A. Pengertian
1. Pengertian Rukun
Rukun dalam bahasa Arab bermakna sudut pada ruangan, tiang, penyangga dan penegak bangunan. Dan kadang secara bahasa, rukun juga bermakna :
الْجَانِبُ الأْقْوَى وَالأْمْرُ الْعَظِيمُ
Sisi yang lebih kuat dan perkara yang utama
Sedangkan secara istilah, rukun sering didefinisikan sebagai :
مَا لاَ وُجُودَ لِذَلِكَ الشَّيْءِ إِلاَّ بِهِ
Apa yang membuat sesuatu tidak akan ada kecuali dengannya
Maksudnya adalah bahwa yang disebut sebagai rukun itu adalah pokok dari sesuatu, dimana sesuatu itu menjadi tidak ada apabila rukunnya tidak terdapat.
Maka yang dimaksud dengan rukun nikah adalah bagian-bagian utama dalam suatu akad nikah, yang apabila bagian utama itu tidak tidak terdapat, maka pernikahan itu menjadi tidak sah.
2. Pengertian Syarat
Sedangkan pengertian syarat dalam suatu pekerjaan, sebagaimana didefinisikan oleh Ibnu As-Subki, adalah :
مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ الْعَدَمُ وَلاَ يَلْزَمُ مِنْ وُجُودِهِ وُجُودٌ وَلاَ عَدَمٌ لِذَاتِهِ
Segala hal yang mengakibatkan sesuatu menjadi tiada karena ketiadaannya. Dan sebaliknya, meski syarat itu ada, belum tentu sesuatu itu menjadi terwujud atau tidak terwujud secara zatnya.
Mungkin agak sulit definisi ini, tetapi mudahnya begini. Menutup aurat itu syarat sah shalat. Maka bila seseorang tidak menutup aurat, otomatis tidak sah shalatnya. Tetapi bila seseorang sudah menutup aurat, tidak lantas otomatis shalat sudah terlaksana. Terlaksana atau belum, tergantung apakah shalat itu sudah dikerjakan atau belum, bukan tergantung dari apakah seseorang sudah menutup aurat atau belum.
Ibnu Al-Hajib mendefinisikan syarat sebagai :
مَا اسْتَلْزَمَ نَفْيُهُ نَفْيَ أَمْرٍ عَلَى غَيْرِ جِهَةِ السَّبَبِيَّةِ
Segala hal yang ketiadaannya mengharuskan sesuatu menjadi tidak ada, namun bukan karena hubungan sebab akibat.
Definisi Ibnu Al-Hajib ini setali tiga uang dengan definisi di atas, hanya disampaikan dengan redaksi yang berbeda. Kalau kita masukkan ke dalam contoh di atas, maka tidak menutup aurat membuat shalat itu tidak ada, alias tidak sah. Tetapi dikatakan bukan hubungan sebab akibat, maksudnya meski tanpa menutup aurat shalat menjadi tidak sah, tetapi kalau ditutup bukan berarti shalat lantas menjadi sudah terlaksana.
3. Perbedaan Rukun dan Syarat
Sesungguhnya antara rukun dan syarat punya hubungan yang erat, yaitu bahwa keberadaan masing-masing sama-sama sangat menentukan sah atau tidak sahnya suatu amal. Suatu ibadah tidak akan sah, bila salah satu dari sekian banyak rukunnya tidak terpenuhi. Demikian juga, bila kurang salah satu di antara syarat-syaratnya, juga tidak sah.
Tetapi antara rukun dan syarat juga punya perbedaan yang prinsipil, meski sangat tipis. Sehingga karena saking tipisnya itulah maka para ulama seringkali berbeda pendapat tentang apakah suatu amal termasuk ke dalam daftar rukun atau termasuk ke dalam daftar syarat.
Perbedaan yang asasi antara rukun dan syarat adalah bahwa rukun itu masuk dan berada di dalam ritual ibadah itu sendiri. Sedangkan syarat, tidak masuk ke dalam ritual ibadah, posisinya ada sebelum ibadah itu dilakukan.
Contoh sederhananya adalah menutup aurat sebagai syarat sah shalat, yang harus sudah dikerjakan sebelum shalat. Orang harus sudah menutup aurat sebelum shalat dilaksanakan. Tidak ada cerita pakai sarung sambil sujud atau membaca doa qunut. Pakai sarung itu dikerjakan sebelum shalat. Dan itu adalah syarat sah shalat.
Sedangkan rukun, posisinya ada di dalam ibadah itu. Misalnya, membaca surat Al-Fatihah adalah rukun, dan dikerjakannya di dalam shalat, bukan sebelumnya.
B. Rukun
1. Perbedaan Pendapat Dalam Menetapkan Rukun Nikah
Ketika menyebutkan hal-hal apa saja yang termasuk rukun pernikahan, para ulama dari empat mazhab yang muktamad berbeda pendapat.
a. Mazhab Al-Hanafiyah
Dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, yang termasuk rukun nikah hanya ada satu saja, yaitu :
§ ijab qabul atau akad nikah itu sendiri.
b. Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab Al-Malikiyah menyebutkan bahwa rukun nikah itu ada tiga perkara. Ketiganya itu adalah :
§ Wali nikah
§ Mahallunnikah yaitu suami dan istri
§ Shighah atau ijab qabul
c. Mazhab As-Syafi’iyah
Mazhab Asy-Syafi’iyah adalah mazhab yang paling banyak menyebutkan jumlah rukun nikah, yaitu mepat perkara. Kelimanya adalah
§ Shighah
§ Suami dan Istri
§ Dua orang saksi
§ Wali
d. Mazhab Al-Hanabilah
Sedangkan mazhab Al-Hanabilah menyebutkan bahwa rukun nikah itu ada tiga perkara, yaitu :
§ pasangan suami istri,
§ ijab
§ qabul.
Untuk mengingatnya dengan mudah, mari kita masukkan perbedaan rukun nikah antara keempat mazhab dalam sebuah tabel :
RUKUN
Hanafi
Maliki
Syafi’i
Hambali
1. Suami istri
-
Rukun
Rukun
Rukun
2. Wali
Syarat
Rukun
Rukun
Syarat
3. Saksi
Syarat
Mustahab Syarat
Rukun
Rukun
4. Ijab qabul
Rukun
Rukun
Rukun
Rukun
Adapun mahar atau mas kawin tidak termasuk dalam rukun nikah, mengingat bahwa Rasulullah SAW pernah menikahkan wanita, namun wanita itu melepaskan haknya atas mahar.
2. Rukun Pertama : Suami & Istri
Suami dan istri sering juga disebut sebagai az-zaujani (الزوجان) yaitu pasangan calon suami dan istri adalah mahallul ‘aqd (محلّ العقد), kadang juga disebut sebagai al-‘aqidani (العاقدان), yaitu pihak-pihak yang terikat pada akad yang dilangsungkan.
Keberadaan suami dan istri oleh sebagian besar ulama menjadi rukun dalam sebuah akad nikah, kecuali dalam pendapat Al-Hanafiyah.
Namun yang dimaksud dengan keberadaan disini bukan berarti kehadiran dalam prosesi akad nikah. Yang dimaksud dengan keberadaan disini adalah bahwa suami dan istri itu telah memenuhi syarat dan ketentuan sebagai calon pasangan suami istri yang sah.
Sedangkan kehadiran suami dalam sebuah akad nikah, tidak menjadi syarat, karena calon suami boleh mewakilkan aqad nikah kepada orang lain yang ditunjuknya dengan memenuhi semua ketentuan dan syaratnya.
Demikian juga dengan kehadiran istri, tidak menjadi syarat dalam sebuah akad nikah, yang penting izin dari pihak calon istri sudah didapat oleh wali yang menikahkan.
Jadi dalam syariat Islam, sebuah akad nikah secara fisik mungkin saja tidak dihadiri oleh calon suami dan calon istri. Pihak calon suami boleh mengutus wakilnya untuk menyampaikan qabul, dan pihak calon istri boleh memberitahukan bahwa dirinya telah rela dinikahkan.
3. Rukun Kedua : Wali
Wali adalah ayah kandung calon pengantin perempuan pihak yang bertindak sebagai pihak yang melakukan ijab, atau mengikrarkan pernikahan.
Jumhur ulama seperti mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan dilengkapi dengan mazhab Adz-Dzahiriyah sepakat untuk menjadikan posisi wali sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun sebuah akad nikah. Sehingga sebuah pernikahan menjadi tidak sah hukumnya, ketika pernikahan itu dilakukan tanpa kesertaan wali yang sah sesuai ketentuan syariah Islam.
Sedangkan pendapat yang agak berbeda adalah pendapat Abu Hanifah yang menyebutkan bahwa wali tidak termasuk rukun nikah, melainkan menjadi syarat dalam rukun nikah.
Sebenarnya dalam kenyataannya nyaris hampir tidak ada bedanya bila wali tidak dimasukkan ke dalam rukun nikah atau dimasukkan ke dalam syarat nikah.
Tetap saja nikah itu tidak sah kalau tidak ada walinya, sebagai syarat sah nikah. Sebab yang namanya syarat itu sebagaimana disebutkan di atas, nyaris sama kedudukannya dengan rukun, yaitu bila tidak terpenuhi, maka nikah itu tidak sah.
Masalah wali ini nanti akan kita bahas lebih dalam pada bab-bab berikutnya.
4. Rukun Ketiga : Saksi
Jumhur ulama baik mazhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa yang termasuk rukun di dalam akad nikah adalah adanya saksi-saksi dalam peristiwa akad itu secara langsung.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
Tidak sah sebuah pernikahan tanpa wali dan dua orang saksi yang adil (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi )
Sedangkan dalam mazhab Al-Malikiyah, adanya persaksian atau hadirnya saksi di dalam sebuah akad nikah hukumnya mustahab, atau disukai. Namun kehadiran para saksi itu bukan termasuk rukun atau syarat dari sebuah pernikahan.
Yang menarik, mazhab Al-Malikiyah ini membedakan kedudukan saksi pada saat akad nikah dengan dukhul (دخول). Dukhul maksudnya adalah melakukan hubungan suami istri secara sah, setelah keduanya diikat dengan akad nikah.
Untuk menghalalkan dukhul, menurut mazhab Al-Malikiyah tetap harus ada isyhad yang menjadi syarat sahnya. Kalau nikah itu hanya akad saja, tanpa dukhul, tidak perlu ada saksi. Tapi kalau kedua pasangan itu mau melakukan hubungan seksual, maka harus ada saksi yang harus hadir demi sahnya akad nikah itu.
Ketentuan ini agak sulit dibayangkan di masa sekarang, atau dalam posisi pernikahan yang normal. Barangkali ketentuan ini lebih mudah dijelaskan ketika ada pasangan yang hanya melaksanakan akad saja, lalu mereka tidak tinggal serumah, seperti ketika Rasulullah SAW menikahi Aisyah radhiyallahuanha.
Beliau dinikahi oleh Rasulullah SAW ketika masih berusia beliau, yaitu menurut salah satu riwayat masih berusia 6 tahun. Dan barulah beliau hidup mendampingi Rasulullah SAW sejak berumur 9 tahun. Ketika mulai hidup serumah dengan beliau SAW, saat itulah disebut dengan dukhul.
5. Rukun Keempat : Ijab Qabul
Ijab dan qabul adalah dua kata dalam bahasa Arab yang merupakan pasangan untuk membentuk sebuah akad nikah.
Kalau di dalam tabel di atas kita menemukan ada hal-hal yang tidak dimasukkan ke dalam rukun sebuah pernikahan, bukan berarti otomatis hal itu tidak dipakai. Tetapi boleh jadi fuqaha mazhab itu memasukkannya sebagai syarat, yang tentunya harus tetap terpenuhi, namun posisinya bukan sebagai rukun.
C. Syarat Sah Nikah
Agar sebuah akad nikah menjadi sah, maka harus terpenuhi beberapa syarat sah berikut ini :
1. Bukan Wanita Yang Haram Dinikahi
Status pengantin perempuan disyaratkan bukan wanita yang mahram atau haram dinikahi oleh pengantin laki-laki, baik statusnya mahram yang bersifat selamanya (muabbad), atau pun yang bersifat sementara (ghairu muabbad). Keduanya tidak halal untuk dinikahi.
2. Ijab Qabul Untuk Selamanya
Ijab qabul yang diucapkan kedua belah pihak, baik wali atau pun suami harus bersifat untuk selamanya, dan tidak dibenarkan bila disebutkan hanya berlaku untuk masa tertentu.
Maka dalam hal ini, nikah mut'ah hukumnya haram, karena dalam nikah mut'ah itu disebutkan bahwa pernikahan hanya akan berlaku dalam dua jam saja, atau dalam beberapa hari saja.
3. Tidak Terpaksa
Disyaratkan dalam sebuah akad nikah, bahwa kedua belah pihak tidak boleh melakukan ijab qabul dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, baik karena diancam mau dibunuh atau tidak terjamin keselamatannya.
4. Penetapan Pasangan
Disyaratkan dalam akad nikah bahwa calon suami dan calon istri harus ditetapkan secara pasti orangnya. Dan tidak dibenarkan dengan hanya disebutkan sifatnya atau kriterianya, atau pun status yang sifatnya bisa berlaku untuk beberapa orang. Harus ditetapkan orangnya, baik dengan disebutkan namanya atau pun ditunjuk orangnya.
Maka ijab yang diucapkan oleh wali tidak sah, bila tanpa menetapkan orang per-orang. Misalnya seorang wali mengucapkan ijab,"Saya nikahkah kamu dengan anak perempuanku". Kalau anak perempuannya hanya ada satu, maka hukum akadnya sah. Tetapi kalau anak perempuannya ada dua, tiga, empat dan seterusnya, maka harus ditetapkan, siapa dari sekian banyak anaknya itu yang dinikahkan.
Penetapan juga bisa dilakukan dengan isyarat, yaitu dengan cara ditunjuk langsung kepada orangnya, seperti lafadz,"Aku nikahkan kamu dengan anakku yang ini", sambil menunjukkan jari kepada anak perempuannya.
Namun bila anda penyebutan nama dan penunjukan dengan jari ada perbedaan, maka yang dimenangkan adalah yang ditunjuk langsung. Seperti seorang wali yang punya dua anak gadis, Fatimah dan Zainab, dia mengucapkan lafadz,"Aku nikahkan kamu dengan anakku yang bernama Fatimah", tapi tangannya menunjuk kepada Zainab bukan Fatimah, maka yang sah adalah Zainab yang ditunjuk dengan jari dan bukan Fatimah yang hanya disebut namanya.
5. Tidak Dalam Keadaan Ihram
Disyaratkan bahwa wali atau calon suami yang melakukan akad tidak sedang dalam keadaan berihram, baik untuk haji atau pun untuk umrah.
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata rafats (jorok), berbuat fasik dan berbantah-bantahan…(al-Baqarah: 197)
Nikah dan melamar, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, juga haram dilakukan oleh orang yang sedang berihram, karena Rasulullah SAW bersabda:
لايَنْكح الـمُحرِم وَلاَ يُنْكِحُ وَلاَ يَخْطُبُ
Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau menikahkan, juga tidak boleh mengkhitbah (melamar).(HR Muslim)
Salah satu istri Rasulullah SAW, yaitu Maimunah radhiyallahuanha juga menegaskan hal tersebut dengan menceritakan tentang dirinya yang dinikahi oleh Rasulullah SAW dalam keadaan tidak sedang berihram.
أَنَّ النَّبِيَّ rتَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلاَلٌ
Bahwa Nabi SAW menikahinya dalam keadaan halal (tidak berihram). (HR. Muslim)
Juga tidak boleh menjadi wakil untuk hal itu, karena nikah dalam keadaan seperti itu tidaklah sah.
D. Sunnah-Sunnah Ketika Menikah
Selain rukun dan syarat, ada juga hal-hal yang disunnahkan dalam sebuah akad nikah atau perkawinan. Di antara yang termasuk disunnahkan adalah :
1. Didahului Khitbah
Khitbah sering juga disebut dalam bahasa kita sehari-hari sebagai melamar atau meminang. Hukumnya bukan rukun atau syarat, tetapi hukumnya sunnah.
Dasar dari dilaksanakannya khitbah sebelum akad nikah adalah firman Allah SWT :
وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاء
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan dalam hatimu. (QS. Al-Baqarah : 235)
Hikmah dari dilakukan terlebih dahulu khitbah sebelum akad nikah antara lain agar ada kesempatan untuk mempertimbangkan masak-masak keputusan yang akan diambil oleh kedua belah pihak.
Namun khitbah bukan syarat sah akad nikah, sehingga akad yang dilakukan secara spontan tanpa adanya khitbah, hukumnya tetap sah.
2. Khutbah Sebelum Akad
Disunnahkan untuk disampaikan khutbah sebelum dilaksanakannya akad nikah. Bahkan dalam mazhab Asy-syafi'iyah disebutkan bahwa khutbah bukan hanya disunnahkan menjelang pelaksanaan akad nikah, tetapi juga ketika akan mengajukan lamaran (khitbah) disunnahkan untuk dibacakan khutbah.[1]
a. Jumlah Khutbah
Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah menyebutkan bahwa disunnahkan hanya satu khutbah saja, yaitu yang kita kenal umumnya ketika akad nikah hampir dilaksanakan.
Namun mazhab Asy-syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyebutkan setidaknya ada empat khutbah yang terkait dengan nikah, yaitu khutbah ketika mengajukan khitbah dari pihak calon suami, kemudian khutbah dari pihak calon istri. Lalu khutbah sebelum melakukan akad nikah dari pihak istri sebagai ijab dan terakhir khutbah dari pihak suami sebagai qabul.
b. Teks Khutbah
Sedangkan teks khutbahnya pada dasarnya tidak diharuskan harus menggunakan teks tertentu. Namun para ulama banyak merujuk kepada teks yang diajarkan lewat hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahuanhu berikut ini :
عَلَّمَنَا رَسُول اللَّهِ r التَّشَهُّدَ فِي الصَّلاَةِ وَالتَّشَهُّدَ فِي الْحَاجَةِ : إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا ، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِل لَهُ وَمَنْ يُضَلِّل فَلاَ هَادِيَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، وَيَقْرَأُ ثَلاَثَ آيَاتٍ : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
c. Bukan Syarat Sah
Namun para ulama sepakat umumnya bahwa keberadaan khutbah nikah ini bukan bagian dari rukun atau syarat sah nikah. Alasannya karena di masa Nabi SAW pernah terjadi akad nikah di hadapan beliau SAW tanpa didahului khutbah.
أنَّ رَجُلاً قَال لِلنَّبِيِّ r : " زَوِّجْنِيهَا ، فَقَال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : زَوَّجْنَاكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
Seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW,”Nikahkan Saya dengan wanita itu”. Beliau SAW menjawab,”Kita nikahkan kamu dengan wanita itu dengan mahar apa yang kamu miliki dari Al-Quran.
Ketika itu tidak disebutkan adanya khutbah nikah sebelumnya. Dan hal itu menunjukkan bahwa khutbah itu buan termasuk syarat sah atau rukun dari akad nikah.
3. Doa Seusai Akad
Seusai dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk dipanjantkan doa dan permohonan keberkahan dari Allah yang diperuntukkan kepada suami dan istri.
Di antara doa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah lafadz berikut ini :
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فيِ خَيْرٍ
Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu baik dalam keadaan senang atau pun susah, serta menghimpun kalian berdua dalam kebaikan. (HR. Tirmizy)
4. Hari Jumat Sore
Hari Jumat adalah hari yang diberkahi dalam seminggu. Maka melaksanakan sesuatu yang berharap mendapatkan keberkahan lebih utama bila dilakukan pada hari Jumat.
Dalam satu hari Jumat, saat-saat yang paling diberkahi di hari itu adalah pada saat sore hari, dengan sabda Rasulullah SAW :
أَمْسُوا بِالمِلاَكِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ بَرَكَةً
Lalukanlah perkawinan pada sore hari karena lebih besar keberkahannya. (HR. Abu Hafsh)
5. Diumumkan
Disunnahkan agar akad nikah diumumkan kepada publik dan tidak dirahasiakan. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ
Umumkanlah pernikahan ini, jadikan tempatnya di dalam masjid dan pukulkan atasnya duff (HR. )
Di antara hikmah dari diumumkannya akad nikah ini adalah agar pasangan itu bebas dari tuduhan zina dan mendapatkan keberkahan serta doa dari masyarakat.[2]
6. Penyebutan Mahar
Salah satu sunnah dalam akad nikah adalah disebutkannya mahar ketika akad dilakukan. Hikmah dari penyebutan ini agar hati menjadi tenang, serta menutup jalan perselisihan di kemudian hari atas perbedaan pendapat tentang mahar.
Dan termasuk di dalamnya apakah mahar itu dibayarkan dengan tunai atau hutang, atau sebagian dibayar tunai dan sebagian dihutang. Mencicil hutang mahar itu akan mendapatkan keberkahan dan bantuan dari Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمْ : الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيل اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الأْدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ
Ada tiga orang yang Allah berkewajiban untuk memberikan bantuan. Mujahid fi sabilillah, budak yang mengangsur biaya pembebasannya dan laki-laki yang membayar maharnya demi kesucian dirinya. (HR. At-Tirmizy)
7. Undangan Makan
Undangan makan dalam bahasa arab disebut dengan walimah. Namun dalam penggunaannya di Indonesia, maknanya mengalami pergeseran menjadi pesta pernikahan. Padahal yang namanya walimah tidak harus merupakan pesta pernikahan. Apapun acaranya, asalkan intinya makan-makan, maka disebut dengan walimah.
Namun jangan dibayangkan bahwa kesunnahan walimah itu harus dengan membuang biaya besar, berpuluh atau beratus juga. Sebab apa yang disebut dengan undangan makan di masa Nabi SAW ternyata menunya sederhana saja.
أَنَّهُ r أَوْلَمَ عَلَى صَفِيَّةَ بِتَمْرٍ وَسَمْنٍ وَأَقِطٍ
Rasulullah SAW mengadakan walimah untuk Shafiyah dengan hidangan kurma, minyak dan aqt. (HR. Bukhari)
Sedangkan untuk Abdurrahman bin Auf radhiyallahuanhu yang terbilang orang berada, Rasulullah SAW hanya menyarankan agar menyembelih seekor kambing.
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Undanglah orang makan walau pun hanya dengan hidangan seekor kambing (HR. Bukhari dan Muslim)