Setiap yang bernyawa tidak akan mati, kecuali dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Siapa yang menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu dan siapa yang menghendaki pahala akhirat, niscaya Kami berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu. Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Prof. Quraish Shihab :
Tidak ada satu jiwa pun akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya sebagian darinya (pahala dunia itu), dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya sebagian darinya (pahala akhirat). Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur
Prof. HAMKA :
Tidak ada satu jiwa pun akan mati, melainkan dengan izin Allah. Suratan telah dijanjikan Barangsiapa yang menghendaki upah dunia, niscaya akan Kami berikan daripadanya dan barang-siapa yang menghendaki pahala akhirat, Kami berikan juga. Dan akan Kami beri pahala orang orang yang bersyukur.
Pada ayat ke-145 ini sekali lagi Allah SWT memberi tasliyah atau membesarkan hati kaum muslimin bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mati di dalam Perang Uhud. Namun cara mengungkapkannya lewat redaksi yang unik, yaitu kematian itu tidak akan terjadi kecuali bila Allah SWT memberi izin alias sudah menghendaki. Pesan yang bisa didapat meski tersembunyi bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mati atau terbunuh, karena belum dikehendaki kematiannya oleh Allah SWT.
Selain itu ayat ini juga mengandung pesan yang bersifat peringatan atau sindiran, khususnya bagi unsur munafikin yang ikut serta dalam Perang Uhud. Karena Allah SWT membagi mereka menjadi dua, ada yang tujuannya ingin mendapatkan balasan yang bersifat duniawi, yaitu ingin mendapatkan keuntungan berupa harta rampasan perang di dalam Perang Uhud. Namun ada juga yang tujuannya untuk mendapatkan balasan di akhirat nanti, sehingga tidak galau bila dalam perang itu tidak mendapatkan harta rampasan perang.
Kemenag RI menerjemahkannya menjadi : “Setiap yang bernyawa tidak akan mati, kecuali dengan izin Allah”. Prof. Quraish Shihab menerjemahkannya menjadi : “Tidak ada satu jiwa pun akan mati melainkan dengan izin Allah”. Sedangkan versi terjemahan Buya HAMKA adalah : “Tidak ada satu jiwa pun akan mati, melainkan dengan izin Allah”.
Lafazh wa-ma (وَمَا) artinya : dan tidak, sedangkan kata kana (كَانَ) sebenarnya adalah kata kerja fi’il madhi yang menunjukkan waktu lampau atau kepastian sudah terjadinya sesuatu, sering diartikan dengan makna : benar-benar.
Lafazh li-nafsin (لِنَفْسٍ) artinya : bagi satu jiwa, kata nafs memang punya banyak sekali makna dan versi terjemah. Asalnya konon dari kata nafas yaitu tindakan makhluk hidup menghirup udara dan mengeluarkannya. Terkadang ada yang setuju kalau diterjemahkan menjadi : sesuatu yang bernyawa.
Namun umumnya para ulama sepakat bahwa ruang lingkup nafs (نفس) itu tidak termasuk hewan dan tumbuhan, tetapi khusus hanya disematkan kepada manusia saja. Oleh karena itu kita lebih sering menemukan kata ini diterjemahkan menjadi jiwa atau sesuatu yang berjiwa. Dan ada juga yang menerjemahkan dengan : ‘seseorang’.
Lafazh an tamuta (أَنْ تَمُوتَ) adalah kata kerja yaitu fi’il mudhari’ yang artinya : mati atau meninggal dunia. Kata illa (إِلَّا) merupakan pengecualian dan diterjemahkan menjadi : kecuali. Kata bi-idznillaahi (بِإِذْنِ اللَّهِ) artinya : dengan izin Allah. Namun tentang apa yang dimaksud dengan ‘izin Allah’, para ulama berbeda pendapat dalam rinciannya :
Pertama - Perintah : Abu Muslim mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘izin Allah’ adalah perintah Allah. Dan perintah itu datang dari Allah SWT kepada malaikat mau untuk mencabut nyawa seseorang. Dengan demikian, tidak akan ada orang yang mati, kecuali melewati mekanisme perintah dari Allah SWT kepada malaikatnya.
Pemahaman terbalik dari penggalan ini seakan Allah SWT ingin menyatakan bahwa belum turun perintah dari Allah SWT kepada malaikat mau untuk mencabut nyawa Nabi Muhammad SAW. Jadi Beliau SAW tidak akan mati biar bagaimana pun.
Kedua - Penciptaan : Namun ada juga kalangan lain yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin Allah adalah takwin (mengadakan), takhliq (menciptakan) dan ijad (mewujudkan). Maka tidak lah seseorang menjadi mati kecuali bila Allah yang mengadakan kematian itu, atau Allah yang menciptakan kematian itu untuknya, atau Allah yang mewujudkan kematian kepadanya.
Ketiga - Pembiaran : Pendapat yang lain lagi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin Allah adalah pembiaran. Maksudnya ketika seseorang mati itu karena Allah SWT tidak mencegah kematian itu dan dibiarkan saja kematian itu terjadi.
Maka dalam konteks ayat ini, Allah SWT mencegah kematian Nabi Muhammad SAW dan tidak dibiarkan begitu saja orang-orang kafir membunuhnya.
Keempat – Ilmu Allah : Sebagian ulama yang lain ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin Allah adalah ilmu Allah. Sehingga dalam prakteknya, tidak akan ada orang yang mengalami kematian, kecuali semua itu termasuk ilmu Allah.
Kelima – Taqdir Allah : dan tidak sedikit dari para ulama yang mengatakan bahwa izin Allah itu maksudnya tidak lain adalah taqdir Allah. Sehingga dalam konteks isu wafatnya Nabi Muhammad SAW dalam perang Uhud, bahwa kalau Allah SWT tidak mentaqdirkan Beliau SAW wafat, maka tidak akan wafat. Soalnya memang belum taqdirnya.
Nabi Musa dan Malaikat Maut
Bicara tentang izin Allah terkait kematian manusia, di dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim kita menemukan kasus yang nampaknya menjadi semacam anomali, karena Nabi Musa yang seharusnya sudah waktunya dicabut nyawanya oleh malaikat mau, ternyata Dia menolak, bahkan dipukulnya malaikat itu hingga matanya picek. Berikut teks haditsnya :
Dikirimkan malaikat maut kepada Musa 'alaihissalam. Ketika ia datang kepadanya, Musa menamparnya dan mencungkil matanya. Maka malaikat maut kembali kepada Tuhannya dan berkata: “Engkau mengutusku kepada seorang hamba yang tidak menginginkan kematian”. Allah kemudian mengembalikan matanya dan berkata: “Kembalilah kepadanya dan katakan kepadanya untuk meletakkan tangannya di atas punggung seekor lembu, maka baginya setiap helai bulu yang ditutupi oleh tangannya adalah satu tahun umur”. Musa berkata: “Wahai Tuhanku, setelah itu apa?'”. Allah berfirman,”Kemudian kematian”. Nabi Musa berkata, “Kalau begitu sekarang saja”. Musa kemudian meminta kepada Allah untuk mendekatkannya ke tanah suci selemparan batu. Rasulullah SAW bersabda,”Seandainya Aku berada disana, Aku akan tunjukkan kepada kalian kuburannya di samping jalan di bawah gundukan pasir merah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tentang bagaimana kita menjelaskan hadits ini, Ibnu Hajar Al-Asqallani di dalam Fathul Bari yang merupakan kitab syarah hadits Shahih Bukhari mengutipkan banyak pendapat para ulama atas kejadian itu. Di antaranya bahwa kedatangan malaikat maut kepada Nabi Musa bukan dalam rangka mencabut nyawa, tetapi sekedar ingin mengujinya saja. Maksudnya memang belum waktunya untuk wafat.
Lalu kenapa malaikat maut itu dipukul oleh Musa, seolah-olah Musa tidak mau dicabut nyawanya, itu disebabkan karena malaikat maut itu tampil dalam bentuk penyamaran seperti manusia biasa. Pastinya Nabi Musa tidak mengenalinya, apalagi didapatinya sosok manusia itu tiba-tiba ada di dalam rumahnya. Boleh jadi Nabi Musa mengira dia adalah penjahat atau perampok yang berniat jahat. Naluri pertahanan diri Musa kemudian secara otomatis menyala on. Secepat kilat dihajarnya sosok manusia itu dan picek lah matanya.
Lalu kenapa malaikat maut bisa dipukul hingga matanya jadi cacat, dijelaskan karena saat itu sang malaikat lagi memang sedang menyamar, atau tepatnya sedang menjelma menjadi manusia biasa. Maka yang rusak adalah wujud jelmaannya sebagai manusia. Dan Allah SWT kemudian memperbaikinya.
كِتَابًا مُؤَجَّلًا
Lafazh kitaban (كِتَابًا) artinya sebagai ketetapan atau ketentuan, sedangkan kata muajjala (مُؤَجَّلًا) diartikan sebagai : yang waktunya sudah dijadwalkan.
Kata kitab (كِتَاب) dalam Al-Quran itu cukup banyak muncul dengan berbagai macam makna dan pengertian :
Al-Quran : Seringkali kata itu bermakna Al-Quran, salah satunya seperti yang tertulis dalam ayat berikut ini (ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ – QS. Al-Baqarah : 2).
Taurat : pernah juga kitab itu maksudnya justru Taurat, seperti di ayat ini (أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ – QS. Al-Baqarah : 53).
Injil : pernah juga maknanya justru kitab Injil, seperti di ayat ini (قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ – QS. Al-Maidah : 77).
Catatan Amal : kadang kata kitab juga bisa bermakna catatan amal selama hidup di dunia yang nantinya akan diperlihatkan di akhirat. (وَتَرَى كُلَّ أُمَّةٍ جَاثِيَةً كُلُّ أُمَّةٍ تُدْعَى إِلَى كِتَابِهَا – QS. Al-Jatsiyah : 28) dan juga (كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْفُجَّارِ لَفِي سِجِّينٍ – QS. Al-Muthaffifin : 7).
Suratan Taqdir : Kadang kitab juga bisa berarti suratan taqdir manusia, termasuk di dalamnya ada taqdir atas kematiannya. (وَعِنْدَنَا كِتَابٌ حَفِيظٌ – QS. Qaf : 4) dan juga (لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ – QS. Ar-Ra’d : 38)
Terkait dengan makna kitab sebagai suratan taqdir, banyak orang yang mengira bahwa apa-apa yang sudah dituliskan dalam suratan taqdir sudah tidak bisa diubah atau diotak-atik lagi. Sehingga ada pemahaman ekstrim yang punya prinsip bahwa hidup kita ini semua sudah ditentukan suratannya, jadi percuma saja kita berusaha dan berupaya, toh semua tidak akan bisa berubah.
Mereka jelas gagal paham kalau berpikiran demikian. Sebab selain Allah SWT perintahkan kita untuk berusaha, bekerja, dan melakukan hal-hal yang bisa mengubah hidup kita, ternyata apa yang dikatakan semua sudah ada suratan taqdirnya dan tidak bisa diubah itu ternyata tidak terlalu benar juga. Sebab dalam Al-Quran sendiri Allah SWT menyatakan bahwa taqdir yang sudah tertulis itu bisa saja dihapus dan diedit ulang oleh Allah SWT SWT sendiri.
Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Di sisi-Nyalah terdapat Ummul-Kitab (QS. Ar-Ra’d : 38)
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا
Penggalan ini diterjemahkan oleh Kemenag RI menjadi : “Siapa yang menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu”. Mari kita rinci kata per kata penggalan ini.
Lafazh waman (وَمَنْ) artinya : “dan orang yang”. Kata man (مَنْ) menjadi ism syarth jazim mabni fi mahallir-rafa’ dan menjadi mubtada’ dalam kalimat ini.
Kata yurid (يُرِدْ) artinya : menginginkan. Kata ini merupakan kata kerja dalam bentuk fi’il mudhari majzum dimana harakatnya yang seharusnya dhammah karena marfu’ lantas berubah menjadi majzum dengan tanda sukun. Hal itu karena adanya ism syarth yaitu kata man (مَنْ) di depannya.
Sedangkan yang menjadi fa’il atau pelakunya adalah dhamir mustatir taqdiriruhu : huwa (هُوَ).
Lalu yang menjadi maf’ul atau objek adalah lafazh tsawaba (ثَوَابَ) yang maknanya : balasan atau ganjaran. Kata ad-dunya (الدُّنْيَا) artinya dunia sebagai lawan dari akhirat.
Kalimat di atas itu dikatakan syarat, lalu yang menjadi jawaban atas syarat adalah kata nu’tihi (نُؤْتِهِ) yang bermakna : Kami berikan kepadanya. Dan kata minha (مِنْهَا) bermakna : bagian darinya, yaitu dari balasan di dunia ini.
Penggalan ini menurut para mufassir ingin menunjuk hidung kalangan munafikin yang ikut dalam Perang Uhud, karena kesertaan mereka semata-mata hanya ingin mengincar harta rampasan perang dan bukan karena berharap balasan yang bersifat akhirat.
Dan apa yang mereka inginkan itu memang oleh Allah SWT sudah diberikan, yaitu dengan cara diberi kemenangan sementara di awal peperangan. Dan nampak banyak dari mereka yang sudah saling berlomba mengumpulkan harta rampasan perang. Pemandangan ini pun nampak menggoda para pemanah yang ditempat oleh Nabi SAW di atas bukit. Sebagian besar mereka tergiur juga untuk ikut serta rebutan harta rampasan perang, lalu mereka pun meninggalkan posnya masing-masing.
Kali ini mereka semua malah kena batunya. Sebab sibuknya mereka saling berlomba mengumpulkan harta rampasan perang menyebabkan mereka lengah, pertahanan mereka khususnya di bagian belakang jadi terbuka dan menganga. Dan kemudian kita sudah tahu apa yang kemudian terjadi.
Mujahidin dan Motivasi Masing-masing
Meskipun Allah SWT memuji orang yang berjihad di jalannya, termasuk mereka yang ikut dalam Perang Badar, namun ketika bicara Perang Uhud, nampaknya kasusnya berbeda lagi. Dalam Perang Uhud ini nampaknya sudah ada unsur-unsur orang munafik yang motivasi perangnya tidak sesuai motivasi mereka yang ikut dalam Perang Badar setahun sebelumnya.
Dan keberadaan mereka sedikit banyak ikut menjadi penyebab kekalahan. Dalam hal ini yang jadi titik masalah adalah ketika mereka punya niat utama bukan untuk mendapatkan pahala akhirat, tetapi niatnya lebih dominan ingin mendapatkan harta rampasan perang. Lalu justru mereka kena batunya begitu mereka sibuk mengumpulkan harta.
Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib menuliskan sebuah hadis riwayat Abu Hurairah, terkait dengan orang yang ikut dalam jihad fi sabillah, tetapi akhirnya tidak masuk surga tapi malah masuk neraka. Kesalahannya karena niat jihadnya bukan karena Allah, melainkan karena riya’ ingin dipuji orang.
Allah SWT di hari kiamat berfirman kepada mereka yang ikut dalam jihad fi sabilillah,”Apa motivasi kamu ikut perang?”. Ada yang menjawab,”Aku diperintah berjihad di jalan-Mu, maka Aku ikut perang hingga terbunuh”. Allah SWT menjawab,”Kamu bohong, sebenarnya tujuanmu ikut perang biar dibilang orang sudah ikut perang. Dan memang dikatakan seperti itu. Maka Allah masukkan orang itu ke dalam neraka.
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا
Rasanya penggalan ini tidak perlu lagi kita jabarkan makna per katanya, karena sama persis dengan penggalan sebelumnya. Yang berbeda hanya pada kata tsawabaal-akhirati (ثَوَابَ الْآخِرَةِ) yang artinya adalah balasan di akhirat.
Tentu saja Allah SWT pasti akan memberikan balasan kepada mereka yang tujuan perangnya untuk mendapatkan pahala di akhirat, yaitu berupa surga dan keutamaan mati syahid, dimana masuk surganya tanpa harus melewati gerbang pemeriksaan amal.
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
Penggalan yang menjadi penutup ayat ini amat mirip dengan penutup pada ayat sebelumnya, yaitu Allah SWT memberi balasan kepada orang yang bersyukur. Namun redaksinya sedikit berbeda. Perhatikan redaksi teksnya pada ayat sebelumnya :
وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Dan Allah akan memberi balasan kepada mereka yang bersyukur.
Sekarang bandingkan dengan redaksi ayat ini :
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
Dan Kami akan memberi balasan kepada mereka yang bersyukur.
Bedanya hanya pada dhamirnya, di ayat sebelumnya dhamirnya dia yaitu Allah. Lafazh Allahnya disebutkan secara eksplisit. Sedangkan di ayat berikutnya, justru Allah SWT menggunakan kata ganti orang pertama yaitu Kami.