Kemenag RI 2019 : Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan azab dengan ampunan. Maka, alangkah beraninya mereka menentang api neraka. Prof. Quraish Shihab : Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka, alangkah beraninya mereka menentang api neraka. Prof. HAMKA : ltulah orang-orang yang telah membeli kesesatan dengan petunjuk, dan adzab dengan ampunan. Alangkah sabamya mereka atas neraka.
Lafazh ulaika (أُولَٰئِكَ) diartikan menjadi ‘mereka’. Ungkapan ini menunjukkan posisi yang jauh, menurut Quraish Shihab mengesankan bahwa kesesatan mereka, yang disebut sifat-sifatnya dalam ayat-ayat yang lalu sangat jauh merasuk ke dalam jiwa mereka.[1]
Para mufassir menjelaskan adanya pesan mendalam ketika Allah SWT menggunakan bahasa ‘jual-beli’ ketimbang istilah menukar. Padahal yang dimaksud sebenarnya menukar kesesatan dengan petunjuk, namun agar maknanya lebih dalam, maka diibaratkan mereka menjual sesuatu yang nilainya lebih mahal, dalam hal ini petunjuk dari Allah, dengan menerima uang pembayaran yang nilainya jauh lebih rendah yaitu kesesatan.
Secara gaya bahasa, penggunaan jual-beli sebagai ganti dari menukar disebut isti’arah tashrihiyah.
Orang-orang di masa kita mungkin akan mengungkapkan masalah tukar menukar yang jatuh rugi ini dengan istilah ‘menggadaikan’, seperti ungkapan : ‘kau gadaikan cintaku’, atau bisa juga dengan ungkapan ‘menjual murah’.
Ibnu Katsir mengutipkan komentar Qatadah yang mengatakan bahwa yang terjadi bukan sekedar mengambil kesesatan dan menukarkanya dengan petunjuk, tapi sudah sampai kepada taraf yang lebih parah, yaitu lebih mencintai kesesatan sehingga rela menukarnya dengan petunjuk.
Lafazh adh-dhalalah (الضَّلَالَةَ) diartikan sebagai kesesatan, sedangkan al-huda (ِالْهُدَىٰ) diartikan sebagai petunjuk. Para ulama mengatakan kedua lafazh itu merupakan lawan kata. Petunjuk yang dimaksud tidak lain adalah menerima dan mengimani pokok-pokok keimanan, sementara kesesatan adalah mengingkari keimanan itu.
Prof. Dr. Quraish Shihab menyebutkan bahwa mereka itu pada dasarnya menanggalkan fitrah keberagamaan dan menggantikannya dengan kekufuran.
[1] Prof. Dr. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : pesan, kesan dan keserasian Al-Quran (Tangerang, PT. Lentera Hati, 2017), jilid 1 hal. 111
وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ
Tindakan mereka di atas, selain digambarkan sebagai tindakan bodoh karena rela menukar petunjuk dengan kesesatan, kepada mereka juga ditegaskan bahwa tindakan mereka itu pada dasarnya juga menukar ampunan dengan siksaan di akhirat.
Boleh jadi mereka belum paham konsekuensi dari melepas petunjuk dan menelan bulat-bulan kesesatan, maka penggalan ayat ini nampaknya ingin lebih menjelaskan sejelas-jelasnya tentang kebodohan tindakan mereka.
Maka langsung saja disebutkan bahwa kebodohan mereka itu semakin terkonfirmasi karena rela kehilangan ampunan dari Allah dan malah mendapatkan siksa yang membakar tubuhnya hingga gosong nanti di neraka.
Padahal orang lain justru sedang foya-foya dan pesta pora di dalam surga, sebab meski sama-sama pernah berdosa, tapi lebih memilih mendapatkan ampunan. Sedangkan tindakan orang kafir ini sangat mengenaskan, karena rela disiksa di dalam keabadian neraka dan melepaskan begitu saja kesempatan untuk mendapatkan ampunan dari Allah.
فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ
Lafazh ashbara (أَصْبَرَ) secara makna harfiyah berarti : “menyabarkan atau membuat menjadi sabar”. Sabar dalam ungkapan bahasa Arab punya makna yang agak berbeda dengan sabar dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia sabar itu tidak terburu-buru atau tidak grusa-grusu, semua dijalankan pelan-pelan dan santai. Itu sabar dalam bahasa Indonesia.
Namun dalam bahasa Arab sabar itu artinya tabah. Sehingga penggalan ini jangan dimaknai dengan sabar sesuai konotasi bahasa Indonesia, tetapi selayaknya dimaknai dengan rasa bahasa Arab, yaitu ketabahan.
Penggalan terakhir yang menjadi penutup ayat ini merupakan ungkapan yang maknanya dipahami secara berbeda oleh para ulama ahli tafsir.
Kemenag RI menerjemakannya menjadi : “Maka, alangkah beraninya mereka menentang api neraka”. Prof. Quraish Shihab menerjemahkannya sama persis, yaitu : “Maka, alangkah beraninya mereka menentang api neraka.”.
Namun Buya HAMKA sedikit berbeda ketika menerjemahkan bahasa ungkapan ini, menjadi : “Alangkah sabamya mereka atas neraka”. Terjemahan khas gaya Buya HAMKA ini memang cenderung harfiyah. Karena teks Arabnya memang menyebut-nyebut kata : sabar dan bukan berani.
Fakhruddin Ar-Razi di dalam Mafatih Al-Ghaib menjelaskan ayat ini secara terus terang bahwa ada dua makna dalam memahaminya : [1]
1. Pertanyaan
Pendapat pertama menyebutkan bahwa penggalan ini merupakan sebuah pertanyaan, sehingga huruf mim pada fa-maa (فَمَا) itu dikatakan istifhamiyah alias kata tanya.
Dengan memahami ini adalah sebuah pertanyaan, maka terjemahan yang tepat menjadi : “Apa yang membuat mereka bisa sabar dalam menerima siksaan api neraka?”.
Walapun bentuk pertanyaan, namun kita semua paham bahwa pertanyaan ini berifat retorika belaka. Tentu tidak ada faktor yang membuat seseorang rela dimasukkan ke dalam api neraka. Secara logika dan nalar akal sehat, seharusnya mereka tidak akan salah dalam memilih.
2. Keheranan
Pendapat kedua menyatakan bahwa penggalan ini merupakan bentuk ungkapan rasa heran atau takjub. Istilah dalam bahasa Arabnya adalah shighah ta’ajjubiyah. Tidak bertanya hanya heran saja.
Dan ini sama dengan versi tiga terjemahan di atas yang menjadi sebuah ungkapan : Alangkah beraninya mereka, atau alangkah sabarnya mereka, dalam siksa neraka.