Kemenag RI 2019 : Bulan haram dengan bulan haram54) dan (terhadap) sesuatu yang dihormati55) berlaku (hukum) kisas. Oleh sebab itu, siapa yang menyerang kamu, seranglah setimpal dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa. Prof. Quraish Shihab : Bulan Haram dengan bulan Haram," dan pada sesuatu yang patut dihormati,’¹ (perilaku hukumi rjishas. Oleh sebab itu, barang siapa melakukan peiiycnijigau terhadap kamu. maka lakukan (pula) serangan (pembalasan i seimbang dengan serangan-fnyaj terhadap kamu. Bci takwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa. Prof. HAMKA : Bulan yang mulia dengan bulan yang mulia. Dan, segala yang mulia itu ada padanya qishash. Maka, barangsiapa yang melanggar kepada kamu hendaklah langgar pula atasnya, yang setimpal dengan pelanggarannya atas kamu itu. Dan, takwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah adalah beserta orang-orang yang bertakwa
Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir[1] menjelaskan bahwa ayat ke-194 ini masih ada munasabah dengan rangkaian ayat-ayat sebelumnya mulai dari ayat ke-189 yang membicarakan hilal sebagai penetapan awal bulan. Ayat ini bicara tentang bulan-bulan yang pada dasarnya diharamkan untuk berperang, menjadi boleh berperang bila terpaksa untuk membela diri.
Kasusnya diawali pada tahun keenam hijriyah, tepatnya di bulan Dzulqa’dah, Nabi SAW bersama dengan 1.400 shahabat melakukan umrah ke Baitullah di Mekkah. Namun belum sampai masuk Mekkah dan masih di perjalanan, tepatnya di Hudaibiyah, pihak musyrikin Mekkah menyongsong mereka dengan senjata terhunus. Intinya mereka melarang rombongan umrah ini masuk ke Mekkah atau mereka akan dibunuh semua.
Padahal saat itu rombongan umrah sama sekali tidak punya persiapan untuk melakukan peperangan. Memang selama ini sudah pecah beberapa peperangan antara kedua belah pihak. Di tahun kedua ada Perang Badar, di tahun ketiga ada Perang Uhud, sedangkan di tahun kelima ada Perang Khandaq.
Dan di tahun keenam ini kedua belah pihak bertemu lagi, namun Nabi SAW dan para shahabat datang dengan posisi mau menjalankan ibadah umrah. Tentu tidak ada niatan untuk melakukan pertempuan.
Mereka sama sekali tidak menyangka kalau sambutan pihak musyrikin Mekkah sama sekali tidak ramah. Padahal Nabi SAW dan para shahabat datang sebagai jamaah umrah, seharusnya tidak boleh diperangi. Apalagi kejadiannya di bulan Dzulqa’dah. Bulan itu dan tiga bulan lainnya adalah empat bulan haram yang sangat dihormati oleh bangsa Arab keseluruhannya (Muharram, Rajab, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah).
Setelah drama berhari-hari, kesepakatan pun akhirnya tercapai. Intinya, tahun depan Nabi SAW dijanjikan boleh melakukan umrah, namun hanya tiga hari dan tidak boleh bawa senjata kecuali senjata ringan untuk keperluan berburu.
Namun tetap saja ada rasa khawatir yang bergayut di hati Nabi SAW dan para shahabat, jangan-jangan pihak musyrikin Mekkah sengaja berpura-pura memberikan izin masuk ke Mekkah untuk umrah, tapi di balik itu mereka merencanakan pembunuhan. Saat itulah ayat ini diturunkan, yang pada intinya membolehkan untuk berperang di bulan haram, seandainya mereka diserang tiba-tiba dan terpaksa harus mempertahankan diri.
Lafazh asy-syahru (الشَّهْرُ) bermakna bulan dalam arti hitungan waktu, lamanya antara 29 atau 30 hari. Sedangkan al-haram (الْحَرَامُ) artinya memang haram, namun maksudnya di bulan-bulan itu diharamkan untuk berperang.
Bangsa Arab sejak sebelum datangnya era kenabian Muhammad SAW sudah mengenal adanya empat bulan haram dalam setahun, yaitu Muharram, Rajab, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Di bulan-bulan itu mereka sepakat untuk tidak melakukan peperangan. Walaupun dalam prakteknya seringkali mereka langgar sendiri dengan cara menangguhkannya ke bulan-bulan yang lain.
Prof. Dr. Quraish Shihab di dalam Al-Mihsbah[1] menjelaskan bahwa makna ungkapan ‘bulan haram dengan bulan haram’ maksudnya sebuah ungkapan tersendiri terkait dengan umrah qadha’ yang dilakukan oleh Nabi SAW pada tahun ketujuh hijriyah bertepatan dengan tahun 627 Masehi.
Maknanya adalah pengganti, yaitu bulan-bulan haram di tahun ketujuh ini menjadi pengganti dari bulan-bulan haram di tahun keenam untuk mengerjakan umrah. Kebetulan keduanya bertepatan dengan bulan haram yang dihormati bangsa Arab.
Namun ada juga mufassir yang memahami lain, ungkapan bulan haram dengan bulan haram itu maksudnya diwajibkan untuk menghormati bulan-bulan haram yang empat itu.
Bila ada pihak tertentu yang tidak menghormatinya dengan cara memerangi dan melancarkan serangan, balasanya adalah mereka tidak perlu diberi penghormatan, sehingga silahkan diperangi tanpa dianggap sebagai pelanggaran terhadap bulan haram. Dalam hal ini yang dikhawatirkan akan melancarkan serangan adalah kaum musyrikin Mekkah. Seandainya serangan itu benar-benar terjadi, mereka adalah orang yang melanggar kehormatan bulan haram. Untuk itu Allah SWT menghalalkan Nabi SAW dan para shahabat untuk membalas serangan mereka, tanpa harus merasa takut melanggar bulan haram.
Intinya Allah SWT mengatakan, kalau kamu diserang, serang lagi dan balas serangan mereka, tidak usah khawatir dengan larangan bulan haram. Toh, mereka yang memulai duluan.
Kata haram dalam Al-Quran tidak selalu berkonotasi hukum larangan mengerjakan sesuatu, yang bilamana dikerjakan maka pelakunya mendapat dosa dan bilamana ditinggalkan dia mendapat pahala. Sesekali Al-Quran menggunakan kata haram untuk menyebutkan sesuatu yang dihormati. Begitu juga kita terbiasa menyebut istilah Masjid Al-Haram, tentu saja maksudnya bukan masjid yang hukumnya haram melainkan masjid yang disucikan dan dihormati.
Maka dalam konteks ayat ini, lafazh al-hurumat (وَالْحُرُمَاتُ) yang merupakan bentuk jamak dari hurmah (حُرْمَة) dimaknai sebagai sesuatu yang disucikan dan dihormati. Prof. Dr. Buya HAMKA menyebutkan paling tidak ada empat titik objek yang dimaksud, yaitu :
Bulan suci yaitu Dzulqa’dah
Tanah suci yaitu Mekkah
Tempat suci yaitu Masjid Al-Haram
Ibadah suci yaitu ibadah umrah atau haji
قِصَاصٌ
Lafazh qishash (قِصَاصٌ) secara bahasa maknanya al-musawah (المُسَاوَة) yaitu kesetaraan[1]. Namun Ada banyak makna kata qishash (قصاص) secara bahasa. Diantara maknanya adalah mengikuti jejak (تتبع الأثر). Dikatakan tatabba'tu al-atsara (تتبعت الأثر), artinya aku mengikuti jejak. Kemudian Al-Fayumi mengatakan bahwa kata qishash lebih sering digunakan dengan makna :
Diperlakukannya pelaku kejahatan sebagaimana dia memperlakukan hal itu kepada korbannya.[3]
Makna qishash secara umum adalah bentuk hukuman bagi pelaku kejahatan yang prinsip dasar ditegakkannya berdasarkan kesetaraan bentuk kejahatannya. Prinsipnya membunuh dibunuh, melukai dilukai, merusak dirusak dan memotong dipotong.
Dan dalam konteks ayat ini bahwa orang yang melanggar larangan berperang di bulan haram, mereka boleh balas diperangi dan kebolehannya dianggap seperti hukum qishash.
Lafazh i’tada (اعْتَدَىٰ) secara asalnya bermakna : azh-zhulm (الظلم) atau kezaliman dan melampaui batas. Sehingga makna aslinya menjadi : siapa yang berbuat zalim kepada kamu atau berlaku melampaui batas. Namun dalam versi terjemahan yang sudah jadi, lafazh ini lebih sering diterjemahkan menjadi : menyerang kamu.
Lafazh fa’tadu (فَاعْتَدُوا) adalah fi’il amr yang merupakan perintah dan artinya “ maka serang juga. Lalu lafazh ‘alaihi (عَلَيْهِ) artinya mereka, yaitu mereka yang telah menyerang kamu padahal ini sedang ada di bulan haram dan di tanah haram, serta di masjid al-haram dan dalam kesempatan umrah yang suci.
بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ
Lafazh bi-mitsli (بِمِثْلِ) artinya dengan yang setimpal, sedangkan ma’tada ‘alaikum (مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ) artinya : “apa yang mereka serangan kamu”. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa balasan bagi mereka yang memerangi itu harus setimpal dalam arti sepadan secara teknis. Misalnya mereka membunuh dengan pedang, maka balasannya mereka juga dibunuh dengan pedang. Kalau mereka membunuh dengan cara menyalib, maka mereka pun disalib juga. Namun ulama lain mengatakan tidak harus sama persis, namun yang penting sama-sama dibunuh, apapun tata caranya.
Lafazh wat-taqullah (وَاتَّقُوا اللَّهَ) secara harfiyah bermakna : “dan takutlah mau kepada Allah”. Muncul pertanyaan, kenapa tiba-tiba Allah SWT mengingatkan untuk takut kepada Allah? Dalam rangka apa Nabi SAW dan para shahabat harus takut kepada Allah? Dan bagaimana bentuk teknis dari melakukan aktifitas ‘takut’ kepada Allah?
Prof. Dr. Quraish Shihab di dalam Al-Mishbah menjelaskan bahwa peringatan dari Allah SWT kepada Nabi SAW maksudnya agar Beliau SAW jangan berlebihan dalam melakukan pembalasan dalam peperangan. Sebab biar bagaimana pun kejadiannya di bulan haram yang aslinay memang tidak boleh berperang, selain itu tempat kejadian perkaranya juga di tanah haram, yang aslinya tidak boleh terjadi pertumpahan darah.
Peringatan ini dirasa perlu agar jangan sampai nanti ada yang mengira bahwa kebolehan ini tanpa batasan, sehingga membalas dengan balasan yang lebih keras dan berlebihan.
Perintah wa’lamu (وَاعْلَمُوا) artinya : ketahuilah, maksudnya ingatlah dan camkan baik-baik. Lafazh annllaha ma’al muttaqin (أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ) artinya bahwa Allah bersama orang-orang yang bertaqwa. Maksudnya adalah kebersamaan dalam arti Allah SWT akan tetap terus memberi pertolongan, bantuan serta ampunan kepada mereka yang bertaqwa.