Kemenag RI 2019 : Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu (melaksanakan) kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah mengikutinya dengan cara yang patut dan hendaklah menunaikan kepadanya dengan cara yang baik.48) Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Siapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih. Prof. Quraish Shihab : Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu qishas‘² berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; (dengan ketentuan bahwa) orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan wanita dengan wanita. Maka, barang siapa mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang patut,¹³ dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (tebusan) kepadanya (yang memberi maaf) dengan cara yang baik.`¹? Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan Pemelihara kamu dan suatu rahmat. Maka, barang siapa melanggar batas sesudah itu, maka baginya azab yang sangat pedih. Prof. HAMKA : Wahai, orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu hukum qishash pada orang-orang yang terbunuh; orang merdeka dengan orang merdeka dan hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan dengan perempuan. Akan tetapi, barangsiapa yang diampunkan untuknya dari saudaranya sebagian maka hendaklah mengikuti dengan yang baik, dan tunaikan kepadanya dengan cara yang baik. Demikianlah keringanan dari Tuhanmu dan rahmat. Akan tetapi, barang siapa yang (masih) melanggar sesudah demikian maka untuknya adalah adzab yang pedih.
Ibnu Katsir mengatakan bahwa latar belakang turunnya ayat ke-178 ini bahwa di tengah kalangan sesama pemeluk agama ahli kitab sering terjadi pertikaian, hingga bunuh-bunuhan. Antara klan Bani Quraidhah dan Bani Nadhir saling berbunuhan.
Namun aturannya tidak adil, sebab bila ada orang dari Bani Nadhir membunuh salah satu dari kalangan Bani Quraidhah tidak ada hukuman qishash, kecuali hanya membayar diat tebusan 100 wasaq kurma. Kalau dikonversikan ke zaman sekarang, kurma satu wasaq itu setara dengan 825 liter, sehingga ukuran diyatnya sebesar 82.500 liter.
Namun bila Bani Quraidhah membunuh Bani Nadhir, maka si pembunuhnya dihukum bunuh juga alias diqishash. Kalau pun dapat pengampunan dari pihak keluarga korban, maka maka nilai tebusannya dua kali lebih besar, yaitu 200 wasaq kurma.
Maka Allah SWT perintahkan agar azas keadilan ditegakkan dan jangan mengikuti tata cara orang-orang yang menyimpangkan hukum Allah SWT lewat ayat ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Ayat ini diawali dengan sapaan : wahai orang-orang yang beriman, sehingga para ulama sepakat bahwa sejak ayat ini diturunkan, maka resmilah berlakunya hukum qishash di tengah-tengah kaum muslimin. Karena sebelumnya qishash itu hanya berlaku di tengah kalangan Yahudi saja.
Lafazh ya ayyuha (يَا أَيُّهَا) merupakan sapaan atau nida’. Fungsinya untuk menegaskan siapa yang menjadi lawan bicara, maka sebelum disampaikan apa yang menjadi isi pembicaraan, lawan bicaranya itu disapa terlebih dahulu. Untuk mudahnya penerjemahan dalam Bahasa Indonesia sering dituliskan menjadi : “wahai”.
Sedangkan lafazh alladzina (الَّذِينَ) dimaknai menjadi ‘yang’ atau lengkapnya : “orang-orang yang”. Dan lafazh aamanu (آمَنُوا) merupakan kara kerja yang bentuknya lampau alias fi’il madhi yaitu dari asal (آمَنَ - يُؤْمِنً). Makna kata kerja itu adalah : “melakukan perbuatan iman”. Namun sudah jadi kebiasaan dalam penerjemahan disederhanakan menjadi : “orang-orang yang beriman”. Padahal kalau “orang yang beriman”, secara baku dalam bahasa Arab itu disebut mu’min (مُؤْمِن) dan bukan alladzina amanu.
Sapaan yang menjadi pembuka ayat ini menunjukkan siapa yang diajak bicara atau mukhathab oleh Allah SWT, yaitu orang-orang yang beriman, yang di masa turunnya ayat itu tidak lain adalah para shahabat nabi ridhwanullahi ‘alaihim.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
Lafazh kutiba alaikum (كُتِبَ عَلَيْكُمُ) maknanya : telah diwajibkan atas kalian. Sebenarnya makna asli adalah (كَتَبَ - يَكْتُبُ) menulis, namun maknanya berubah menjadi telah ditetapkan atau bisa juga menjadi telah diwajibkan. Di dalam ayat lain ada disebutkan bahwa shalat itu adalah kewajiban yang telah ditetapkan.
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa : 103)
Di dalam Al-Quran ada empat perintah yang menggunakan kata kutiba yaitu : [1] qishash, [2] berwasiyat menjelang kematian, [3] puasa Ramadhan, dan [4] berperang.
Diwajibkan kepadamu, apabila seseorang di antara kamu didatangi (tanda-tanda) maut sedang dia meninggalkan kebaikan (harta yang banyak), berwasiat (QS. Al-Baqarah : 180)
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa (QS. Al-Baqarah : 183)
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. (QS. Al-Baqarah : 216)
الْقِصَاصُ
Ada banyak makna kata qishash (قصاص) secara bahasa. Diantara maknanya adalah mengikuti jejak (تتبع الأثر). Dikatakan tatabba'tu al-atsara (تتبعت الأثر), artinya aku mengikuti jejak. Kemudian Al-Fayumi mengatakan bahwa kata qishash lebih sering digunakan dengan makna :
Diperlakukannya pelaku kejahatan sebagaimana dia memperlakukan hal itu kepada korbannya.[2]
Jadi qishash itu kurang lebih bermakna hukuman bagi pelaku kejahatan yang prinsip dasar ditegakkannya berdasarkan kesetaraan bentuk kejahatannya. Prinsipnya membunuh dibunuh, melukai dilukai, merusak dirusak dan memotong dipotong.
Lafazh al-qatla (القَتْلَى) adalah bentuk jamak dari qatiil (قَتِيْل), maknanya : orang yang terkena atau korban pembunuhan. Pembunuhan sendiri adalah tindakan seseorang dengan cara menghilangkan nyawa orang lain tanpa dasar hukum yang benar.
Disebutkan di dalam kamus Al-Misbah Al-Munir :
فِعْلٌ يَحْصُل بِهِ زُهُوقُ الرُّوحِ
Perbuatan yang mengakibatkan terlepasnya nyawa.[1]
Ulama kalangan mazhab AS-Syafi’i yaitu Al-Khatib Asy-Syirbini (w. 977 H) menuliskan dalam kitabnya, Mughni Al-Muhtaj, tentang pengertian pembunuhan sebagai berikut :
الفِعْلُ المـُزْهِقُ للِنَّفْسِ أَوْ المـُمِيْتُ
Perbuatan yang menghilangkan nyawa atau mematikan.[2]
Sedangkan Al-Kamal Ibnul Humam (w. 861 H) dari kalangan ulama mazhab Hanafi dalam kitabnya Fathul Qadir menyebutkan bahwa pembunuhan adalah :
فِعْلٌ مِنَ العِبَادِ تَزُوْلُ بِهِ الحَيَاةُ
Perbuatan seorang hamba yang mengakibatkan lenyapnya kehidupan. :[3]
Hukum qishash ini bukan hal baru bagi kaum yahudi ahli kitab di Madinah, karena di dalam Taurat mereka juga ada perintah qishash. Hal itu ditegaskan di dalam Al-Quran juga. Bahkan dalam ketentuan hukum bagi Bani Israil itu, yang ada qishashnya bukan hanya urusan pembunuhan nyawa manusia saja, tetapi luka-luka pun ada juga qishashnya. Mata dibalas mata, hidung dibalas hidung, telinga dibalas telinga, gigi dibalas gigi hingga luka-luka pun ada qishashnya.
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan nya, maka melepaskan hak itu penebus dosa baginya. (QS. Al-Maidah : 45)
Mana al-hurru (الْحُرُّ) adalah orang yang merdeka, sedangkan makna bil-hurri (بالحُرِّ) maknanya : dengan orang merdeka. Maksudnya orang yang merdeka bila membunuh orang lain, hanya berlaku hukum qishashnya apabila orang yang dibunuh sama-sama orang merdeka.
Sedangkan bila yang dibunuh itu seorang budak, maka hukum qishash tidak berlaku, berganti menjadi bayar tebusan atau diyat.
Lafazh al-‘abdu (الْعَبْدِ) adalah budak, sedangkan bil-‘abdi (بِالعَبْدِ) artinya : dengan budak. Maksudnya bila seorang budak membunuh sesama budak, maka berlaku atasnya hukum qishash.
Pada penggalan ini sebagaimana diungkapkan oleh Asy-Sya’bi bahwa dahulu ada dua orang dari dua kabilah Arab yang berperang. Lalu datang tuntutan dari pihak korban menuntut qishash agar si pembunuhnya harus dihukum mati juga, meskipun yang membunuh itu seorang yang merdeka dan yang dibunuh hanya seorang budak. Ketidak-adilan ini kemudian dijelaskan Al-Quran lewat turunnya ayat ini.
وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ
Lafazh al-untsa bil untsa (الْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ) maknanya sama seperti di atas, bahwa seorang wanita apabila membunuh dan mau dihukum mati alias diqishash itu disyaratkan hanya apabila yang dibunuh juga sesama wanita. Manakala seorang laki-laki membunuh seorang wanita, maka laki-laki itu tidak bisa dihukum qishash. Al-Hasan dan ‘Atha’ menegaskan hal tersebut berdasarkan ayat ini.
Namun jumhur ulama dari empat mazhab yang muktamad menolak apa yang disebutkan di ayat ini, sebab dalam pandangan mereka ayat ini sudah mansukh alias sudah tidak berlaku lagi hukumnya, dengan turunnya ayat lain di surat Al-Maidah bahwa nyawa dibalas dengan nyawa, tidak perduli jenis kelaminnya.
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya nyawa ditebus dengan nyawa. (QS. Al-Maidah : 45)
Selain itu jumhur ulama juga mendasarkan pendapat mereka pada hadits nabi bahwa semua muslim itu setara kedudukannya dalam urusan darah.
الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ
Orang-orang Islam itu setara di mata hukum dalam urusan nyawa.
Namun Al-Kaits mengatakan bahwa apabila seorang suami membunuh istrinya sendiri, maka hukumannya tidak bisa dengan qishash.
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ
Lafazh fa-man ufiya lahu (فَمَنْ عُفِيَ لَه) maknanya : “siapa yang dimaafkan baginya”. Maksudnya apabila seorang pembunuh diberikan permaafan. Lafazh min akhihi (مِنْ أَخِيهِ) bermakna : “dari saudaranya”, maksudnya keluarga korban yang menjadi atas diri korban pembunuhan memberi permaafan sehingga tidak menuntut hukuman qishash.
Lafazh syai’un (شَيْءٌ) artinya secara harfiyah adalah : sesuatu, namun yang dimaksud adalah darah. Jadi si pembunuh dimaafkan oleh pihak keluarga korban atas darah yang tumpah.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa dalam penggalan ini, yaitu faman ufiya lahu terletak titik perbedaan yang mendasar antara qishash yang ditegakkan dalam syariat umat terdahulu dengan umat Nabi Muhammad SAW, yaitu dibenarkannya permafaan dari pihak keluarga korban, sehingga si pembunuh tidak harus dibunuh juga lewat qishash.
فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
Lafazh fat-tiba’un (فَاتِّبَاعٌ) adalah bentuk mashdar yang berposisi sebagai perintah, asalnya dari kata (اتَّبَعَ - يَتَّبِعُ) yang artinya mengikuti. Namun karena mengandung perintah, sehingga maknanya menjadi : “haruslah atau wajiblah dia mengikuti”.
Namun apa yang dimaksud dengan mengikuti?
Para ulama di antaranya Az-Zajjaj menjelaskan bahwa di balik perintah untuk mengikuti maksudnya adalah dipersilahkan kepada pihak keluarga korban untuk mengajukan tuntutan uang tebusan kepada pihak pembunuh.
Lafazh bil-ma’ruf (بِالْمَعْرُوفِ) artinya dengan wajar, maksudnya nilai uang tebusan yang diajukan itu harus yang sifatnya wajar atau ma’ruf. Namun istilah ‘wajar’ ini memang agak blunder juga, karena standar kewajaran itu sendiri tentu tidak sama pada setiap masyarakat.
Makanya kata ma’ruf ini akan lebih tepat bila dimaknai dengan istilah ‘urf atau kebiasaan, tradisi atau bahasa yang lebih kekiniannya adalah : kearifan lokal di suatu tempat.
Namun kearifan lokal ini pun masih juga bisa tidak disepakati nilainya. Oleh karena dalam implementasinya kalau mau lebih pasti, nilai uang tebusan itu ditetapkan bukan berdasarkan ‘urf tetapi berdasarkan undang-undang yang ditetapkan secara konstitusional di suatu wilayah hukum.
وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
Lafazh adaa’un (أَدَاءٌ) juga bentuk mashar yang punya nilai perintah, secara harfiyah maknanya adalah penunaian. Namun karena mengandung perintah, penjelasan rincinya menjadi : wajiblah bagi pihak pembunuh untuk memenuhi tuntutan pembayaran uang sebagaimana yang diajukan oleh pihak keluarga korban.
Lafazh bi-ihsan (بِإِحْسَانٍ) secara bahasa artinya : dengan cara yang baik. Maksudnya tidak ditunda-tunda pembayarannya dan tidak pula tersendat. Tidak boleh sampai mangkir dari kewajiban untuk melunasinya.
Tahqiq
Makna takhfif (تَخْفِيفٌ) adalah keringanan. Keringanan disini adalah lawan dari qishash atau juga diistilahkan dengan qawad (قَوَاد). Dengan adanya keringanan yang hanya disyariatkan kepada umat Nabi Muhammad SAW ini, maka si pembunuh tidak harus dihukum mati dan bisa terbebas dari kehilangan nyawa.
Namun secara teknis yang dimaksud dengan keringanan itu sendiri ada dua macam jenisnya :
§ Pertama, berupa membayar uang tebusan, atau disebut juga denda, diyat atau arsy. Besarannya disepakati oleh kedua belah pihak, namun yang berhak menentukan pihak keluarga korban.
§ Kedua, berupa permaafan mutlak tanpa tuntutan ganti rugi, denda atau uang tebusan. Dalam hal ini pihak keluarga korban memerdekakan begitu saja tanpa menuntut bentuk apapun dari harta. Dengan permaafan mutlak ini si pembunuh tidak harus menjalani hukuman mati.
Itulah yang dimaksud dengan takhfif atau keringan sekaligus juga merupakan salah satu bentuk rahmat Allah SWT. Dan takhfif ini hanya dikhususkan untuk umat Nabi Muhammad SAW saja. Di luar itu tidak berlaku kekeringan seperti ini.
Makna i’tada (اعْتَدَىٰ) secara makna bahasa adalah : melampai batas, lalu makna ba’da zalika (بَعْدَ ذَٰلِكَ) adalah setelah itu, makusdnya setelah menerima uang tebusan. Rinciannya orang yang sudah menerima uang tebusan yang dituntutnya, namn ternyata dia tetap saja ingin balas dendam dan melampiaskan dendamnya itu dengan cara membunuh di pelaku pembunuhan.
Kata falahu (فَلَهُ) artinya : maka baginya, lalu lafazh adzabun alim (عَذَابٌ أَلِيمٌ) artinya siksa yang pedih. Ternyata yang dimaksud dengan siksa yang pedih itu bukan hanya semata adzab di akirat atau di neraka saja, tetapi juga ada hukuman resmi yang dijatuhkan oleh hakim di dunia ini kepada pelakunya.
Siapa yang tetap membunuh si pembunuh, padahal sudah menerima uang tebusan alias diyat, maka dia dihukum mati dan di akhirat mendapatkan adzab yang pedih. Nabi SAW bersabda :
Orang yang menjadi pihak keluarga korban pembunuhan diberikan kepadanya tiga pilihan, yaitu : menuntut qishash, memaafkan atau meminta uang tebusan. Namun kalau dia minta yang keempat maka cegahlah. Siapa yang melamaui batas maka dia mendapatkan neraka jahannam dan abadi di dalamnya. (HR. Ahmad)