnya. Maksudnya setelah sukses berhasil menjalankan perintah Allah SWT untuk menyembelih sapi, lalu terkuak lah misteri pembunuhan, kemudian kepada kita disodorkan fakta yang tidak enak yaitu membatunya hati mereka setelah kejadian ini dalam arti mereka kembali lagi banyak mengingkari agama Allah SWT.
Lafazh qasat (قَسَتْ) bermakna menjadi keras. Keras disini adalah sebuah perumpamaan atau metafora untuk menggambarkan hati yang kaku dan tidak mau berubah menjadi beriman dan tetap dalam kekafirannya.
Lafazh qulubu-kum terdiri dari dua kata yaitu (قُلُوبُ) dan dhamirkum (كُمْ) yang berarti : kamu. Kata qulub (قُلُوب) secara bahasa sebenarnya bukan berarti hati tetapi jantung. Sebagaimana dalam bahasa Inggris, heart itu jantung dan bukan hati. Dari gambarnya pun itu gambar jantung dan bukan gambar hati. Namun ‘urf bahasa Indonesia, qalb dalam bahasa Arab ataupun heart dalam bahasa Inggris tidak diterjemahkan menjadi jantung tetapi hati. Mungkin dulu awalnya disebut ‘jantung hati’, namun kelamaan hanya hati saja.
Hati yang dimaksud tentu saja bukan hati secara biologis, karena kalau secara biologis hati (liver) atau jantung (heart) bukan tempatnya iman. Sementara setiap kali Al-Quran menyebut hati atau jantung, tentu saja maksudnya adalah jati diri ataupun jiwa seseorang, yang bisa beriman dan tidak beriman.
Yang menarik adalah dhamir kum (كُمْ) yang secaraa bahasa berarti kamu. Timbul pertanyaa menggelitik, siapakah yang dimaksud dengan kamu disini? Secara baku Al-Quran ini turun kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga pada dasarnya kalau Allah SWT menyebut : kamu, maka yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW. Tetapi yang disebut kamu tidak selalu Nabi Muhammad, tetapi bisa saja orang lain. Hal itu karena beberapa ayat Al-Quran ada yang diawali dengan panggilan kepada kalangan tertentu, misalnya Al-Quran menyatapa orang kafir maka disebutlah (يآأيها الكافرون). Kadang Al-Quran menyapa Bani Israil, maka mereka pun disapa dengan lafazh (يآبني إشراءيل).
Dalam ayat ini nampak jelas bahwa yang disapa adalah Bani Israil yang hidup bersama Nabi Muhammad SAW, karena mereka menyaksikan bagaimana Al-Quran diturunkan. Al-Fakru Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib menegaskan bahwa yang lebih layak disebut sebagai mereka yang menjadi keras hatinya adalah orang-orang Yahudi di masa kenabian Muhammad SAW.
Namun Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li-Ahkamil Quran meriwayatkan bahwa pendapat yang berbeda tentang siapakah yang dimaksud. Abu Al-‘Aliyah dan Qatadah mereka itu adalah seluruh Bani Israil. Sedangkan menurut Ibnu Abbas radhiyallahuanhu yang menjadi keras hatinya itu bukan seluruh Bani Israil, tetapi mereka sebatas ahli waris dan keturunan korban pembunuhan. Rupanya ketika mayat korban itu hidup lagi dan menyebutkan siapa yang membunuhnya, yang ternyata adalah keponakannya sendiri, maka mereka pun tidak menerima kesaksiannya dan berkata bahwa mayat yang hidup lagi itu telah berdusta.
Lafazh min ba’di dzalika (مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ) artinya setelah itu, maksudnya beberapa tahun setelah peristiwa dimana Allah SWT menampakkan mukjizatnya dengan menghidupkan orang mati.
Atau kalau menurut pendapat Al-Fakhru Ar-Razi, yang dimaksud setelah itu adalah setelah ratusan atau ribuan tahun kemudian, yaitu orang-orang Yahudi yang hidup di masa kenabian Muhammad SAW.
فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ
Untuk menggambarkan betapa kerasnya hati Bani Israil, Allah SWT mengumpamakannya dengan kerasnya batu. Dalam tafsir As-Sa’di[1], tafsir Kemenang[2] dan tafsir Al-Mishbah[3] disebutkan bahwa diumpamakan dengan batu dan bukan dengan besi, karena meski besi itu keras, namun besi bisa leleh kalau dipanaskan. Sedangkan batu digambarkan keras dan kalau dipukul bisa pecah.
Sebenarnya secara fisika, baik besi atau pun batu sama-sama kerasnya dan sama-sama bisa melebur juga, tergantung jenis batu dan besinya. Hanya saja tujuan besi dilebur itu justru untuk bisa dicetak menjadi bentuk tertentu, seperti pedang, tameng, pisau, serta berbagai macam perkakas yang kita butuhkan.
Sedangkan batu pada suhu tertentu bisa juga melebur, hanya saja batu pada umumnya tidak bisa dibentuk sesuai dengan keinginan. Hanya ada beberapa jenis batu yang dapat dilebur dan dibentuk dengan menggunakan suhu tinggi, seperti batu vulkanik dan obsidian. Batu-batu ini dapat dilebur pada suhu yang lebih rendah dari suhu yang dibutuhkan untuk logam, sehingga memungkinkan untuk dibentuk dengan menggunakan alat-alat yang tepat.
Oleh karena itu mengumpamakan kerasnya hati Bani Israil dengan batu memang sudah tepat, karena umumnya batu itu tidak bisa dibentuk sesuai keinginan kita. Berbeda dengan besi yang meskipun keras, namun dengan dilebur masih bisa dibentuk sesuai selera.
Saking kerasnya hati mereka, Al-Quran bahkan menggambarkan hati mereka lebih keras dari batu. Pertanyaannya, benda apakah yang kerasnya melebihi batu? Jawabnya secara awam mudah, yaitu berlian atau diamond.
Meskipun berasal dari bahan dasar yang sama dengan batuan yaitu karbon, berlian bukanlah jenis batuan. Berlian lebih tepat diklasifikasikan sebagai mineral yang terbentuk secara alami dan digunakan dalam berbagai bidang seperti industri, perhiasan, dan teknologi.
Namun Al-Quran secara spesifik tidak menyebut benda apakah yang lebih keras dari batu. Namun kita boleh saja kemudian mencari-cari benda yang lebih keras dari batu.
Di masa modern ini kita bisa mengukur kekerasan suatu benda dengan skala Mohs. Skala ini dikembangkan oleh seorang ahli mineralogi bernama Friedrich Mohs pada tahun 1812 dan digunakan untuk mengukur kekerasan mineral alam.
Skala kekerasan Mohs terdiri dari sepuluh mineral alam yang diurutkan berdasarkan tingkat kekerasan relatifnya, mulai dari mineral yang paling lunak hingga mineral yang paling keras. Berikut adalah daftar mineral pada skala kekerasan Mohs beserta tingkat kekerasannya, yaitu : Talk (H1), Gipsum (H2), Kalsit (H3), Fluorit (H4), Apatit (H5), Ortoklas (H6), Kuarsa (H7), Topaz (H8), Korundum (H9), dan Berlian (H10)
Untuk mengukur kekerasan suatu benda menggunakan skala kekerasan Mohs, kita dapat mencoba menggores benda tersebut dengan mineral pada skala Mohs. Jika benda tersebut dapat dicoret oleh mineral tersebut, maka kekerasan benda tersebut lebih rendah dari mineral tersebut. Namun, jika benda tersebut tidak bisa dicoret oleh mineral tersebut, maka kekerasan benda tersebut lebih tinggi daripada mineral tersebut.
Selain menggunakan skala kekerasan Mohs, ada juga metode lain untuk mengukur kekerasan suatu benda, seperti penggunaan alat pengukur kekerasan seperti alat pengukur Vickers, Brinell, atau Rockwell. Metode ini lebih akurat dan tepat dalam mengukur kekerasan suatu benda, namun memerlukan alat khusus dan lebih rumit dalam pelaksanaannya.
Lafazh la-maa (لَمَا) terdiri dari huruf la (لَـ) yang maknanya : sungguh atau pasti dan huruf maa (مَا).
Lafazh yatafajjaru (يَتَفَجَّرُ) maknanya adalah memancarkan air dalam jumlah yang banyak dan kuat arusnya.
Lafazh al-anhar (الأَنْهَار) adalah bentuk jama’ dari sungai, artinya bukan hanya satu sungai tetapi banyak sungai.
Para mufassir berbeda pendapat tentang yang dimaksud batu yang bisa memancarkan beberapa sungai. Sebagian mengaitkannya dengan batu yang dipukulkan tongkat Nabi Musa alaihissalam yang menjadi sumber air minum bagi 600 ribu Bani Israil di tengah gurun Sinai selama kurun 40 tahun. Kita sudah membahas kisah itu pada ayat ke-60 :
(Ingatlah) ketika Musa memohon (curahan) air untuk kaumnya. Lalu, Kami berfirman, “Pukullah batu itu dengan tongkatmu!” Maka, memancarlah darinya (batu itu) dua belas mata air. Setiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah dan janganlah melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakannn (QS. Al-Baqarah : 60)
Dalil yang digunakan oleh pendukung pendapat ini bahwa Allah SWT menyebut istilah infajarat (اِنْفَجَرَتْ) yang maknanya memancar. Lalu juga menyebut dua belas mata air yang bisa memberi minum 12 klan Bani Israil yang secara teknis jumlah mereka sampai 600 ribu orang. Maka air yang memancar itu sudah seperti sungai-sungai yang mengalir, padahal sumbernya hanya berupa batu.
Lafazh yasysyaqqaqu (بَشَّقّقُ) maknanya pecah atau terbelah. Sebagian ulama mengatakan aslinya lafazh itu adalah yatasyaqqaqu (يَتَشَقَّقُ). Boleh jadi maksudnya bebatuan yang retak terpecah atau berserakan lalu mengeluarkan air. Kalau sebelumnya dari batu keluar sungai, maka yang ini batunya pecah lalu keluar air.
Secara ilmiyah di masa modern ini, tanah bebatuan dapat mengeluarkan air yang sumbernya mata air di dalam tanah namun awalnya tertutup batu. Dan akhirnya batu itu pecah lalu melalui celah dan pori-pori batuan mengalirlah air hingga muncul ke permukaan sebagai mata air. Mata air adalah sumber air yang alami dan penting bagi kehidupan karena air tersebut bersih dan sehat.
Proses terbentuknya mata air di tanah bebatuan dimulai ketika air hujan atau air permukaan masuk ke dalam tanah dan meresap melalui celah-celah atau pori-pori batuan. Saat air masuk ke dalam tanah, ia bertemu dengan lapisan yang impermeable seperti tanah liat atau batuan yang sangat padat, sehingga terjadi penumpukan air di bawah permukaan tanah. Apabila tekanan air di bawah permukaan tanah mencapai titik tertentu, air akan naik ke permukaan sebagai mata air.
Mata air yang berasal dari tanah bebatuan seringkali lebih sehat dan lebih bersih dibandingkan dengan sumber air permukaan seperti sungai atau danau, karena air tersebut telah disaring melalui batuan sehingga terbebas dari polusi dan kotoran. Mata air juga seringkali lebih dingin dan memiliki rasa yang segar karena telah mengalir melalui batuan yang dingin.
Namun, tidak semua tanah bebatuan dapat mengeluarkan mata air. Hal ini tergantung pada kondisi geologi dari tanah tersebut, seperti jenis batuan, kedalaman air tanah, dan banyaknya curah hujan. Kondisi lingkungan juga dapat mempengaruhi kualitas air mata air, seperti adanya polusi atau penggunaan pupuk dan pestisida di sekitar mata air. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan sekitar mata air agar tetap sehat dan bersih.
Lafazh yahbithu (يَهْبِطُ) artinya turun atau mendarat. Sehingga wajar kalau diterjemahkan menjadi : “Dan dari batu itu ada yang meluncur ke bawah karena takut kepada Allah”. Sebagian kalangan menyebutkan bahwa batu yang meluncur ke bawah itu merupakan fenomena fisik yang mana kejatuhannya itu disebabkan karena takutnya batu itu kepada Allah SWT. Dan semua fenomena jatuhnya batu di dunia ini merupakan bagian dari wujud sikap takutnya batu kepada Allah.
Namun menurut ulama lain jatuhnya batu adalah bentuk kiasan saja, sebagaimana gunung yang juga digambarkan seperti itu yang hanya merupakan perumpamaan saja.
Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (QS. Al-Hasyr : 21)
Dalam terjemahan Kemenag, Prof. Quraish Shihab dan Buya HAMKA disebutkan bahwa batu itu meluncur ke bawah dalam arti jatuh. Terjemahannya adalah :”Dan ada lagi yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah”.
Batu yang gugur dari atas gunung dapat menjadi ancaman yang serius bagi orang-orang yang berada di dekat gunung. Batu-batu ini dapat terlempar dari puncak gunung saat terjadi gempa bumi atau aktivitas vulkanik, atau karena erosi alami yang terjadi di lereng gunung. Batu yang gugur dari atas gunung dapat sangat besar dan berat, sehingga dapat merusak dan menghancurkan segala sesuatu yang ada di bawahnya.
Saat batu yang gugur dari atas gunung, terutama jika ukurannya besar, kekuatannya dapat menciptakan getaran dan tekanan besar pada tanah di sekitarnya, yang dapat memicu longsor atau tanah runtuh. Batu-batu yang gugur dari atas gunung juga dapat menimbulkan gelombang kejut ketika terjatuh, yang dapat merusak bangunan dan memicu tsunami di daerah pesisir.
Kalau dikatakan batu-batu yang jatuh berguguran itu disebab takutnya kepada Allah SWT, sebenarnya tidak keliru juga. Sebab batu itu tunduk pada hukum gravitasi yang telah Allah SWT tetapkan, dimana batu itu punya masa yang besar, kalau berada di ketinggian tertentu seperti di gunung, lalu tergeser maka pastilah akan meluncur turun ke bawah.
Boleh jadi bebatuan dalam ukuran raksana dan jumlah yang besar akan meruntuhkan suatu desa dan menguburnya ke dalam bumi. Hal yang sering kita saksikan ketika dampak erupsi gunung berapi terjadi. Namun setelah itu justu masyarakat di sekitarannya akan merasakan kemakmuran luar biasa. Karena batu-batu itu justru laku dijual mendatangkan rejeki, padahal batu-batu itu datang sendiri tanpa diminta.
Setelah menyebutkan tiga batu dengan tiga fenomena masing-masing, kira-kira apa yang ingin disampaikan?
Banyak mufassir yang mengatakan bahwa Allah SWT sedang membandingkan kerasnya hati Bani Israil dibandingkan dengan kerasnya batu. Batu yang keras sekali itu saja masiih bisa juga memancarkan air bahkan menjadi sungai-sungai. Lalu batu yang sebegitu kerasnya bahkan bisa juga pecah dan merembes air keluar dari sela-selanya. Bahkan batu di atas gunung pun bisa turun ke bawah berguguran. Tetapi hati Bani Israil itu sudah membatu bahkan lebih keras dari batu manapun di dunia ini.
وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Lafazh ghafil (غَأفِل) artinya lengah yang berbeda dengan jahil (جَأهِل). Kalau jahil itu tidak tahu dalam arti keseluruhan, sedangkan lengah itu pada dasarnya sudah tahu secara umum. Namun orang yang sudah tahu secara umum terkadang ‘lengah’ pada bagian tertentu atau pada waktu tertentu dan dalam kondisi tertentu.
Maka apa yang ingin diungkap dalam dalam hal ini bahwa sesungguhnya Allah SWT sama sekali tidak pernah lengah dari apa yang kamu lakukan. Dan itu lebih dari sekedar tahu.
Sedangkan lafazh maa ta’malun (ماَ تَعْمَلُون) artinya apa-apa yang kamu lakukan. Dalam hal ini maksudnya bahwa Allah SAW tidak lengah terhadap apa-apa yang kamu kerjakan.
Sedangkan siapakah kamu yang dimaksud dalam ayat ini, Ath-Thabari dalam Jami’ Al-Bayan[1] menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi Bani Israil yang tidak mau mengakui kenabian Muhammad SAW dan juga mengingkari ayat Al-Quran yang turun kepada Beliau SAW.
Sedangkan yang Allah SWT awasi terus adalah perbuatan mereka yang selalu bikin ulah kepada Nabi SAW.